MENGEJUTKAN
TALQIN MAYYIT
By.Mr.Rakib
Ciptakarya Pekanbaru Riau Indonesia.2014
ALIRAN JIL, BENCI TALQIN.
PADAHAL DALILNYA, SANGAT YAKIN.
DISEBUT BID’AH, TIDAK MUNGKIN.
JANGAN DIBAWA, BERMAIN-MAIN.
Hai Abu Jahal bin Hisyam
Engkau tidak, mengucapkan
kalam
Tapi pendengaranmu, sangat
tajam
Walaupun sudah, berbeda
alam.
Mari kita teliti lagi hadits-hadits
mengenai orang-orang yang telah wafat berikut ini:
Hadits dari Anas bin Malik sebagai berikut :
عَنْ أنَسٍ بْنِ
مَالِكٍ (ر) أنَّ رَسُوْلَ الله .صَ. تَرَكَ قََتـْلَى بَدْ
ٍر ثَلاَثًا ثُمَّ أتَاهُـمْ فَقَامَ عَلَيْهِمْ فَنَادَاهُمْ فَقَالَ:
يَا أبَا جَهَلٍ ابْنَ
هِشَـامٍ يَا أمَيَّةُ ابْنَ خَلَفٍ يَا عُتْبَةُ ابْنَ رَبِيْعَة يَا شَيْبَة
ابْنَ رَبِيـْعَة اَلَيْسَ قَدْ وَجَدْتُمْ
مَا وَعَد رَبُّكُمْ
حَقـًّا فَاِنّيِ قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقـًّا.فَسَمِعَ عُمَرُ
قَوْلَ النَّبِي فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله
كَيْفَ يَسْمَعُوْا
وَأنىِّ يُجِيبُوْا جَيِِّفُوْا. قَالَ: وَالَّـذِي نَفْسِي بِيَدِهَ مَا أنْـتُمْ
بِأسْمَعِ لِمَا أقُوْلُ مِنْهُمْ
وَلَـكِنَّهُمْ لاَ
يَقـدِرُوْنَ اَنْ يَجِيْبُوا (رواه البخاري ومسلم)
“Bahwa Rasulallah saw. membiarkan
mayyit orang kafir yang terbunuh dalam peperangan Badar selama tiga hari.
Kemudian beliau saw mendatangi mereka lalu berdiri sambil menyeru mereka: ‘
Hai Abu Jahal bin Hisyam, Hai Umayyah bin Khalaf, Hai Utbah bin Rabi’ah, Hai
Syaibah bin Rabi’ah! Bukankah kamu telah mendapatkan janji Tuhanku sebagai
sesuatu yang benar (yakni kalah dan terbunuh). Sesungguhnya aku telah
mendapatkan janji Tuhanku sebagai sesuatu yang benar (yakni memperoleh
kemenangan)’ Umar bin Khattab ra mendengar ucapan Nabi saw. bertanya: ‘
Wahai Rasulallah, bagaimana mereka bisa mendengar dan bagaimana pula mereka
bisa menjawab sedangkan mereka telah menjadi bangkai ? Maka Rasulallah saw.
bersabda: ‘Demi zat yang diriku ada di tangan-Nya, tidaklah kamu memiliki
kemampuan mendengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan, akan
tetapi mereka tidak mampu menjawab’ “. (HR.Bukhori, Muslim).
Lihat hadits terakhir diatas ini yang
mana Rasulallah saw. telah tegas menjawab pertanyaan Umar bin Khattab ra bahwa mayyit itu bisa mendengar perkataan Nabi saw. malah pendengaran mereka itu lebih tajam
dari para sahabat yang hadir. Hadits ini menunjukkan kebolehan kita untuk
memanggil orang yang telah wafat dengan kata-kata Ya Fulan ( Hai anu)
atau memanggil Ya Rasulalllah dan sebagainya. Begitu juga apa salahnya kalau
kita sering memanggil junjungan kita Muhammad saw. dengan kata-kata Ya
Rasulallah…? (silahkan baca bab tawassul dan tabarruk dalam website ini)
Ada golongan yang senang memutar balik
makna hadits dari Anas bin Malik tersebut dengan mengatakan hal ini karena
Rasulallah saw. yang berkata kepada si mayyit bila selain beliau saw. maka
mayyit tersebut tidak akan bisa mendengar. Pikiran mereka semacam ini sudah
tentu salah karena yang pertama dalam hadits itu Rasulallah saw. tidak
mengatakan khusus untuk beliau mayyit tersebut bisa mendengar ucapannya,
sedangkan selain beliau mayyit itu tidak bisa mendengar. Bila demikian
Rasulallah saw akan menjawab terhadap Umar ‘mereka itu mendengar karena aku
yang berbicara padanya dan selain aku maka mereka tidak bisa mendengarnya’
tapi jawaban beliau saw. adalah: ‘tidaklah kamu memiliki kemampuan men-
dengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan’..
Yang kedua; banyak hadits lain mengatakan
bahwa orang yang sudah dikuburkan itu dikembalikan ruhnya kedalam tubuhnya dan
dia bisa mendengar terompah para pengantar jenazahnya, bisa merasakan hidup
bahagia atau sengsara (adzab kubur) di-alam barzakh, dan lain sebagainya.
Dalam hadits lain Rasulallah saw. menyuruh kita menziarahi kubur dan
memberi salam kepada mereka. Tidak lain yang menjadikan semua mayyit bisa
mendengar dan sebagainya ini adalah Allah swt. dan tidak ada seorang pun yang
meragukan bahwa Allah swt. mampu melakukan yang demikian ini.
Telitilah hadits-hadits Rasulallah baik yang telah kami kemukakan
maupun pada halaman berikut yang mana
beliau saw. bisa menjawab semua salam yang disampaikan kepadanya. Beliau
saw. juga bisa berdo’a kepada Allah swt. untuk kaum muslimin yang masih
hidup dan lain sebagainya, walaupun beliau saw. sudah wafat. Begitupun
juga ruh kaum mukminin lainnya.
Hadits dari Abu Ya’la dalam mengemukakan persoalan Nabi
‘Isa as. dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Jika
orang berdiri diatas kuburku lalu memanggil ‘Ya Muhammad Rasulallah’ pasti
kujawab”. Hadits ini dikemukakan juga oleh
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Mathalibil-Aliyah jilid 4/23 pada
bab : ‘Kehidupan Rasulallah saw. didalam kuburnya’.
Anas bin Malik ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwa
Rasulallah saw. pernah menerangkan: “Para Nabi hidup didalam kubur mereka
dan mereka bersembahyang”. Hadits ini diketengahkan oleh Abu Ya’la dan
Al-Bazaar di dalam kitab Majma’uz- Zawaid jilid 8/211. Imam Al-Baihaqi
juga menge- tengahkan juga dalam bagian khusus dari risalahnya.
Anas bin Malik ra. juga mengatakan, bahwa Rasulallah
saw. pernah memberitahu para sahabatnya bahwa : “Para Nabi tidak dibiarkan didalam
kubur mereka setelah empat puluh hari, tetapi mereka bersembah-sujud dihadapan
Allah swt.hingga saat sangkala ditiup (pada hari kiamat)”
Al-Baihaqi menanggapi hadits ini dengan tegas mengatakan
: ‘Tentang kehidupan para Nabi setelah mereka wafat banyak diberitakan oleh
hadits-hadits shohih’. Setelah itu ia menunjuk kepada sebuah hadits shohih
yang meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :“Aku melewati Musa (dalam
waktu Isra’) sedang berdiri sembahyang didalam kuburnya”.
Sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin, bahwa
dalam perjalanan Isra’ Rasulallah saw. melihat Nabi Musa as.sedang berdiri
sholat, Nabi ‘Isa as.juga sedang berdiri sholat. Bahkan Rasulallah saw.
mengatakan bahwa Nabi ‘Isa as mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafy.
Beliau saw. juga melihat Nabi Ibrahim as. sedang berdiri sholat dan Nabi ini
mirip dengan beliau saw. Setiba saat sholat berjama’ah beliaulah yang meng-
imami para Nabi dan Rasul sebelumnya. Usai sholat malaikat Jibril as berkata
kepada beliau saw.: ‘Ya Rasulallah, lihatlah, itu malaikat Malik, pengawal
neraka, ucapkanlah salam kepadanya’. Akan tetapi baru saja Rasulallah saw.
menoleh ternyata malaikat Malik sudah mengucapkan salam lebih dahulu.
Riwayat tentang Isra’ ini dapat kita
baca dalam Shohih Muslim yaitu riwayat yang berasal dari Anas bin Malik dan
diketengahkan oleh ‘Abdurrazzaq didalam Al-Mushannaf jilid 3/577.
Dalam Dala’ilun-Nubuwwah Al-Baihaqi
mengetengahkan sebuah hadits shohih dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah
saw. mengatakan setelah Isra’: “Pada malam Isra’ aku melihat Musa dibukit
pasir merah sedang berdiri sembahyang dalam kuburnya”. Hadits ini
diketengahkan juga oleh Muslim dan Shohihnya jilid 11/268.
Banyak hadits dari Rasulallah saw.
waktu beliau saw. Isra’ dan Mi’raj telah melihat para Nabi dan Rasul ; Musa as.
‘Isa as. Ibrahim as. Idris as., Yunus, Yusuf as. dan lain-lain. Ini juga
membuktikan bahwa para Nabi dan Rasul hidup dialam barzakh dengan
kemuliaan, keagungan dan keluhuran yang serba sempurna berkat karunia Allah
swt. dan mereka tetap bersembah sujud kepada Allah swt. Begitu juga dalam
riwayat Isra’ dan Mi’raj ini, setiap Rasulallah saw. bertemu para Rasul selalu
berdo’a kepada Allah swt. kebaikan dan kebajikan untuk Rasulallah saw. Dengan
demikian menunjuk kan bahwa orang yang telah wafat masih bisa juga berdo’a
kepada Allah swt. untuk orang yang masih hidup.
Sedangkan hadits-hadits Nabi saw. mengenai
pertanyaan dan siksa kubur diantaranya: Diriwayatkan oleh Muslim dari
Zaid bin Tsabit, diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Qatadah yang
diterimanya dari Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ash
Habus Sunan dari Barra’ bin ‘Azib, dan yang tercantum dalam Musnad Imam Ahmad,
dan shohih Abu Hatim, diriwayatkan shohih Bukhori yang diterima dari Samurah
bin Jundub, diriwayatkan oleh Thahawi dari Ibnu Mas’ud, diriwayatkan oleh
Nasa’i dan Muslim yang diterima dari Anas, yang diriwayatkan oleh Nasa’I,
Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar. (Kami sengaja mencantumkan perawi-perawi
nya saja dan tak mencantumkan hadits-haditsnya karena cukup panjang
sehingga memerlukan halaman yang lebih banyak lagi. Bagi pembaca yang ingin
mengetahui hadits mengenai ruh-ruh dialam barzakh dan adzab kubur, lebih mudahnya
silahkan rujuk pada buku terjemahan bahasa Indonsia Fikih Sunnah Sayyid Sabiq
jilid 4 dari halaman 221).
Jadi jelas sekali banyak riwayat
hadits mengenai ruh-ruh dialam barzakh, mereka bisa tetap mendapat pahala, bisa
merasakan sedih dan bahagia dan sebagainya. Yang mana semuanya ini adalah
kekuasaan Ilahi yang kadang kala tidak terjangkau oleh pikiran manusia biasa,
yang belum diberi ilmu oleh Allah swt. mengenai hal itu. Dan dengan adanya
hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa ruh-ruh tersebut ada yang masih tetap di
alam kubur nya, sedih, bahagia, bisa juga terbang kemana-mana menurut
kehendaknya, dan lain sebagainya.
Nabi saw. mensunnahkan memohon ampun
bagi mayat pada waktu sholat jenazah, ziarah kubur dan waktu lainnya atau
berdo’a pada waktu selesai dimakamkan agar dikuatkan pendiriannya
sebagaimana hadits yang diterima dari Usman bin Affan diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga oleh Al Bazzar.
كَانَ النَّبِي.صَ. إذَا فُرِغَ مِنَ الدَّْفْنِ المَيِّت
وَقَفَ عَلَيْهِ, فَقَالَ: إستَغْفِرُوا ِلأخِيْكُمْ وَسَلوُا لَهُ التَثبِـيْتَ
فَإنّـَهُ الأنَ يُسْألُ
(رواه ابو داود والحكم وصححه والبزار)
“Bila selesai menguburkan mayat,
Nabi saw., berdiri di depannya dan bersabda: Mohonkanlah ampun bagi saudaramu,
dan mintalah dikuatkan hatinya, karena sekarang ini ia sedang ditanya (oleh Malaikat Munkar dan Nakir)”.
Talqin
Dengan adanya ayat ilahi dan
hadits-hadits diatas dari Anas bin Malik mengenai mendengarnya gembong-gembong
kafir yang telah wafat atas ucapan Rasulallah saw. dan hadits terakhir diatas
dari Utsman bin Affan serta hadits-hadits lainnya tentang kehidupan ruh-ruh
manusia yang telah wafat. Banyak ulama pakar membolehkan bacaan Talqin (berarti
mengajari dan memberi pemahaman/ peringatan) dimuka kuburan mayyit yang baru
selesai dimakamkan yang akan berhadapan dengan malaikat Munkar dan Nakir untuk
menanyainya. Sudah tentu semua orang itu tergantung dari amal sholehnya waktu
dia masih hidup bukan hanya tergantung dari Talqin ini. Tapi ini bukan
berarti si mayyit tidak bisa mengambil manfa’at dari amalan orang yang masih
hidup (diantaranya Talqin ini), juga bukan berarti Allah swt. telah menutup
manfa’at amalan orang yang masih hidup pada si mayyit ini. (baca keterangan amalan
pahala yang manfaat bagi si mayyit pada buku ini). Rahmat, Kurnia dan Ampunan
Ilahi sangat luas sekali, janganlah kita sendiri yang membatasinya !
Menurut istilah talqin ini
memiliki dua pengertian yaitu; Mengajarkan kepada orang yang akan wafat
kalimat tauhid yakini Laa ilaaha illallah yang kedua ialah: Mengingatkan
orang yang sudah wafat yang baru saja dikuburkan beberapa hal yang
penting baginya untuk menghadapi dua malaikat yang akan datang padanya.
Didalam kitab Fikih Sunnah (bahasa
Indonesia) oleh Sayyid Sabiq bab Hukum menalkinkan mayyit jilid 4
halaman 168-169 cetakan pertama 1978, cetakan (angka terakhir) 2019181716151413
diterbitkan oleh PT Alma’arif, dihalaman buku ini ditulis :
Dianggap sunnah oleh Imam Syafi’i
dan sebagian ulama lainnya menalkin- kan mayat yakni yang telah mukallaf, bukan anak kecil setelah ia (mayit) dikuburkan,
berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Rasyid bin Sa’ad
dan Dhamrah bin Habib dan Hakim bin ‘Umeir (ketiga mereka ini adalah tabi’in yakni yang bertemu dengan para
sahabat dan tidak menjumpai Nabi saw.) kata mereka: “Jika kubur mayat itu telah selesai
diratakan dan orang-orang telah berpaling mereka menganggap sunnah mengajarkan
kepada mayat dikuburnya itu sebagai berikut: ‘ Hai Anu (nama si mayit
disebutkan), ucapkanlah Laa ilaaha illallah asyhadu allaa ilaaha illallah’,
sebanyak tiga kali ! Hai Anu, katakanlah; ‘Tuhanku ialah Allah, agamaku ialah
Islam dan Nabiku Muhammad saw.’ Setelah mengajarkan itu barulah orang
tadi berpaling “.
Riwayat dari tabi’in diatas ini ada
disebutkan juga oleh Hafidz dalam At-Takhlis dan beliau berdiam diri
mengenai hal itu.
Dan diriiwayatkan oleh Thabarani
dari Abu Umamah yang katanya sebagai berikut:
“Jika salah seorang diantara
saudaramu meninggal dunia, dan kuburnya telah kamu ratakan, maka hendaklah
salah seorang diantaramu berdiri dekat kepala kubur itu dan mengatakan : ‘Hai
Anu anak si Anu ! Karena sebenar nya ia (si mayit) bisa mendengarnya
tetapi tidak dapat menjawab. Lalu hendaklah dipanggilnya lagi ; Hai Anu anak si
Anu ! Maka mayit itu akan duduk lurus. Lalu dipanggilnya lagi ; Hai Anu anak si
Anu ! Maka ia (si mayit) akan menjawab ; Ajarilah kami ini ! Hanya kamu (orang-orang
yang masih hidup) tidak menyadarinya. Maka hendaklah diajarinya (sebagai
berikut) : ‘Ingatlah apa yang kaubawa sebagai bekal tatkala meninggalkan
dunia ini, yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan, melainkan Allah, dan bahwa
Muhammad itu hamba dan utusan-Nya, dan bahwa engkau telah meridhoi Allah
sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai
Imam’. Maka Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan sahabatnya dan
mengatakan : Ayolah kita berangkat ! Apa perlunya klita menunggu orang yang
diajari jawabannya yang benar ini ! Seorang lelaki bertanya: Ya Rasulallah,
bagaimana kalau ibunya tidak dikenal ?. Ujarnya (Nabi saw.) ‘Hubungkan
saja dengan neneknya Hawa dan katakan; Hai Anu anak Hawa ‘ “.
Berkata Hafidz dalam At-Talkhish :
‘Isnad hadits itu baik dan dikuatkan oleh Dhiya’ dalam buku Ahkam-nya.
Dan pada sanadnya terdapat: ‘Ashim bin Abdullah, seorang yang lemah. Berkata Haritsani
setelah mengemukakan hadits diatas ini: ‘Pada sanadnya terdapat sejumlah orang
yang tidak saya kenal’. Sedangkan kata Imam Nawawi: ‘Hadits ini walaupun lemah,
tapi dapat diterima’!
Para ulama hadits dan lain-lain
telah menyetujui sikap yang luwes dalam menerima hadits-hadits mengenai
keutamaan-keutamaan, anjuran-anjuran dan ancaman-ancaman. Apalagi ia telah
dikuatkan oleh keterangan-keterangan lain seperti hadits yang lalu; ‘..Dan
mohonlah agar hatinya dikuatkan’ (hadits yang diterima dari Usman bin Affan
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga oleh Al
Bazzar). Dan wasiat dari ‘Amar bin Ash, sedang keduanya merupakan keterangan
yang sah. Dan hal ini (talqin) tetap dilakukan oleh penduduk Syria dari masa
‘Amr itu hingga sekarang.
Ada juga yang memakruhkan
(tidak mengafirkan atau membid’ahkan sesat) talqin ini diantaranya sebagian
golongan Maliki dan sebagian golongan Hanbali.
Untuk menyingkat halaman dibuku ini,
lebih mudahnya, maka saya anjurkan bagi pembaca yang ingin tahu mendetail
mengenai dalil-dalil dan wejangan para ulama pakar tentang pembolehan talqin ini
bisa membaca buku yang berjudul Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh
Ust.H.Mujiburrahman atau langsung merujuk kitab-kitab ulama yang disebutkan
dibuku itu.
Diantara ulama-ulama yang
membolehkan talqin ialah Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhazzab 5/303
dan kitabnya Al-Azkar hal.206 didalam kitab ini disebutkan juga nama ulama salaf
yang membolehkan talqin ; Syaikh Dr.Wahbah Zuhaily dalam
kitabnya Al-Fighul Islami 11/536 ; Syaikh Yusuf Ardubeli dalam kitabnya Al-Anwar
1/124 ; Syaikh Khatib Syarbini dalam kitabnya Al-Iqna’/183 ; Syaikh Ibnu
Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj 3/207; Imam Ramli dalam
kitabnya Nihayatul Muhtaj 3 /40. Dan masih ada lagi ulama pakar lainnya
yang membolehkan ini tallqin, tidak lain semuanya ini merupakan Fadha’ilul
A’mal amalan-amalan yang mengandung
keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir .
Dengan demikian amalan Talqin sudah
dikenal dan diamalkan oleh para salaf serta ulama-ulama pakar dari zaman
dahulu. Bagi orang yang tidak mau mengamalkan hal ini karena mengikuti wejangan ulamanya itu silahkan karena hal ini bukan
amalan wajib, tapi janganlah mencela, mensesatkan, mengharamkan sampai-sampai
berani mensyirikkan orang yang mau mengamalkan talqin ini, karena mereka
ini juga mengikuti wejangan ulamanya. Hati-hatilah !! Ingat hadits-hadits
Rasulallah saw. yang telah saya cantumkan didalam
website ini mengenai orang yang mengafir kan
saudaranya mulsim.
Sekalipun ada golongan yang
mengatakan hadits-hadits mengenai talqin diatas adalah lemah atau tidak
ada sama sekali tidak ada halangan untuk mengamalkan amalan-amalan yang
mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir. Sebagaimana kaidah
yang dikenal para ulama hadits diantaranya Ibnu Hajr dalam kitab Fathul
Mubin :32 yang mengatakan: “Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa hadits
lemah/dho’if boleh dipakai/diamalkan pada Fadha’ilul ‘Amal (amal-amal yang
mengandung keutamaan)”.
Mari kita lanjutkan mengenai ruh
manusia yang telah wafat dapat berdo’a, melihat para kerabatnya yang masih
hidup didunia.
Firman Allah swt. dalam At-Taubah :
105 :
“Dan katakanlah (hai Muhammad); Hendaklah kalian
berbuat. Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mu’minin akan melihat perbuatan kalian.
Kemudian kalian akan dikembalikan kepada-Nya Maha Mengetahui segala yang ghaib
dan yang nyata, lalu oleh-Nya kalian akan diberitahukan apa yang telah kalian
perbuat”.
Sekaitan dengan makna ayat diatas
ini, ada beberapa hadits Nabi yang menerangkan bahwa semua perbuatan kaum
Mu’minin akan dihadapkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. dan
kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat yang telah wafat. Mereka yang telah
meninggal itu akan bersedih hati bila kerabat mereka yang didunia melakukan
amalan-amalan yang dilarang oleh Allah swt., sehingga mereka berdo’a pada Allah
swt. agar kerabatnya yang didunia mendapat hidayah dari Allah sebelum mereka
wafat. Mereka juga akan merasa bahagia bila mendengar amalan-amalan baik dari
kerabatnya yang didunia.
Ibnu Mas’ud ra menuturkan, bahwasanya Rasulallah saw.
telah menyata kan:
“Hidupku adalah suatu kebaikan bagi
kalian. Kalian akan memberitakan hadits-hadits dan akan diberitakan (periwayat-periwayat hadits).
Wafatku pun suatu kebaikan bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan dihadapkan
kepada- ku. Tiap aku melihat yang baik, kupanjatkan puji syukur kepada Allah,
dan tiap aku melihat yang buruk akan kumohonkan ampunan-Nya bagi kalian”.
Hadits lainnya :
إنَّ
أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقرَبَائِكُمْ مِنْ مَوْتَاكـُمْ فَإنْ رَأوْا
خَيْرًا فَرِحُوا بِهِ, وَإذَا رَأوا شَرًّا كَرِهُوْا (رواه ابن جرير
“Sesungguhnya perbuatanmu akan dihadapkan pada kaum
kerabatmu yang telah meninggal. Jika dilihatnya baik, maka mereka akan gembira,
dan jika dilihatnya jelek, mereka akan kecewa”. (Riwayat Ibnu Jarir dari Abu Hurairah)
Ibnu Katsir
juga menerangkan bahwa amal perbuatan orang-orang yang masih hidup
diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum
kerabat yang telah wafat, dialam
barzakh. Kemudian ia mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
At-Thayalaisi, berasal dari Jabir ra. yang menuturkan, bahwasanya Rasulallah
saw. telah menegaskan:
“Amal perbuatan kalian akan
diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat. Jika amal kalian itu baik
mereka menyambutnya dengan gembira. Jika sebaliknya mereka berdo’a; ‘Ya Allah
berilah mereka ilham agar berbuat baik dan ta’at kepada-Mu’ “.
Selanjutnya Ibnu Katsir mengetengahkan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berasal dari Anas bin Malik ra. yang
menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan :
إِنَّ أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقرَبَائِكُمْ
وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ اللأمْوَاتِ فَإنْ كَاَن خَيْرًا إسْتَبـْشِرُوْا بِهِ,
وَإنْ كَانَ غَيْرَذَالِكَ قَالُوْا:
اللَّـهُمَّ لاَ تَمُتْهُمْ حَتىَّ تُهْدِيْـهِمْ كَمَا هَدَيْتَنَا. (رواه احمد و
الترميذي)
“Sesungguhnya amal perbuatanmu
akan dihadapkan kepada kaum kerabat dan keluargamu yang telah meninggal. Jika
baik, mereka akan gembira karenanya, dan jika tidak mereka akan memohon: ‘Ya
Allah, janganlah mereka diwafatkan sebelum mereka Engkau tunjuki, sebagaimana
Engkau telah menunjuki kami’“.(Riwayat Ahmad dan Turmudzi dari Anas)
Begitu juga masih banyak hadits yang
serupa tapi versinya berbeda. Tidak lain semuanya menunjukkan bahwa rahmat dan
karunia Allah ta’ala tidak ada batasnya. Jika kita tidak mempercayai kehidupan
selain dialam dunia saja, seperti yang disebutkan oleh ayat-ayat Ilahi dan
hadits-hadits Rasulallah saw., serta tidak mau tahu hal-hal ghaib maka kita
bukan tergolong sebagai orang yang beriman. Allah sendiri menerangkan bahwa urusan
ruh tersebut adalah urusan Allah swt., (Al-Israa : 85), karena ilmu manusia
yang sangat minim ini sangatlah sulit untuk menjangkau hal-hal yang ghaib,
kecuali orang-orang pilihan yang diberi ilmu oleh Allah swt. untuk
mengetahuinya.
Mungkin golongan pengingkar akan
mengatakan sebagaimana kebiasaan mereka bahwa hadits-hadits yang telah dikemukakan semuanya
tidak dapat dipercaya, bukan hadits shohih ! Baiklah, tetapi apakah mereka
ini dapat membuktikan atas dasar kesaksiannya sendiri bahwa hadits itu bohong
atau tidak shohih? Tidak lain mereka ini akan mengemukakan hadits atau
wejangan menurut pandangan ulama mereka mengenai masalah diatas. Apakah mereka hendak
memaksakan dan mewajibkan kepada orang lain supaya mempercayai atau mengikuti
ulama mereka mengenai ‘kebenar- annya hadits atau wejangan ulamanya ’ ?
Renungkanlah !
Banyak sekali contoh pada zaman
modern ini yang kita lihat dan dengar sendiri tentang kejadian yang menakjubkan
tapi tidak semua yang terjadi tersebut terjangkau oleh setiap akal manusia.
Begitu juga ayat-ayat Ilahi yang menerangkan kejadian-kejadian yang semuanya
masih diluar jangkau an akal manusia, seperti kejadian pada zaman Nabi Sulaiman
as. yang tercantum didalam surat An-Naml; 38-40, kejadian para pemuda yang
berada di gua Kahfi (Al-Kahfi: 9-12), juga mengenai orang yang dimatikan oleh
Allah swt. selama seratus tahun kemudian dihidupkannya kembali ( Al-Baqarah:
259) dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang tidak terjangkau dengan akal
manusia. Semua kisah ini adalah firman Ilahi yang harus kita imani/percayai walaupun belum bisa terjangkau
dengan akal manusia kecuali mereka yang telah diberikan ilmu oleh Allah swt. Wallahu a’lam .
Tahlilan/Yasinan (amalan atau hadiah
pahala untuk orang mati serta dalilnya)
Setelah kita membaca uraian diatas
mengenai amalan orang hidup yang bisa
bermanfaat bagi si mayit, pembacaan Al-Qur’an dikuburan, ruh-ruh kaum muslimin,
talqin dan lain sebagainya insya Allah
jelas bagi pembaca bahwa amalan-amalan yang dikerjakan saudara-saudara kita itu
mempunyai dalil dan akar yang kuat. Begitu juga dengan majlis dzikir tahlilan/yasinan
yang sering kita lihat, dengar atau kita alami sendiri terutama di Indonesia.
Didalam majlis ini diadakan pembacaan bersama ayat Al-Qur’an dan berdo’a yang
ditujukan untuk kita, kaum muslimin umumnya dan khususnya untuk
saudara-saudara kita muslimin yang baru wafat atau yang telah lama wafat.
Tahlilan ini boleh diamalkan baik secara berkumpul maupun perorangan.
Hal yang sama ini dilakukan juga
baik oleh ulama maupun orang awam dibeberapa kawasan dunia umpamanya: Malaysia,
Singapore, Yaman dan lainnya.
Memang berkumpul untuk membaca tahlilan
ini tidak pernah diamalkan pada zamannya Rasulallah saw. dan para sahabat. Itu
memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan
dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum
agama. Sifat rekayasa terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah
(secara massal), bukan terletak pada bacaan yang dibaca pada majlis tersebut.
Karena bacaan yang dibaca disana banyak diriwayatkan dalam hadits Rasulallah
saw. Tidak lain semuanya ini sebagai ijtihad para
ulama-ulama pakar untuk mengumpulkan orang dan mengamalkan hal tersebut.
Bacaan Tahlilan yang dibaca
di Indonesia, Malaysia, Singapora, Yemen ialah: Pertama-tama berdo’a dengan di-iringi niat
untuk orang muslimin yang telah lama wafat dan baru wafat tersebut, kemudian
disambung dengan bacaan
surat Al-Fatihah, surat Yaasin, ayat Kursi (Al-Baqoroh :255) dan beberapa ayat
lainnya dari Al-Qur’an, tahlil (Pengucapan Lailahaillallah) tasbih (Pengucapan
subhanallah), sholawat Nabi saw. dan sebagainya. Setelah itu ditutup dengan
do’a kepada Allah swt. agar pahala bacaan yang telah dibaca itu
dihadiahkan untuk orang-orang yang telah wafat terutama dikhususkan untuk orang
yang baru wafat itu, yang oleh karenanya berkumpulnya orang-orang ini untuk
dia. Juga berdo’a pada Allah swt. agar dosa-dosa orang muslimin baik yang masih hidup
maupun telah wafat diampuni
oleh-Nya. Nah, dalam hal ini apanya yang salah…? Allah swt. Maha Pengampun
dan Dia telah berfirman akan mengabulkan do’a sese- orang yang berdo’a
pada-Nya !
Sedangkan mengenai
makanan-makanan yang dihidangkan oleh sipembuat hajat itu bukan masalah
pokok tahlilan ini tidak lain hanya untuk menggembirakan dan menyemarakkan
para hadirin sebagai amalan sedekah dan dan tidak ada paksaan ! Bila ada orang
yang sampai hutang-hutang untuk mengeluarkan jamuan yang mewah, ini
bukan anjuran dari agama untuk berbuat demikian, setiap orang boleh mengamalkan
menurut kemampuannya. Dengan adanya ini nanti dibuat alasan oleh golongan
pengingkar untuk mengharamkan tahlil dan makan disitu. Ini sebenarnya bukan alasan
yang tepat karena Tahlil tidak harus diharamkan atau ditutup karena penjamuan
tersebut. Seperti halnya ada orang yang ziarah kubur beranggapan bahwa ahli
kubur itu bisa merdeka memberi syafa’at pada orang tersebut tanpa izin
Allah swt., keyakinan yang demikian ini dilarang oleh agama. Tapi ini tidak
berarti kita harus mengharamkan atau menutup ziarah kubur karena
perbuatan perorangan tersebut. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan hukum
syari’at Islam !
Sekali lagi penjamuan tamu
itu bukan suatu larangan, kewajiban dan paksaan, setiap orang boleh mengamalkan
menurut kemampu annya, tidak ada hadits yang mengharamkan atau melarang
keluarga mayyit untuk menjamu tamu orang-orang yang ta’ziah atau yang berkumpul
untuk membaca do’a bersama untuk si mayyit..
Imam Syafi’i dalam kitabnya
Al Umm mengatakan bahwa disunnahkan agar orang membuat makanan
untuk keluarga mayyit sehingga dapat menyenang kan mereka, yang mana hal ini
telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw. tatkala datang berita
wafatnya Ja’far bersabda; ‘Buatkanlah
makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang
menyibukkan’ (Tartib Musnad Imam Syafi’i,
pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits
nr. 602 jilid 1 hal. 216)
Tetapi riwayat itu bukan
berarti keluarga si mayyit haram untuk mengeluar- kan jamuan kepada para
tamu yang hadir. Begitu juga orang yang hadir tidak diharamkan untuk menyuap
makanan yang disediakan oleh keluarga mayyit. Penjamuaan itu semua adalah
sebagai amalan sedekah dan suka rela terserah pada keluarga mayyit. Rasulallah
saw. sendiri setelah mengubur mayit pernah diundang makan oleh keluarga si
mayyit dan beliau memakan nya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu dawud dan Baihaqi dari Ashim bin Kulaib dari ayah seorang sahabat Anshar,
berkata:
“Kami telah keluar menyertai Rasulallah
saw. mengiringi jenazah, maka kulihat Rasulallah saw. berpesan kepada penggali
kubur, kata beliau saw., ‘perluaslah arah kedua kakinya, perluaslah arah
kepalanya’. Ketika beliau pulang ditemuilah orang yang mengundang dari pihak
istrinya (istri mayyit),
beliaupun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya lalu dihidangkan makanan,
maka beliau mengulurkan tangannya, kemudian hadirin mengulur- kan tangan
mereka, lalu mereka makan, dan aku melihat Rasulallah saw. mengunyah suapan di
mulutnya”.
Golongan pengingkar majlis tahlilan
ada juga yang mengatakan bahwa membaca Tahlilan/Yasinan dirumah si mayyit yang baru
wafat, diadopsi oleh para Da’i terdahulu dari upacara kepercayaan
Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animesme ruh-ruh keluarga
yang wafat akan datang kerumahnya masing-masing setelah pada hari 1-3-7 dan
seterusnya, dan ruh-ruh ini mengharap sajian-sajian dari keluarganya, bila
tidak mereka akan marah dan lain-lain. Setelah mereka masuk Islam, akidah yang sama
tersebut masih dijalankan golongan ini (repot untuk dihilangkannya). Maka para
Da’i penyebar pertama Islam di Indonesia
termasuk wali songo merubah keyakinan mereka dan
memasukkan ajaran-ajaran dzikir untuk orang yang telah wafat itu. Jadi para
Da’i/ahli dakwah ini tidak merubah adat mereka ini tapi memberi wejangan
agar mereka berkumpul tersebut membaca dzikir pada Allah swt. dan berdo’a
untuk si mayat, sedangkan sajian-sajian tersebut tidak ditujukan
pada ruh mayat tapi diberikan para hadirin sebagai sedekah/ peng
hormatan untuk tamu !
Penafsiran golongan ini bahwa majlis
tahlilan sebagai adopsi dari Hindu yang tidak beragama Islam dan
mempunyai banyak Tuhan dan sebagainya ini ialah pemikiran yang tidak
benar serta dangkal sekali ! Penulis sejarah seperti ini adalah penulis
yang hanya mengarang-ngarang saja dan anti majlis dzikir. Pengarang ini tanpa
memperhatikan tulisan atau ucapannya sehingga dia telah menyamakan kaum
muslimin termasuk para Da’i, ulama
pakar maupun orang awam yang ikut bercengkerama pada
majlis tahlilan/ yasinan ini dengan orang-orang kafir Hindu yang tidak
bertauhid. Hati-hatilah !!
Para Da’i sebelum datang di Indonesia
sudah mengenal dan mengamalkan majlis dzikir, walaupun cara mereka mengamal kan berbeda dengan
kita yang di Indonesia tapi intinya sama mereka mengenal riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hadiah
pahala amalan yang bermanfaat untuk mayit. Semuanya
ini (dzikiran, hadiah pahala amalan) sudah diterangkan dalam hadits
Rasulallah saw., wejangan para ulama pakar dari semua madzhab Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad beberapa ratus tahun sebelum para
Da’i datang ke Indonesia.
Sedangkan cara pengamalan majlis
dzikir ini berbeda-beda tapi inti dan maknanya sama yaitu pembacaan doá dan
penghadiahan pahala bacaan ini kepada orang yang telah wafat. Ada
yang mengamalkannya sendirian/per-orangan saja dan ada yang mengamalkan
dengan mengumpulkan orang banyak untuk berdo’a bersama yang
ditujukan untuk si mayyit. Bertambah banyak orang yang berdo’a kepada
Allah swt. sudah tentu bertambah baik dan lebih besar syafa’at yang diterima
untuk si mayyit itu .
Didalam Islam kita dibolehkan serta
dianjurkan untuk berdakwah dengan cara apapun selama cara tersebut tidak keluar
dari garis-garis syariat akidah Islam. Dengan demikian para Da’i merubah keyakinan
orang-orang Hindu yang salah kepada yang benar yang sesuai dengan syari’at
Islam. Dakwah mereka ini sangat hebat sekali mudah diterima dan dipraktekan
oleh orang-orang yang fanatik dengan agama dan adatnya yang tadinya di Jawa 85 % beragama Hindu menjadi 85%
beragama Islam sehingga mereka memeluk agama
yang bertauhid satu !
Berdzikir pada Allah swt. itu boleh
diamalkan setiap detik, menit, hari, bulan dan lain-lain lebih sering
lebih baik. Dakwah yang bisa merubah adat buruk suatu kaum kepada
adat yang sejalan dengan syari’at Islam serta bernafaskan tauhid
adalah dakwah yang sangat baik sekali. Dengan demikian kaum itu
akan kembali kejalan yang benar yang diridhoi Allah swt. Jadi para Da’i waktu
itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagai mana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu
ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dalam hal
ini apanya yang salah….?
Sejarah mencatat juga bahwa penyebar
Islam yang pertama kali ke Indonesia dari Gujarat, Cina, Persia dan Iraq
dimulai pada permulaan abad ke-12 M ( jadi sebelum wali songo). Di negara
penyebar-penyebar Islam (para Da’i) yang pertama kali di Indonesia ini sudah
sering diadakan kumpulan/majlis dzikir dan peringatan-peringatan keagamaan
diantaranya peringatan hari lahir dan wafatnya Nabi saw. (silahkan baca bab
maulidin Nabi saw. dalam buku ini), peringatan kelahiran dan kewafatan Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., peringatan kelahiran dan kewafatan Sayyidah
Fatimah Az-Zahra putri Muhammad saw. dan lain sebagainya, walaupun cara mereka
mengadakan peringatan-peringatan tersebut tidak persis atau sama dengan kita di
Indonesia, tapi inti dan maknanya sama memperingati, menghadiahkan pahala
bacaan dan mendo’akan orang-orang yang telah wafat.
Jadi majlis dzikir dan penghadiahan
pahala bacaan yang dibaca ini sudah diamalkan oleh para ulama pakar
sebelum penyebar-penyebar Islam ini datang ke Indonesia ! Hal yang sama
sering diamalkan juga oleh kaum muslimin dari berbagai madzhab: Madzhab Hanafi,
Maliki, Syafii dan sebagainya diseluruh dunia, yang mana pengikut
madzhab-madzhab ini sudah ada dimulai pertengahan abad ke 8 M atau sekitar
tahun 100 Hijriah yaitu mulai zamannya Imam Ja’far Shodiq ( 80-148 H/ 699-765
M) bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib
kw., yang mana Imam Hanafi, Imam Malik ra pernah berguru pada Imam Ja’far ini.
Tidak lain mengumpulkan orang untuk
peringatan keagamaan ini dan berkumpulnya orang-orang untuk membaca tahlil
adalah hasil ijtihad yang baik dari para ulama pakar, yang semuanya ini
tidak keluar dari garis yang telah ditentukan oleh syari’at. Amalan ini mereka
teruskan dan jalankan di negara kita yang mana sampai detik ini diamalkan oleh
sebagian besar kaum muslimin di Indonesia.
Malah sekarang bisa kita lihat bukan
hanya di negara kita saja, tetapi peringatan-peringatan Maulidin Nabi saw. dan
kumpulan majlis dzikir ini sudah menyebar serta dilaksanakan oleh sebagian
besar kaum muslimin diseluruh dunia dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki,
Syafii, dan lain-lain) diantaranya: Malaysia, Indonesia, Mesir, Irak, Iran,
Afrika, Turki, Yemen, Marokko, negara Saudi Arabia, Pakistan dan sebagainya.
Umpama saja, kita tolerans dan benarkan
sejarah yang ditulis oleh golongan pengingkar ini mengenai majlis tahlilan
tersebut, sekali lagi umpamanya diketemukan sejarah yang benar/authentik dari
zamannya para Da’i ke Indonesia yaitu meneruskan adat Hindu ini dengan mengarahkan kepada amalan-amalan
dzikir/tahlilan yang ditujukan untuk yang hadir dan si mayit apanya yang salah dalam hal ini ?
Para Da’i merubah dan mengarahkan adat
Hindu yang keliru ini yang mempercayai akan marahnya ruh
kerabat-kerabat mereka yang baru wafat bila tidak diberi sajian-sajian
kepada si mayyit ini selama 1-3-7 hari kepada adat yang dibolehkan dan sejalan dengan syari’at
Islam. Dengan demikian adat-adat hindu yang masih dilakukan oleh
orang-orang yang baru memeluk agama Islam/ muallaf ini, diteruskan dengan
bacaan-bacaan dzikir serta do’a-do’a pada Allah swt. yang bisa bermanfaat untuk
si mayyit. Sedangkan sajian-sajian yang biasanya oleh kaum Hindu disajikan
kepada ruh si mayyit, dirubah oleh para Da’i untuk disajikan kepada para
kerabat mereka atau kepada para hadirin yang ada disitu.
Sedangkan waktu pelaksanaan berdzikir
dan berdo’a kepada Allah swt. untuk si mayyit selama 1-3-7 hari atau
lebih banyak hari lagi, ini semua boleh diamalkan. Karena didalam
syari’at Islam tidak ada larangan setiap waktu untuk berdzikir dan berdo’a
kepada Allah swt. yang ditujukan baik untuk orang yang masih hidup maupun
yang sudah wafat. Malah sebaliknya banyak riwayat-riwayat Ilahi dan hadits
Rasulallah saw. yang menganjurkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk berdzikir dan berdo’a setiap saat, lebih banyak waktu yang
digunakan untuk berdzikir dan berdo’a itu malah lebih baik!!
Sekali lagi bahwa para Da’i waktu
itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagaimana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada
jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dua kata-kata mengadopsi
dan mengajari itu mempunyai arti yang berbeda!
Jika pikiran golongan pengingkar yang
telah dikemukakan dituruti, beranikah mereka ini menuduh puasa sunnah
‘Asyura (10 Muharram) yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw. dan beliau anjurkan kepada para sahabatnya sebagai perbuatan meniru-niru orang Yahudi atau sebagai
adopsi dari kaum ini? Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah
saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram
tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa
pada hari itu ? Mereka menjawab; Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan nabi
mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Kemudian Nabi saw. menjawab: Kami
lebih berhak memperingati Musa dari- pada kalian! (Nahnu aula bi muusaa
minkum).
Begitu juga Nabi saw. pernah ditanya
mengenai puasa sunnah setiap hari Senin, beliau saw. menjawab; ‘Pada hari
itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga (Allah swt.) menurunkan wahyu
kepadaku’. Mengapa golongan pengingkar ini tidak menuduh puasa sunnah hari
Senin yang dilakukan Nabi saw. untuk memperingati hari kelahiran beliau dan
menghormati turunnya wahyu yang pertama, sebagai perbuatan meniru-niru golongan
Kristen yang memperingati hari kelahiran Yesus ?
Wahai golongan pengingkar, janganlah
kalian selalu mencari-cari alasan untuk melarang orang tahlilan dengan memasukkan
macam-macam riwayat atau sejarah yang mana semuanya ini tidak ada sangkut
pautnya dengan larangan agama untuk membaca tahlilan dan hanya menambah dosa
kalian saja !! Jadi selama ini yang mengatakan menurut ceritera bahwa tahlilan, yasinan adalah warisan
atau adopsi dari kepercayaan Animesme, Hindu atau Budha adalah tidak benar!
Ini hanya sekedar Dongengan Belaka yang diada-adakan oleh mereka
yang anti majlis dzikir.
Mereka juga mengatakan seperti biasanya amalan-amalan tersebut adalah Bid’ah, Syirk dan sebagainya karena tidak
pernah dilakukan atau dianjurkan oleh Rasulallah saw., para sahabat
atau tabi’in, dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sambil mengambil
dalil hanya dari beberapa bagian al-Qur’andan Sunnah yang sepaham dengan pikiran mereka dan meninggalkan serta melupakan dari surat-surat
Al-Qur’an dan Sunnah yang lainnya. Mereka lebih mengartikan Bid’ah secara
tekstual (bahasa) daripada secara Syari’at. (Baca keterangan mengenai Bid’ah).
Ingatlah saudara-saudaraku, mereka ini
berkumpul untuk berdzikir pada Allah swt. dengan niat dan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya yang mana dzikir ini sudah pasti
mendapat pahala karena banyak ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai pahala
bacaan-bacaan dzikir (tahmid, sholawat, takbir, tahlil dan lain-lain) yang
dibaca dimajlis-majlis tersebut (rujuklah pahala baca Al-Qur’an dan
sebagainya dibuku ini). Bila golongan yang tidak senang amalan tersebut serta
ingin menyerukan yang baik dan melarang yang munkar/jelek, laranglah
dan nasehatilah secara baik pada orang-orang yang melanggar agama yang
pelanggaran tersebut sudah disepakati oleh seluruh ulama madzhab Sunnah
tentang haramnya (pelacuran, peminum alkohol dan lain-lain). Janganlah selalu
menteror, mensesatkan atau mengharamkan majlis dzikir, tawassul, tabarruk dan
sebagainya yang semuanya mempunyai dalil.
Dan janganlah mudah mengafirkan
golongan muslimin yang berdosa tersebut selama mereka masih mentauhidkan Allah
swt. dan mengakui kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Camkanlah hadits
Rasulallah saw. yang mengecam orang yang menuduh muslimin sebagai kafir, fasiq,
munafik karena hanya amal perbuatan mereka tersebut !
Bila golongan pengingkar ini tidak mau
mengamalkan tawassul, tabarruk, ziarah kubur, kumpulan majlis dzikir dan
sebagainya, disebabkan mengikuti wejangan ulama-ulama mereka yang melarang hal
tersebut, silahkan dan itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada
kaum muslimin lainnya yang mencela, mensesatkan mereka atau merasa rugi dalam
hal ini, karena semuanya itu amalan sunnah bukan wajib. Tapi janganlah,
karena keegoisan dan kefanatikannya pada wejangan ulamanya sendiri, menyuruh
dan mewajibkan muslimin seluruh dunia untuk tidak melaksanakan
tawassul, tabarruk, kumpulan dzikir bersama dan sebagainya, sampai-sampai
berani mengkafirkan, menghalalkan darahnya, mensesatkan dan memunkarkan mereka
karena mengamalkan hal-hal tersebut. Orang-orang yang mengamal kan kebaikan ini
sebagai amalan tambahannya serta mereka tidak mensyariatkan atau
mewajibkan amalan-amalan tersebut.
Pikiran mereka seperti itu juga akan
dibodohkan oleh muslimin, karena banyak wejangan ulama-ulama pakar yang
berkaitan dengan amalan-amalan diatas serta mereka ikut bercengkerama didalam
majlis-majlis tersebut ! Bagi non-muslim akan lebih mempunyai bukti atas
kelemahan muslimin dan mereka akan berpikiran bahwa agama Islam adalah agama
yang suka mencela, tidak toleransi, dengan sesama agamanya saja mereka
mensesatkan atau menghalallkan darahnya apalagi dengan kita yang non-muslim !
Perselisihan/perbedaan dalam hal
tersebut seharusnya diselesaikan secara baik oleh sesama ulama-ulama Islam,
sehingga bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
perbedaan pendapat setiap manusia atau golongan itu selalu ada, tetapi bukan
untuk diperuncing atau dipertajam. Setiap golongan muslimin berdalil pada
Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penafsiran dan
penguraiannya. Alangkah baiknya kalau sesama muslim satu sama lain tidak
mengkafirkan, mensesatkan pada orang yang senang mengamalkan amalan-amalan
sunnah yang baik itu ! Begitupun juga kita harus saling toleransi baik antara
muslimin sesamanya atau antara muslimin dan non-muslimin (yang tidak memerangi
kita). Dengan demikian keharmonisan hidup akan terlaksana dengan baik.
Telah dikemukakan juga bahwa kita
dibolehkan mengeritik, mensalahkan akidah atau keyakinan suatu golongan
muslimin yang sudah jelas dan tegas dilarang oleh agama umpamanya;
menyembah berhala, mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai anak Allah swt.,
menyerupakan/tasybih Allah swt. dengan makhluk-Nya, tidak mempercayai adanya
Malaikat, menghalalkan makan babi, main judi, membolehkan orang meninggalkan
sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya, ini semua sudah jelas bertentangan
dengan ajaran syariat Islam. Semoga kita semua diberi Taufiq oleh Allah swt.
Amin
Keterangan singkat mengenai Peringatan
Haul
Orang-orang Arab Jahiliyyah setelah
menunaikan haji mereka hanya bermegah-megahan tentang kebesaran nenek moyangnya
saja. Kemudian turun perintah Allah swt. agar mereka sebagaimana mereka menyebut-yebut nenek moyangnya agar banyak berdzikir pada Allah swt.:
‘Apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu
menyebut-nyebut (membangga-bangga kan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah
lebih banyak dari itu’. (Al-Baqarah: 200)
Dalam ayat diatas ini, Allah swt. tidak
melarang adat mereka setiap tahun setelah usai haji menceriterakan
riwayat hidup dan membangga-bangga kan nenek moyangnya, hanya Allah swt.
menghendaki agar orang Arab Jahiliyyah disamping membangga-banggakan
tersebut juga banyak berdzikir pada Allah swt.!
Sebagian ulama mengatakan ayat ini bisa
dijadikan sebagai dalil diboleh- kannya orang-orang setiap tahun
memperingati para wali atau sholihin yang telah wafat (Haul). Karena
dalam peringatan ini para ulama akan menyebut- kan/mengumandangkan kepada
hadirin riwayat hidup para wali/sholihin yang diperingati ini,
kemudian diakhiri dengan berdo’a kepada Allah swt. agar amalan-amalan
para wali/sholihin ini diterima oleh Allah swt. dan para hadirin diberi
taufiq oleh Allah sehingga bisa mencontoh amal perbuatan para sholihin
yang terpuji, dimasa hidupnya mereka.
Kita juga telah membaca beberapa
riwayat mengenai ruh-ruh sedemikian besar artinya dan sedemikian tinggi
martabat yang dikaruniakan Allah swt. kepada para waliyullah khususnya dan
hamba Allah mukminin pada umum nya. Mereka bisa berdo’a pada Allah swt. baik
untuk para kerabatnya maupun para hadirin yang berziarah dimakam-makam mereka.
Ruh-ruh mereka bisa hadir dimakamnya atau ditempat lainnya yang mereka
kehendaki setiap waktu.
Dengan demikian peringatan Haul ini
banyak manfaat baik bagi orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Bagi
yang sudah wafat mendapat do’a dari jama’ah, fadhilah atau pahala
pembacaan Al-Qur’an yang ditujukan kepadanya. Sedangkan berkumpulnya jama’ah
(para hadirin) yang membaca do’a ini sudah tentu akan mendapat pahala, rahmat dan
berkah dari Allah swt., karena ziarah kubur pada orang muslim yang biasa saja
sudah termasuk sunnah Rasulallah saw. apalagi menziarahi para ulama, para
sholihin dan para wali yakni orang-orang yang dibanggakan, dipuji oleh Allah
swt. dan Rasul-Nya.
Jika haul yakni berkumpulnya orang banyak untuk ziarah dimuka
kuburan para wali sebagai bid’ah, itu sungguh merupakan
bid’ah mahmudah (bid’ah yang terpuji) atau bid’ah hasanah (bid’ah yang baik)
karena sejalan dengan kaidah hukum syari’at Islam (baca bab Bid’ah di buku
ini).Tidak ada alasan untuk menuduh penyelenggaraan Haul itu bid’ah dholalah
(bid’ah sesat) atau haram, selagi tuduhan itu tidak didasarkan pada
nash-nash Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. yang dengan tegas dan jelas
mengharamkan Haul. Mengharamkan sesuatu yang oleh syara’ tidak diharamkan,
apalagi jika tidak disertai dalil yang tegas dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulallah, itu bukan lain hanyalah omong kosong dan semata-mata mengada-adakan
kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan sama sekali bukan dari ajaran agama
! Ingat ayat Allah swt. dalam surat Asy-Syuraa:21: “….mereka yang mensyari’atkan
sebagian dari agama sesuatu yang tidak di-izinkan Allah”.
Jadi sesuatu yang menurut asalnya (pada
dasarnya) halal tidak boleh diharamkan kecuali atas dasar dalil yang benar
dan jelas serta sejalan dengan penegasan Allah dan Rasul-Nya tentang
pengharamannya.
Banyak masalah ilmu figih yang tidak
menghapus sama sekali adat-adat Jahiliyyah. Nabi saw. meneliti adat-adat
Jahiliyyah yang baik dan tidak melanggar syari’at Islam itu boleh diamalkan
sedangkan adat Jahiliyyah yang buruk dan melanggar syari’at itu harus dihapus.
Umpama hal meminang dalam perkawinan, perceraian, masa iddah dan lain
sebagainya ini sudah ada pada zaman jahiliyyah jadi bukan masalah yang
baru dalam agama Islam. Rasulallah saw. meneliti kembali masalah-masalah
tersebut untuk bisa disesuaikan dengan hukum syari’at Islam.
Demikianlah sekelumit keterangan
mengenai peringatan Haul, sebagai tambahan setelah keterangan mengenai tahlilan/yasinan.
Semoga Allah swt. memberi petunjuk yang benar kepada kita semua. Amin
Dalil-dalil orang yang membantah dan
jawabannya
Banyak orang salah mengartikan makna
beberapa hadits atau ayat ilahi berikut ini, dengan adanya salah penafsiran
tersebut mereka mudah mengharamkan atau mensesatkan amalan-amalan orang hidup
yang dituju- kan pahalanya untuk orang yang mati.
1. Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad :
عَنْ
أبِى هُرَيْرَة (ر)
أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:
صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ (رواه
ابو داود)
‘Apabila seorang manusia meninggal
maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal : Sedekah jariyah, anak yang shalih
yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya’.
Mereka berkata: Kata-kata ingata’a
amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa
amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya
kepada mayyit !
Pikiran seperti itu adalah tidak tepat,
karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit
telah selesai dan putus amal- nya, karena ia tidak diwajibkan lagi untuk
beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari
amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Juga tidak ada keterangan
dalam hadits tersebut bahwa si mayyit tidak dapat menerima syafa’at,
hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang
sholeh. Tidak juga berarti bahwa si mayit tidak bisa berdo’a untuk orang
yang masih hidup. Malah ada hadits Rasulallah saw.bahwa para Nabi dan
Rasul masih bersembah sujud kepada Allah swt.didalam kuburnya.
Dalam syarah Thahawiyah halaman 456
disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu
(terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a
amaluhu (terputus amal- nya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah
milik orang yang mengamal kannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit,
maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang
sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si
mayit itu.
Banyak hadits Nabi saw. yang berarti
bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah
do’a kaum muslimin untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya
(baca keterangan sebelumnya) yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan
hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca
haditsnya dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama
muslimin baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat sebagaimana
yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 .
Begitu juga pendapat sebagian golongan
yang mengikat hanya do’a dari anak sholeh saja yang bisa diterima oleh
Allah swt. adalah pikiran yang tidak tepat baik secara naqli (nash) maupun aqli
(akal) karena hal tersebut akan bertentangan juga dengan ayat ilahi dan
hadits-hadits Nabi saw. mengenai amalan-amalan serta do’a seseorang yang
bermanfaat bagi si mayit maupun bagi yang masih hidup.
Mengapa dalam hadits ini dicontohkan do’a
anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang
tuanya dimana orang-orang lain telah melupakan ayahnya. Sedangkan anak yang
tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu
berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.
Dari anak sholeh ini si mayit sudah
pasti serta selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud
makna dari hadits ini, dengan demikian hadits ini tidak akan
berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan
sampainya pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji,
sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai
amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat selama dua hal ini masih diamalkan oleh
manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafa’at
darinya.
Kalau kita tetap memakai penafsiran
golongan pengingkar yang hanya membatasi do’a dari anak sholeh yang bisa sampai
kepada mayyit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak ? Apakah
orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa’at/manfaat
do’a dari amalan orang yang masih hidup? Sekali lagi penafsiran
dan pembatasan hanya do’a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayyit
adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih
mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit, diantaranya
do’a orang-orang muslimin pada waktu sholat jenazah.
Dalam Al-Majmu’ jilid
15/522 Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa
‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau
tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.
Hal yang serupa ini juga diungkapkan
oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid
3/218 : ‘ Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik
sedekah itu dari ahli warisnya ataupun dari yang selainnya’
No comments:
Post a Comment