ORIENTALIS DALAM STUDI FIQH DAN USHUL FIQH
Snouck Hurgonje
dan Samuel Zwemmer
Analisis M.Rakib
Ciptakarya.Pekanbaru Riau Indonesia
Orientalisme adalah suatu gerakan
yang timbul di zaman modern, pada bentuk lahirnya bersifat ilmiyah, yang
meneliti dan memperdalam masalah ketimuran. Tetapi di balik penelitian masalah
ketimuran itu mereka berusaha memalingkan masyarakat Timur dari Kebudayaan
Timurnya, berpindah mengikuti keinginan aliran Kebudayaan Barat yang sesat dan
menyesatkan.
Ayat- pukulan teloak terhadap orientalist
Mengapapa para orientalis tidak mengkritik Bibel?
“Ia melakukan lebih banyak lagi
persundalannya sambil teringat kepada masa mudanya, waktu ia bersundal di tanah
Mesir. Ia berahi kepada kawan-kawannya bersundal, yang auratnya seperti aurat
keledai dan zakarnya
seperti zakar kuda.” (Yehezkiel 23:19-20).“Engkau menginginkan kemesuman masa mudamu, waktu orang Mesir memegang-megang dadamu dan menjamah-jamah susu kegadisanmu.” (Yehezkiel 23:21).
Orientalis, adalah kumpulan
Sarjana-sarjana Barat, Yahudi, Kristen, Atheis dan lain-lain, yang mendalami
bahasa-bahasa Timur (bahasa Arab, Persi, Ibrani, Suryani dan lain-lain),
temtama mempelajari bahasa Arab secara mendalam. Studi ini mereka gunakan untuk
memasukkan ide-ide dan faham-faham yang bathil ke dalam ajaran Islam, agar
aqidah, ajaran dan da'wah Islam merosot, berkurang pengaruhnya terhadap
masyarakat, tak berbekas dalam kehidupan, tidak mampu mengangkat derajat
kemanusiaan,
Paradigma Orientalis dalam mengkaji Hukum Islam didasarkan pada
sekularisme dan liberalisme, yang merupakan pangkal peradaban Barat. Ini tampak
dalam upaya mereka menjadikan ushul fiqih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban
Barat. Jadi, secara sengaja ushul fiqh diletakkan sebagai subordinat dari
peradaban Barat yang sekular. (Shidiq Al-Jawi)
Berkenaan hukum dan fiqh Islam,
orientalis Perancis yang tercatat paling awal menulis adalah M. Perron.
Diterjemahkannya Mukhtashar Khalil, sebuah kitab rujukan mazhab Maliki
yang masyhur dipakai di wilayah Afrika Utara. Kegiatan mereka mencapai titik
puncaknya dengan kemunculan Revue Algérienne, Tunisienne et Marocaine de
Législation et Jurisprudence, majalah berkala yang khas menyoroti masalah
hukum dan perundang-undangan di wilayah jajahan Perancis tersebut.
Menyusul invasi mereka ke Libya
(yang dengan gigih ditentang oleh Sidi Umar Mukhtar), orang-orang Itali tak
ketinggalan menyelidiki Islam dan seluk-beluknya. Orientalis mereka dalam hal
ini, Ignazio Guidi dan David Santillana, menggarap terjemah Mukhtashar
tersebut ke dalam bahasa Itali.
Sementara itu di Spanyol, studi
mengenai hukum Islam dipelopori oleh Pascual de Gayangos yang juga mulai dengan
penerbitan kitab Isa ibn Jabir dengan judul Tratados de Legislación
Musulmana pada tahun 1853. Karya ini bertujuan memenuhi keperluan kaum
minoritas Muslim di Spanyol. Namun tak dinafikan terselipnya kepentingan
kolonial mereka di Maroko dan Filipina. Kemudian didirikan pula oleh Pemerintah
Spanyol sebuah lembaga penelitian bernama Escuelas de Estudios Arabes
pada tahun 1931 di Madrid dan Granada yang terkenal melalui jurnalnya:
al-Andalus.
Orientalis Belanda memfokuskan
kajian mereka pada fiqh mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk
daerah jajahan mereka. Karya perdana muncul pada tahun 1874 dari Lodewijk W.C.
Van den Berg yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis pada 1896.
Namun tokoh terpenting orientalis Belanda tentu saja adalah Christian Snouck
Hurgronje. Dikenal produktif menulis, Hurgronje terjun langsung ke dalam,
menyamar sebagai mu’allaf, lantas bermukim di Mekkah untuk mempelajari tradisi
dan mentalitas orang Islam. Dan secara sadar terlibat dalam politik kolonial
Belanda. Tak kalah penting sumbangan Claudius dan Michael de Goeje serta
Theodor W. Juynboll. Disamping mempelajari bahasa dan adat istiadat bangsa
pribumi, orientalis Belanda juga mengumpulkan dan mengkaji karya tulis yang
berpengaruh, semisal matan Ghayatu al-Ikhtishar wa at-Taqrib karya Abu
Syuja’ al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) yang masyhur di kalangan pondok pesantren
di Asia Tenggara.
Hal yang sama berlaku di kalangan
orientalis Jerman. Lantaran mereka menduduki sebagian besar wilayah Afrika
Timur yang penduduknya kebanyakan bermazhab Syafi’i, maka studi orientalis
Jerman pun diarahkan kesana. Sebagai contoh ditunjuknya karya-karya Eduard
Sachau, seorang pakar yang cukup disegani, karyanya berisi seputar sejarah hukum
Islam dan hukum waris yang diterbitkan Akademi Ilmu Pengetahuan Austria-Jerman
antara tahun 1870 dan 1897, juga tulisan-tulisan Heinrich F. Wüstenfeld.
Tak jauh berbeda dengan tetangga
mereka, orientalis Inggris , disamping mendalami bahasa, alam pikir dan
adat-istiadat, mereka pun berusaha menyelami sistem perundang-undangan Islam
yang diamalkan warga India, Pakistan, Bangladesh, dan Malaya. Tokoh pionir
dalam bidang ini antara lain Charles Hamilton yang pada tahun 1791 merampungkan
terjemah kitab al-Hidayah karya al-Marghinani (w. 593 H/1197 M) ke bahasa Inggris, dan Sir William
Jones yang menerjemahkan matan al-Sirajiyyah. Usaha itu diteruskan oleh
Neil Benjamin Baillie, William H. MacNaghten, dan Sir Roland K. Wilson – yang
pada gilirannya mempelopori lahirnya ‘sistem perundangan gado-gado’ (istilah
Syamsudin Arif) bernama Anglo-Muhammadan Law.
Menurut Coulson, yurisprudensi Islam
adalah seluruh proses aktivitas intelektual yang memastikan dan menemukan
ketentuan-ketentuan kehendak Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam sistem
hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanakan. Tetapi proses ini tidak
menjadi hukum dan tidak pula berlaku sebagai preseden yang harus diikuti dan
untuk melaksanakan hak dan kewajiban kecuali jika ia benar-benar sejalan dengan
nash (Quran Sunnah).
Di sini ia melakukan kesalahan lagi,
karena menyangka pendapat ahli hukum (fiqh) sebagai hukum. Pendapat ahli hukum
sama sekali tidak bisa dianggap sebagai hukum, karena itu hanyalah suatu usaha
memahami atau menemukan hukum bukan untuk menciptakan atau menentukannya.
Mungkin ada perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum tergantung pada pemahaman
mereka tentang hukum, yang karenanya ijma' harus membuktikan dan menentukan
kebenaran hukum yang sesuai dengan nash.
KAJIAN ORIENTALIS DALAM FIQH ISLAM
Setiap penelitian ilmiah pakai
metode, dan setiap metode punya teori, dan setiap teori mengandung hipotesis
atau presuposisi –yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya memang dianggap tak
perlu dan tak boleh sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika dipersoalkan
niscaya penelitian tersebut mustahil terlaksana, sebab si peneliti harus
membuktikan dulu kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai
risetnya.
Maka untuk menghindari sirkularitas
alias ‘muter-muter’, dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu
seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar. Nah, di sinilah letak persoalannya.
Berikut ini sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis
mengenai Syari’ah dan fiqh Islam.
Pertama, teori
evolusi. Adalah Ignaz Goldziher yang sering kali secara panjang lebar menulis
bahwasanya hukum Islam itu mengalami perkembangan dan pemekaran. Dalam arti;
tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui
proses panjang dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan dan
akhirnya kemerosotan. Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan
perubahan masyarakat dari masa ke masa. Teori yang menyertai pendekatan
historis ini menjadi ‘rukun iman’ orientalisme yang digigit kuat-kuat oleh para
pengkaji sezaman maupun sesudahnya –Alois Sprenger, David Samuel Margoliouth,
Duncan B. Macdonald, dan E. Gräf. Padahal realitas saat ini yang dianggap
kemerosotan itu adalah aplikasi umat yang kurang sesuai, bukan hukumnya yang
tidak sesuai. Fiqh kontemporer yang saat ini digalakkan ulama-ulama merupakan
salah satu bentuk usaha untuk menggali hukum untuk problematika baru, dengan
tetap berpijak pada Hukum Ashl-nya. Para ulama kontemporer, dengan tetap
berpegang pada fiqh yang ada, menggali hukum untuk problematika yang baru,
bukan menggali hukum baru.
Kedua, teori
pengaruh dan pinjaman yang juga merupakan asas dari metode penelitian sejarah.
Teori ini mengandaikan bahwasanya agama –seperti halnya pengetahuan,
keterampilan dan seni– adalah hasil budi-daya dan reka-cipta manusia. Ia muncul
berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa
lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan
manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para orientalis
mencari-cari apa yang mereka percaya sebagai asal-usul, sumber, atau
unsur-unsur asing yang mempunyai kesan atau pengaruh terhadap ajaran-ajaran
Islam. Para orientalis umumnya mendakwa sebagian besar ajaran Islam berkenaan
aqidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun
Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A.
Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S. Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan
lain-lain.
Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh
sebagai disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred
von Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet,
Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher
Melchert, dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara
bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada
abad kedua dan atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun
setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari
praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living
traditions –istilah Schacht- yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh
sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi
sebuah disiplin ilmu. Hadits beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi
suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam
as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh
bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandegan fiqh. Demikian
pendapat Schacht dan para pengekornya.
Ketiga, teori
kebohongan atau manipulasi, yang menuding adanya semacam konspirasi para
cendekiawan pada abad-abad kedua, ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu
publik dengan ‘menyuapkan’ Hadits dan sebagainya ke ‘mulut’ Nabi saw. Dengan
kata lain, orientalis menuduh ulama terdahulu telah melakukan kebohongan publik
dengan bersepakat atas hadits yang mereka buat sendiri, tetapi disandarkan
kepada Nabi. Sarjana orientalis semisal Motzki memuji seorang rekannya yang
katanya telah mendemonstrasikan dengan contoh-contoh bagaimana tradisi sahabat
menjadi Hadits dari Nabi.
LIMA
TEORI ORIENTALIS TENTANG SYARI’AH
Pandangan orientalis Barat terhadap
Syari’at Islam dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam
itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam
kenyataannya. Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson. Pandangan keliru ini
jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum
Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at agamanya. Walaupun
benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syari’ah diberlakukan,
hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum
Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di
muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya, teori yang pertama kali
dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru
disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi ‘Islam normatif’ dan ‘Islam
historis’. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir hanyalah merupakan sebuah
cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan realitas yang terjadi pada
umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai orang Indonesia pada
khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya, dimana historis yang
harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis dan memegang teguh
keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui dengan disesuaikan
dengan nash Qur’an dan Hadits (normatif).
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang –authoritarian
to the last degree, kata Hamilton A.R. Gibb. Pendapat miring ini pun
mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah
implementasi Syari’ah di Indonesia -negeri yang lebih dari
sembilan-puluh persen penduduknya beragama Islam- karena dinilai menghukum
sewenang-wenang. Padahal terdapat seabrek data historis betapa luwes dan
luasnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’
sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.
Teori ketiga disuarakan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, dari sejak
awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah (yakni ulama yang mewakili sistem
perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang
menentukan sistem perpolitikan). Masing-masing berjalan mengikut caranya
sendiri. Penguasa tak peduli apa kata ulama, manakala ulama mengecam tirani
penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Gambaran negatif ini merupakan generalisasi
semata. Ia hanya betul untuk beberapa kasus tertentu dan tidak terbukti dalam
banyak periode dimana terjadi ‘simbiosis konstruktif’ –meminjam istilah Haim
Gerber- yakni masa-masa dimana para ulama’ menyikapi situasi secara bijak dan
realistis, bukan karena putus asa, melainkan karena mereka sangat menyadari
pentingnya fungsi negara dalam mempertahankan Islam dan menegakkan Syari’ahnya.
Lawrence Rosen mengusung
teori yang keempat. Menurut dia,
Hukum Islam itu kacaubalau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak
memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo-Amerika atau
civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional. Teori ini serupa dengan
pernyataan seorang tokoh nasional Indonesia bahwa Syari’at Islam itu cermin
budaya Arab dan oleh karenanya implementasi Syari’ah itu sama dengan Arabisasi
yang berarti mundur ke abad ketujuh Masehi. Dalam bukunya, Rosen mengutip
ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang melecehkan lembaga peradilan
masyarakat Islam.Ia sendiri lantas menarik kesimpulan bahwa sistem peradilan
hukum Islam sangat tergantung pada budaya masyarakatnya. Pendapat miring Rosen
ini memantulkan kembali imej orientalisme klasik tentang Islam sebagai sistem
masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih maju dan
canggih.
Teori kelima dianjurkan J. Schacht, yang mendakwa Syari’at Islam hanya
berjalan selama lebih kurang dua abad untuk kemudian mandeggara-gara
Imam as-Syafi’i. Jika sebelumnya ramai orang berijtihad, maka zaman sesudah
Imam as-Syafi’i bermulalah era kejumudan alias ankylose. Cukuplah
literatur fatwa fuqaha’ sebagai pengejawantahan ijtihad menukas lontaran
orientalis tersebut.
No comments:
Post a Comment