SESUNGGUHNYA RASA MALU, IFFAH
Sesungguhnya ucapan jorok,
perangai kasar dan kekikiran termasuk dalam kenifakan (prilaku kemunafikan)
Ketika Abu
Qilabah keluar untuk sholat berjamaah, bertemu dengan Umar bin Abd Al Aziz yang
juga sedang menuju masjid untuk jama’ah sholat ashar. Beliau kelihatan membawa
secarik kertas, maka Abu Qilabah bertanya: Wahai Amirul mukminin, geranga
kertas apakah ini ? Beliau menjawab ini adalah secarik kertas berisi sebuah
hadits yang aku riwayatkan dari Aun bin Abdillah. Aku tertarik sekali dengan
hadits ini maka aku tulis dalam secarik kertas ini dan sering aku bawa. Abu
Qulabah berkata; ternyata di dalamnya tertera sebuah hadits sbb. “Diriwayatkan
dari Aun bin Abdillah, ia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil Aziz bahwa
aku telah meriwayatkan hadits dari seorang sahabat nabi saw yang kemudian
diketahuinya oleh Umar. Aku berkata, ia telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
telah bersabda: “Sesungguhnya rasa
malu, iffah ( menjauhi yang syubhat) , dan
diamnya lisan bukanlah diamnya hati, serta pemahaman (agama) adalah termasuk
dalam keimanan.
Semuanya itu termasuk yang menambah dekat kepada akhirat dan mengurangi keduniaan, dan termasuk apa-apa yang lebih banyak menambah keakhiratan.Tapi Sebaliknya, Sesungguhnya ucapan jorok, perangai kasar dan kekikiran termasuk dalam kenifakan (prilaku kemunafikan) dan semuanya itu menambah dekat dengan dunia dan mengurangi keakhiratan serta lebih banyak merugikan akhirat.
(Sunan Ad Darami)
Kejadian
di atas menunjukkan betapa besar perhatian Umar bin Abdil Aziz terhadap masalah
yang mendorongnya untuk meningkatkan masalah keakhiratannya. Hadits tentang
rasa malu ini mendapat perhatian khusus sehingga ditulis dalam secarik kertas
yang sering dibawa kemana-mana. sampai waktu berangkat sholat jamaahpun dibawa
pula. Di antara isi dari inti hadits ini bahwa rasa malu adalah sebagian dari
iman dan bisa menambah urusan keakhiratannya..
Definisi rasa malu
Ketika seorang mau melanggar aturan
agama misalnya, maka ia merasakan dalam dirinya sesuatu yang tidak enak, merasa
malu ataupun rasa takut. Karena pelanggaran agama atau menentang disiplin
bertentangan dengan fitrahnya sehingga menimbulkan rasa malu. Seorang yang
ingin mencuri kemudian tidak jadi mencuri, karena dalam dirinya masih ada rasa
malu. Namun bila rasa malu ini dikikis terus dengan pelanggaran maka hilanglah
rasa malunya dan akhirnya menjadi orang yang memalukan, contohnya seorang
wanita yang berpakaian ketat, pada awalnya ada rasa malu yang kemudian lama
kelamaan menjadi hilang rasa malunya.
NINIAK
MAMAK WAK INDAK
DI SIKO DO,
KA
SIA PULO WAK KA MALU
Adat
basandi syara’. Syara’ basandi kitabullah
Dalam
Adaik, ado sopan santun, dalam kitabullah ada akhlak dan rasa malu
KALAU ANDA, TIDAK BERMALU
JADI PENCOPET, JAHAT
TERLALU
DI RANTAU ORANG, JANGAN
BEGITU
INGAT TUHANMU, INGAT AYAH
IBU
Peribahasa Melayu Menyatakan:
“Malu berkayuh perahu
hanyut, malu bertanya sesat jalan”.
Sifat malu seperti ini tidaklah kita kehendaki
dalam masyarakat kerana disebabkan terlalu pemalu sehingga menyusahkan diri
sendiri. Apa yang ditegaskan ialah sifat malu melakukan sesuatu bertentangan
ajaran Islam. Sifat malu seperti ini amat dituntut dalam pendidikan rohani.
Rasulullah SAW adalah seorang yang
terlalu baik perangainya, seorang paling mulia akhlaknya, tinggi ketaatan
kepada perintah Allah dan segala tugas kewajipan kemasyarakatannya serta selalu
menahan diri daripada segala larangan-Nya.
Diriwayatkan daripada Abi Sa’id
al-Khudri, ia berkata yang maksudnya: “Rasulullah SAW adalah lebih pemalu
daripada gadis dalam pingitan. Dan apabila terjadi sesuatu yang tidak
disukainya, kami dapat mengenal daripada wajahnya.” (Hadis riwayat Bukhari dan
Muslim)
Malu sebenar-benarnya adalah ikatan
yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup beragama kerana antara iman dan malu
itu suatu ikatan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lain.
Kajian ahli psikologi menyatakan,
sifat malu dapat membantu membaiki akhlak seseorang, sementara sifat pemalu
yang tidak betul pada tempatnya boleh menjejaskan imej seseorang. Jika rasa
malu hilang maka secara beransur-ansur sifat insannya menurun, sampai kepada
darjat yang paling rendah.
Oleh itu, asuhan sejak kecil penting
kepada anak supaya mereka memiliki sifat malu positif iaitu mengikut ajaran
Islam. Tugas ibu bapa mendidik anak dengan menanamkan rasa dan sifat malu dalam
diri mereka.
Sudah menjadi fitrah kejadian
manusia itu sendiri, apabila manusia diberi akal sempurna hilang daripadanya
sifat malu, maka ia akan menjadi ganas bahkan lebih ganas daripada haiwan tidak
berakal.
Manusia yang hilang rasa malu akan
berbuat semahunya tanpa mempedulikan adanya aturan dan kesopanan dalam
masyarakat, menjadi liar, rakus dan kurang ajar. Tidak hairanlah jika kita
mendengar gejala bohsia, lari dari rumah, bersekedudukan, melakukan perbuatan
maksiat, terbabit penagihan dadah, pil khayal yang mengancam remaja dewasa ini.
Sudah tentu perkara seumpama tidak
akan berlaku jika remaja mempunyai sifat malu, berbudi bahasa, berakhlak mulia
dan menjauhkan perbuatan keji ini.
Sifat malu memang identiti dengan
wanita karena merekalah yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini
bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai bila memiliki sifat malu.
Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah
satu faktor kebahagiaan seorang insan. Karena dengan sifat ini, hanya
kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran
sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ
بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.”
Dalam satu riwayat:
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Saudariku muslimah…
Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya
kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Bila malu ini hilang dari diri
seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian
maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itulah bersabda Rasul
shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ
كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأْوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang
pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pemalu
sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدُّ حَيَاءً مِنَ الْعُذَرَاءِ فِي خِدْرِهَا
“Adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada
dalam pingitannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah merahmati Abu Sa’id
Al-Khudri, di mana beliau membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan.
Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan bila melihat pada hari ini gadis
perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat
pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia
pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan
sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada.
Sebagian kaum muslimin juga
membiarkan putri-putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah
dan di tempat kerja. Karena telah tercabut dari mereka rasa malu dan sedikit
ghirah (kecemburuan) yang tertinggal.
Bila malu ini telah hilang dari diri
seorang insan, ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek
lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada
hakekatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah ta`ala haramkan dan
menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah
pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat
perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih
digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah
pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati
musik dan nyanyian?
Saudariku muslimah… wajib bagi kita
untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan
tempat.
Kala dikau sendiri dalam kegelapan
Sedang jiwa mengajakmu tuk berbuat
nista
Maka malulah dikau dari pandangan Al-Ilah
Dan katakan pada jiwamu:
Dzat yang menciptakan kegelapan ini
senantiasa melihatku
Seorang muslim yang jujur dalam
keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain
dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah
dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani
melanggar larangan-Nya.
Saudariku muslimah… bila engkau
telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya
di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan
terasa betapa besar dan jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan
senantiasa mereka agungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya, maka
beliau bersabda:
دَعْهُ
فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ
“Biarkan dia, karena malu itu
termasuk keimanan.” (HR. Al-Jama`ah)
Saudariku muslimah… perlu engkau
ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat
malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang
yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula
termasuk sifat malu bila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang
samar bagimu, karena Allah ta`ala berfirman:
فَسْأَلُوْا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr
(orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha pernah
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata ketika itu: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi
wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab:
نَعَمْ,
إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ya, jika ia melihat keluarnya air
mani.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim
menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya?
Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal-hal
yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan
dengan sopir dan berbincang-bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan
auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.
Ketahuilah wahai saudariku…tidak
sepantasnya kita malu dari suatu perkara yang bisa membawa kepada kebaikan.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar
diperistri oleh beliau. Wanita itu berkata: “Apakah engkau, wahai Rasulullah,
punya keinginan terhadap diriku?”
Seorang putri Anas, ketika mendengar
kisah ini, berkomentar tentang wanita itu: “Alangkah sedikit rasa malunya!”
Anas berkata: “Wanita itu lebih baik
darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara
makna)
No comments:
Post a Comment