MAQIS ‘ALAIH/ المقيس عليه (PEMBANDING/ALAT
UKUR/STANDART), LAWANNYA FURU/CABANG.
M.Rakib
Ciptakatya. Pekanbaru Riau Indonesia. 2014
Mustashhab/ المستصحب (memberlakukan
hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya). Contoh:
الاصل بقاءماكان على ماكان
“Asal itu adalah
tetapnya sesuatu yang telah ada atas sesuatu yang telah ada“.
Misalnya, seseorang yang
telah berwudhu meragukan apakah ia masih suci atau sudah batal. Tetapi ia
merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhunya. Atas
dasar keyakinannya itu, ia tetap dianggap suci (masih mempunyai wudhu).
USHUL
FIQH©
Pengertian
dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
A. Pengertian Ushul Fiqh
Ushul fiqh terdiri dari dua kata,
yang masing-masing mempunyai pengertian luas, yaitu al-ushul (الاصول ) dan al-fiqh (الفقه).
Dalam bahasa Arab, al-ushul merupakan jamak dari al-ashal (الاصل ) yang mengandung arti “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non-materi”. Dalam bahasa Indonesia
diartikan dengan: dasar, asal atau pangkal, yaitu sesuatu yang di atasnya
didirikan sesuatu yang
lain
(مايبنى عليه شيئ), dan kadang-kadang
diartikan dengan: pokok, peraturan atau sumber. Secara terminologi, kata ashal
mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
1. Dalil/ الدليل (landasan hukum), seperti ungkapan ulama ushul fiqh, “Ashl
dari wajibnya shalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul”. Maksudnya, yang
menjadi dalil kewajiban shalat adalah ayat al-Qur’an dan Sunnah.
2. Qa’idah Kulliyyah ( القاعدة الكلية )/(ketentuan yang
umum).
Sebagai contoh, sebuah kalimat yang
berbunyi: اباحة الميتة للمضطرخلاف الاصل
“Kebolehan memakan bangkai bagi
orang yang terpaksa, menyelisihi asal”.
Kata asal dalam kalimat ini
adalah ‘ketentuan yang umum’, maksudnya bahwa kebolehan memakan bangkai bagi orang
yang terpaksa itu merupakan ketentuan di luar ketentuan umum. Ketentuan ini
ditetapkan karena adanya alasan hukum yang dapat memalingkannya dari ketentuan
umum, yaitu ‘keadaan terpaksa’. Adapun ketentuan yang secara umum mengatakan:
3. Rajih/ الراجح (yang kuat), seperti ungkapan para ahli ushul fiqh: الاصل
في الكلام الحقيقة
“Yang terkuat dari (kandungan)
suatu ungkapan adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, setiap perkataan yang
didengar/dibaca, yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu
(arti sebenarnya), bukan arti majazinya (kiasannya).
4. Mustashhab/ المستصحب (memberlakukan hukum yang ada
sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya). Contoh: الاصل بقاءماكان
على ماكان
“Asal itu adalah tetapnya sesuatu
yang telah ada atas sesuatu yang telah ada“.
Misalnya, seseorang yang telah
berwudhu meragukan apakah ia masih suci atau sudah batal. Tetapi ia merasa
yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhunya. Atas dasar
keyakinannya itu, ia tetap dianggap suci (masih mempunyai wudhu).
5. Maqis ‘alaih/ المقيس عليه (pembanding/alat
ukur/standart), lawannya furu/cabang.
Ashal dimaksudkan sebagai alat pembanding
bagi yang lainnya; sesuatu yang belum ada hukumnya dipersamakan hukumnya dengan
sesuatu yang telah ada hukumnya secara jelas (dalam pembahasan Qiyas).
Dari kelima pengertian ushul secara
lughawi tersebut, maka pengertian yang biasa dipakai dalam ilmu ushul fiqh
adalah dalil, yaitu
dalil-dalil fiqh.
Adapun kata fiqh (الفقه), secara etimologi berarti
pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal.[1]
Secara terminologi, fiqh: العلم
بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتهاالتفصيلية
“Mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan ushul fiqh sebagai berikut:
معرفة دلائل الفقه اجمالا وكيفية
الاستفادة منهاوحال المستفيد
Mengetahui dalil-dalil fiqh secara
global dan cara menggunakannya, serta mengetahui keadaan orang yang
menggunakannya (mujtahid).
Definisi ini menjelaskan bahwa yang
menjadi obyek kajian ushul fiqh—selanjutnya disingkat dengan UF–adalah: 1.
dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), seperti kehujjahan ijma dan
qiyas, 2. cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, seperti kaidah
mendahulukan Hadis Mutawatir dari Hadis Ahad dan mendahulukan nash
dari zhahir, serta 3. syarat-syarat mujtahid dan persoalan yang
berkaitan dengan masalah taklid.
Sedang menurut Jumhur ulama—Hanafiyyah,
Malikiyyah, dan Hanabilah, ushul fiqh adalah: القواعد التى يوصل البحث فيهاالى
استنباط الاحكام من ادلتهاالتفصيلية
Mengetahui kaidah-kaidah kulli
(umum) yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukum-hukum Syara yang
bersifat amaliyah melalui dalil-dalilnya yang rinci.
Definisi ini menekankan bahwa ushul
fiqh adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah umum ushul fiqh. Seperti:
al-Qur’an dan Sunnah adalah dalil yang dapat dijadikan hujjah; dalil nash
didahulukan dari zhahir; Hadis Mutawatir diutamakan dari Ahad,
al-amr lil-wujub, dll. Kaidah umum ini mengandung hukum-hukum rinci yang sangat
banyak. Mereka tidak mempersoalkan dalil dan kandungannya itu, tetapi membahas
dalil-dalil kulli dan kandungannya sehingga dapat ditetapkan kaidah-kaidah
kulli. Nah untuk proses ini semua tentu diperlukan keahlian khusus, sehingga
pembahasan tentang mujtahid dan segala aspek yang menyertainya secara implisit
terkandung dalam definisi tersebut.[2]
B. Obyek Kajian Ushul Fiqh
Berdasarkan kedua definisi tersebut,
menurut Muhammad az-Zuhaili (ahli fiqh dan ushul fiqh dari Syria), obyek
kajian ushul fiqh adalah:
1.
Sumber Hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali Hukum Syara’,
baik yang disepakati (seperti kehujjahan al-Qur’an dan Sunnah), maupun yang
diperselisihkan (seperti kehujjahan istihsan dan maslahah mursalah).
2.
Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap
bertentangan, baik melalui al-jam’u wat-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih
(menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan), naskh, atau tasaqut
ad-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan).
3.
Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya
(mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat
khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4.
Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan
macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan, memilih antara berbuat atau tidak, maupun yang
berkaitan dengan sebab, syarat, mani, sah, batal/fasad, azimah, dan rukhsah.[3]
Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (hakim),
orang yang dibebani hukum (mahkum alaih), ketetapan hukum dan
syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5.
Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam
mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui
pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (Ayat atau Hadis).
C. Tujuan dan Kegunaan Ilmu Ushul
Fiqh
Tujuan utama Ushul fiqh adalah
mengetahui dalil-dalil syara’ yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah,
muamalah, uqubah, dan akhlaq. Pengetahuan tersebut pada gilirannya dapat
diamalkan, sesuai kehendak Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Oleh
sebab itu ulama ushul fiqh (UF) menyatakan bahwa UF bukan merupakan ‘tujuan’,
melainkan sebagai ‘sarana’ untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada
setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya, karena
yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum
Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah UF tersebut. Secara sistematis,
kegunaan UF antara lain untuk:
1.
Mengetahui kaidah dan cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum
melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2.
Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki mujtahid,
sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara dari nash. Disamping
itu, bagi masyarakat awam, melalui UF mereka dapat mengerti bagaimana para
mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka dapat mempedomani dan
mengamalkannya.[4]
3.
Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid,
sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nash; dan
belum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat ditentukan
hukumnya.
4.
Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Dalam UF,
sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap diakui
Syara’. Melalui UF, dapat diketahui mana sumber Hukum Islam yang asli yang
harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber Hukum Islam yang bersifat
sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Islam.
5.
Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari
berbagai persoalan sosial yang terus berkembang.
6.
Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad, sehingga dapat dilakukan tarjih salah satunya
dengan mengemukakan alasannya.
D. Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Ushul Fiqh
Pertumbuhan UF tidak terlepas dari
perkembangan Hukum Islam sejak zaman Rasul sampai pada masa tersusunnya UF
sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 H.
Setelah Islam meluas, banyak terjadi
berbagai peristiwa hukum dalam semua lapangan kehidupan, sehingga para ulama
berusaha mencari dan menentukan hukum untuk mengakomodir segala permasalahan
yang timbul. Sementara para ulama tersebut juga sudah menyebar ke berbagai
negeri baru dan telah terpengaruh oleh lingkungan dan pola pemikiran yang
berbeda-beda yang sangat berpengaruh terhadap keputusan hukum yang diambilnya;
metode yang mereka pergunakan juga berbeda-beda, sehingga muncullah ahli
Hadis dan ahli Ra’yi[5],
yang pengikut keduanya semakin berani mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan
pendapat alirannya, padahal hal itu tidak patut dijadikan hujjah.
Kenyataan ini memotifasi disusunnya
batas-batas dan bahasan mengenai dalil-dalil syara’ dan syarat-cara-metode
istinbat hukum, sehingga dibuatlah aturan main berijtihad agar diperoleh
pendapat yang benar dan untuk memperdekat jarak perbedaan di antara mereka;
yang dituangkan dalam bentuk kaidah-kaidah yang harus dipegangi oleh semua
mujtahid, yaitu UF. Ini terjadi pada abad ke-2 Hijriyyah.
Ibnu an-Nadhim dalam kitab al-Fihrasat,
menjelaskan bahwa yang mula-mula menyusun kaidah-kaidah seperti itu adalah Abu
yusuf (Wafat 182 H) dan Muhammad Ibn al-Hasan (W. 189 H),
keduanya murid Abu Hanifah. Akan tetapi sayang, susunan beliau berdua tidak
sampai kepada kita. Sedang orang yang pertama kali membuat kodifikasi kaidah
dan bahasan ilmu UF secara sistematis, serta masing-masing kaidah tersebut
dikuatkan dengan dalil dan alasan yang mendalam, adalah al-Imam Muhammad
ibn Idris asy-Syafi’i (w. 240 H) dalam kitabnya “ar-Risalah”.
Dalam kitab itu dibicarakan tentang al-Qur’an dan kehujahannya; al-Hadis dan
macam-macamnya; al-Ijma, al-Qiyas dan dasar-dasar mengistinbatkan hukum. Kitab
itulah sebagai kodifikasi pertama dalam bidang UF dan yang sampai kepada kita.
Oleh karena itu ulama sepakat bahwa peletak batu pertama ilmu UF adalah Imam
asy-Syafi’i.
E. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Dalam sejarah perkembangan UF
dikenal dua aliran UF yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam
membangun teori UF masing-masing yang digunakan dalam menggali Hukum Islam.
1.
Aliran/metode Syafi’iyyah dan Jumhur Mutakallimin (dikembangkan
oleh golongan Mu’tazilah, Syafi’iyyah, dan Imam Syafi’i sendiri).
Aliran ini membangun UF mereka
secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah
keagamaan yang tidak pokok); Aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan
yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli, tanpa menghiraukan apakah kaidah
itu sesuai dengan pendapat para imam madzhabnya/tidak dan tidak peduli apakah
kaidah tersebut sesuai dengan furu/tidak. Setiap permasalahan yang diterima
oleh akal (rasional) dan didukung oleh dalil naqli dapat dijadikan kaidah—baik kaidah
itu sejalan dengan furu’ atau tidak (teori atau kaidah mereka tidak
memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah), sehingga teori
mereka sering tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis.[6]
Di samping itu, sesuai
namanya—aliran mutakallimin/ ahli kalam–, maka aspek-aspek bahasa sangat
dominan dalam pembahasan UF-nya, sehingga aliran ini sering terjebak pada
masalah-masalah yang terkadang mustahil terjadi, seperti persoalan taklif
al-ma’dum (pembebanan hukum atas sesuatu yang tidak ada), atau terjebak
pada permasalahan aqidah, seperti ke-ma’sum-an (terpelihara dari kesalahan)
Rasulullah.
2.
Aliran/Metode Fuqaha/Ahnaf (Ulama Hanafiyyah)
Dinamakan aliran fuqaha, karena
aliran ini dalam membangun teori UF-nya banyak dipengaruhi oleh masalah furu
dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali
setelah melakukan analisis/istiqra’ (induksi) terhadap
masalah-masalah furu yang ada dalam madzhab mereka dan mengumpulkan pengertian
makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan kemudian mengambil konklusi
darinya. Dalam menetapkan teori, apabila terdapat pertentangan antara kaidah
yang ada dengan hukum furu, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan
hukum furu’ tersebut, sehingga tidak ada satu kaidah pun yang tidak bisa
diterapkan.[7]
Adapun kitab-kitab UF yang
menggabungkan kedua teori tersebut, ialah:
1.
Tanqih al-ushul karya Shadr asy-Syari’ah (w. 747H). Kitab ini
merupakan rangkuman tiga buku UF, yaitu Kasyf al-Asrar karya
al-Bazdawi, al-Mahshul karya Fakhruddin ar-Razi asy-Syafi’i,
dan Mukhtashar ibn al-Hajib karya Ibn al-Hajib al-Maliki.
2.
at-Tahrir karya Kamaluddin ibn al-Humam al-Hanafi (w. 861H)
3.
Jam’ul-Jawami’ karya Tajuddin ‘Abd al-Wahhab as-Subki asy-Syafi’i
(w.771H)
4.
Musallam as-Subut karya Muhibbullah ibn ‘Abd asy-Syakur (w.
1119H).
Pada abad ke-8 H muncul Imam
Abu Ishaq asy-Syatibi (w. 790H) dengan bukunya al-Muwafaqat fi
al-Ushul asy-Syari’ah. Dalam pembahasannya, di samping menguraikan berbagai
kaidah yang berkaitan dengan aspek kebahasaan, ia juga mengemukakan maqasid
asy-Syari’ah (tujuan-tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum), yang selama
ini kurang diperhatikan oleh ulama UF. Setiap permasalahan dan kaidah
kebahasaan senantiasa dikaitkan dengan maqasid asy-syari’ah. Dengan demikian
asy-Syatibi memberikan warna baru, dan kitabnya itu oleh para ahli UF
kontemporer dianggap sebagai buku UF yang komprehensif dan akomodatif untuk
zaman sekarang.
Adapun ilmu penunjang ushul fikih
adalah; ilmu tauhid, ilmu bahasa arab, ilmu asrarur tasyri’
(mempelajari maksud syari’, kemaslahatan yang diharapkan, dan tujuan pokok
adanya taklif; memelihara jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta), dan
ilmu qawaidul-fiqhiyyah.
Hubungan ushul fiqh dengan ilmu fiqh
adalah bahwa ilmu fikih merupakan produk ushul fiqih. Ilmu fikih berkembang
karena berkembangnya ilmu ushul fikih, karena ushul fikih adalah alat yang
menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil naqli
maupun aqli. Contoh: “اقم الصلوة لدلوك الشمس الى غسق الليل…”
Hukum menunaikan shalat itu belum diketahui, apakah wajib ataukah sunah? Baru
setelah ushul fikih memberikan dalil: “الاصل فى الامرللوجوب”,
sholat wajib hukumnya.
BAB II
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud
dengan ‘sumber’ adalah mashdar (المصدر), yaitu asal dari
segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam UF kata “مصادرالاحكام
الشرعية “ berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan ‘dalil’ dari ‘الدليل‘
, jamaknya’الادلة‘, secara etimologi berarti:
الهادى الى اي شيئ حسي اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang
bersifat material maupun non material (maknawi).
Secara terminologi, dalil mengandung
pengertian:
مايتواصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي
عملي
“Suatu petunjuk yang dijadikan
landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum Syara’ yang bersifat
praktis, baik yang statusnya qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif)”
Abdul Wahhab Khalaf mengatakan bahwa
pengertian ’ادلة الاحكام‘ ini identik dengan ‘اصول الاحكام‘
(dasar-dasar hukum) dan ‘مصادرالاحكام‘. Karenanya, para ulama UF
adakalanya menggunakan istilah ‘adillah al-ahkam’ untuk menunjuk ‘mashadir
al-ahkam’ dan sebaliknya. Pernyataan ini perlu dikritisi karena dari segi
pengertian bahasa keduanya berbeda. *Mashdar adalah rujukan utama, tempat
dikembalikannya segala sesuatu; Atau sumber, asal sesuatu, sehingga mashadir
al-ahkam dalam Islam itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Pengertian ini
didukung oleh pengertian Allah sebagai Syari’[8]
(penentu/pencipta Hukum Islam). Di samping itu hanya keduanya yang disepakati
oleh seluruh ulama—klasik & kontemporer—sebagai sumber primer Hukum Islam.
*Dalil, dengan pengertian dalil
seperti di atas, al-Qur’an dan Sunnah juga disebut sebagai “dalil hukum”.
Artinya, ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi di samping sebagai sumber Hukum
Islam, sekaligus sebagai dalil (alasan dalam penetapan hukum). Kerena itu dari
sisi ini, pernyataan Abdul Wahhab Khalaf di atas ada benarnya. Tetapi dalil
lain, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, dll. tidak dapat dikatakan sebagai sumber
Hukum Islam, karena dalil-dalil tersebut hanya bersifat al-kasyf
wal-izhar lil-hukm (menyingkap dan memunculkan hukum) yang ada dalam
al-Qur’an dan Sunnah. Suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan
hujjah tidaklah dapat dikatakan sumber, karena sumber bersifat berdiri sendiri.
Oleh karena itu adillah al-ahkam, seperti ijma’ dst lebih tepat disebut
sebagai ‘turuq istinbat al-ahkam’ (metode dalam menetapkan
hukum).[9]
Untuk menghilangkan kerancuan
pengertian mashadir al-ahkam asy-syar’iyyah dan adillah al-ahkam
asy-syar’iyyah sebagaimana diuraikan di atas, pembagian yang dipilih
seharusnya adalah:
a.
Sumber dan dalil Hukum Islam (yang disepakati), yaitu al-Qur’an dan Sunnah,
b.
Dalil dan metode penggalian Hukum Islam, yaitu Ijma’, Qiyas, Istihsan, dll.
B. Klasifikasi Dalil
|
Keterangan:
1. Naqli: dari nash secara langsung dan aqli: pikiran manusia
yang sejahtera, terlepas dari pengaruh hawa nafsu.
2. Kulli: dalil yang isinya
mencakup banyak satuan hukum, bahkan mencakup sebagian besar hukum yang
sejenis, seperti “huwal-lazi khalaqa lakum ma fil-ardi jamii’an. Sedang
dalil Juz’i (tafsili): menunjuk pada satuan hukum saja, seperti: “wa
aqimus-shalata wa atuz-zakata…”
3. Qath’i: yang mendatangkan
keyakinan (kepastian), baik qath’i wurud-tsubutnya maupun qath’i
dalalahnya (dalil yang lafad dan susunan katanya tegas dan jelas
menunjukkan arti dan maksud tertentu, seperti ayat-ayat waris. Sedang dalil dhanni;
wurud-tsubutnya—dalil yang diduga keras datangnya dari syara karena
diriwayatkan dengan cara ahad, dan dhanni dalalahnya, contoh “Quru’”
C. Perincian dalil-dalil Syara’
Maksudnya perincian macam-macam
dalil yang banyak dipergunakan oleh para ulama dari berbagai mazhab.
1. Perincian dalil
syar’i menurut Imam Hanafi (Kufah, 80-150 H): al-Qur’an, as-Sunnah, pendapat
sahabat, al-Qiyas, Istihsan, Ijma’, dan ‘urf.
2. Perincian dalil
menurut Imam Malik (Madinah, 93-179 H): al-Qur’an, Sunnah rasul yang sah, Ijma’
Sahabat, qiyas, maslahah mursalah (Istislah), amal ahl Madinah, dan pendapat
Sahabat.
3. Perincian dalil
menurut Imam Syafi’i (Gaza Palestina, 150 H- Mesir, 204 H): al-Qur’an,
as-Sunnah, ijma, qiyas atau Istidlal.
4. Perincian
menurut Imam Ahmad (Baghdad, 164 H- 241 H): Nash (al-Qur’an dan Hadis Marfu’),
fatwa sahabat/ Ijma sahabat, Hadis Mursal dan Da’if(Hadis Hasan), dan Qiyas (di
kala darurat).[10]
D. Sumber dan Dalil Hukum Islam
1. al-Qur’an
Definisi al-Qur’an
كلام الله تعالى المنزل على محمدصلى
الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينابالتواتر, المكتوب بالمصاحف, المتعبد
بتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
“Kalamullah yang diturunkan kepada
Rasulullah, Muhammad saw., dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawatir yang ditulis dalam mushhaf, membacanya merupakan
ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas”.
Dari definisi ini, maka ciri khas
al-Qur’an adalah sebagai berikut:
v
al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. Apabila
bukan kalam Allah atau tidak diturunkan kepada Muhammad saw., maka tidak
dinamakan al-Qur’an, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.[11]
v
Al-Qur’an adalah wahyu berupa lafadz (sehingga wahyu yang berupa makna dan
diutarakan dengan lafadz beliau sendiri, bukanlah termasuk al-Qur’an) dan dalam
bahasa Arab Quraisy. Oleh karena itu, penafsiran dan terjemahan al-Qur’an tidak
dinamakan al-Qur’an, tidak bernilai ibadah membacanya, dan tidak sah shalat
dengan hanya membaca tafsir atau terjemahannya, karena al-Qur’an itu nama dari
struktur bahasa dan makna yang dikandungnya.[12]
v
Al-Qur’an dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, tanpa
perubahan dan penggantiaan satu kata pun, dan dijamin oleh Allah
orisinalitasnya.[13]
v
Membaca setiap kata dalam al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik
hafalan maupun membaca langsung dari mushaf.
v
Diawali dengan al-Fatihah dan ditutup dengan an-Nas, merupakan kehati-hatian
untuk membedakan al-Qur’an dari kitab yang lain. Tata urutan al-Qur’an adalah
sesuai petunjuk Allah, tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan
demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir, tidak termasuk al-Qur’an.
Kedudukan al-Qur’an dan
kehujjahannya
Para ulama UF dan lainnya sepakat
menyatakan bahwa al-Qur’an itu merupakan sumber utama Hukum Islam dan wajib
diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai
hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an. Bila hukum
permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam al-Qur’an, maka barulah
mempergunakan dalil lain. Mengapa wajib berhujjah dengan al-Qur’an?
1. al-Qur’an diturunkan kepada
Rasulullah saw. diketahui secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa
al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat Jibril, dan Rasul
dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.
2. al-Qur’an mempunyai I’jaz, yakni
suatu kekuatan yang dapat menunjukkan dan menetapkan kelemahan pihak lawan.
Mu’jizat ini bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi saw. yang membawa
risalah Ilahi.[14]
Adapun unsur-unsur I’jaz yang tidak mampu ditandingi akal manusia, antara lain:
Ø Dari
segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya berupa keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan lawannya, di antaranya: al-hayah (hidup) dan
al-maut (mati) dalam bentuk definite sama-sama berjumlah 145
kali; al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman)
sama-sama terulang 17 kali.
Ø Dari
segi pemberitaan-pemberitaan ghaib. Seperti dalam Surat Yunus (10): 92, فاليوم
ننجيك ببدنك لتكون لمن خلفكءاية , dikatakan bahwa “badan Fir’aun akan
diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya”, yang
ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir’aun
yang mengejar-ngejar Nabi Musa.
Ø
Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya. Seperti dalam Surat Yunus (10): 5, هوالذى
جعل الشمس ضياء والقمرنورا , dikatakan, “Cahaya matahari bersumber dari
dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)”.
Kandungan Hukum dan Penjelasannya
Ulama UF menginduksi hukum-hukum
yang dikandung al-Qur’an, terdiri atas:
1.
Hukum-hukum I’tikad, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukallaf untuk
mempercayai Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan Hari Kiamat.
2.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi
mukallaf.
3.
Hukum-hukum praktis/’Amaliyah (perbuatan–perbuatan manusia), yang meliputi:
- Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang disebut dengan istilah “Ibadah”, misalnya ibadah badaniyah, maliyah, atau gabungan keduanya;
- Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (mu’amalah), yang meliputi:
Ø
Hukum-hukum perorangan (ahwal asy-Syakhshiyyah), seperti kawin, talak, waris,
wasiat, wakaf;
Ø
Hukum-hukum perdata (mu’amalah madaniyyah), seperti jual beli, perserikatan
dagang, dan transaksi harta dan hak lainnya;
Ø
Hukum pidana (jinayah wa ‘uqubah);
Ø
Peradilan (ahkam al-Murafa’at/Mukhashamat) baik bersifat perdata maupun pidana;
Ø
Ketatanegaraan (ahkam as-Sulthaniyyah/Dusturiyyah);
Ø
Hubungan antarnegara (ahkam ad-Duwaliyah); dan
Ø
Hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan harta benda (ahkam al-Iqtishadiyah
wal-maliyah).
Penjelasan al-Qur’an terhadap
Hukum-hukum
Sebagai sumber utama hukum Islam,
al-Qur’an menjelaskan hukum dengan cara:
1.
Penjelasan rinci (juz’i), seperti yang berkaitan dengan masalah
aqidah, hukum waris, pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum ini disebut
sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.
Penjelasan global (kulli), umum, dan mutlak, seperti dalam
masalah shalat—yang tidak dirinci–, zakat—tidak dijelaskan secara rinci
benda-benda yang wajib dizakati, berapa nishab dan kadarnya.
Hikmah terbatasnya hukum-hukum rinci
dalam al-Qur’an adalah agar hukum-hukum global dan umum tersebut dapat
mengakomodasi perkembangan dan kemajuan umat manusia di tempat dan zaman yang
berbeda, sehingga kemaslahatan umat manusia senantiasa terayomi oleh al-Qur’an.[15]
Oleh karena itu, kesempurnaan kandungan al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam
tiga hal berikut:
1.
Teks-teks rinci (juz’i) yang dikandung al-Qur’an.
2.
Teks-teks global (kulli) yang mengandung berbagai kaidah dan
kriteria umum ajaran-ajaran al-Qur’an. Dalam hal ini al-Qur’an menyerahkan
sepenuhnya kepada para ulama untuk memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang
dikehendaki syara’, serta sejalan dengan kemaslahatan umat manusia di segala
tempat dan zaman.
3.
Memberikan peluang kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya untuk menjawab
persoalan ke-kini-an melalui berbagai metode yang dikembangkan para ulama,
seperti melalui Sunnah Rasul, Ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah, istishab, urf,
dan zari’ah. Semua metode ini telah diisyaratkan al-Qur’an.[16]
Dalalah al-Qur’an terhadap
Hukum-hukum
Al-Qur’an yang diturunkan secara
mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar).
Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an adakalanya bersifat qath’i
dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar).
Ayat yang bersifat qath’i
adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami
makna lain darinya. Seperti ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat.
Contoh:
يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ
الانثيين فاءن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ماترك وان كانت واحدة فلها النصف
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu; bagian seorang anak lelaki sama
dengan dua bagian anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta”. (Q.S. an-Nisa’, 4: 11)
الزانية والزانى فاجلدوا كل واحد
منهما مائة جلدة
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali
dera”.(Q. S. an-Nur, 24: 2)
Dalam kaffarah sumpah, Allah
berfirman: فصيام ثلاثة ايام
“…maka berpuasalah selama tiga
hari…” (Q.S. al-Maidah, 5: 89)
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat
di atas, mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian
lain.
Adapun ayat yang mengandung hukum zhanni
adalah lafal-lafal yang dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu
dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak (mengandung
pengertian ganda), yaitu kata quru’ (قروء) yang terdapat
dalam surat al-Baqarah, 2: 228. Kata quru’ mengandung dua makna, yaitu
“suci” dan “haid”.[17]
Contoh lain dalam surat al-Ma’idah, 5: 38:
السارق والسارقة فاقطعوا ايديهما جزاء
بماكسبا نكالا من الله
Kata “tangan” dalam
ayat ini mengandung kemungkinan, yang dimaksud tangan kanan atau kiri, sampai
pergelangan atau sampai siku. Penjelasan tentang tangan ini ditentukan dalam
Hadis. Kekuatan hukum kata-kata ini—quru’ dan tangan, misalnya—bersifat zhanni
(relatif benar). Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang
mana yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.
2. As-Sunnah
Pengertian Sunnah
Sunnah ( السنة) secara
etimologis (bahasa) berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang
senantiasa dilakukan”, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Sedangkan
secara terminologi, Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu
Hadis, ilmu fiqh, dan ushul fiqh.
Ø
Menurut ahli hadis, Sunnah identik dengan Hadis, yaitu “seluruh yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa, akhlaknya, apakah itu sebelum
maupun setelah diangkat menjadi Rasul”.
Ø
Menurut ahli UF, Sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
Ø
Menurut ahli fiqh; di samping pengertian yang dikemukakan para ulama UF di
atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif, yang berarti “perbuatan
yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
berdosa”.[18]
Macam-macam Sunnah dan
Klasifikasinya
Penjelasan:
Klasifikasi Hadis berdasarkan
Kuantitas
Hadis Mutawatir: yang
diriwayatkan oleh orang banyak pada semua tingkatan sanad, yang secara
logis dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para rawi hadis itu mustahil
bersekongkol untuk berdusta.[19]
Mutawatir lafzi, yang
lafalnya banyak dan sama, maknawi yang lafalnya berbeda-beda tetapi
semakna, dan amali yaitu perilaku yang sudah diamalkan orang banyak dan
diyakini berdasarkan perintah Nabi.
Hadis Ahad: yang diriwayatkan
orang per orang (ahad adalah jamak dari ahad = satu) yang tidak
mencapai tingkat mutawatir, dan dapat diriwayatkan oleh seorang atau lebih.
Hadis masyhur, diriwayatkan
paling tidak oleh tiga jalur rawi dan tidak kurang dari tiga, tetapi tidak
sampai derajat mutawatir; hadis aziz, diriwayatkan melalui dua jalur
rawi; hadis garib, yang diriwayatkan melalui satu jalur rawi.
Klasifikasi Hadis berdasarkan
kualitas
Hadis maqbul: yang diterima
Hadis Sahih: yang sah dan
valid karena sanadnya muttasil (tersambung), rawinya adil dan dabit(kuat
hafalan), dan matannya tidak syazz (tidak mengandung kejanggalan) serta tidak
ber-‘illah (sebab yang membuat cacat hadis).
Sahih lizatihi, yang sahih
dengan sendirinya karena terpenuhinya syarat hadis sahih
Sahih lighairihi, yang sahih
karena ada keterangan lain yang mendukungnya, atau kurang salah satu
syarat dari hadis sahih, namun bisa ditutupi dengan cara lain.
Hadis Hasan: yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil tetapi tidak sempurna dabit-nya,
serta matannya tidak syazz dan tidak ber-illah.
Hasan lighairihi, yang hasan
karena ada keterangan lain yang mendukungnya atau dalam sanadnya terdapat rawi
yang tidak dikenal, namun ia bukan orang yang terlalu banyak membuat
kesalahan.
Hadis Mardud atau Daif: yang
ditolak atau hadis lemah yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan.
Hadis Mursal: yang
diriwayatkan tabi’in langsung dari Rasul (terputus sanad di sahabat)
Hadis Munqati’: yang salah
seorang rawinya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada rawi
yang di tengah atau di akhir.
Hadis Mu’dal: yang dua
rawinya atau lebih hilang secara berurutan dalam sanad.
Hadis Mudallas: yang
kelemahannya disebabkan oleh manipulasi perawi, baik pada sanad maupun
matan.
Hadis Mu’allaq; yang tidak
mempunyai sanad, sehingga terputus sama sekali.
Hadis Mu’allal; yang
kelihatannya selamat, tetapi sebenarnya mempunyai cacat, baik pada sanad maupun
matan.
Hadis Maudu’; yang disebabkan
oleh kedustaan rawi
Hadis Matruk; yang
ditinggalkan karena perawinya suka berdusta atau fasik dalam pembicaraan dan
perbuatannya atau orang yang banyak salah dan keliru dalam meriwayatkan hadis.
Hadis Munkar: yang
diriwayatkan oleh perawi yang lemah isinya, bertentangan dengan riwayat dari
perawi yang terpercaya.
Hadis Mudraj; yang di
dalamnya ada sisipan perkataan sahabat atau tabi’in.
Hadis Maqlub; yang terbalik
matannya atau nama perawi pada sanadnya.
Hadis Mudtarib; yang
diriwayatkan melalui cara yang berbeda antara hadis yang satu dengan lainnya,
padahal tidak mungkin untuk ditarjih (dipilih mana yang paling kuat).
Hadis Musahhaf; yang ada
perubahan titik pada sanad dan huruf pada matan.
Hadis Muharraf, yang berubah syakal
(tanda baca).
Hadis Mubham; yang perawinya samara
atau tidak jelas.
Hadis Majhul; yang perawinya tidak
dikenal, walaupun namanya ada tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
Hadis Mastur; yang diriwayatkan oleh
perawi yang tidak diketahui kejujurannya.
Hadis Syazz; yang
diriwayatkan oleh orang yang terpercaya tetapi bertentangan dengan hadis dari
orang yang lebih terpercaya.
Hadis Mukhtalit; yang
diriwayatkan oleh perawi yang sudah rusak hafalan atau catatannya.
Klasifikasi Sunnah/Hadis berdasarkan
Sifat Pembentukannya
Sunnah Fi’liyyah[20],
yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang dilihat, atau diketahui dan
disampaikan para sahabat kepada orang lain. Misalnya, tata cara shalat.
Sunnah Qauliyyah, yaitu ucapan Nabi
saw. yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada
orang lain.
Sunnah Taqririyyah, yaitu perbuatan
atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi saw.,
tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap Nabi ini menunjukkan
persetujuannya.[21]
Sunnah Hammiyyah, yaitu yang berupa
keinginan atau kehendak Nabi saw. yang kuat yang belum sempat terlaksana.
Sunnah Tarkiyyah, yaitu yang berupa
hal yang ditinggalkan oleh Nabi saw.
Berdasarkan sandarannya; Marfu,
Sunnah yang disandarkan kepada Nabi saw.; Mauquf, disandarkan
kepada Sahabat, dan Maqthu’, disandarkan kepada Tabi’in.
Kehujjahan Sunnah
Ulama sepakat bahwa Sunnah merupakan
sumber asli dari hukum-hukum syara’ dan menempati posisi kedua setelah
al-Qur’an[22].
Bukti/alasannya adalah:
1.
Ayat-ayat al-Qur’an;
v Q.S
Ali Imran (3): 31, ان كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله
v Q.S.
al-Ahzab (33): 21, لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
v Q.S.
al-Hasyr (59): 7, ومااتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهوا
v Q.S.
an-Nisa’ (4): 59, ياايهاالذين امنوا اطيعواالله واطيعواالرسول واولى الامرمنكم
فان تنازعتم في شيئ فردوه الى الله والرسول
v
Rasulullah sendiri mengatakan, الا اني اوتيت القران ومثله معه
“Sesungguhnya pada saya telah
diturunkan al-Qur’an dan yang semisalnya[23]”. (HR.Bukhari & Muslim)
- Akal; banyak sekali ayat al-Qur’an yang masih mujmal, oleh karenanya memerlukan tafshil dari Sunnah.
Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an
Sunnah Rasulullah adakalanya
berbentuk mendukung/menguatkan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an (ta’kid),
menjelaskan (tabyin), dan mensyari’atkan hukum yang didiamkan
al-Qur’an[24].
Penjelasan Rasulullah terhadap al-Qur’an ada beberapa bentuk, yaitu:
- Memerinci hukum global, seperti kewajiban shalat. Rasulullah-lah yang menjelaskannya.
- Menjelaskan maksud hukum mutlak, seperti perintah memotong tangan pencuri. Rasul menjelaskan bahwa “tangan yang dipotong itu sampai pergelangan tangan dan nisab barang yang dicuri itu seperempat dinar” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
- Mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum. Seperti dalam an-Nisa’ (4): 11, يوصيكم الله في اولادكم , kalimat “anak-anakmu” bersifat umum, yaitu seluruh anak. Akan tetapi, apabila anak itu sengaja membunuh ayahnya agar cepat mendapatkan warisan, Rasul menjelaskan bahwa “Pembunuh tidak mendapat pembagian warisan” (HR. Muslim).
E. Dalil dan Metode Penggalian Hukum
Islam
1. Ijma’
Secara etimologi, Ijma’ (الاءجماع)
berarti “kesepakatan/ konsesus” dan atau العزم على شيئ (ketetapan hati
untuk melakukan sesuatu). Sedangkan menurut istilah ahli UF, ijma adalah:
اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى
عصر من العصوربعد وفاة الرسول على حكم شرعي فى واقعة
“Kesepakaan seluruh mujtahid muslim
pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah saw. atas suatu Hukum
Syara’ pada peristiwa yang terjadi”[25].
Rukun dan Syarat Ijma’
a.
Yang terlibat dalam ijma’ adalah seluruh mujtahid. Jika ada yang tidak setuju,
maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma.
b.
Melibatkan seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan
dunia Islam.
c.
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
d.
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara yang bersifat aktual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
e.
Sandaran hukum ijma tersebut adalah al-Qur’an dan atau Sunnah.
Adapun syarat-syaratnya, adalah:
a.
Yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad.
b.
Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya).
c.
Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan
atau perbuatan bid’ah.
Berdasarkan rukun dan syarat ijma
tersebut maka untuk masa sekarang, untuk terjadinya ijma sebagaimana ynag
didefinisikan jumhur ulama, sangat sulit. Ulama UF kontemporer, seperti
Muhammad Abu Zahrah, al-Khudari Bek, Abdul Wahhab Khallaf[26],
Fathi ad-Duraini (guru besar fiqh dan UF di Univ. Damaskus, Syiria) dan Wahbah
az-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma yang mungkin terjadi hanyalah di zaman
sahabat. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma tidak mungkin,
karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada
satu tempat.[27]
Sebaliknya, mayoritas ulama klasik
berpendapat, tidaklah sulit untuk melakukan ijma, bahkan secara aktual ijma itu
telah ada. Seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar
seperenam dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.[28]
Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama UF berpendapat apabila
rukun dan syarat ijma telah terpenuhi, maka ijma tersebut menjadi hujjah yang qath’i
(pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya; permasalahan
yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma, tidak boleh lagi menjadi
pembahasan ulama generasi berikutnya, karena telah qath’i dan menempati urutan
ketiga sebagai dalil syara.[29]
Akan tetapi, Ibrahim ibn Siyar
an-Nazzam (tokoh Mu’tazilah), ulama khawarij dan ulama Syi’ah
berpendapat bahwa ijma tidak bisa dijadikan hujjah.[30]
Tingkatan Ijma’
Ditinjau dari segi cara
menghasilkannya, ada dua macam ijma, yaitu:
a.
Ijma Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas
hukum suatu peristiwa dengan menyampaikan pendapat masing-masing secara jelas,
baik dengan perkataan, tulisan atau juga dengan perbuatan (jika ijma
seperti ini dapat terjadi, maka hukum yang dihasilkan dapat dijadikan hujjah
dan kekuatan hukumnya bersifat qath’i).[31]
b.
Ijma Sukuti, yaitu pendapat sebagian mujtahid pada satu masa
tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid
lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di
atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
Dalam persoalan ijma sukuti ini
terdapat perbedaan pendapat, apakah masuk kategori ijma dan bisa dijadikan
hujjah?. Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Abu Bakar al-Baqilani
(ahli fiqh Maliki), berpendapat tidak termasuk ijma dan tidak bisa dijadikan
hujjah[32].
Mayoritas ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal[33]
mengatakan bahwa termasuk ijma dan bisa dijadikan hujjah yang qath’i; Abu
‘Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah) berpendapat bahwa ijma sukuti dapat
dikatakan ijma apabila generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut telah
habis, karena apabila mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang
disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya
mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi; dan al-Amidi, Ibn
al-Hajib, dan al-Karkhi (ahli ushul Hanafi) berpendapat bahwa ijma
sukuti tidak bisa dikatakan ijma’, tetapi dapat dijadikan hujjah (zhanni).
2. Qiyas
Pengertian Qiyas
Menurut bahasa qiyas(القياس)berarti
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu
dengan yang lainnya. Sedangkan secara terminologi, Wahbah az-Zuhaili
menyimpulkan bahwa qiyas :
الحاق امرغيرمنصوص على حكمه الشرعي
بامرمنصوص على حكمه لاشتراكهما فى علة الحكم
“Menyatukan sesuatu yang tidak
disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh
nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya”.
Dengan pengertian seperti ini, maka
ulama UF sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas
bukanlah menetapkan hukum dari awal (isbat al-hukm wa insya’uh),
melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyf wal-izhhar
lil-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan
teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illat-nya
sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus
yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nashnya tersebut[34].
Rukun Qiyas dan Syarat-Syaratnya
1.
al-Ashl (الاصل ), merupakan obyek yang telah ditetapkan
hukumnya oleh nash dan ijma; obyek ini disebut juga “maqis alaih,
musyabbah bih, atau mahmul alaih”. Menurut imam al-Ghazali dan
Saifuddin al-Amidi (keduanya Syafi’iyyah), syarat-syarat Ashl adalah:
a.
Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan
di-naskh-kan,
b. Hukum
itu ditetapkan berdasarkan syara’,
c.
Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya, dan
d.
Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat
umum.
2. Hukum al-Ashl
(حكم الاصل), hukum pada ashl yang berdasarkan nash atau ijma yang akan
diberlakukan kepada far’u. Syarat-syaratnya:
a. Tidak bersifat khusus; dalam
artian tidak bisa dikembangkan kepada far’u. Misalnya:
من شهد له خزيمة فحسبه Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup.
(HR. Abu Daud, Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)[35].
b. Hukum ashl itu tidak keluar dari
ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan
kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan kepada hukum itu. Menurut Wahbah
az-Zuhaili, hal ini bisa terjadi dalam dua hal, yaitu:
Ø
Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar (gair ma’qulil-ma’na),
seperti kesaksian Khuzaimah tadi.
Ø Hukum
itu merupakan hukum pengecualian yang disyari’atkan sejak semula, seperti
adanya rukhshah bagi musafir untuk menjamak-qashar shalat.
c.
Tidak ada nash yang menjelaskan hukum far’u yang akan ditentukan hukumnya;
apabila hukum ashl mencakup hukum ashl pada satu pihak dan hukum far’u pada
pihak lain, maka dalil yang mengandung hukum ashl juga merupakan dalil bagi
hukum far’u. Dalam kasus seperti ini tidak diperlukan qiyas.
d.
Hukum ashl itu lebih dahulu disyari’atkan dari far’u. Dalam kaitan ini, tidak
boleh mengqiyaskan wudhu pada tayamum, sekalipun illatnya sama, karena
syari’at wudhu lebih dahulu daripada tayamum.
e. Hukum ashl tidak
berubah setelah dilakukan qiyas.[36]
3. al-Far’u
(الفرع), adalah obyek (masalah baru) yang belum ada hukumnya. Far’u ini
disebut juga “Maqis, mahmul, atau musyabbah”. Syaratnya:
a. Mempunyai kesamaan illat dengan
ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya.[37]
b. Hukum far’u tidak mendahului
hukum ashl.
c. Tidak ada nash atau ijma yang
menjelaskan hukum far’u.[38]
4. Illat (العلة),
adalah sifat yang menjadi motiv dalam menentukan hukum.
Kehujjahan Qiyas
Para UF berbeda pendapat. Jumhur
ulama berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau
sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan lebih dari itu, Syari’
menuntut pengamalan qiyas. Argumen mereka dari al-Qur’an, Sunnah, ijma dan
logika, sebagai berikut:
1.
a. Surat al-Hasyr (59): 2, فاعتبروا يااولى الابصار
Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.[39]
Mengambil pelajaran dari satu
peristiwa, menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu, penetapan
hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-i’tibar adalah
boleh, bahkan al-Qur’an memerintahkannya.
b.
Seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum (karena
inilah makna qiyas) tersebut, misalnya al-Baqarah (2): 179, tentang qisas
pembunuhan, al-Baqarah (2): 222, tentang haid, al-Ma’idah (5): 91
tentang haramnya khamr.
2.
Hadis riwayat Mu’az ibn Jabal yang amat populer. Ketika Rasul mengutusnya
sebagai hakim di Yaman, Rasul berdialog singkat:
ماذاتصنع ان عرض عليك قضاء؟ قال: اقضى
بمافى كتاب الله, قال: فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله ص.م. قال:
فان لم يكن فى سنة رسول الله؟ قال: اجتهد برايى ولاالوا. فضرب رسول الله على
صدرمعاذ وقال الحمدلله الذى وفق رسول رسول الله لمايرضى رسول الله – رواه احمدابن حنبل وابوداودوالترمذىوالطبرانى-
Dalam Hadis ini, menurut Jumhur,
Rasulullah saw. mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk
ijtihad melalui akal.[40]
3.
Ijma para sahabat
Dalam prakteknya, para sahabat
menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu Bakar tentang masalah kalalah,
yang menurutnya adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak laki-laki
(pendapat ini berdasarkan pendapat akalnya), dan petunjuk Umar ibn
al-Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika ia ditunjuk
menjadi hakim di Bashrah Irak. Dalam suratnya yang panjang itu Umar menekankan
agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan dalam nash, agar
ia menggunakan qiyas (kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ahmad ibn Hanbal,
dan al-Daruqutni). Menurut jumhur, terhadap pendapat keduanya, tidak ada satu
pun sahabat yang membantah.
4.
Secara logika, menurut jumhur, hukum Allah mengandung kemaslahatan untuk umat
manusia dan untuk itulah maka hukum disyari’atkan. Apabila seorang mujtahid
menjumpai kemaslahatan yang menjadi illat dalam suatu hukum yang ditentukan
oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya, maka
ia menyamakan hukum kasus tersebut dengan hukum yang ada. Dasarnya adalah ada
kesamaan illat.
Berbeda dengan jumhur, para ulama Mu’tazilah
berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
1.
Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata
maupun melalui isyarat. Misalnya Hadis: انمانهيتكم عن ادخارلحوم الاضاحى لاجل
الدافة الافادخروا
“Dahulu saya melarang menyimpan
daging kurban untuk kepentingan ad-daffah (para tamu dari perkampungan Badui
yang datang ke Madinah dan membutuhkan daging kurban), sekarang simpanlah
daging itu (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i,
at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah)
2.
Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl. Misalnya mengqiyaskan hukum
memukul kedua ibu bapak kepada hukum mengatakan “ah” kepada keduanya.
Ulama Zahiriyyah,
termasuk Imam asy-Syaukani berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh,
tetapi tidak ada satu nash pun yang menyatakan wajib melaksanakannya.
Ulama Syi’ah Imamiyyah dan
an-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan
landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban ini mustahil menurut
akal.
Alasan penolakan mereka terhadap
qiyas adalah:
1.
Firman Allah dalam al-Hujurat (49): 1, ياايهاالذين امنوالاتقدموابين يدي الله
ورسوله…
Ayat ini menurut mereka melarang
seseorang beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam nash. Mempedomani qiyas,
merupakan sikap seperti itu, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam al-Isra
(17): 36, ولاتقف ماليس لك به علم
Ayat ini, melarang seseorang beramal
dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, dan qiyas termasuk sesuatu
yang tidak pasti itu. Dan dalam Yunus (10): 36, ان الظن لايغنى من الحق شيا
Menurut mereka, qiyas itu bersifat Zhann
(persangkaan), dan karenanya tidak berguna untuk menetapkan hukum.
2.
Hadis, ان الله فرض فرئض فلاتضيعوها, وحدحدودا فلاتعتدوها, وحرم اشياء
فلاتنتهكوها, وسكت عن اشياء رحمة لكم غيرنسيان فلاتبحثوا عنها-رواه الدارقطنى-
“Sesungguhnya Allah menentukan
berbagai ketentuan, maka janganlah kamu abaikan; menentukan beberapa batasan,
jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar larangan
itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagimu, tanpa unsur
kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”. (HR al-Daruqutni)
Hadis ini menunjukkan bahwa sesuatu
itu adakalanya wajib, haram, dan diamkan saja yang hukumnya berkisar antara
dimaafkan dan mubah. Apabila diqiyaskan sesuatu yang diidamkan syara’ kepada
wajib, misalnya, maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu
yang dimaafkan atau dibolehkan.
3. Mereka juga beralasan dengan
sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas, meskipun sebagian sahabat lainnya
bersikap diam atas celaan itu. Hal ini menunjukkan para sahabat secara
diam-diam sepakat (ijma sukuti) untuk mencela qiyas.[41]
‘Illat
1. Definisi Illat
Secara etimologi, Illat
berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain
karena keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan illat karena dengan
adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Adapun
secara terminologi, terdapat beberapa definisi illat yang dikemukakan oleh
ulama UF. Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah,
dan Imam Baidhawi (tokoh UF Syafi’iyyah) merumuskan definisi illah
dengan: الوصف المعرف للحكم
“Suatu sifat (yang berfungsi)
sebagai pengenal bagi suatu hukum”.
Sebagai pengenal bagi suatu hukum;
apabila terdapat suatu illat pada sesuatu, maka hukum pun ada/ karena
keberadaan illat itulah hukum itu dikenal. Kalimat “sifat pengenal”
dalam rumusan tersebut, menurut mereka sebagai tanda atau indikasi keberadaan
suatu hukum. Misalnya khamr itu diharamkan karena adanya sifat memabukkan yang
terdapat dalam khamr.
Imam al-Ghazali mengemukakan
definisi illat sebagai berikut:
المؤثر فى الحكم بجعله تعالى لابالذات
“Sifat yang berpengaruh terhadap
hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan Syari’”.
Menurut al-Ghazali, pengaruh illat
terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya ijin
Allah. Allahlah yang menjadikan illat itu berpengaruh terhadap hukum. Definisi
ini dibantah oleh kaum Mu’tazilah yang mendefinisikan illat sebagi sifat yang
secara langsung mempengaruhi hukum, bukan atas kehendak atau perbuatan Allah.[42]
Terlepas dari perbedaan pendapat
mereka, para ulama UF menyatakan bahwa apabila disebut illat, maka biasanya
yang dimaksud adalah:
a.
Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa pencapaian
kemaslahatan atau menolak mafsadah. Misalnya tercapainya berbagai manfaat bagi
orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan.
b.
Sifat zahir yang dapat diukur dan sejalan dengan suatu hukum dalam mencapai
suatu kemaslahatan baik berupa manfaat ataupun menghindarkan kemudharatan bagi
manusia.
Pengertian “sifat yang zahir”
adalah suatu sifat yang terdapat dalam suatu hukum yang dapat dinalar oleh
manusia. Sedangkan pengertian “bisa diukur” adalah berlaku umum
untuk setiap individu. Misalnya pencurian, pembunuhan sengaja, dan perzinahan
merupakan sifat yang dapat diukur dan dinalar oleh manusia. Berdasarkan sifat
itulah disyari’atkan hukuman potong tangan bagi pencuri, qisas bagi pembunuh
sengaja, dan dera atau rajam bagi pelaku zina. Kemaslahatan yang akan dicapai
dari penerapan hukuman ini adalah terpeliharanya harta, jiwa, kehormatan
seseorang dan lebih jauh lagi terpeliharanya stabilitas masyarakat. Dalam jual
beli, walaupun yang menjadi unsur utamanya adalah sukarela antara kedua belah
pihak, namun karena sifat sukarela itu termasuk permasalahan batin yang sulit
ditangkap, maka syari’at Islam menggantikannya dengan ijab dan qabul. Dari ijab
dan qabul inilah diketahui sifat sukarela tersebut, sehingga ia dapat diukur.
2.
Hubungan antara Illat, Hikmah, dan Sebab
Para ulama sepakat bahwa yang
menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum adalah “hikmah”, dan hikmah itulah
illat. Namun ternyata—dalam prakteknya—banyak atau ada sebagian dari hikmah
yang tidak konkrit/ wasfun khafiyyun (sebuah sifat atau kualitas
yang abstrak dan tersembunyi) sehingga tidak dapat dijadikan bukti. Ini jelas
menimbulkan masalah. Bagaimana mungkin mengaitkan atau mengistinbatkan hukum
dengan sesuatu yang abstrak?, padahal kita tahu bahwa alasan hukum itu sebuah
argumen. Contoh, kebolehan menjamak shalat, apa alasannya? Dijawab, karena
adanya masyaqqah. Jawaban ini tidak tepat, karena masyaqqah adalah sesuatu
yang abstrak. Maka timbullah ide untuk mencari hal lain yang mendekati dengan wasfun
khafiyyun tadi, yaitu
(sesuatu yang diduga ada hikmah di
dalamnya). Artinya, kalau wasfun itu ada, maka kuat dugaan kita bahwa hikmah
itu ada, seperti melakukan perjalanan/ safar diduga kuat akan menimbulkan
masyaqqah. Oleh karena itu jawaban atas kebolehan menjamak shalat adalah karena
‘safar’nya—diduga kuat menimbulkan masyaqqah–, bukan masyaqqah itu sendiri.
Jadi, kalau tidak ada ‘wasfun zahir’nya, maka tidak boleh
dijadikan illat, karena akan banyak ketetapan hukum yang diputuskan dengan
ketidakjelasan.
Namun tidak semua hikmah itu
abstrak, karena ada hikmah yang dapat secara langsung mempengaruhi hukum.
Contohnya dalam firman Allah surat al-Hasyr (59): 7,
ماافاءالله على رسوله من اهل القرى
فلله والرسول ولذى القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لايكون دولةبين
الاغنياءمنكم
Kalimat bergaris bawah itu jelas
sekali. Sehingga berdasarkan ayat ini Umar ibn al-Khattab tidak memberikan
tanah pertanian di Iraq (hasil rampasan perang) kepada orang yang ikut
berperang.
Jumhur ulama UF juga membedakan
antara illat dengan sebab. Menurut mereka, sebab lebih umum
kandungannya dari illat. Setiap illat adalah sebab, tetapi tidak setiap sebab
adalah illat; apabila suatu sifat sejalan dengan suatu hukum dan dapat
ditangkap akal manusia, maka sifat itu disebut sebagai illat sekaligus juga
sebab. Misalnya transaksi jual beli yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak
untuk memindahtangankan hak milik, disebut illat sekaligus sebab. Namun apabila
persesuaian sifat dengan suatu hukum tidak bisa dinalar, maka sifat itu disebut
sebab (bukan illat). Misalnya, tergelincirnya matahari dari titik kulminasi
atas merupakan penyebab wajibnya shalat dhuhur. Tergelincirnya matahari
tersebut dikaitkan dengan kewajiban shalat merupakan keterkaitan yang tidak
bisa dinalar. Inilah yang disebut sebab, bukan illat.
3. Macam-macam Illat
Pembagian illat, di antaranya adalah
dari segi cara mendapatkannya dan dari segi dapat atau tidaknya illat itu
diterapkan pada kasus lain (segi cakupannya).
Cara
mendapatkannya
Illah Mansusah (العلة
المنصوصة)
Illah Mustanbathah (العلة
المستنبطة)
Illat
Cakupannya
Illah Muta’addiyah (العلة
المتعدية)
Illah Qasirah (العلة القاصرة)[43]
Klasifikasi Qiyas[44]
Kekuatan illat yang terdapat pada furu’: Qiyas al-aulawi (القياس
الاولوى), qiyas al-musawi (القياس المساوى), dan qiyas al-adna (القياس
الادنى).
Kejelasan illat yang terdapat pada hukum: qiyas al-jali (القياس الجلى)
dan qiyas al-khafi (القياس الخفى).
Keserasian illat dengan hukum: qiyas al-muassir ( القياس الؤثر) dan
qiyas al- mula’im (القياس الملائم)
Dijelaskan/ tidaknya illat pada qiyas: qiyas al-ma’na (القياس المعنى), qiyas
al-illat (القياس العلة), dan qiyas ad-dalalah (القياس الدلالة).
Metode pencarian illat: qiyas al-ikhalah (القياس الاخالة) qiyas asy-syabh
(القياس
الشبة), qiyas as-sibr (السبر القياس), dan qiyas at-tard
(القياس الطرد).
3. ISTIHSAN
Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti
“menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu”. Sedangkan secara terminologi,
menurut Imam Abu Hasan al-Karkhi (Hanafiyyah), sebagaimana yang
dikutip oleh oleh Abu Zahrah dalam kitab Usul Fiqh-nya, Istihsan adalah “penetapan
hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari
ketetapan hukum yang ditetapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada
alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.
Sedangkan Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam
asy-Syatibi, mendefinisikan istihsan dengan:
الاخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل
كلي
“memberlakukan kemaslahatan juz’i
ketika berhadapan dengan kaidah umum”[45]
Ibn Qudamah (Hanafiyah) mendefinisikan istihsan dengan: “berpaling
dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan
pemalingan ini, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasul”.
Dari berbagai definisi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan, adalah:
1.
mentarjih qiyas al-khafi daripada qiyas al-jali, karena ada dalil yang
mendukungnya, dan
2.
memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum,
didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
Istihsan bin-nas
Macam-macam Istihsan Istihsan
al-qiyas
Istihsan bil-ijma
Istihsan
al-istisna’i Istihsan
bil-maslahah
Istihsan bil-urf dan bid-darurat [46]
Kehujjahan Istihsan
Ada perbedaan ulama UF dalam
menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/ dalil dalam menentukan hukum
syara’. Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian Hanabilah,
istihsan merupakan dalil yang kuat dalam istinbat hukum. Alasan mereka adalah:
1. ayat-ayat
yang mengacu kepada menghilangkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia,
yaitu firman Allah, surat al-Baqarah (2): 185, يريدالله بكم اليسر ولايريد
بكم العسر
2.
Rasulullah dalam riwayat Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
ماراه المسلمون حسنافهوعندالله حسن
“sesuatu yang dipandang baik oleh
umat Islam, maka di hadapan Allah juga adalah baik”
3.
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terhadap berbagai permasalahan
yang terperinci, menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah
umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan. Sedangkan syari’ah Islam ditujukan
untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan. Oleh karena itu, apabila seorang
mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak
tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat
memberikan hukum lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.[47]
Sedangkan ulama Syafi’iyyah,
Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah tidak menerima istihsan sebagai
salah satu dalil. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam
asy-Syafi’i:
1.
Hukum-hukum syara itu ditetapkan berdasarkan Nas dan pemahamannya melalui
kaidah qiyas. Istihsan bukan nas dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di
luarnya, berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup
oleh nas dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini tidak sejalan
dengan al-Qiyamah (75): 36,
ايحسب الانسان ان يترك سدى
2.
Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai
persoalan yang dihadapi, Allah memerintahkan untuk merujuk kepada al-Qur’an dan
hadis.
3.
Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika
boleh meninggalkan nas dan qiyas—dan mengambil dalil lain—maka hal itu berarti
membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nas dan qiyas menetapkan hukum
berdasarkan istihsan, karena mereka juga mempunyai akal. Akibatnya akan
bermunculan fatwa-fatwa hukum yang didasarkan pada pendapat akal semata,
sekaligus merupakan upaya pengabaian terhadap nas.
4.
Rasulullah tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan. Ketika
ditanya tentang hukuman suami yang mengucapkan kata-kata zihar, beliau diam
saja sambil menunggu turunnya ayat zihar (QS. Al-Mujadilah [58]: 2-4). Begitu
juga kasus li’an. Kalau Rasul saja tidak mau menetapkan hukum berdasarkan
istihsan, maka sewajarnyalah umat Islam tidak menetapkan hukum atas dasar
istihsan.
5.
Rasulullah telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada di daerah ketika
mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan. Misalnya kasus Usamah ibn Yazid
(tetap membunuh kafir yang sudah bersyahadat dengan alasan syahadatnya hanya
pura-pura karena diancam pedang).
6.
Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan secara syar’i, sehingga tidak dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum.
Muhammad Abu Zahrah menilai alasan penolakan asy-Syafi’i atas kehujjahan
istihsan tersebut tidak bersifat menyeluruh kepada semua bentuknya.
Alasan-alasan itu hanya berlaku bagi istihsan yang didasarkan atas urf dan
maslahah mursalah (karena keduanya memang diperselisihkan oleh ulama
Syafi’iyyah sebagai metode istinbat hukum, apabila tidak didukung oleh nas).
Sedangkan untuk istihsan yang didasarkan pada nas, ijma, dan karena darurat,
alasan yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi’i tidak tepat, karena istihsan
seperti itu tidak lepas dari nas dan ijma, serta tidak terlepas dari kaidah
qiyas.
Sekalipun konsep istihsan yang
pertama kali dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah kurang rinci dan jelas, sehingga
mendapat penolakan keras dari Imam asy-Syafi’i—yang menganggap istihsan
membuat-buat syara’ sendiri—namun konsep istihsan yang ditawarkan oleh
murid-murid dan pengikut Abu Hanifah lebih disempurnakan, diperjelas, dan
dirinci secara sistematis. Berdasarkan konsep yang sudah sempurna ini, ulama
Malikiyyah dan sebagian Hanabilah pun menerimanya sebagai salah satu metode
dalam meng-istinbat-kan hukum.
Bahkan Imam al-Ghazali
ketika membahas istihsan menyatakan bahwa perpalingan dari kehendak qiyas
kepada dalil lain tersebut, disepakati oleh seluruh ulama UF, namun perpalingan
itu tidak dinamakan istihsan. Artinya secara konsep, apa yang dinamakan
istihsan itu diterima Imam al-Ghazali, tetapi penamaan konsep itu dengan
istihsan tidak diterimanya, karena pemakaian istilah tersebut cenderung mengacu
kepada membuat-buat syara sendiri.
Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa adanya perbedaan pendapat antara mereka
yang menerima dan menolak istihsan terjadi karena mereka tidak sepakat dalam
mendefinisikan makna istihsan. Mereka yang menolak istihsan, ternyata dalam
prakteknya berpendapat sama dengan ulama yang menerima. Dalam masalah
mudarabah, berbuka puasa bagi musafir, dan hukum-hukum lain yang dikemukakan
ulama pendukung istihsan, juga diterima oleh para penolak kehujjahannya. Oleh
sebab itu tidak ada alasan untuk menolak istihsan apabila dilakukan berdasarkan
dalil yang didukung syara, termasuk berdasarkan induksi dari berbagai ayat dan
hadis. Adapun istihsan yang dilakukan semata-mata berdasarkan pendapat akal,
maka seluruh ulama UF menolaknya, karena dalam masalah hukum syara, pendapat
akal harus mendapat legislasi dari nas. Dengan demikian titik perbedaan
sebenarnya terletak pada penamaan, bukan pada substansi konsep.
4.
Maslahah
Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, maslahah
sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa
perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan,
maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab
diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Secara terminologi, Imam al-Ghazali
mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan
menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara”. Adapun tujuan
syara yang harus dipelihara ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang
pada intinya untuk memelihara kelima aspek tersebut (begitu juga upaya untuk
menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan sengan kelima aspek), maka
dinamakan maslahat. Di samping itu yang dijadikan patokan dalam menentukan
kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara, bukan kehendak dan tujuan
manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya sesuai dengan kehendak
syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.[48]
Segi
kualitas: Maslahah ad-Daruriyyah (المصلحة
الضرورية)
Maslahah al-Hajiyah (المصلحة
الحاجية)
Maslahahat-Tahsiniyyah (المصلحة
التحسينية)
Maslahah Segi
kandungan: Maslahah al-Ammah (المصلحة
العامة)
Maslahah al-Khassah (الخاصة المصلحة)
Berubah/ tidaknya:
Maslahah as-Sabitah (الثابتة المصلحة)
Maslahah al-Mutagayyirah (المصلحة
المتغيرة)
Keberadaannya menurut
syara’: Maslahah al-Mu’tabarah(المعتبرة المصلحة)
Maslahah al-Mulgah(المصلحة
الملغاة)
Maslahah al-Mursalah(المرسلة المصلحة);
M. al-Garibah & M. al-Mursalah
Keterangan:
Maslahah Daruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok
umat manusia di dunia dan akhirat, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Kelima kemaslahatan ini disebut al-masalih
al-khamsah (المصالح الخمسة).[49]Maslahah
Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia.[50]sedangkan
maslahah Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap
berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya,
dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara
menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemaslahatan ini perlu
dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil
suatu kemaslahatan. Kemaslahatan Daruriyyah harus lebih didahulukan daripada
Hajiyah, dan kemaslahatan Hajiyah lebih didahulukan dari kemaslahatan
Tahsiniyyah.
Maslahah Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang
banyak; tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk
kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama
membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena
menyangkut kepentingan orang banyak. Maslahah Khassah,
kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang
berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang
(mafqud). Jika terjadi pertentangan antara keduanya, maka kemaslahatan umum
harus diprioritaskan dari kemaslahatan pribadi.
Maslahah sabitah, kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai
akhir zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, dll; Maslahah
Mutagayyirah, kemasalahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan
tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan dengan permasalahan
muamalah dan adat kebiasaan. Seperti makanan yang berbeda-beda antara satu
daerah dengan lainnya.[51]
Maslahah Mu’tabarah (yang didukung syara). Maksudnya ada dalil khusus yang
menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya Umar ibn
al-Khattab mengqiyaskan hukuman bagi peminum minuman keras kepada orang yang
menuduh berbuat zina, dengan 80 dera (padahal hadis Rasul tentang peminum hanya
40 dera dengan alat yang berbeda-beda; sandal dan pelepah kurma). Alasannya,
seseorang yang mabuk, bicaranya tidak terkontrol dan diduga keras akan menuduh
orang lain berbuat zina. Inilah yang dimaksud para ulama UF dengan kemaslahatan
yang jenisnya didukung oleh syara’.[52]
Kemaslahatan yang mendapat dukungan syara—baik jenis maupun bentuknya—menurut
kesepakatan ulama, dapat dijadikan landasan hukum; Maslahah Mulgah,
yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara, karena bertentangan dengan
ketentuan syara. Misalnya, syara menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan
seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan
budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang
fakir miskin (HR, al-Bukhari dan Muslim). Namun al-Laits ibn Sa’ad
(ahli fiqh Maliki di Spanyol), menetapkan hukuman puasa dua bulan
berturut-turut bagi seorang penguasa Spanyol yang melakukan hal itu. Para ulama
memandang hukum ini bertentangan dengan hadis di atas, karena bentuk hukuman
itu harus diterapkan secara berurutan. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru
dikenakan hukuman puasa. Kemaslahatan seperti ini, tidak bisa dijadikan
landasan hukum. Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung dan tidak pula dibatalkan/ ditolak syara melalui
dalil yang rinci; 1. al-Garibah, kemaslahatan yang asing, atau
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara baik secara rinci
maupun secara umum (tidak ada contoh pasti; kemaslahatan ini hanya ada dalam
teori). 2. al-Mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung dalil
syara atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nas (ayat
atau hadis).[53]
Kehujjahan Maslahah
Para ulama UF sepakat menyatakan
bahwa maslahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah.
Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa
maslahah al-mulgah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum Islam, demikian juga maslahah al-garibah, karena tidak
ditemukan dalam praktek syara. Adapun terhadap kehujjahan maslahah
al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah
satu alasan dalam menetapkan hukum syara, sekalipun dalam penerapan dan
penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah
menerima maslahah al-mursalah dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat
dalam nas atau ijma dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat
yang didukung oleh nas atau ijma[54].
Penerapan konsep maslahah al-mursalah di kalangan Hanafiyyah terlihat secara
luas dalam metode istihsan.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah
menerima maslahah al-mursalah[55]
sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurutnya maslahah al-mursalah
merupakan induksi dari logika sekumpulan nas, bukan dari nas yang rinci seperti
yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam asy-Syatibi mengatakan
bahwa keberadaan dan kualitas maslahah al-mursalah itu bersifat pasti
(qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif). Misalnya
dalam sebuah hadis, Rasululullah—sebagai pihak penguasa– tidak mau ikut campur/
menentukan harga pasar, karena sikap itu termasuk zalim (HR. al-Bukhari dan
Muslim). Akan tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya
komoditi, tetapi karena ulah para pedagang, maka ulama Malikiyyah dan
Hanabilah membolehkan pemerintah campur tangan dalam regulasi harga, dengan
pertimbangan “untuk kemaslahatan” para konsumen.
Ulama Syafi’iyyah,
pada dasarnya juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara. Akan
tetapi Imam asy-Syafi’i memasukkannya ke dalam qiyas. Misalnya
mengqiyaskan hukuman peminum khamr dengan hukuman penuduh zina. Al-Gazali
bahkan membahas secara luas dalam kitab-kitabnya. Menurut al-Gazali, ada
beberapa syarat agar kemaslahatan itu dapat dijadikan hujjah, yaitu:
- Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara
- Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nas syara
- Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang daruri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal; berlaku sama untuk semua orang.[56]
Jadi, Jumhur Ulama menerima maslahah
al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum.
Alasan mereka:
1.
Hasil induksi terhadap ayat atau hadis menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. “wa ma arsalnaka illa
rahmatal-lil’alamin” (QS. Al-Anbiya [21]: 107). Rasulullah tidak akan
menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat dan Sunnah, seluruhnya dimaksudkan untuk
mencapai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan
maslahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung maslahah adalah legal.
2.
kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman,
dan lingkungan mereka sendiri. Jika Syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum
yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.
Jumhur Ulama juga merujuk kepada perbuatan sahabat.[57]
Penolakan kehujjahan maslahah datang
dari ulama Zahiriyyah dan Syi’ah. Menurut mereka, apabila
maslahah dapat diterima, maka akan mengakibatkan hilangnya kekudusan dan
kesucian hukum-hukum syara disebabkan unsur subyektif yang akan timbul dalam
menetapkan suatu kemaslahatan. Di samping itu, kemaslahatan itu sendiri
terletak antara dua kemungkinan, yaitu didukung syara/ ditolak. Sesuatu yang keberadaannya
masih dalam “kemungkinan”, tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
5. Istishab
Pengertian Istishab
Secara etimologi, istishab”الاستصحاب“
berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”.
Secara terminologi, istishab adalah:
استبقاء الحكم الذى ثبت بدليل فى
الماضى قائما فى الحال حتى يوجد دليل يغيره
“Membiarkan berlangsungnya suatu
hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya
sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang merubahnya”.
Misalnya dalam masalah perkawinan.
Setelah berlangsungnya pernikahan antara perjaka dan perawan dan telah
melakukan hubungan suami-isteri, suami mengatakan bahwa istrinya tidak perawan
lagi. Tuduhan suami ini tidak dibenarkan, kecuali ia dapat mengemukakan
bukti-bukti yang sah dan kuat, karena seorang perawan pada dasarnya belum
melakukan hubungan suami-istri. Oleh karena itu, jika ada tuduhan dari suaminya
bahwa ia tidak perawan lagi ketika kawin, maka tuduhan itu harus dibuktikan.
Macam-macam Istishab
a. Istishab hukm al-ibahah
al-asliyyah (استصحاب حكم الاباحة الاصلية)
Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang
menunjukkan keharamannya. Istishab ini dikenal juga dengan istishab bara’ah
asliyyah.[58]
b. Istishab yang menurut akal dan
syara hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (ahli UF
Hanbali), menyebutnya: وصف الثابت للحكم حتى يثبت خلافه
“sifat yang melekat pada suatu
hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu”.
Misalnya, hak milik pada suatu benda
adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi pemilikan,
yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah
tangan kepada orang lain. Contoh lain hukum wudhu seseorang dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang
ragu, apakah wudhunya masih ada ataukah sudah batal, maka berdasarkan istishab,
wudhunya itu dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul itu, tidak bisa
mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu.[59]
Ini sesuai Hadis: اذا وجد احدكم فى بطنه شيئا فاشكل عليه اخرج شيئ منه ام لا فلا
يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
c. Istishab terhadap dalil yang
bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan
nas selama tidak ada dalil naskh.
Istishab bentuk ini, dari segi
esensinya, tidak diperselisihkan, tetapi dari segi penamaan, terdapat perbedaan
ulama; istishab ataukah berdalil berdasarkan kaidah bahasa?[60]
d. Istishab hukum akal sampai
datangnya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak
dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya
pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya
dalil syara yang menentukan hukum. Misalnya bila ada orang digugat bahwa ia
berhutang pada penggugat, maka penggugat wajib menunjukkan bukti atas
tuduhannya. Apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan.
e. Istishab hukum yang ditetapkan
berdasarkan ijma, tetapi keberadaan ijma itu diperselisihkan.
Istishab ini diperselisihkan
kehujjahannya. Misalnya, berdasarkan ijma, orang yang shalat dengan tayamum.
Jika shalatnya sudah selesai, kemudian melihat air, shalatnya dinyatakan sah.
Tetapi jika sedang shalat melihat air, apakah shalatnya harus dibatalkan untuk
berwudhu ataukah shalatnya diteruskan?
Menurut Malikiyyah dan
Syafi’iyyah, tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma yang
menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air; hukum
ijma itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya. Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah
mengatakan harus membatalkan shalatnya dan berwudhu. Mereka tidak menerima ijma
tentang sahnya shalat orang yang bertayamum sebelum melihat air, karena ijma
itu hanya terkait dengan hukum sahnya shalat dalam keadaan ketiadaan air, bukan
dalam keadaan tersedianya air.
Kehujjahan Istishab
Para ulama UF berbeda pendapat
tentang kehujjahan istishab ketika tidak ada dalil syara yang
menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin, istishab
tidak dapat dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada
masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Istishab
menurut mereka bukan dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa
lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu
hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara.
Kedua, menurut mayoritas Hanafiyyah, khususnya muta’akhkhirin
(generasi belakangan), istishab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang
telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan
datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Artinya, istishab
hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama
tidak ada dalil yang membatalkan hukum tersebut, tetapi tidak berlaku untuk
menetapkan hak yang baru muncul. Inilah yang dimaksudkan ulama Hanafiyyah
dengan “استصحاب حجة للدفع لاللاثبات“
(Istishab menjadi hujjah dalam
mempertahankan hak, bukan untuk menetapkan hak). Gambaran seperti ini dapat dilihat dalam istishab bentuk
kedua dan keempat di atas.
Ketiga, ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah,
Zhahiriyyah, dan Syi’ah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan
hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada
dalil yang mengubahnya. [61]
Alasan mereka, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada
dalil yang mengubahnya, maka semestinya hukum tersebut berlaku terus, karena
diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, dugaan keras (dzann) bisa
dijadikan landasan hukum. Jika tidak, maka akan berakibat kepada tidak
berlakunya seluruh hukum yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya bagi generasi
sesudahnya. Bila dikatakan istishab tidak bisa menetapkan hukum, maka ada kemungkinan
terjadinya naskh syari’at tersebut. Hal ini akan berakibat
munculnya pandangan bahwa tidak bisa dipastikan berlakunya syari’at di zaman
Rasul bagi generasi sesudahnya. Oleh sebab itu, alasan yang menunjukkan
berlakunya syari’at di zaman Rasul sampai hari kiamat adalah menduga
keras—dzann– berlakunya syari’at itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang
me-naskh-kannya. Hal ini menurut mereka disebut istishab.
Kaidah-kaidah Istishab
Para ulama UF menetapkan beberapa
kaidah umum yang didasarkan kepada istishab, di antaranya adalah:
a.
الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت مايغيره
Maksudnya, pada dasarnya seluruh
hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang
menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya kasus orang yang
hilang—mafqud—di atas.
b.
الاصل فى الاشياء الاباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam
hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh
dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad/ transaksi dianggap sah,
selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada
sesuatu yang tidak ada dalil syara yang melarangnya, maka hukumnya adalah
boleh.
c.
اليقين لا يزال بالشك
Maksudnya, suatu keyakinan tidak
bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang
yang sedang makan sahur di akhir malam, dia tidak mengetahui apakah sudah
terbit fajar atau belum, maka sahurnya dilanjutkan terus dan puasanya sah,
karena keyakinan hari masih malam, lebih kuat dibanding keraguan bahwa fajar
telah terbit. Begitu juga dalam masalah wudhu seperti yang telah dijelaskan.
Akan tetapi ulama Malikiyyah mengecualikan dalam masalah shalat. Artinya jika
keraguan itu berkaitan dengan masalah shalat, maka kaidah itu tidak berlaku;
ragu wudhunya, maka wajib wudhu lagi.
d. الاصل فى الذمة
البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada dasarnya seseorang
tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung
jawab seseorang. Oleh sebab itu, seorang tergugat dalam kasus apa pun tidak
bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan
bahwa ia bersalah.
6. ‘Urf
Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti
mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal,
dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Adapun menurut istilah ahli
UF: ما تعارف الناس وساروا عليه من قول اوفعل اوترك ويسمى العادة
“Sesuatu yang telah saling dikenal
oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan,
perbuatan ataupun sikap meninggalkan sesuatu. Disebut juga adat kebiasaan.[62]
Obyeknya: al-‘urf al-lafzi (العرف
اللفظى) dan al-‘urf al-‘amali (العملى العرف)
‘Urf Cakupannya: al-‘urf al-‘am (العرف العام) dan al-‘urf
al-khas (العرف الخاص)
Keabsahannya: al-‘urf as-sahih (العرف
الصحيح) dan al-‘urf al-fasid (العرف الفاسد)
Keterangan:
Al-‘urf al-lafzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ ungkapan
tertentu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging”, maka yang dimaksud adalah
daging sapi, bukan yang lainnya. Sedangkan al-‘urf al-amali
adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan. Perbuatan biasa, maksudnya perbuatan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,
seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, makan-minum-berpakaian
khusus dalam acara tertentu. Adapun yang berkaitan dengan muamalah
perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad/ transaksi
dengan cara tertentu. Contoh dalam jual beli dengan cara mengambil barang dan
membayar uang, tanpa adanya akad yang jelas, seperti yang berlaku di pasar
swalayan. Jual beli seperti ini, disebut bai al-mu’atah.
Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh
alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan
ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
Contoh juga, berat barang bawaan setiap penumpang pesawat adalah 20 kg. Adapun al-‘urf
al-khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu. Seperti penentuan masa garansi terhadap barang tertentu, kebiasaan
yang berlaku di kalangan pengacara bahwa jasa pembelaan hukum harus dibayar
dahulu sebagian oleh kliennya. (kebiasaan ini sangat banyak dan berkembang
terus).
Al-‘urf as-sahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka,
dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan
pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak
dianggap sebagai maskawin. Sedangkan al-‘urf al-fasid adalah
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara dan kaidah-kaidah dasar
yang ada dalam syara. Misalnya kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang dengan
mengembalikan lebih. Contoh lain, praktek suap.
Kehujjahan ‘Urf
Para ulama UF sepakat bahwa urf
as-shalih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara. Menurut
Imam al-Qarafi (ahli fiqih Maliki), seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan atau
menghilangkan kemaslahatan mereka. Seluruh ulama mazhab, menurut asy-Syatibi
dan Ibn al-Qayyim al-jauziyyah (ahli fiqih Hanbali) menerima dan
menjadikan urf sebagai dalil syara dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada
nas yang menjelaskan suatu masalah yang dihadapi.[63]
Dari berbagai kasus ‘urf, ulama
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf, di antaranya yang
paling mendasar:
a. العادة محكمة, “Adat
kebiasaan itu bisa menjadi hukum”
b. لا ينكر تغير الاحكام بتغير
الازمنة والامكنة,
“Tidak diingkari perubahan hukum
disebabkan perubahan zaman dan tempat”[64]
c. المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Yang baik itu menjadi ‘urf,
sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat”
d. الثابت بالعرف كالثابت بالناص
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama
dengan yang ditetapkan melalui nas”
Para ulama UF juga sepakat bahwa
hukum-hukum yang didasarkan kepada ‘urf dapat berubah sesuai dengan perubahan
masyarakat pada zaman dan tempat tertentu.
7. Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana (شرع من قبلنا) berarti syari’at sebelum Islam. Yang
dibahas oleh ulama UF adalah, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum
Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam?
Para ulama sepakat bahwa seluruh
syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para rasul-Nya telah
dibatalkan secara umum—tidak secara menyeluruh dan rinci– oleh syariat Islam.
Oleh karena itu, syar’u man qablana bisa diklasifikasikan sebagai
berikut:
- Yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nas, seperti puasa dalam al-Baqarah (2): 183.
- Yang hanya berlaku bagi umat terdahulu saja, karena sudah dinaskh oleh al-Qur’an. Seperti dalam al-An’am (6): 146, tentang keharaman bagi Yahudi semua binatang yang berkuku, lemak sapi dan domba, sebagai hukuman atas kedurhakaan mereka.[65]
- Yang disebutkan oleh nas (al-Qur’an maupun sunnah), tetapi tidak secara tegas disebutkan tetap berlakunya dan tidak pula di-naskh, seperti dalam al-Ma’idah (5): 45,
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس
والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص
“Dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka
(pun) ada qisasnya.”
Terhadap klasifikasi yang ketiga di
atas, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Jumhur ulama yang terdiri atas
ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu
pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal, umat Islam terikat dengan hukum-hukum
itu, alasannya:
- Syari’at sebelum Islam itu juga syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalannya, karenanya umat Islam terikat. Banyak sekali ayat yang menyuruh umat Islam mengikuti syari’at para Nabi; seperti syari’at Nabi Ibrahim (dalam an-Nahl [16]:123) dan syari’at Nabi Nuh (dalam asy-Syura [42]: 13.
- Rasulullah bersabda: من نام عن صلاة او نسيها فليصلها اذاذكرها قرا قوله تعالى: واقم الصلاة لذكرى –البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وابودود-
Menurut Jumhur, ayat yang dibacakan
Rasulullah tersebut merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa.
Sedangkan ulama Asy’ariyyah,
Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam
Ahmad Ibn Hanbal, syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi
Rasulullah dan umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al-Gazali,
al-Amidi, Ibn Hazm az-Zahiri, dan Fakhruddin ar-Razi (ahli fiqh
Syafi’i). Alasan mereka adalah:
- Ketika Rasulullah mengutus Mu’ad Ibn Jabal menjadi qadi di Yaman, terjadi dialog tentang bagaimana memutuskan perkara. Dalam dialog itu, Rasul tidak menganjurkan untuk merujuk ke syari’at sebelum Islam.
- Firman Allah dalam al-Ma’idah (5): 48: لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
“Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..”
Maksudnya setiap umat mempunyai
syari’at sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syari’at umat
lain.
- Syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu.
Muhammad Abu zahrah, menyatakan apabila syari’at sebelum Islam itu dinyatakan
dengan dalil khusus bahwa hukum itu hanya berlaku bagi mereka, maka tidak wajib
bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, apabila hukum-hukum itu bersifat
umum maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukuman qisas
dan puasa yang ada dalam al-Qur’an.
8. Mazhab Shahabi
Pengertian Mazhab Shahabi
Mazhab Shahabi berarti “pendapat para Sahabat Rasulullah saw”. Yang
dimaksud ‘pendapat sahabat’ adalah pendapat para sahabat[66]
tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan
hukum, sedangkan ayat dan hadis tidak menjelaskan hukum kasus yang dihadapi
sahabat itu, di samping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan
hukumnya.
Kehujjahan Mazhab Shahabi
Para ulama UF sepakat menyatakan
bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat
dijadikan hujjah, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka
sepakat bahwa pendapat sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa
dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah.
Persoalan yang menimbulkan perbedaan
pendapat adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata,
apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, qaul
qadim asy-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila
pendapat sahabat itu bertentangan dengan qiyas, maka pendapat sahabat yang
didahulukan. Alasan mereka:
Ø Ali
Imran (3): 110: كنتم خير امة اخرجت للناس تامرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
Ø
At-Taubah (9): 100: والسابقون الاولون من المهاجرين والانصار والذين اتبعوهم
باحسن رضي الله عنهم
Ø
Hadis: اصحابى كالنجوم بايهم اقتديتم اهتديتم, “Sahabatku ibarat bintang,
siapa pun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk. HR. Abu Dawud.”
Ø
Hadis: اقتدوا بالذين من بعدي…-رواه ابو داود واحمد بن حنبل
Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa sangat mungkin apa yang dikatakan para
sahabat itu, datangnya dari Rasulullah, bahkan tidak sedikit pendapat mereka
yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah; para sahabat tidak akan
mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting (ini
menunjukkan sifat kehati-hatiannya). Di sisi lain, apabila orang awam
dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat sahabat
tentu akan lebih boleh, karena Rasulullah mengatakan bahwa generasi sahabat
adalah generasi terbaik (HR. al-Bukhari)
Sedangkan sebagian Syafi’iyyah,
Jumhur Asy’ariyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat
sahabat tidak dapat dijadikan hujjah, karena ijtihad mereka sama dengan ulama
lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Alasannya:
Ø
Al-Hasyr (59): 2: فاعتبروا يااولى الابصار
Implikasi dari perintah melakukan
I’tibar (ijtihad) adalah larangan bertaqlid (mengikuti pendapat orang lain
tanpa dalil), karena untuk menentukan suatu hukum diperlukan dalil, sedangkan
taqlid dikecam syara’.
Ø
An-Nisa (4): 59: … فان تنازعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول
Rujukan yang diperintahkan—bila
terjadi perdebatan– adalah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila seseorang hanya
mengambil pendapat sahabat, maka itu berarti meninggalkan kewajiban untuk
merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya ulama Syafi’iyyah
mengatakan, dari penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa
sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan
bukan hal yang mustahil, karena tidak ada jaminan mereka pasti benar.
Adakalanya mereka juga berbeda pendapat dalam menetapkan hukum suatu kasus,
seperti kasus pembagian warisan kakek dengan saudara laki-laki, sehingga sulit
diketahui pendapat mana yang benar. Melalui induksi, para pakar UF menetapkan
bahwa tidak wajib seorang mujtahid mengikuti hasil ijtihad orang lain. Oleh
sebab itu, mengikuti pendapat sahabat pun menjadi tidak wajib.[67]
Akan tetapi, Imam Syafi’i,
menurut Mustafa Dib al-Bugha (pakar UF Universitas Damaskus,
Syiria), banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma yang ia terima
sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma para sahabat. Banyak
hukum-hukum parsial (rinci) yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Bila
terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat, Imam Syafi’i mengambil
pendapat yang lebih dekat kepada kandungan al-Qur’an dan Sunnah.[68]
Ulama Hanafiyyah
membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan
ijtihadiyyah dengan pendapat sahabat yang popular (tersebar luas) dan tidak
diketahui ada sahabat lain yang menentangnya, serta pendapat sahabat yang
didasarkan pada ijtihad tetapi tidak popular.[69]
9. Zari’ah
Pengertian Zari’ah
Secara etimologi, zari’ah
(الذريعة)berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” atau identik dengan
wasilah (perantara). Ada juga yang mengkhususkan pengertian zari’ah dengan
“sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Tetapi
menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (pakar fiqh Hanbali) zari’ah
berarti umum; zari’ah mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut
dengan sadd az-zari’ah (سد الذريعة) dan yang dituntut
untuk dilaksanakan, disebut fath az-zari’ah (فتح الذريعة).
Sadd az-Zari’ah
Sadd az-zari’ah yang dimaksud oleh
para ahli ushul fiqh, adalah:
حسم مادة وسائل الفساد دفعاله او سد
الطريق التى توصل المرء الى الفساد.
“Mencegah sesuatu yang menjadi
perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun
untuk menyumbat jalan/ sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada
kerusakan”.[70]
Misalnya dalam masalah zakat.
Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib
mengeluarkan zakatnya) datang, seorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib
dizakati, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang
nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Perbuatan seperti ini
dilarang dengan dasar pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan
zakat yang hukumnya wajib.
Tujuan penetapan hukum atas dasar
Sadd az-zari’ah, adalah untuk menuju kemaslahatan, karena tujuan umum
ditetapkannya hukum adalah untuk kemaslahatan manusia dan menjauhkan kerusakan.
Untuk sampai pada tujuan ini, syara memerintahkan sesuatu dan adakalanya
melarang sesuatu. Dalam memenuhi perintah dan larangan ada yang dapat dipenuhi
dengan langsung dan ada pula yang harus dipenuhi melalui sarana.
Dalam larangan, ada perbuatan yang
dilarang langsung karena perbuatan itu mendatangkan kerusakan, seperti larangan
meminum khamr dan berbuat zina. Dan adakalanya dilarang, sekalipun perbuatan
itu sendiri tidak langsung mendatangkan kerusakan, tetapi perbuatan itu menjadi
jembatan terhadap perbuatan yang secara langsung menimbulkan kerusakan,
misalnya menyimpan khamr atau berkhalwat (berdua-duan antara pria dan wanita di
tempat yang sunyi).
Larangan terhadap sarana yang
mendatangkan pada perbuatan yang dilarang itulah yang disebut dengan penetapan
hukum berdasarkan sadd az-zari’ah.
Macam-macam Dzari’ah
Ada dua pembagian zari’ah, yaitu
dilihat dari kualitas kemafsadatannya dan dari segi jenis kemafsadatannya.
Dari segi kualitas kemafsadatannya,
menurut Imam asy-Syatibi, zari’ah terbagi kepada empat macam:
a.
Perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qath’i). Misalnya
seseorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari dan
pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk kemafsadatannya dapat dipastikan,
yaitu pemilik rumah terjatuh ke dalam sumur tersebut. Hal ini dilarang, dan
jika pemilik rumah tercebur, maka penggali dikenakan hukuman, karena
perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
b.
Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada
kemafsadatan. Misalnya menggali sumur di tempat yang biasanya tidak
membahayakan. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah.
c.
Perbuatan yang biasanya besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya
menjual senjata kepada musuh atau menjual anggur kepada produsen minuman keras.
Menjual senjata kepada musuh, sangat mungkin senjata itu akan digunakan untuk
berperang atau setidaknya untuk membunuh. Perbuatan ini dilarang, karena dugaan
keras membawa kepada kemafsadatan.
d.
Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan,
tetapi memungkinkan juga perbuatan itu mendatangkan kemafsadatan. Misalnya
kasus jual beli yang disebut bai’ al-ajal, karena jual beli
seperti itu cenderung berimplikasi kepada riba.
Poin keempat inilah yang menjadi
perbeddaan pendapat para ulama.
Ulama Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah mengatakan bahwa zari’ah seperti ini tidak dilarang, karena
terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan; dugaan tidak bisa membuat
perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan menjadi dilarang, kecuali apabila
kemafsadatan itu diyakini atau diduga keras akan terjadi.[71]
Akan tetapi ulama Malikiyyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk dalam
perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan, oleh karena itu dilarang,. Karena
bagi mereka yang menjadi patokan boleh atau tidaknya transaksi/ akad tidak
hanya dilihat dari segi niat saja, tetapi juga dari segi akibat yang
ditimbulkan. Dari niat, jual beli tersebut memang sulit diduga bertujuan
menghalalkan riba. Akan tetapi dari segi akibat, maka secara umum diduga keras
membawa kepada kemafsadatan.[72]
Sedangkan dilihat dari jenis
kemafsadatan yang ditimbulkan, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah,
zari’ah dapat dibedakan:
a.
Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan, seperti meminum khamr.
b.
Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi ditujukan untuk melakukan suatu
kemafsadatan, seperti nikah at-tahlil. Ini dilarang.
c.
Pekerjaan itu hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk suatu
kemafsadatan, tetapi biasanya akan berakibat suatu kemafsadatan. Seperti
mencaci-maki sesembahan orang musyrik yang diduga keras akan mengakibatkan
munculnya cacian yang sama terhadap Allah SWT. Pekerjaan ini dilarang syara.
d.
Suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi adakalanya perbuatan itu
membawa kepada kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Dalam kasus
ini, kemaslahatannya lebih besar, maka dibolehkan sesuai dengan kebutuhan
(seperlunya saja).
Kehujjahan Sadd az-Zari’ah
Terdapat perbedaan pendapat’. Ulama Malikiyyah
dan Hanabilah menyatakan bahwa Sadd az-zari’ah dapat diterima sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Alasannya:
Ø Al-An’am
(6): 108: ولا تسبو الذين يدعون من دون الله فيسبو الله عدوا بغير علم
Allah melarang untuk memaki
sesembahan kaum musyrik, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan
makian yang sama, bahkan lebih.
Ø Hadis: ان
من اكبر الكبائر ان يلعن الرجل والديه, قيل: يارسول الله كيف يلعن الرجل والديه؟
قال: يسب ابا الرجل فيسب اباه ويسب امه –البخارى و مسلم وابو داود-
Hadis ini, menurut Ibn
Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd az-zari’ah termasuk salah satu alasan
untuk menetapkan hukum syara, karena sabda Rasul tersebut masih bersifat
dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasul melarangnya. Dalam kasus lain Rasul
melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (HR.
al-Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh
anak-anak yang ingin segera mendapat harta warisan.
Sedangkan ulama Hanafiyyah,
Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima Sadd az-Zari’ah apabila
kemafsadatan yang akan muncul itu dapat dipastikan akan terjadi, atau
sekurang-kurangnya diduga keras (gilbah az-zan) akan terjadi;
Artinya ada zari’ah yang diterima dan ada yang ditolak.[73]
Menurut Husain Hamid Hasan
(guru besar UF di Fak. Hukum Universitas Cairo, Mesir), ada dua sisi cara
memandang zari’ah yang dikemukakan para ulama UF, yaitu:
1.
Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik
bertujuan untuk yang halal maupun yang haram. Seperti orang yang menikahi
seorang wanita yang telah dicerai suaminya sebanyak tiga kali, dengan tujuan
agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh suami pertamanya (nikah tahlil).
Pada dasarnya nikah dianjurkan oleh Islam, tetapi motivasinya mengandung tujuan
yang tidak sejalan dengan tujuan Islam, maka nikah seperti ini dilarang.
2.
Dari sisi akibat suatu perbuatan yang berdampak negatif. Misalnya, seorang
muslim yang mencaci-maki sesembahan kaum musyrik. Niatnya mungkin untuk
menunjukkan kebenaran aqidahnya yang menyembah Allah Yang Maha Benar. Tetapi,
akibatnya bisa lebik buruk, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari
mereka terhadap Allah. Karenanya perbuatan ini dilarang.
Terjadinya perbedaan pendapat antara
Malikiyyah dengan Hanabilah di satu pihak serta Hanafiyyah dengan Syafi’iyyah
di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd az-zari’ah, adalah disebabkan
perbedaaan pandangan tentang niat dan lafal dalam masalah transaksi. Ulama
Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa dalam suatu transaksi yang dilihat
dan diukur adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Jika akad
itu telah memenuhi syarat dan rukun, maka sah. Adapun masalah niat yang
tersembunyi dalam akad, diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka mengatakan
bahwa selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari pelaku, maka berlaku
kaidah:
المعتبر فى اوامرالله المعنى والمعتبر
فى امور العباد الاسم واللفظ
“Patokan dasar dalam hal-hal yang
berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak
hamba (manusia) adalah lafalnya.”
Akan tetapi, jika tujuan orang yang
berakad itu dapat ditangkap dengan jelas atau diketahui melalui beberapa
indikator yang ada, maka ketika itu berlaku kaidah:
العبرة بالمعانى لا بالالفاظ والمبانى
“Yang menjadi patokan dasar adalah
makna/ niat, bukan lafal dan bentuk”.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah
mengatakan bahwa untuk mengukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah: niat,
tujuan dan akibat dari pekerjaan itu. Ibn Qayyim al-Jauziyyah
mengatakan apabila niat sejalan dengan perilaku, maka akad itu sah. Apabila
tujuan orang itu tidak sesuai dengan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang
menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka dianggap sah,
tetapi antara pelaku dengan Allah tetap ada perhitungan. Apabila ada indikator
yang dapat menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan
syara, maka akadnya sah. Namun jika bertentangan, maka perbuatannya itu fasid
(rusak) dan tidak ada efek hukumnya.
Dengan demikain, menurut Wahbah
az-Zuhaili, Ulama Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai
perbuatan seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan
itu, sedangkan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpegang kepada bentuk
akad dan perbuatan yang dilakukuan.
Sedangkan ulama Zahiriyyah
tidak menerima sadd az-zari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara. Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal
berdasarkan nas secara harfiyyah dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum.
Fath az-Zari’ah
Menurut Ibn al-Qayyim
al-Jauziyyah dan Imam al-Qarafi, yang dimaksud fath az-zari’ah
adalah: suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan,
bahkan diwajibkan syara. Misalnya shalat Jum’at itu wajib, maka berusaha untuk
sampai ke mesjid dengan meninggalkan segala aktifitas lain juga diwajibkan.
Akan tetapi, menurut Wahbah
az-zuhaili, hal itu bukan termasuk dalam az-zari’ah, melainkan termasuk
dalam kaidah yang oleh Jumhur ulama UF disebut sebagai muqaddimah
(pendahuluan) dari suatu pekerjaan; apabila yang dituju adalah suatu yang
wajib, maka seluruh upaya untuk menunaikan yang wajib itu, juga diwajibkan,
sesuai dengan kaidah yang mengatakan: مالا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Apabila suatu kewajiban tergantung
kepada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini pun wajib dikerjakan”.
Contohnya, mengerjakan shalat itu
wajib. Sedangkan untuk mengerjakan yang wajib itu harus berwudhu terlebih
dahulu. Maka berwudhu itu hukumnya wajib, karena berwudhu wajib, maka upaya
mencari air untuk berwudhu pun wajib. Berwudhu dan mencari air dalam contoh
inilah yang disebut hukum pendahuluan kepada yang wajib (muqaddimah
al-wajibah).
Sebaliknya, مادل على الحرام فهو حرام
“Segala jalan yang menuju
terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan”.
Misalnya, berzina adalah haram, maka
berkhalwat juga haram. Melihat aurat orang lain juga haram, karena bisa membawa
kepada perbuatan zina. Hukum haram terhadap berkhalwat dan melihat aurat ini,
menurut ulama UF, disebut sebagai hukum pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah
al-hurmah).
Terhadap hukum muqaddimah seperti
itu, para ulama sepakat untuk menerimanya, tetapi tidak sepakat jika hal
tersebut dikategorikan dalam kaidah zari’ah. Ulama Malikiyyah dan
Hanabilah memasukkannya dalam kaidah zari’ah dan mereka sebut dengan fath
az-zari’ah. Sedangkan ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan sebagian
Malikiyyah menyebutnya sebagai hukum muqaddimah, tidak
termasuk ke dalam kaidah zari’ah. Namun, mereka sepakat menyatakan bahwa hal
tersebut—baik dengan nama fathul-zari’ah maupun dengan nama muqaddimah—dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
©
Disusun oleh Imroatul Azizah, M.Ag, sebagai acuan mata kuliah Ushul Fiqh
Semester IV dan VI, STAI Sunan Giri Bojonegoro.
[1]
Pengertian ini dapat ditemukan dalam Surat Taha (20): 27-28, واحلل عقدة من
لسانى يفقهواقولى
juga dalam Hadis: من
يردالله به خيرايفقهه فى الدين“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi
seseorang, maka Ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam)”.
[2]
Titik temu kedua pengertian tersebut adalah sama-sama membahas dalil-dalil yang
bersifat ijmali/kulli agar dapat dikeluarkan hukum darinya (istinbat hukum).
[3]
Secara terminologi, hukum adalah: خطاب الله المعلق بافعال المكلفين اقتضاء
اوتحييرااووضعا “Tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab,
syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah, atau azimah.
[4]
Mengetahui UF merupakan syarat mutlak bagi seorang mujtahid, karena ia
merupakan alat atau keahlian khusus untuk istinbat hukum
(mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam
masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah). Untuk melakukan istinbat perlu dasar dan sistem yang
akurat, dan UF inilah ilmu sistem Hukum Islam dalam menetapkan hukum itu. Bagi
orang awam, UF berguna untuk menghindari taqlid (mengikuti
pendapat orang lain tanpa mengetahui alasannya). Hal ini jika UF dipergunakan
sebagaimana mestinya; yaitu mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal
yang pokok (pekerjaan mujtahid), atau dengan mengembalikan soal-soal cabang
kepada soal-soal pokok (pekerjaan muttabi’). Setidaknya setiap orang
mencapai derajat muttabi’, yaitu mengikuti pendapat para ahli dengan
memahami dan mendalami dasar dan alasannya. Lihat uraian lengkapnya dalam
Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh,
cet. 1 (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1986), p. 84.
[5]
Titik tolak para ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda; yang satu melihat dari
sudut maslahat (sebagaimana Sahabat Umar), sementara yang
lain menetapkan hukumnya melalui qiyas (sebagaimana Ali ibn
Abi Thalib). Ulama UF Iraq lebih dikenal dengan penggunaan Ra’yu;
dalam setiap kasus yang mereka hadapi, mereka berusaha mencari illat-nya,
sehingga dengan illat itu mereka menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan
hukum yang ada nash-nya. Sikap ini terjadi karena minimnya Hadis yang dapat
mereka temukan. Adapun ulama Madinah banyak menggunakan Hadis
karena mereka dengan mudah dapat melacak Hadis di daerah tersebut. Di sinilah
awal perbedaan dalam mengistinbatkan hukum di kalangan ulama fiqh.
[6]
Yang termasuk dalam aliran ini ialah kebanyakan ahli UF Syafi’iyyah dan
Malikiyyah. Kitab standar aliran ini adalah: ar-Risalah
karya Imam asy-Syafi’i, al-Mu’tamad karya Abu al-Husain Muhammad
ibn ‘Ali al-Bashri (w. 463H), al-Burhan fi Ushulil-fiqh karya
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 487H), dan tiga rangkaian karya Imam Abu Hamid
al-Ghazali (450-505/ 1058-1111 M), yaitu: al-Mankhul min
Ta’liqatil-Ushul, Syifa al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wal-Mukhil wa Masalik
at-Ta’lil dan al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul.
[7]
Kitab standar aliran ini adalah: Kitab al-Ushul karya Imam Abu
al-Hasan al-Karkhi, Kitab al-Ushul karya Abu Bakr al-Jashshash, Ushul
as-Sarakhsi karya Imam as-Sarakhsi, Ta’sis an-Nazhar
karya Imam Abu Zaid ad-Dabusi (w. 430H), dan Kasyf al-Asrar karya
Imam al-Bazdawi.
[8]
Para ulama UF menyatakan bahwa Hukum Islam seluruhnya berasal dari Allah, Rasul
hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas (al-mu’akkid wal-mubayyin)
hukum-hukum yang disampaikan Allah melalui wahyu-Nya; sekalipun terkadang
Rasulullah menetapkan hukum tertentu melalui Sunnahnya, ketika wahyu tidak
turun, akan tetapi, ketetapan Rasulullah ini juga tidak terlepas dari bimbingan
wahyu.
[9]
Dalam literatur UF ada pengelompokkan dalil menjadi: 1. adillah al-ahkam
al-muttafaq ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati, yang terdiri
dari al-Qur’an, Sunnah, ijma, dan qiyas. 2. adillah al-ahkam
al-mukhtalaf fiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan), yaitu istihsan,
istishhab, maslahah mursalah, urf, sadd az-zari’ah, mazhab shahabi, dan syar’u
man qablana. Pembagian ini—penetapan ijma dan qiyas sebagai dalil yang
disepakati—lebih didasarkan statusnya sebagai dalil di kalangan ahlussunnah,
karena ulama Zhahiriyyah menolak kehujjahan ijma dan qiyas.
Menurut mereka, terhadap pengertian ijma saja para ulama UF tidak sepakat.
Contoh asy-Syafi’i hanya menerima ijma apabila hukum ijma tersebut merupakan
konsensus para sahabat Rasul (Zahiriyyah juga menerima ijma seperti ini). Penolakannya
terhadap qiyas sesuai dengan prinsip mereka dalam memahami nash yang bersifat literal.
Ulama Syi’ah—Imamiyyah dan Zaidiyyah—juga menolak ijma dan qiyas,
karena bagi mereka ketika suatu hukum tidak ada ketentuannya dalam nash, maka
yang berhak menentukan hukum adalah imam mereka.
[10]
Nina M.Armando…(et al.), Ensiklopedi Islam, Edisi Baru (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2005), VIII: 45.
[11]
Bukti bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah adalah kemukjizatan yang dikandungnya
sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah, dan ramalan-ramalan masa
depan yang diungkap al-Qur’an.
[12]
Ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi,
tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah (keringanan hukum),
karena ketidakmampuan sebagian orang membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur’an,
terlebih lagi bagi yang baru masuk Islam.
[13]
Mutawatir: dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak
sampai sekarang. Mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta). Berbeda
dengan kitab-kitab samawi (yang datang dari Allah) lain yang ditujukan kepada
Rasul Allah sebelum Muhammad, sifatnya tidak mutawatir dan tidak dijamin
keasliannya. Oleh sebab itu, apabila tidak bersifat mutawatir, seperti al-qira`ah
asy-Syazzah/ القرءة الشاذة (bacaan yang cacat) dan Hadis (termasuk hadis
qudsi) tidak dinamakan al-Qur’an.
[14]
Mu’jizat al-Qur’an akan terlihat ketika: 1. ada tantangan dari berbagai pihak
untuk menandinginya, 2. ada unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan
tersebut, seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran
al-Qur’an dan kerasulan Muhammad saw., 3. tidak ada penghalang bagi munculnya
tantangan tersebut.
[15]
Persoalan yang muncul karena terbatasnya ayat al-Qur’an yang bersifat rinci ini
adalah terjadinya pertentangan antara pernyataan al-Qur’an sendiri yang
menyebutnya sebagai syari’at yang telah sempurna dengan kenyataan bahwa
hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an ada yang rinci dan ada yang global/umum.
Dalam kaitan dengan ini, para ulama UF menyatakan bahwa hukum-hukum global dan
umum yang dikandung al-Qur’an tersebut telah memberikan kaidah-kaidah,
kriteria-kriteria umum, dan dasar-dasar yang penting dalam pengembangan hukum
Islam itu sendiri, karena suatu Undang-undang itu harus bersifat singkat,
padat, tetapi juga fleksibel. Apabila al-Qur’an menurunkan seluruh peraturannya
secara rinci, maka justru akan membuatnya terbatas dan tidak bisa mengayomi
perkembangan dan kemajuan manusia. Oleh sebab itu, kaidah-kaidah dan
kriteria-kriteria umum yang diungkapkan al-Qur’an menjadi penting artinya dalam
mengantisipasi perkembangan dan kemajuan umat manusia di segala tempat dan
zaman.
[16]
Dengan ketiga unsur ini, maka seluruh permasalahan hukum dapat dijawab dengan
bertitik tolak kepada hukum rinci dan kaidah-kaidah umum al-Qur’an itu sendiri.
Di sinilah letak kesempurnaan al-Qur’an bagi umat manusia.
[17]
Ayat yang dimaksud: والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلثة قروء . Oleh sebab itu,
apabila kata ini diartikan dengan suci, sebagaimana dianut ulama Syafi’iyyah,
adalah boleh (benar), dan jika diartikan dengan haid juga boleh
(benar) sebagaimana dianut ulama Hanafiyyah.
[18]
Menurut ulama UF, Sunnah adalah: اقواله صلى الله عليه وسلم وافعاله وتقاريره
مما يتعلق به حكم بنا , sedangkan menurut ahli fiqh: ماطلب الشارع فعله من
المكلف طلبا غيرحتم . Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di antara
keduanya, disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap Sunnah.
Ulama UF, Sunnah dipandang sebagai salah satu sumber atau dalil hukum, sedang
ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu hukum taklif.
[19]
Para penutur Hadis (sanad) yang dinilai tidak bersepakat berdusta itu adalah
para periwayat Hadis pada tiga generasi, yaitu generasi Sahabat, tabi’in, dan
tabi’it-tabi’in, karena setelah itu adalah masa pembukuan Hadis yang secara
otomatis Hadis-hadis itu telah tersebar luas ke berbagai belahan dunia sampai
generasi sekarang. Hal ini dikatakan juga oleh Muhammad Sa’id Ramadhan
al-Buthi—guru besar UF Univ. Damaskus.
[20]
Sunnah Fi’liyyah ini dibahas secara khusus oleh ulama UF; apakah seluruh
perbuatan Rasulullah wajib diikuti umatnya?. Dalam kaitan ini, para ulama UF
membagi Sunnah Fi’liyyah kepada: 1. Perbuatan yang muncul dari
Rasulullah sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, duduk, dan pakaiannya.
Perbuatan seperti ini tidak termasuk Sunnah yang wajib diikuti oleh umatnya,
karena hal-hal ini muncul dari Rasul sebagai manusia biasa dengan tabiatnya.
Termasuk dalam hal ini adalah perbuatan yang ditunjukkan Rasul sebagai akibat
dari keahlian dan pengalaman hidupnya dalam persoalan duniawi, seperti dalam
perdagangan, pertanian, peperangan atau masalah pengobatan; 2. Perbuatan
yang dilakukan Rasulullah dan ada alasan yang menunjukkan bahwa perbuatan
itu khusus untuk dirinya, seperti shalat tahajud yang beliau lakukan setiap
malam, mengawani wanita lebih dari empat sekaligus, dan tidak menerima sedekah
dari orang lain. Perbuatan ini khusus untuknya dan tidak wajib diikuti; dan 3.
Perbuatan yang berkaitan dengan hukum dan ada alasannya, maka hukumnya
berkisar antara wajib, sunat, haram, makruh, dan boleh. Perbuatan seperti ini
menjadi syari’at bagi umat Islam.
[21]
Misalnya, kasus ‘Amr ibn al-‘Ash yang berada dalam keadaan junub (wajib
mandi) pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak mandi karena khawatir akan
sakit. Ia hanya bertayamum. Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi, Nabi
mengajaknya dialog dan akhirnya Rasul tidak berkomentar apapun. Kasus ini
dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamum bagi orang yang junub dalam
keadaan hari yang sangat dingin, sekalipun air untuk mandi ada. Lihat dalam
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, yang dikutipnya dari kitab Ushul
Fiqh karya Zakiyuddin Sya’ban, p. 39-40.
[22]
Tentang kehujjahan Hadis Ahad, ada banyak perbedaan pendapat. Dalam masalah aqidah,
ulama sepakat bahwa Hadis Ahad tidak bisa dijadikan landasan, tetapi dalam
masalah hukum, terjadi perbedaan pendapat yang disebabkan status Hadis
Ahad yang bersifat zhanni—dari segi periwayatan dan dalalahnya.
Jumhur ulama pada prinsipnya menerima, Hadis Ahad sebagai dasar hukum, hanya
saja dalam penerapannya ada yang mengemukakan syarat. Ulama Malikiyyah
dapat menerima Hadis Ahad jika tidak bertentangan dengan amalan penduduk
Madinah. Imam Malik mengatakan, tidak sesuainya suatu Hadis dengan amalan
penduduk Madinah menandakan bahwa Hadis itu adalah palsu. Contohnya, dalam jual
beli tidak ada khiyar majlis, karena Hadisnya Ahad dan
bertentangan dengan amalan Madinah; Membaca salam dalam shalat cukup satu
kali yaitu ketika menghadap ke kanan (padahal dalam Hadis riwayat Ahmad
ibn Hanbal, Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam ke kiri dan ke kanan).
Ulama Syafi’iyyah menerima sepenuhnya Hadis Ahad sebagai landasan
hukum apabila sahih dan muttasil (hanya hadis mursal tertentu
yang diterima). Sedang ulama Hanafiyyah menerima Hadis Ahad
dengan tiga syarat: 1. Penerima Hadis itu tidak beramal atau memberi fatwa yang
bertentangan dengan kandungan Hadis itu. Misalnya Abu Hurairah meriwayatkan,
اذا ولغ الكلب اناء احدكم فليغسله سبع
مرات اولاهن بالتراب
sementara dia sendiri berfatwa bahwa
untuk membersihkan bejana yang dijilat anjing hanya sebanyak 3 kali,
sebagaimana yang diriwayatkan ad-Daruqutni (Hanafiyah memilih pendapat ini); 2.
Hadis Ahad itu tidak menyangkut kepentingan orang banyak dan dilakukan oleh
orang banyak secara berulang-ulang, karena dalam hal seperti itu tidak mungkin
disampaikan Rasul kepada satu atau dua orang saja. Berdasarkan prinsip ini
Hanafiyyah tidak mengangkat tangan mereka dalam shalat ketika akan ruku’
dan I’tidal, walaupun Hadisnya ada, tapi Ahad dan kemungkinan palsu,
karena ini menangkut penjelasan shalat yang tidak mungkin diabaikan oleh Rasul,
begitu juga mereka tidak mengeraskan bacaan ‘bismillahirrahmanirrahim
dalam al-fatihah, karena Hadisnya Ahad; 3. Perawi Hadis itu harus seorang faqih
(ahli fiqh), dan Hadis itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah
umum syari’at Islam. Alasannya, Hadis itu mayoritasnya diriwayatkan hanya
dengan maknanya saja, sehingga kemungkinan terjadinya perubahan makna dari
perawi yang bukan faqih sangat besar, sehingga yang disampaikan tidak utuh.
Para perawi yang bukan faqih menurut mereka adalah Abu Hurairah, Anas ibn
Malik, Salman al-Farisi, dan Bilal ibn Abi Rabah. Namun konsistensi
Hanafiyyah dengan prinsipnya ini dipertanyakan para ulama. Zakiyuddin
Sya’ban (ahli UF dari Mesir) mengemukakan ketidak-konsisten-an ulama
Hanafiyyah. Misalnya terhadap Hadis riwayat Abu Hurairah (menurut mereka bukan
faqih)
من نسي وهو صا ئم فاكل وشرب فليتم
صومه فاءنما اطعمه الله وسقاه
– رواه البخاري ومسلم-
Ulama Hanafiyyah menerima Hadis ini,
bahkan Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan “Kalaulah bukan karena adanya
Hadis ini, saya akan mengamalkan kaidah umum (qiyas)”.
[23]
Yang dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam Hadis
tersebut, menurut Jumhur ulama adalah Sunnah Rasulullah saw.
[24]
Terdapat perbedaan pendapat, apakah Sunnah Rasul boleh menetapkan hukum baru?
Menurut Jumhur ulama, Rasulullah boleh menetapkan hukum baru.
Dalam hubungan inilah, umat Islam diperintahkan taat kepada Rasul dan ketaatan
kepadanya sebanding dengan ketaatan kepada Allah. Contoh hukum baru: tidak
bolehnya mengawini seorang wanita sekaligus dengan bibi; tidak boleh memakan
daging himar kampung (yang dijadikan tunggangan/pembawa beban) dan binatang
buas. Sebagian ahli UF mengatakan bahwa Rasulullah tidak boleh
menetapkan hukum yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an. Karena menurut mereka
seluruh hukum yang ditetapkan Rasulullah ada dasarnya dalam al-Qur’an, baik
dasarnya itu melalui qiyas, kaidah kemaslahatan, atau kaidah-kaidah umum yang
ada dalam al-Qur’an. Jika demikian, maka hukum-hukum tambahan yang dibuat
Rasulullah tidak terlepas sama sekali dengan kandungan al-Qur’an. Atas dasar
inilah, Muhammad Abu Zahra, Abdul Wahhab Khallaf dan Ali Hasaballah—ketiganya
pakar UF dari Mesir—mengatakan bahwa pada dasarnya hukum-hukum tambahan yang
dibuat Rasul melalui Sunnahnya tidak terlepas sama sekali dari kandungan atau
makna umum yang dikandung al-Qur’an. Misalnya larangan memadu bibi, adalah
qiyas terhadap an-Nisa (4):23, وان تجمعوا بين الاختين الاماقدسلف
[25]
Muhammad Abu Zahrah menambahkan di akhir definisi tersebut
kalimat: “yang bersifat amaliyah”. Hal tersebut mengandung pengertian
bahwa ijma hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’
(amaliyah praktis). Menurut rumusan jumhur ulama, mujtahid yang melakukan ijma,
tidak perlu seluruh mujtahid, tetapi cukup mujtahid yang hidup pada masa
tertentu, sehingga para mujtahid pada setiap masa/ generasi boleh melakukan
ijma. Namun, bila pada suatu masa ketika dilakukan ijma ada di antara mujtahid
yang tidak setuju dengan hukum yang ditetapkan tersebut, maka hukum yang
dihasilkan itu tidak dinamakan ijma.
[26]
Menurut Abdul Wahab Khallaf, Ijma seperti itu sulit jika
diserahkan kepada perorangan, tetapi mungkin terjadi kalau dilaksanakan oleh
pemerintah Islam. Masing-masing ditentukan syarat-syarat yang harus dimiliki,
kemudian ditanya pendapatnya. Apabila para mujtahid telah menyatakan
pendapatnya dan kebetulan pendapatnya itu sama, maka pendapat itu menjadi ijma
dan hukum yang di-ijma-kan itu menjadi hukum syara yang wajib diikuti oleh kaum
muslimin.
[27]
Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam
kitab-kitab fiqh ungkapan ijma, maka yang mereka maksudkan kemungkinan ijma
sukuti atau ijma kebanyakan ulama, bukan ijma sebagaimana yang didefinisikan
para ahli UF.
[28]
Ulama klasik lainnya, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, tidak
sependapat. Menurutnya jika ada yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma
terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada
mujtahid yang tidak setuju; sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma. Jika ada
yang bertanya, apakah ijma itu ada dan secara aktual terjadi, menurutnya,
jawaban yang paling tepat adalah “kami tidak mengetahui ada mujtahid yang
tidak setuju dengan hukum ini”. Di samping itu, Imam Syafi’i, Ahmad
ibn Hanbal, ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (keduanya ahli
fiqh Hanbali), tidak menerima ijma kecuali ijma’ yang dilakukan para sahabat.
[29]
Alasan Jumhur adalah: 1. ayat ke-59 Surat an-Nisa’. Ulil amri dalam ayai
ini bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan
pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, Negara dan perangkatnya). Ibn
Abbas menafsirkan ulil amri dengan para ulama; 2. Hadis “ امتي
لاتجتمع على الخطاء atau Hadis “لاتجتمع امتي على ضلا لة “.
[30]
Menurut an-Nazzam, ijma yang digambarkan jumhur ulama itu, tidak
mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan seluruh mujtahid pada satu
masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk membahas dan menyepakati suatu
kasus. Selain itu masing-masing daerah mempunyai struktur sosial dan budaya
yang berbeda. Bagi kalangan Syi’ah, ijma tidak bisa mereka terima
sebagai hujjah, karena pembuat hukum bagi mereka adalah imam yang mereka anggap
ma’sum. Ulama khawarij dapat menerima ijma sahabat sebelum
terjadinya perpecahan politik (setelah perpecahan politik, mereka yang tidak
sepaham/ tidak seiman dengan mereka, dipandang bukan mukmin, padahal ijma harus
disepakati oleh seluruh muslim).
[31]
Mayoritas ulama UF mengatakan bahwa landasan ijma itu bisa dari dalil qath’i
maupun zhanni. Alasan mereka adalah ijma sahabat tentang mandi wajib setelah
bersetubuh, yang berlandaskan Hadis Ahad; penetapan Abu Bakar sebagai
khalifah dengan mengqiyaskan kepada sikap Nabi yang menunjukknya sebagai
imam shalat; ijma sahabat tentang haramnya lemak babi yang dianalogikan kepada
daging babi, dan hukuman dera 80 kali bagi peminum khamr. Sedangkan ulama Zhahiriyyah,
Syi’ah, dan ibn Jarir at-Thabari mengatakan bahwa landasannya harus
qath’i.
[32]
Malikiyyah dan Syafi’iyyah beralasan bahwa ijma sukuti adalah
pendapat pribadi yang disebarluaskan, dan mujtahid lainnya diam saja.Diamnya
ini tidak dapat ditafsirkan sebagai tanda persetujuannya, karena diamnya itu
mungkin disebabkan kondisi pribadi dan lingkungan yang mereka hadapi. Oleh
karena itu, posisi ijtihad yang dilakukan seorang atau sekelompok mujtahid itu
tidak lebih dari ijtihad yang sifatnya dhanni (relatif) dan tidak
wajib diikuti mujtahid lain, karena itu pula maka tidak dikatakan ijma.
[33]
Alasan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah, menurut Muhammad Abu Zahra
adalah: 1. diamnya (as-sukut) para ulama itu setelah mengetahui,
mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dari berbagai segi. Adalah wajib
bagi para ulama untuk mempelajari hasil ijtihad yang diungkapkan di zaman
mereka, jika ternyata diam , maka hal itu menunjukkan persetujuannya.
Karenanya, para ulama UF sepakat menyatakan: السكوت فى موضع البيان
بيان “Diam (saja) ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai
penjelasan (atas persetujuan mereka)”; 2. adalah tidak dapat diterima
akal, jika para ahli fatwa diam saja ketika mendengar fatwa ulama lain; Ulama
lain harus mempelajari, menganalisis dan membantah suatu fatwa apabila ternyata
tidak sejalan dengan nash atau metode yang digunakan tidak sesuai
dengan metode yang ada.
[34]
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari
hasil penelitian dan pembahasan secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat
yang memabukkan, seperti yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah
yang menjadi penyebab diharamkannya khamr, sehingga hukum bir dan wisky
sama dengan khamr karena mempunyai kesamaan illat, yaitu memabukkan.
[35]
Dalam al-Baqarah (2): 282 dikatakan bahwa sekurang-kurangnya saksi adalah dua
orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Hukum
kesaksian secara khusus ini tidak dapat dikembangkan dan diterapkan kepada
far’u, kerena hukum ini hanya berlaku untuk pribadi Khuzaimah. Demikian juga
hukum-hukum yang dikhususkan untuk Rasulullah, seperti kawin lebih dari empat
orang tanpa mahar.
[36]
Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum men-zhihar wanita dzimmi kepada
men-zhihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri.
Karena keharaman terhadap muslimah bersifat sementara, sampai suami membayar
kaffarat. Sedangkan terhadap dzimmi, keharaman itu bersifat selamanya, karena
orang kafir tidak dibebani membayar kafarat dan kafarat merupakan ibadah.
Apabila qiyas ini diterapkan, maka menurut Hanafiyah, hukum ashl
bisa berubah dan ini tidak boleh. Oleh karena itu men-zhihar dzimmiyyah juga
tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyyah, hukumnya sah
karena orang dzimmi boleh dikenakan kaffarat.
[37]
Contoh illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada
khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit
atau banyak, apabila diminum hukumnya haram. Sesuai Hadis: كل مسكر
خمروكل خمرحرام –رواه عبدالله ابن عمر- . Illat yang ada pada wisky sama
zatnya/ materinya dengan illat yang ada pada khamr. Sedangkan contoh illat yang
jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishash atas perbuatan
sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishash dalam pembunuhan, karena
keduanya sama-sama perbuatan pidana. Jika illat keduanya tidak sama, maka jika
terjadi qiyas, disebut qiyas ma’al-fariq/ القياس مع الفارق
(qiyas yang bersifat paradok).
[38]
Artinya tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu
bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu
bisa bertentangan dengan nash atau ijma (Qiyas fasid= qiyas yang rusak).
Misalnya mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum
bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan
nash atau ijma.
[39]
Ayat ini berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadir
disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah saw. Di akhir ayat, Allah
memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran).
[40]
Dalam Hadis lain Rasulullah juga menggunakan metode qiyas dalam menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya, seperti anak menghajikan orangtuanya
(diqiyaskan dengan kewajiban membayar hutang), dan bolehnya mencium istri di
siang hari puasa (yang diqiyaskan kepada berkumur-kumur).
[41]Bahkan
menurutnya, Umar ibn al-Khattab pernah berkata “Hindarilah
orang-orang yang mengemukakan pendapatnya tanpa alasan, karena mereka itu
termasuk musuh Sunnah dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas”. Kisah
ini diriwayatkan oleh Qasim ibn Muhammad, yang menurut para ahli
Hadis, periwayatannya munqati’ (terputus para penuturnya).
[42]
Menurut Mu’tazilah, illat itulah yang menyebabkan hukum itu
disyari’atkan, sehingga suatu hukum tidak tergantung kepada Syari’
(tetapi kepada illatnya). Contoh dalam kasus pembunuhan disengaja, menurut al-Ghazali,
wajibnya qisas itu disebabkan adanya perbuatan membunuh yang dilakukan. Akan
tetapi qisas sendiri pada hakikatnya merupakan kehendak Allah, bukan semata-mata
karena perbuatan membunuh itu sendiri. Sedangkan menurut Mu’tazilah,
pembunuhan sengaja secara logika, menjadi penyebab wajibnya seseorang diqisas.
Dalam hal ini tidak perlu campur tangan Syari’, karena
berdasarkan akal saja hal ini telah dapat diketahui.
[43]Illah
Mansusah adalah illat yang dikandung langsung oleh nas. Misalnya dalam
sebuah hadis riwayat Imam as-sittah: نهيتكم عن ادخارلحوم
الاضاحى لاجل الدافة كنت. Adapun illat mustanbathah
adalah illat yang digali dari nas sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentukan
dan kaidah-kaidah bahasa arab. Misalnya, menjadikan perbuatan mencuri sebagai
illat bagi hukuman potong tangan. Artinya mujtahid menggali dan berusaha
memahami keterkaitan antara hukum potong tangan dengan sifat, yaitu pencurian,
baru disimpulkan. Kedua macam illat ini dapat dijadikan sebagai sifat dalam
menentukan hukum syara’. Selanjutnya illat muta’addiyah adalah
illat yang ditetapkan nas dan bisa diterapkan pada kasus hukum lainnya.
Misalnya illat memabukkan pada khamr = dalam wisky; sedangkan illat
Qasirah adalah illat yang terbatas pada suatu nas saja, tidak terdapat
dalam kasus lain, baik itu mansusah maupun mustanbathah. Misalnya ulama Malikiyyah,
Syafi’iyyah, Hanabilah, dan mayoritas ahli kalam, menyatakan bahwa illat riba
dalam memperjualbelikan barang yang sejenis adalah nilainya. Illat ini
diperselisihkan dalam menetapkan hukum. Menurut Jumhur, illat
seperti ini pun dapat dijadikan sifat dalam menentukan hukum lain, tetapi bukan
qiyas, sedangkan menurut Hanafiyyah, tidak bisa, karena sifatnya
terbatas hanya pada nas itu saja.
[44]
Qiyas al-aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih
kuat daripada hukum ashl, karena illat yang terdapat pada furu lebih kuat
dari yang ada pada ashl. Misalnya mengqiyaskan memukul kepada
ucapan “ah”, karena illat larangan dalam al-Isra ayat 23 adalah menyakiti
orang tua; Qiyas al-musawi, yaitu hukum pada furu’
sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas illat
pada keduanya juga sama. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim
kepada memakan hartanya secara tidak wajar, karena sama-sama menghabiskan
harta mereka (an-Nisa [4]: 2); Qiyas al-adna, yaitu illat yang
ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada ashl.
Misalnya mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl,
karena keduanya mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan; Qiyas
al-jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nas bersamaan
dengan hukum ashl (seperti mengqiyaskan memukul orang tua kepada ucapan
‘ah’) atau nash tidak menetapkan illatnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada
pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’ (seperti mengqiyaskan budak
perempuan kepada budak laki-laki dalam masalah memerdekakan budak. Beda jenis
kelamin, tetapi perbedaan ini tidak berpengaruh. Begitu pula dalam kebolehan
meng-qashar shalat bagi musafir perempuan/ laki-laki); Qiyas al-khafi,
yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan
dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan
hukuman qishash, karena illatnya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur
permusuhan. Qiyas ini = qiyas al-adna, karena pembunuhan dengan benda
tajam lebih kuat; Qiyas al-Muassir, yaitu qiyas yang menjadi
penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma
(misal, mengqiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada
hak perwalian atas hartanya, dengan illat ‘belum dewasa’= hasil ijma) atau
qiyas yang ain sifat—sifat itu sendiri—yang menghubungkan ashl
dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri (mengqiyaskan minuman keras
yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamr—dibuat dari anggur—dengan
illat sama-sama memabukkan; Qiyas al-mula’im, yaitu yang illat
hukum ashlnya mempunyai hubungan yang serasi, seperti mengqiyaskan pembunuhan
dengan benda berat kepada benda tajam; Qiyas al-ma’na atau qiyas
pada makna ashl, yaitu qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan illatnya, tetapi
antara ashl dan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu seakan-akan ashl,
seperti tentang membakar harta anak yatim tadi; Qiyas al-illat,
yaitu yang dijelaskan illatnya dan illat itu sendiri merupakan motivasi bagi
hukum ashl, seperti mengqiyaskan nabidz—minuman keras terbuat
dari selain anggur—karena kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan
yang kuat, baik pada ashl maupun furu; Qiyas ad-dalalah, yaitu
qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi
illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya illat. Misalnya
mengqiyaskan nabidz dengan alasan ‘bau menyengat’ yang menjadi akibat langsung
dari sifat memabukkan; Qiyas al-ikhalah, yaitu yang illatnya
ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah (diduga bahwa suatu sifat itu
merupakan illat hukum, atau mengandung maslahat); Qiyas asy-Syabh
yang illatnya ditetapkan melalui metode Syabah (sifat yang mempunyai
keserupaan, baik dominan dalam hukum dan sifat [hamba sahaya disamakan dengan
harta karena statusnya yang dapat dimiliki atau dengan orang merdeka] maupun
semata-mata kesamaan bentuk, misalnya kuda dan keledai dalam kaitannya dengan
masalah zakat), dan seterusnya. Baca dalam Nasrun Haroen, Op.Cit.
p. 95-98.
[45]
Kedua definisi ini sesuai dengan azas istihsan, yaitu adanya dictum hukum yang
menyimpang dari kaidah yang berlaku, karena ada faktor lain yang mendorong agar
keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu, yang dipandang justru akan lebih
dekat kepada tujuan syara’, dibandingkan jika tetap terpaku dan berpegang teguh
pada kaidah di atas. Sehingga dengan demikian, berpegang pada istihsan dalam
pemecahan kasus itu lebih kuat daripada menggunakan dalil qiyas. Asy-Syatibi
menambahkan bahwa hakikat istihsan itu adalah mendahulukan maslahah mursalah
dari qiyas, namun tidak berarti istihsan semata-mata didasarkan kepada logika
dan hawa nafsu, melainkan didasarkan kepada dalil yang lebih kuat. Dalil yang
menyebabkan pemalingan ini adalah nas, ijma, urf, dan adakalanya melalui
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan. Dengan demikian,
kaidah istihsan merupakan penerapan kaidah maslahah yang didukung oleh syara’
melalui induksi sejumlah nas, bukan oleh nas yang parsial. Lihat asy-Syatibi, al-Muwafaqat,
IV: 206 dan 208.
[46]
Istihsan al-Qiyas, yaitu meninggalkan qiyas jali ke qiyas khafi,
karena jika tetap berpegang pada qiyas jali, akan ada dampak negatifnya,
menyulitkan, dan meninggalkan maslahah. Contoh, menurut kesimpulan qiyas jali,
hak pengairan yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak
dianggap ikut diwakafkan, kecuali jika ditegaskan dalam ikrar wakaf. Hal ini
karena ini disamakan dengan akad/ praktek jual beli karena
sama-sama menghilangkan milik (dalam jual beli, hak pengairan tidak termasuk
dalam obyek jual). Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada
kemaslahatan, hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf,
meskipun tidak ditegaskan waktu ikrar wakaf karena diqiyaskan kepada sewa
menyewa dengan persamaan illat (sama-sama untuk diambil manfaatnya).
Dilihat dari segi manfaatnya itu, qiyas ke-2 ini lebih kuat pengaruh hukumnya
karena sejalan dengan tujuan disyari’atkannya wakaf, yaitu untuk diambil
manfaatnya; Istihsan al-istisna’i, yaitu pengecualian dari suatu
kaidah umum karena ada kondisi khusus yang menghendaki; Istihsan bin-nas
maksudnya ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum. Misalnya, dalam masalah wasiyat. Menurut ketentuan umum,
wasiyat itu tidak boleh jika sifat pemindahan hak milik itu terjadi ketika
orang yamg berwasiyat tidak cakap lagi (sudah meninggal) tetapi kaidah umum ini
dikecualikan melalui an-Nisa (4): 11, من بعد وصية يوصى بهااودين .
Berdasarkan ayat ini, kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah wasiyat. Dari
sunnah Rasul seperti hukum orang berpuasa yang lupa makan di siang hari dengan
tidak sengaja; Istihsan bil-ijma/ didasarkan pada ijma. Misalnya,
ketetapan ijma tentang sahnya akad istisna (pesanan). Menurut qiyas, semestinya
akad itu batal, sebab obyek akad tidak ada ketika akad dilangsungkan.
Memperjualbelikan benda yang belum ada dilarang dalam hadis (HR. Abu Dawud),
namun hal ini dibolehkan sebagai pengecualian, karena transaksi ini sudah
dikenal luas dan tidak diingkari para ulama, maka dipandang sebagai ijma yang
dapat mengalahkan dalil qiyas; Istihsan bil-maslahah, misalnya
ketentuan umum menetapkan bahwa buruh pabrik tidak bertanggung jawab atas
kerusakan produk kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka. Namun demi
kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung
jawab dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja dalam keamanan produk, maka
ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus
bertanggung jawab atas kerusakan produk. Ulama Malikiyyah mencontohkannya
dengan bolehnya dokter melihat aurat dalam berobat; Istihsan bil-urf,
contohnya dalam kasus pemandian umum. Mestinya, jasa pemandian itu harus jelas
ketentuan lamanya mandi dan berapa air yang digunakan. Akan tetapi jika hal ini
diterapkan, akan menyulitkan banyak orang; Istihsan bid-darurat,
misalnya dalam kasus sumur yang kejatuhan najis. Secara umum sumur itu sulit
untuk dibersihkan dengan menguras habis sumur itu, maka cukup dengan
menambahkan sejumlah air, karena darurat menghendaki kemudahan orang
memanfaatkan sumur itu.
[47]
Dalam hal ini, Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa kaidah istihsan
merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan hadis yang secara keseluruhan
menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini didukung oleh syara’. Dalam persoalan
mudarabah, menurut kaidah umum akad ini tidak diperbolehkan,
karena obyek akad ini sesuatu yang belum ada dan imbalan bagi pengelola modal
pun masih bersifat spekulatif. Akan tetapi, demi menghindari kesulitan dan
untuk kepentingan orang banyak, akad ini dibolehkan. Menjamak shalat pun,
apabila mengikuti kaidah umum, tidak boleh. Karena menjamak berarti mengerjakan
salah satu shalat tidak pada waktunya, sedangkan penyebab wajibnya shalat
adalah datangnya waktu. Akan tetapi demi kepentingan musafir, syara’
membolehkannya. Dari sekumpulan peristiwa itulah dirumuskan kaidah istihsan.
Jadi istihsan tidak didasarkan kepada akal semata, tetapi juga kepada nas dan
ijma.
[48]
Imam asy-Syatibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak
dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena keduanya
apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara dia atas termasuk ke
dalam konsep maslahah. Dengan demikian, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang
hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
[49]
Memeluk agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bias dipungkiri dan
sangat dibutuhkan manusia, untuk kebutuhan tersebut Allah mensyari’atkan agama
yang wajib dipelihara, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun
muamalah; hak hidup merupakan hak paling asasi. Allah mensyari’atkan qisas;
akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang menjalani hidup dan
kehidupan. Untuk menjaganya Allah melarang minuman keras; berketurunan
merupakan masalah pokok untuk memelihara kelangsungan manusia, untuk memelihara
dan melanjutkan keturunan tersebut Allah mensyari’atkan nikah dengan segala hak
dan kewajiban yang diakibatkan; manusia tidak bias hidup tanpa harta. Untuk
mendapatkannya, Allah mensyari’atkan berbagai ketentuan dan untuk memelihara
harta, Allah mensyari’atkan hukuman pencuri dan perampok.
[50]
Dalam bidang ibadah, diberi keringanan qasar shalat dan berbuka
puasa bagi musafir; dalam bidang muamalah dibolehkan berburu
binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan jual-beli pesanan (bai
as-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan
(musaqah). Semua ini disyari’atkan untuk mendukung al-masalih al-khamsah di
atas.
[51]
Pembagian dari tetap/ tidaknya maslahah ini, menurut Muhammad Musthafa
asy-Syalabi (Guru Besar UF di Univ. al-Azhar Mesir) dimaksudkan untuk
memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
[52]
Contoh lain dari bentuk kemaslahatan yang didukung syara adalah seorang pencuri
dikenakan hukuman keharusan mengembalikan barang yang ia curi kepada
pemiliknya, apabila masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya,
apabila barang yang dicuri itu telah habis. Hukuman ini dianalogikan kepada hukuman
bagi orang yang mengambil harta orang lain tanpa ijin (ghasab).
Sesuai sabda Rasul: على اليد مااخذت حتى تؤديه Wajib bagi seseorang
yang mengambil (barang orang lain tanpa ijin) untuk mengembalikannya (HR.
Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i dan Ibn Majah).
[53]
Najm ad-Din at-Tufi (675-716 H/ 1276-1316 M, ahli UF Hanbali),
tidak mengklasifikasi maslahah tersebut. Menurutnya, maslahah merupakan dalil
yang bersifat mandiri dan menemppati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum
syara, baik maslahah itu mendapat dukungan dari syara maupun tidak.
Pandangannya ini sangat bertentangan dengan paham mayoritas ulama UF yang
menyatakan bahwa maslahah—apapun bentuknya—harus mendapat dukungan dari syara,
baik melalui nash tertentu maupun melalui makna yang dikandung oleh sejumlah
nash. Pendapatnya tentang konsep maslahah bertolak dari hadis: لاضرر ولاضرار
فى الاسلام
“Tidak boleh memudaratkan dan tidak
boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)”.
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah
maslahah bagi manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyari’atkan dan
kemaslahatan itu tidak perlu mendapat dukungan nash. Ada 4 prinsip yang
membedakan at-Tufi dengan jumhur ulama berkaitan dengan maslahah: 1.
akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam bidang
muamalah dan adat; untuk menentukan sesuatu—termasuk maslahah/ tidak—cukup
dengan akal. 2. maslahah adalah dalil mandiri dalam menetapkan
hukum; untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung. 3.
maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaaan. Adapun dalam
masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syara, seperti dhuhur 4 rakaat,
puasa selama satu bulan, tidak termasuk obyek maslahah, karena masalah-masalah
seperti ini merupakan hak Allah semata. 4. maslahah merupakan
dalil syara paling kuat. Apabila nas atau ijma bertentangan dengan maslahah,
maka didahulukan maslahah dengan cara takhsis dan bayan
(perincian/ penjelasan).
[54]
Artinya untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum; ada ayat, hadis atau ijma
yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan
illat—motivasi hukum—dalam penetapan suatu hokum, atau jenis sifat yang menjadi
motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nas sebagai motivasi suatu hukum. Misalnya,
sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasulullah pernah
ditanya tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak.
Rasul bersabda: ان رسول الله ص.م. قال عن الهرة: انهاليست بنجس انماهي من
الطوافين عليكم والطوافات
“Kucing itu tidak najis, karena
sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi
kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu”.
Sifat itu jelas, yaitu tawwaf (hewan yang senantiasa berada di
rumah, tidur di rumah dan sulit dipisahkan. Oleh karena itu sisa makanannya
juga tidak najis. Jadi, tawwaf merupakan motivasi dari hukum taharah
(suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di
rumahnya. Adapun contoh jenis sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu
hukum adalah Rasulullah saw melarang pedagang menghambat para petani di
perbatasan kota dengan maksud membeli barang mereka, sebelum petani tahu harga
pasar (HR. al—Bukhari dan Abu Dawud). Larangan ini dimaksudkan untuk
menghindari “kemudaratan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga. Sifat
yang membuat larangan ini adalah adanya “kemudaratan” dan aspek
kemudaratan ini berpengaruh kepada hukum jual beli. Jenis “kemudaratan” seperti
itu juga terdapat pada masalah lain, seperti masalah dinding rumah yang hampir
roboh ke jalan. Oleh sebab itu, motivasi hukum dalam masalah dinding ini dapat
dianalogikan kepada jenis motivasi hukum dalam masalah jual beli tadi, yaitu
sama-sama memberi mudarat..
[55]
Menurut Malikiyyah dan Hanabilah, maslahah al-mursalah dapat
menjadi dalil dengan 3 syarat: 1. kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak
syara dan termasuk jenis kemaslahatan yang didukung nas secara umum; 2.
kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga
hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan
manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan; 3. kemaslahatan itu
menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok
kecil tertentu.
[56]
Kemaslahatan Hajiyah dapat menjadi daruriyyah apabila menyangkut kepentingan
orang banyak.
[57]
Contohnya Umar ibn al-Khattab tidak memberi bagian zakat kepada
para mu’allaf, karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu.
Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar sebagai salah
satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menulis al-Qur’an pada satu
logat bahasa di zaman Usman ibn Affan demi memelihara tidak terjadinya
perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.
[58]
Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat
manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkannya,
sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik
seseorang/ pemerintah. Hal ini berdasar al-Baqarah (2): 29,”Dialah yang
telah menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi…”; Memanfaatkan
perhiasan dan mencari rizki yang baik merupakan hak setiap orang dan halal,
selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hukum boleh dan halal itu
telah berubah.
[59]Terhadap
kehujjahan istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat. Ibn
al-Qayyim menyatakan dapat dijadikan hujjah. Al-Gazali,
menyatakan dapat dijadikan hujjah bila didukung oleh nas atau dalil;
Istishab tidak dapat dijadikan alasan berdasarkan anggapan saja
bahwa tidak ada dalil lain yang membatalkan suatu hukum. Ulama Hanafiyyah
berpendapat bahwa istishab seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk
menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, tapi tidak bisa untuk hukum
yang belum ada (akan datang). Sedangkan ulama Malikiyyah menolak
istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu
terhadap wudhunya. Dalam kasus ini, istishab tidak berlaku. Karenanya, apabila
seseorang sedang shalat, merasa ragu atas wudhunya, maka shalatnya batal dan ia
harus wudhu lagi.
[60]
Misalnya dalam al-Baqarah (2): 267: ياايها الذين امنوا انفقوا من الطيبت
ماكسبتم ومما اخرجنا لكم من الارض
Kalimat “nafkah” seluruh hasil usaha
dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari “sumber daya alam” tersebut bersifat
umum, baik nafkah wajib itu berbentuk zakat, nafkah keluarga, maupun kaum
kerabat. Kalimat “hasil usaha” dan “hasil eksploitasi bumi” juga umum, yaitu
seluruh jenis eksploitasi bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut Jumhur
Ulama, tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya, dan
ini dinamakan istishab. Tetapi sebagian ulama UF yang lain, seperti Imam
al-Haramain al-Juwaini dan Imam asy-Syaukani, hal-hal seperti ini tidak
dinamakan istishab, tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah
yang menyatakan: “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan
keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya”. Adapun contoh istishab
dengan nas selama tidak ada yang me-naskh-kannya adalah kewajiban berpuasa
dalam al-Baqarah (2): 183. kewajiban puasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi
umat sebelum Islam, tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas,
selama tidak ada nas lain yang membatalkannya.
[61]
Akibat hukum dari perbedaan pendapat di atas, dapat dilihat dalam kasus mafqud
(orang hilang yang telah melalui masa bertahun-tahun tidak diketahui keadaan
sebenarnya, apakah masih hidup atau sudah wafat). Menurut Malikiyyah dkk—kelompok
ketiga–, mafqud berhak menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf. Bagiannya
tersebut dan juga hartanya harus disimpan sampai keadaannya diketahui hidup
atau mati. Jika mati, baru boleh diberikan kepada ahli warisnya. Akan tetapi
ulama Hanabilah membatasi hal tersebut sampai empat tahun setelah
kepergiaannya. Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, mafqud tidak
bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan
hidup, namun harta mereka belum dapat dibagikan, sampai keadaan orang itu
benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah
wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini karena istishab bagi mereka
hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa
dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris,
wasiat, hibah, dan wakaf)
[62]
Para ulama UF membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya
sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan
dengan: الامر المتكرر من غير علاقة عقلية
“sesuatu yang dikerjakan secara
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. Artinya bila suatu pekerjaan dilakukan secara
berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Adat mencakup
persoalan yang amat luas, baik pribadi (seperti kebiasaan tidur, makan, dan
mengkonsumsi jenis makanan tertentu), maupun permasalahan yang menyangkut orang
banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan
buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab yang alami, seperti cepatnya anak
menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis,
dan sebaliknya di daerah dingin. Adat juga dapat muncul dari hawa nafsu dan
kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana juga adat bisa muncul dari
kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh
budaya asing. Adapun ‘urf menurut ulama UF adalah: عادة جمهورقوم فى قول
اوفعل “Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”.
Berdasarkan definisi ini, Musthafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh di
Univ. Amman, Jordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari
adat. Suatu ‘urf, menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah
tertentu (bukan pada pribadi atau kelompok tertentu) dan urf bukanlah kebiasaan
alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu
pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaaan mayoritas masyarakat pada daerah
tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu
perkawinan biasa diambil dari mas kawin dan penetapan ukuran tertentu dalam
penjualan makanan. Dan yang dibahas di sini adalah ‘urf, bukan adat.
[63]
Para ulama sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan,
banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Begitu juga dengan Hadis Rasul, seperti hadis jual beli pesanan. Ketika Rasul
hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan jual beli
tersebut. Lalu Rasul bersabda: من اسلف فى تمر فليسلف فى كيل معلوم ووزن معلوم
الى اجل معلوم
“Siapa yang melakukan jual beli
salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang
waktunya (HR. al-Bukhari).
Ulama Malikiyyah
banyak menetapkan hukum dengan berdasarkan pada perbuatan-perbuatan penduduk
Madinah. Ini berarti menganggap apa yang telah berlaku pada masyarakat dapat
diterima, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara. Perbuatan penduduk
Madinah tentu tidak akan menyimpang dari syara; Imam Syafi’i
terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya, karena melihat praktek yang
berlaku dalam masyarakat Bagdad dan Mesir berlainan.
[64]
Kaidah ini hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan adat
kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad, seperti
qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Adapun hukum-hukum yang bersifat
mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath’i, tidak berubah karena perubahan
zaman dan tempat, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya riba.
[65]
وعلى الذين هادوا حرمنا كل ذي ظفر ومن البقر والغنم حرمنا عليهم شحومهما الا ما
حملت ظهورهما اوالحوايا اومااختلط بعظم ذالك جوجزينهم ببغيهم وانا لصادقون.
[66]
Sahabat adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman
kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu panjang, dijadikan
rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasul,
sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat”. Atau dengan lebih singkat,
sahabat adalah orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta hidup
bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
[67]
Imam al-Gazali mengatakan, “Terhadap pendapat orang yang tidak
terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan
hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma’sum. Para sahabat sendiri sepakat
untuk berbeda pendapat, sehingga Abu BAkar dan Umar ibn Khattab membiarkan saja
orang-orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka menganjurkan agar
setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing”.
[68]
Seperti pendapat Ibn Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian anak kecil. Dalam
hubungan ini Imam Syafi’i mengatakan pendapat Ibn Abbas lebih dekat kepada
al-Qur’an dan qiyas. Imam Syafi’i juga mengambil pendapatnya Usman ibn
Affan (yang tidak diketahui disepakati oleh lainnya atau tidak) tentang
hilangnya kewajiban shalat jum’at bila bertepatan dengan hari raya. Pendapat
seperti ini diterima oleh ulama Syafi’iyyah.
[69]
Apabila pendapat sahabat tersebut bukan dalam masalah ijtihadiyyah dan tidak
diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, dapat diterima sebagai
hujjah. Alasannya, dalam masalah non-ijtihadiyyah, para sahabat tidak mungkin
melakukan ijtihad terhadap masalah itu, juga diduga keras pendapat itu muncul
dari petunjuk atau sikap Rasulullah. Pendapat seperti ini statusnya sama
dengan Sunnah Taqririyyah (pengakuan Rasulullah terhadap perbuatan para
sahabat); pendapat sahabat yang didasarkan ijtihad dan tersebar luas serta
tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, maka dapat
dijadikan hujjah. Pendapat seperti ini statusnya sama dengan ijma sukuti
dan dapat dijadikan hujjah. Seperti pendapat Abu Bakar tentang bagian warisan
nenek sebanyak 1/6 harta waris; dan terhadap ijtihad sahabat yang tidak
popular, tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam hubungan inilah Imam Abu
Hanifah mengatakan, “Mereka itu—sahabat—laki-laki (pahlawan, mujtahid),
kita juga laki-laki”.
[70]
Imam asy-Syatibi mendefinisikan zari’ah dengan: التوسل بما هو
مصلحة الى مفسدة
“Melakukan suatu pekerjaan yang
semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”.
Maksudnya, seseorang melakukan suatu
pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan,
tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir kepada suatu kemafsadatan. Contoh,
dalam bai’ al-ajal: seseorang membeli motor Rp. 30 juta secara
kredit. Kemudian motor tersebut dijual kembali kepada penjual pertama dengan harga
tunai Rp. 15 juta, selanjutnya ia tetap harus mencicil kreditnya sampai lunas.
Pada dasarnya jual beli itu halal dan maslahah (dengan kredit, meringankan
pembeli untuk tidak segera melunasi) tetapi tujuan/ akhirnya malah
memberatkan pembeli. Seakan-akan obyek akad tidak ada dan pedagang kendaraan
itu tinggal menunggu keuntungan saja. Hali ini, menurutnya, tidak lebih dari
pelipatgandaan hutang tanpa sebab, karenanya perbuatan seperti ini dilarang.
[71]
Dalam bai al-ajal, secara hukum, pembeli telah membeli barang
seharga RP. 1000,- secara kredit. Jual beli ini sah. Kemudian, pembeli menjual
kembali barangnya itu, yang secara kebetulan, kepada penjaul semula seharga Rp.
500,-. Ini pun sah. Tidak bisa dikatakan bahwa di antara keduanya ada niat
untuk menghalalkan riba, karena hal ini baru bersifat dugaan semata.
[72]
Ada tiga alasan yang dikemukakan Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal
dalam mendukung pendapatnya, yaitu: 1.dalam bai’ al-ajal perlu
dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba, sekalipun sifatnya gilbah-az-zan
(dugaan kuat), karena dalam banyak kasus, Syari’ sendiri sering
mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar gilbah-az-zan. Di
samping itu perlu bersikap ihtiyat/ waspada dalam beramal. Tujuan yang diduga
membawa mafsadah, bisa dijadikan dasar untuk melarang bai’ al-ajal,
karena: دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح
2. dalam bai’ al-ajal
terdapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada dasarnya
boleh, selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar
dari segala bentuk kemudaratan. Dan untuk pemeliharaan orang lain dari
kemudaratan itulah, bai al-ajal dilarang (sejalan dengan prinsip sadd
az-zari’ah); 3. banyak sekali nas yang menunjukkan dilarangnya perbuatan yang
membawa kepada kemafsadatan, sekalipun pada mulanya diijinkan. Misalnya,
larangan berkhalwat dan wanita dilarang bepergian sendiri lebih dari tiga hari.
Dalam kasus ini, terjadinya fitnah masih dalam status dugaan (zhann), tetapi
Rasulullah melarangnya. Larangan mengawini wanita sekaligus dengan saudara/
bibinya, karena hal ini bisa memutus hubungan kekerabatan (dzann), larangan
meminang wanita dalam masa iddah, sehingga wanita itu tidak menyembunyikan
keadaan yang sebenarnya (semuanya bersifat zann).
[73]
Imam Syafi’i membolehkan orang yang udzur untuk meninggalkan
shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur (tetapi harus
sembunyi-sembunyi, agar tidak dituduh menyengaja meninggalkan shalat Jum’at),
begitu juga bagi yang tidak berpuasa karena udzur, agar tidak terjadi fitnah. Imam
Syafi’i juga sepakat pembunuh tidak mendapat warisan dari orang yang
dibunuhnya. Contoh-contoh ini, menurut Mustafa Dib al-Bugha,
difatwakan oleh Imam Syafi’i berdasar prinsip sadd az-zari’ah. Ulama Hanafiyyah
juga menggunakannya, seperti, mereka mengatakan bahwa orang yang melaksanakan
puasa yaum asy-syakk (akhir bulan Sya’ban yang diragukan apakah
telah masuk bulan Ramadhan atau belum), sebaiknya dilakukan secara diam-diam, apalagi
kalau ia seorang mufti, sehingga ia tidak dituduh melakukan puasa pada hari
itu, karena Rasul bersabda:
من صام يوم الشك فقد عصى اباالقاسم
Ulama Hanafiyyah tidak
menerima pengakuan orang yang dalam keadaan mard al-maut (sakit
atau keadaan yang membawa seseorang kepada kematian), karena diduga bahwa
pengakuannya ini akan berakibat pembatalan terhadap hak orang lain dalam
menerima warisan. Misalnya orang tersebut mengaku berutang kepada orang lain
yang meliputi seluruh atau sebagian hartanya. Pengakuan ini, hanya akan
membatalkan hak ahli waris terhadap harta, maka pengakuan ini tidak sah. Ini
semua, menurut Muhammad Baltaji, didasarkan atas prinsip sadd
az-zari’ah.
KIAS YANG PALING BERMAKNA
Tempat meng-qiyas-kan
M.Rakib Ciptakarya LPMP.Pekanbaru. Riau Indonesia. 2014
Dalam al-Qur’an dan Sunnah sudah disebutkan hukum beberapa persoalan secara rinci. Hingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi persoalan. Tapi kenyataan yang dihadapi umat Islam yang beragam suku, ras, budaya, daerah dan sebagainya, masih sangat banyak hal lain yang tidak dijelaskan dengan rinci dalam kedua sumber itu.
Misalnya dalam al-Qur’an sudah disebutkan bahwa gandum (makanan pokok) wajib dizakatkan ketika panen dilakukan. Sementara gandum hanya hanya menjadi makanan pokok bagi sebagian kecil umat Islam, yang menghuni hampir seluruh permukaan bumi. Sangat banyak umat Islam lain yang makanan pokoknya bukan gandum, seperti padi (beras), jagung, sagu, ubi dan sebagainya, dan itu tidak disinggung sama sekali dalam al-Qur’an. Maka ulama menetapkan bahwa makanan pokok selain gandum itu tetap wajib dizakatkan.
Dalam kasus ini, yang disebut tempat meng-qiyas-kan atau ashl adalah gandum; wajibnya zakat pada gandum yang ditetapkan berdasarkan Sunnah disebut hukum; makanan pokok lainnya disebut yang di-qiyas-kan atau furu’; kesamaannya sebagai “makanan pokok” disebut illat. Untuk wajibnya zakat terhadap makanan pokok lainnya ini, seperti padi atau beras, fuqaha mengatakan:
Wajib zakat pada padi di-qiyas-kan pada gandum.
Maksudnya, ditetapkan wajib zakat pada furu’ di-qiyas-kan pada hukum wajib yang sebelumnya telah ada pada ashl, yaitu tempat meng-qiyas-kan furu’.
Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah :
mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang
ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu
dalam illat hukumnya.
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai
suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk
mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang
ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus
itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,
berdasarkan atas persamaan illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada di mana
illat hukum ada.
1. B.
Rukun-rukun Qiyas
Setiap qiyas terdiri dari empat rukun yaitu :
1. Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada
nash hukumnya. ia disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya),
mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya).
2. Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya. ia juga disebut al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang
dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’
yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi
hukum pada al-far’u (cabangnya).
4. Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan
sifat itu pada cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi
hukumnya.
1. C. Macam-macam
Illat
Dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan syar’i
terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang
sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu :
1. Munasib muatstsir (sifat yang sesuai
yang memberikan pengaruh).
2. Munasib mulaim (sifat yang sesuai
lagi cocok).
3. Munasib mursal (sifat yang sesuai
lagi bebas).
4. Munasib mulgha (sifat yang sesuai
yang sia-sia).
Berikut ini adalah penjelasan empat macam illat dan
contoh-contohnya. :
1. Munasib muatstsir : yaitu suatu
sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun hukum sebagai illat hukm yang
disusun berdasarkan kesesuaiannya dengannya misalnya, Firman Allah SWT :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ
اْلمَحِيْضِ.قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَاءَ فِى المَحِيْضِ.
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah haidh itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh….” (Qs. Al-Baqarah (2) : 222).
Shighat nash telah jelas bahwa illathukum ini adalah kotoran
tersebut. Oleh karena itu, maka kotoran tersebut yang mewajibkan menjauhkan
diri dari wanita pada waktu haidhnya merupakan sifat yang munasib muatstsir.
1. Munasib mulaim. Yaitu suatu sifat
yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu,
namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum
menurut pandangan syari’itu sendiri, yang disusun sesuai dengan sifat itu.
Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu
dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah disusun hukumnya
sesuai dengan sifat itu, “contoh : sifat yang sesuai yang dianggap oleh syari’
sebagai illat hukum dari jenis hukum yang dia telah menyusun hukum sesuai
dengannya ialah: keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah dalam
mengawinkan anak perempuan yang masih kecil.
2. Munasib mursal. : Suatu sifat yang mana
syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’
yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun
dengan penyia-nyiaan anggapan-Nya. Ia adalah munasib, artinya berusaha
mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal, contohnya : maslahatan
yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas
tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an, dan penyabarannya.
3. Munasib mulgha, yaitu : Suatu sifat
yang ternyata bahwasanya mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan
kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’
tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya,
misalnya menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja
pada bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.
Cara Mencari Illat
(Masalah Al-Illat)
Illat ialah suatu sifat yang terdapat pada suatu ashl
(pokok) yang menjadi dasar daripada hukumnya, dan sifat itulah dapat diketahui
adanya hukum itu pada far’ (cabangnya).
Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang
menjadi dasar pengharaman, dan dengan adanya sifat memamukkan inilah diketahui
pengharaman terhadap semua minuman keras yang memabukkan. Penganiayaan adalah
suatu sifat dalam jual beli seseorang atas jual beli saudaranya, yang menjadi
dasar pengharamannya, dan dengan adanya sifaat penganiayaan itulah diketahui
pengharaman sewa-menyewa seseorang atas sesuatu yang telah disewa saudaranya.
Inilah yang dimaksudkan oleh para ahli usul fiqh dengan perkataan mereka yang
artinya:
“Illat adalah sesuatu yang memberitahukan adanya hukum”.
Illat juga disebut juga : Manathul Hukmi (hubungan
hukum), dan sebab hukum serta tanda hukum.
Untuk mencari Illat, ada beberapa syarat yang harus kita
ketahui yaitu :
Pertama : Bahwa Illat itu haruslah berupa
suatu sifat yang jelas.
Kedua : Bahwa sifat itu
haruslah pasti.
Katiga : Bahwa sifat itu
merupakan hal yang sesuai.
Keempat : Bahwa ia merupakan suatu sifat yang terbatas
pada ashl (pokoknya).
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Ijma’ dan Qiyas
merupakan hukum islam yang mesti kita ikuti, karena tanpa Ijma’ dan Qiyas kita
tidak akan mngetahui hukum dalam suatu permasalahan jikalau kita tidak
mendapatkan dalil yang pasti dari Al Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar Hukum Islam, Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy –
Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Ilmu Ushul Fiqh, Prof. Abdul Wahhab Khallaf – Semarang :
Dina Utama, 19
No comments:
Post a Comment