KISAH DEWASA TANPA RASA MALU
Analisis M.Rakib Ciptakarya.Pekanbaru Riau Indonesia
BUNGA
MELATI, DI BAWAH LOTENG,
TEMPAT ORANG, CARI BENALU
HATI-HATI, MANUSIA BERTOPENG,
MENGAKU BERIMAN, TAPI TAK PUNYA MALU.
NENEK SIHIR, MENYAPU HALAMAN,
PUTUS KARET, TALI
CELANA.
HATI-HATI, DALAM
BERTEMAN,
ADA PENCOPET, JADI
SARJANA.
MENCARI BENALU, KE
SIALANG,
TEMPAT ORANG,
MENCARI ROTAN
SEGAN
DAN MALAU, KALAULAH HILANG
PERSIS SEPERTI, BABI HUTAN.
PUTRI
KEMBAR, LAHIRNYA MALAM,
PERMAISURI,
SANGATLAH GIRANG
PEPAT
DI LUAR, RUNCING DI DALAM,
MENTAL
YAHUDI, KINI BERSARANG.
Lahirnya para pemimpin dan pegawai doctor,
BERMENTAL COPET, juga yang berkualitas, bijaksana, adil serta mampu mengurangi
angka kemiskinan, memanglah takdir dari yang kuasa. Tapi menjadi dambaan setiap
anak negeri ini. Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas
makin jelas terlihat karena hampir setiap hari saja
orang berbicara, mengeluh tentang para pemimpin yang salah langkah, para
pemimpin yang kurang memperhatikan nasib rakyatnya. Tetapi, sangatlah
disayangkan karena sampai kehari ini, ternyata masih belum banyak orang yang
berbicara tentang bagaimana sebenarnya liku dan proses dari kemunculan/
lahirnya seorang pemimpin itu…
Seringkali kita mendengar kalimat,
'Dasar tak tahu malu', atau 'Sudah putus urat malunya' yang ditujukan pada
orang-orang yang dinilai tak punya rasa malu. Hati-hati jika sudah mulai hilang
rasa 'malunya' karena itu artinya ada bagian di otak yang sudah mengalami
kerusakan. Ilmuwan dari University of California, San Francisco dan University
of California, Berkeley berhasil mengungkapkan bagian mana dari otak yang
sangat bertanggungjawab terhadap muncul tidaknya rasa malu. Peneliti
mengidentifikasi adanya bagian otak di sebelah kanan depan yang disebut
'pregenual anterior cingulate cortex' sebagai penyebab kunci rasa malu manusia.
Ini adalah wilayah otak yang bisa memprediksi perilaku seseorang. Semakin kecil bagian otak ini maka semakin sedikit orang punya rasa malu. Pusat malu di bagian 'pregenual anterior cingulate cortex' ini posisinya berada jauh di dalam otak yakni sebelah kanan depan. Fungsi lain dari bagian otak ini antara lain mengatur detak jantung dan pernapasan, emosi, perilaku kecanduan dan pengambilan keputusan. Maka itu pada orang yang otaknya sehat, ketika merasa malu bagian otak ini akan berfungsi maksimal. Rasa malunya akan membuat tekanan darah menjadi naik, detak jantung meningkat atau terjadi perubahan napas.
Tapi pada orang yang memiliki rasa malu yang rendah seperti pada penderita Alzheimer atau demensia (pikun), otak di bagian ini ukurannya lebih kecil dari biasanya. Mereka umumnya menjadi lebih acuh terhadap hal-hal yang menurut orang memalukan karena bagian otak 'pregenual anterior cingulate cortex' seperti 'dibutakan' terhadap rasa malu. Bila Anda kehilangan kemampuan otak di daerah ini, Anda akan kehilangan respons rasa malu. Para ilmuwan meyakini bahwa semakin besar wilayah otak tertentu maka semakin kuat kerja otak yang terkait dengan fungsinya itu.
Contohnya, orang dengan kepribadian terbuka (ekstrovert) memiliki pusat pengolahan otak yang lebih besar, sedangkan orang yang gampang cemas punya pusat deteksi kesalahan yang lebih besar. Dalam melakukan penelitian tersebut, peneliti meminta 79 partisipan untuk menyanyi karaoke lagu 'My Girl', lagu hit tahun 1964 yang dinyayikan Temptations. Partisipan itu ada yang sehat dan ada yang menderita penyakit saraf degeneratif. Suara partisipan direkam dan diputar ulang tanpa ada ada suara musik yang menyertainya. Partisipan yang malu dengan suaranya langsung terlihat dari ekspresi wajahnya, kemudian berkeringat dan detak jantung meningkat.Sebaliknya penderita yang mengalami gangguan saraf terlihat acuh dan kurang punya rasa malu meskipun ketika didengarkan suara mereka sangat memalukan. Hasil temuan ini telah disampaikan Virginia dalam pertemuan tahunan American Academy of Neurology ke-64 di Hawaii.
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau tidak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah Subhnana Wata’ala atau karena manusia? Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’i, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang pria Muslim atau malu pergi ke majelis taklim. Apakah malu yang demikian ini karena Allah Subhnana Wata’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Allahlah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Allahlah yang paling berhak untuk kita malu kepada-Nya?
Al-Qurthubi—rahimahullah—berkata, “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu.”
Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan. Seperti firman Allah Subhnana Wata’ala, yang artinya, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS: Al-Ahzab: 53).
Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib Rhadiallahu anhu pernah berkata, “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan, “Saya tidak tahu”.”
Tabi’in yang mulia Mujahid—rahimahullah—berkata, “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.”
Karena itu, peliharalah rasa malu, karena rasa malu merupakan akhlak yang sangat terpuji, dan tanpa rasa malu akan mengakibatkan kehancuran pada diri sendiri, atau orang lain, bahkan bangsa kita ini, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
“Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, selain bentuk fisik yang bagus, ia pun dianugerahi Allah Subhnana Wata’ala kemampuan berpikir melalui akal. Dengan modal akal ini, manusia dapat mempertahankan predikat kemuliaan dan kesucian fitrahnya. Tanpa memanfaatkan akal yang sehat, manusia akan terjerembab ke jurang kehinaan.
Malu adalah satu akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikit pun dalam dirinya.
Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib Radiallahu Anhu, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”
Perlu diingat, kata malu, bukan rendah diri. Rendah diri (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang tidak pada tempatnya. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang Muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah.
Dari Ummu Salamah Ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha—berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, seraya berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, “Ya, bila ia melihat air (mani yang keluar karena mimpi).” (HR. Bukhari).
Rasa malu tak lain merupakan refleksi keimanan,
laksana perisai yang dapat mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran dan
kemaksiatan. Bahkan mulia atau hinanya akhlak seseorang dapat diukur dari rasa
malu yang ia miliki. Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan.
Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula
rasa malunya. Begitu juga sebaliknya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda, “Iman itu memiliki 60 sampai 70 cabang, yang paling utama ialah
pernyataan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
duri dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (Muttafaq
‘alaih).
Tanpa rasa malu, seseorang akan leluasa melakukan apa pun yang ia inginkan,
meski hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Dalam hal ini Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Jika engkau tidak lagi memiliki rasa
malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu.” (HR. Bukhari).Benar, ketika budaya malu tak lagi tegak dalam suatu masyarakat maka itulah saat awal kehancuran dan kebinasaannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menggambarkan betapa rasa malu harus dibudidayakan demi keselamatan sebuah bangsa.
Pembagian Sifat Malu
1. Malu kepada Allah Subhnana Wata’ala.
Celaan Allah itu di atas seluruh celaan, dan pujian Allah Subhnana Wata’ala itu juga di atas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain.
Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut dicela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Karenanya, malu merupakan sebagian dari iman.
2. Malu pada diri sendiri
Malunya seseorang terhadap dirinya. Inilah salah
satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia,
sehingga ia tidak puas dengan kekurangan, kerendahan dan kehinaan. Karena itu
Anda akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri,
seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada
yang lain. Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri
saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang lain.
3. Malu pada orang lainMalunya sebagian manusia kepada sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin menikah.
Ketiga rasa malu di atas seyogyanya ditumbuhkembangkan dan dipelihara terus menerus oleh setiap Muslim. Apalagi malu pada Allah Subhnana Wata’ala. Sebab, malu kepada-Nya inilah yang menjadi sumber lahirnya dua jenis malu lainnya.
Bisa dibayangkan jika rasa malu itu hilang pada
diri seseorang, maka segala perilakunya tidak akan terkontrol. Mempertontonkan
aurat dianggap tren bahkan menjadi tontonan sehari-hari keluarga kita. Begitu
hebatnya bencana yang muncul akibat hilangnya rasa malu. Oleh karenanya,
memupuk rasa malu agar tetap terpatri erat dalam hati adalah kewajiban kita.
Waspadailah fenomena hilangnya rasa malu, agar tidak menjadi pribadi yang
hancur berantakan.
Keutamaan Rasa Malu1. Rasa malu adalah penghalang manusia dari perbuatan dosa
Rasa malu adalah pangkal semua kebaikan dalam kehidupan ini, sehingga kedudukannya dalam seluruh sifat keutamaan adalah bagaikan kepala dengan badan. Maksudnya, tanpa rasa malu maka sifat keutamaan lain akan mati. Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Rasa malu tidak mendatangkan selain kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Rasa malu merupakan salah satu cabang dari
iman dan indikator nilai keimanan seseorang
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melewati seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
3. Rasa malu adalah inti akhlak islamiRasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melewati seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Anas Radiallahu Anhu meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,
“Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR.Ibnu Majah)
4. Rasa malu merupakan akhlak yang sejalan dengan fitrah manusia
Rasa malu sebagai hiasan semua perbuatan. Dalam
hadits yang diriwayatkan Anas t bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
telah bersabda, “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali
akan menjadikannya tercela, dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu
perbuatan kecuali akan menghiasinya.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah). Karena
itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir
bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Wallahu
Waliyyut Taufiq
Analisis M.Rakib Ciptakarya.Pekanbaru Riau Indonesia
BUNGA
MELATI, DI BAWAH LOTENG,
TEMPAT ORANG, CARI BENALU
HATI-HATI, MANUSIA BERTOPENG,
BERAGAMA, TAPI TAK PUNYA MALU.
NENEK SIHIR, MENYAPU HALAMAN,
PUTUS KARET, TALI
CELANA.
HATI-HATI, DALAM
BERTEMAN,
ADA PENCOPET, JADI
SARJANA.
MENCARI BENALU, KE
SIALANG,
TEMPAT ORANG,
MENCARI ROTAN
SEGAN
DAN MALAU, KALAULAH HILANG
PERSIS SEPERTI, BABI HUTAN.
PUTRI
KEMBAR, LAHIRNYA MALAM,
PERMAISURI,
SANGATLAH GIRANG
PEPAT
DI LUAR, RUNCING DI DALAM,
MENTAL
YAHUDI, KINI BERSARANG.
Lahirnya para pemimpin dan pegawai doctor,
BERMENTAL COPET, juga yang berkualitas, bijaksana, adil serta mampu mengurangi
angka kemiskinan, memanglah takdir dari yang kuasa. Tapi menjadi dambaan setiap
anak negeri ini. Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas
makin jelas terlihat karena hampir setiap hari saja
orang berbicara, mengeluh tentang para pemimpin yang salah langkah, para
pemimpin yang kurang memperhatikan nasib rakyatnya. Tetapi, sangatlah
disayangkan karena sampai kehari ini, ternyata masih belum banyak orang yang
berbicara tentang bagaimana sebenarnya liku dan proses dari kemunculan/
lahirnya seorang pemimpin itu…
Seringkali kita mendengar kalimat,
'Dasar tak tahu malu', atau 'Sudah putus urat malunya' yang ditujukan pada
orang-orang yang dinilai tak punya rasa malu. Hati-hati jika sudah mulai hilang
rasa 'malunya' karena itu artinya ada bagian di otak yang sudah mengalami
kerusakan. Ilmuwan dari University of California, San Francisco dan University
of California, Berkeley berhasil mengungkapkan bagian mana dari otak yang
sangat bertanggungjawab terhadap muncul tidaknya rasa malu. Peneliti
mengidentifikasi adanya bagian otak di sebelah kanan depan yang disebut
'pregenual anterior cingulate cortex' sebagai penyebab kunci rasa malu manusia.
Ini adalah wilayah otak yang bisa memprediksi perilaku seseorang. Semakin kecil bagian otak ini maka semakin sedikit orang punya rasa malu. Pusat malu di bagian 'pregenual anterior cingulate cortex' ini posisinya berada jauh di dalam otak yakni sebelah kanan depan. Fungsi lain dari bagian otak ini antara lain mengatur detak jantung dan pernapasan, emosi, perilaku kecanduan dan pengambilan keputusan. Maka itu pada orang yang otaknya sehat, ketika merasa malu bagian otak ini akan berfungsi maksimal. Rasa malunya akan membuat tekanan darah menjadi naik, detak jantung meningkat atau terjadi perubahan napas.
Tapi pada orang yang memiliki rasa malu yang rendah seperti pada penderita Alzheimer atau demensia (pikun), otak di bagian ini ukurannya lebih kecil dari biasanya. Mereka umumnya menjadi lebih acuh terhadap hal-hal yang menurut orang memalukan karena bagian otak 'pregenual anterior cingulate cortex' seperti 'dibutakan' terhadap rasa malu. Bila Anda kehilangan kemampuan otak di daerah ini, Anda akan kehilangan respons rasa malu. Para ilmuwan meyakini bahwa semakin besar wilayah otak tertentu maka semakin kuat kerja otak yang terkait dengan fungsinya itu.
Contohnya, orang dengan kepribadian terbuka (ekstrovert) memiliki pusat pengolahan otak yang lebih besar, sedangkan orang yang gampang cemas punya pusat deteksi kesalahan yang lebih besar. Dalam melakukan penelitian tersebut, peneliti meminta 79 partisipan untuk menyanyi karaoke lagu 'My Girl', lagu hit tahun 1964 yang dinyayikan Temptations. Partisipan itu ada yang sehat dan ada yang menderita penyakit saraf degeneratif. Suara partisipan direkam dan diputar ulang tanpa ada ada suara musik yang menyertainya. Partisipan yang malu dengan suaranya langsung terlihat dari ekspresi wajahnya, kemudian berkeringat dan detak jantung meningkat.Sebaliknya penderita yang mengalami gangguan saraf terlihat acuh dan kurang punya rasa malu meskipun ketika didengarkan suara mereka sangat memalukan. Hasil temuan ini telah disampaikan Virginia dalam pertemuan tahunan American Academy of Neurology ke-64 di Hawaii.
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau tidak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah Subhnana Wata’ala atau karena manusia? Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’i, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang pria Muslim atau malu pergi ke majelis taklim. Apakah malu yang demikian ini karena Allah Subhnana Wata’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Allahlah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Allahlah yang paling berhak untuk kita malu kepada-Nya?
Al-Qurthubi—rahimahullah—berkata, “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu.”
Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan. Seperti firman Allah Subhnana Wata’ala, yang artinya, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS: Al-Ahzab: 53).
Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib Rhadiallahu anhu pernah berkata, “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan, “Saya tidak tahu”.”
Tabi’in yang mulia Mujahid—rahimahullah—berkata, “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.”
Karena itu, peliharalah rasa malu, karena rasa malu merupakan akhlak yang sangat terpuji, dan tanpa rasa malu akan mengakibatkan kehancuran pada diri sendiri, atau orang lain, bahkan bangsa kita ini, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
“Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, selain bentuk fisik yang bagus, ia pun dianugerahi Allah Subhnana Wata’ala kemampuan berpikir melalui akal. Dengan modal akal ini, manusia dapat mempertahankan predikat kemuliaan dan kesucian fitrahnya. Tanpa memanfaatkan akal yang sehat, manusia akan terjerembab ke jurang kehinaan.
Malu adalah satu akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikit pun dalam dirinya.
Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib Radiallahu Anhu, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”
Perlu diingat, kata malu, bukan rendah diri. Rendah diri (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang tidak pada tempatnya. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang Muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah.
Dari Ummu Salamah Ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha—berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, seraya berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, “Ya, bila ia melihat air (mani yang keluar karena mimpi).” (HR. Bukhari).
Rasa malu tak lain merupakan refleksi keimanan,
laksana perisai yang dapat mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran dan
kemaksiatan. Bahkan mulia atau hinanya akhlak seseorang dapat diukur dari rasa
malu yang ia miliki. Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan.
Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula
rasa malunya. Begitu juga sebaliknya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda, “Iman itu memiliki 60 sampai 70 cabang, yang paling utama ialah
pernyataan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
duri dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (Muttafaq
‘alaih).
Tanpa rasa malu, seseorang akan leluasa melakukan apa pun yang ia inginkan,
meski hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Dalam hal ini Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Jika engkau tidak lagi memiliki rasa
malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu.” (HR. Bukhari).Benar, ketika budaya malu tak lagi tegak dalam suatu masyarakat maka itulah saat awal kehancuran dan kebinasaannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menggambarkan betapa rasa malu harus dibudidayakan demi keselamatan sebuah bangsa.
Pembagian Sifat Malu
1. Malu kepada Allah Subhnana Wata’ala.
Celaan Allah itu di atas seluruh celaan, dan pujian Allah Subhnana Wata’ala itu juga di atas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain.
Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut dicela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Karenanya, malu merupakan sebagian dari iman.
2. Malu pada diri sendiri
Malunya seseorang terhadap dirinya. Inilah salah
satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia,
sehingga ia tidak puas dengan kekurangan, kerendahan dan kehinaan. Karena itu
Anda akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri,
seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada
yang lain. Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri
saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang lain.
3. Malu pada orang lainMalunya sebagian manusia kepada sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin menikah.
Ketiga rasa malu di atas seyogyanya ditumbuhkembangkan dan dipelihara terus menerus oleh setiap Muslim. Apalagi malu pada Allah Subhnana Wata’ala. Sebab, malu kepada-Nya inilah yang menjadi sumber lahirnya dua jenis malu lainnya.
Bisa dibayangkan jika rasa malu itu hilang pada
diri seseorang, maka segala perilakunya tidak akan terkontrol. Mempertontonkan
aurat dianggap tren bahkan menjadi tontonan sehari-hari keluarga kita. Begitu
hebatnya bencana yang muncul akibat hilangnya rasa malu. Oleh karenanya,
memupuk rasa malu agar tetap terpatri erat dalam hati adalah kewajiban kita.
Waspadailah fenomena hilangnya rasa malu, agar tidak menjadi pribadi yang
hancur berantakan.
Keutamaan Rasa Malu1. Rasa malu adalah penghalang manusia dari perbuatan dosa
Rasa malu adalah pangkal semua kebaikan dalam kehidupan ini, sehingga kedudukannya dalam seluruh sifat keutamaan adalah bagaikan kepala dengan badan. Maksudnya, tanpa rasa malu maka sifat keutamaan lain akan mati. Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Rasa malu tidak mendatangkan selain kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Rasa malu merupakan salah satu cabang dari
iman dan indikator nilai keimanan seseorang
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melewati seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
3. Rasa malu adalah inti akhlak islamiRasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melewati seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Anas Radiallahu Anhu meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,
“Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR.Ibnu Majah)
4. Rasa malu merupakan akhlak yang sejalan dengan fitrah manusia
Rasa malu sebagai hiasan semua perbuatan. Dalam
hadits yang diriwayatkan Anas t bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
telah bersabda, “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali
akan menjadikannya tercela, dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu
perbuatan kecuali akan menghiasinya.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah). Karena
itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir
bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Wallahu
Waliyyut Taufiq
No comments:
Post a Comment