PANTUN
SARJANA BERMENTAL
COPET
OLEH Drs.M.Rakib.S.H.,M.Ag Ciptakarya Pekanbaru Riau.2014
OLEH Drs.M.Rakib.S.H.,M.Ag Ciptakarya Pekanbaru Riau.2014
BAGAIKAN PETUGAS KEAMANAN
PENCOPET MENGGELEDAH DENGAN AMAN
DALAM DIRINYA, BERGELORA JIWA SETAN
TAK AKAN MUNGKIN ORANG, MEMAAFKAN
NENEK SIHIR, MENYAPU HALAMAN,
PUTUS KARET, TALI
CELANA.
HATI-HATI, DALAM
BERTEMAN,
ADA PENCOPET, JADI
SARJANA.
MENCARI BENALU, KE
SIALANG,
TEMPAT ORANG,
MENCARI ROTAN
SEGAN
DAN MALAU, KALAULAH HILANG
PERSIS SEPERTI, BABI HUTAN.
PUTRI
KEMBAR, LAHIRNYA MALAM,
PERMAISURI,
SANGATLAH GIRANG
PEPAT
DI LUAR, RUNCING DI DALAM,
MENTAL
YAHUDI, KINI BERSARANG.
Lahirnya para pemimpin BERMENTAL
COPET, juga sebaliknya yang berkualitas, bijaksana, adil serta mampu mengurangi angka
kemiskinan, memanglah takdir dari yang kuasa. Bahkan menjadi hal yang dirindukan dan dambaan setiap anak negeri ini. Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas
makin jelas terlihat karena hampir setiap hari saja
orang berbicara, mengeluh tentang para pemimpin yang salah langkah, para
pemimpin yang kurang memperhatikan nasib rakyatnya. Tetapi, sangatlah
disayangkan karena sampai kehari ini, ternyata masih belum banyak orang yang
berbicara tentang bagaimana sebenarnya liku dan proses dari kemunculan/
lahirnya seorang pemimpin itu.
Dewasa ini, orang justru malah lebih
banyak tertarik untuk berbicara hanya sebatas tentang
berbagai masalah kesulitan hidup yang masih menggeluti lebih
dari 20 % rakyat dinegeri ini dimana berbagai kesulitan hidup itu, telah pula
mengakibatkan munculnya berbagai masalah sosial ditengah masyarakat banyak.
Mulai dari masalah banyaknya gepeng, pengangguran, prostitusi, penipuan sampai
kepada masalah pelanggaran hukum lainnya yang kualitasnya semakin hari semakin
meningkat.
Potret dari kemiskinan itu, sepintas
lalu saja sudah dapat kita lihat dari masih banyaknya gubuk-gubuk reot hunian
penduduk yang bukan hanya dapat kita lihat dikampung-kampung tetapi juga dapat
kita lihat dikota-kota besar. Begitu pula dengan gepeng yang semakin hari
semakin banyak berkeliaran hampir di setiap kota. Tambahan lagi, busung lapar
atau gizi buruk masih saja menghiasi kehidupan sebahagian masyarakat yang
terpinggirkan di negeri ini. Padahal kalaulah mendengarkan nyanyian Koes Plus,
tanah kita ini adalah tanah sorga, dengan untaian khatulistiwa zamrud dan
mutiaranya, semua bisa jadi tanaman. Sampai-sampai batupun, katanya, bisa jadi
tanaman, begitulah kayanya bumi kita ini.
Rasanya,
nyanyian Koes Plus itu tidaklah terlalu berlebihan, karena sumber daya alam
negeri kita ini, kata dunia, memanglah melimpah ruah. Namun demikian,
ironisnya, penduduknya masih saja cukup banyak yang harus terpaksa
hidup dibawah garis kemiskinan.
Dalam hal kemiskinan ini, sampai ada yang
mengatakan bahwasanya kehidupan sebahagian penduduk negeri ini masih saja mirip
seperti ayam yang bertelur diatas padi tetapi harus mati kelaparan. Kenapa ???.
Inilah permasalah pokok yang masih belum banyak dipahami orang.
Sehubungan dengan masih banyaknya
penduduk miskin ini, berbagai pihak sejak lama sudah mencoba mencari
penyebabnya sekaligus mencari jalan keluarnya. Berbagai pendapat, analisa dan
cara untuk mengurangi kemiskinan ini telah pula dikemukakan
orang. Meskipun
demikian berbagai usaha itu belum banyak mendatangkan hasil.
Di antara sekian banyak pendapat yang
paling mengemuka diantaranya adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya
penyebab dari masalah masih banyaknya penduduk miskin dinegeri ini tak lain
adalah disebabkan karena negeri ini sampai saat ini masih saja belum dapat menemukan pemimpin yang berkualitas bahkan banyak pula yang
mengatakan bahwasanya mereka telah salah dalam memilih pemimpin.
Dari
satu sisi, pendapat itu mungkin ada benarnya, tetapi dari sisi yang lain,
pendapat itu tampaknya harus ditinjau ulang kembali.
Untuk itu mari, coba kita lihat
negara-negara tetangga yang telah lebih dahulu merasakan nikmatnya kemakmuran.
Sebagaimana pepatah lama mengatakan, “mengambil contoh kepada yang telah sudah,
mengambil tuah kepada yang menang”. Lihatlah negeri Singapura misalnya, sebuah
negara kecil dengan kepemimpinan seorang Lee Kwan Yu ternyata telah mampu
menguasai perdagangan di Asia Tenggara. Kemudian, negara Malaysia yang berada
dibawah asuhan para pemimpinnya yang tentunya juga lebih
berkualitas, yang dipilih oleh rakyatnya yang tentunya juga rakyat yang lebih berkualiatas; telah pula berhasil menjadikan
masyarakat banyaknya, menjadi lebih sejahtera sehingga sampai kehari ini Malaysia tidaklah pernah mengirimkan seorangpun pembantu ke
Indonesia. Sementara Indonesia yang begitu kaya dengan sumber daya alamnya ini
dan juga sama-sama dari ras Melayunesia, sama seperti penduduknya negeri
Malaysia; tetapi karena SDM-nya yang belum cukup berkualitas, maka sampai saat
ini Indonesia masih harus berbangga hati dengan kemampuannya yang telah
berhasil mengirimkan jutaan pembantu ke Malaysia dan negara lainnya. Begitu
juga dengan Vietnam negeri yang meskipun agak terlambat mendapatkan
kemerdekaannya, tetapi telah pula berhasil melakukan ekspor berasnya. Sementara kita
negeri yang subur ini masih saja harus meng-impor berbagai kebutuhan pokok,
mulai dari beras, jagung, kedele sampai-sampai singkongpun katanya harus
di-impor. (Selanjutnya silahkan dibaca di blog: dinamikalogis)
Meskipun bangsa
yang besar ini telah melihat begitu banyak contoh kemajuan yang telah diperoleh
oleh negara-negara lain yang tentunya berkat arahan dari para pemimpin mereka
yang memang lebih berkualitas, yang dapat menjadikan rakyatnya menjadi lebih
sejahtera; namun ironisnya semenjak kemerdekaan sampai kehari ini, ternyata semua contoh-contoh itu masih belum dapat menjadi pendorong, menggugah bangsa ini untuk berpikir, menyadari dan memperbincangkan tentang
asal muasal dari seorang pemimpin itu sebenarnya dari mana. Oleh karena itu, mari sama-sama kita kita coba merenungkan
ungkapan berikut ini.
Kini
dizaman tehnologi serba canggih ini, seharusnya sudah saatnya bagi kita
masyarakat Indonesia ini untuk berfikir kembali, menyadari bahwasanya
kemunculan seorang pemimpin itu sebenarnya adalah ibaratkan buah-buahan yang
dihasilkan oleh sebatang pohon. Bagaimanapun, misalnya, sebatang pohon mangga
logikanya pastilah akan menghasilkan buah mangga. Sebatang pohon mengkudu
pastilah akan menghasilkan buah yang kelat, pahit dan kesat. Adalah mustahil
bila sebatang pohon mengkudu akan menghasilkan buah mangga yang harum dan manis
– dengan tekhnologi persilangan barangkali ?.
Kita
tentunya juga menyadari, bahwasanya meskipun setiap pohon mangga pastilah akan
menghasilkan buah mangga; namun, hal itu bukanlah satu jaminan
langsung bahwasanya setiap pohon mangga akan menghasilkan buah mangga yang
harum, manis dan enak. Karena kalaulah pohon mangga itu sendiri dalam keadaan
kurang baik, maka buah mangga yang dihasilkannya tentulah juga akan kurang
baik. Bagaimanapun, yang jelas tidaklah mungkin pohon mangga akan berbuah
durian.
Gambaran
dari ungkapan diatas, adalah dimaksudkan untuk menjelaskan bahwasanya tampilan
seorang pemimpin itu sebenarnya adalah cerminan dari pola pikir, mental dan
tabiat dari masyarakatnya sendiri. Dari satu kelompok masyarakat yang
baik, biasanya ada harapan untuk melahirkan seorang pemimpin yang juga baik.
Sebaliknya dari satu kelompok masyarakat yang kusut dan freeman; kemungkinannya
juga akan melahirkan seorang pemimpin yang kusut dan freeman.
Tidakkah
kita memperhatikan bahwasanya satu kelompok biasanya akan melahirkan atau akan
memilih para pimpinannya ?. Tidaklah pernah terjadi sebaliknya dimana seorang
pemimpin akan melahirkan atau akan memilih masyarakatnya.
Sehubungan
dengan gambaran ungkapan diatas, mari sama-sama kita perhatikan, contoh-contoh
pola pikir dan mental masyarakat dari beberapa negara yang telah melahirkan
pemimpinnya dengan kualitas seperti apa.
Bangsa
Jepang misalnya, adalah satu bangsa yang sejak lama kita ketahui dimana
masyarakatnya mempunyai rasa malu yang sangat mendalam. Rata-rata masyarakat
Jepang akan merasa sangat malu sekali bila gagal melaksanakan satu amanah. Baik
itu amanah dari orang tuanya ataupun amanah dari kelompoknya, amanah dari perusahaannya atau amanah dari negaranya.
Kebanyakan masyarakat Jepang merasa lebih baik mundur bahkan bunuh diri saja (harakiri)
bila mereka telah gagal dalam melaksanakan satu tanggung jawab yang harus
dipikulnya. Tidak seperti kebanyakan masyarakat dinegeri ini yang tetap saja
ngotot dengan segala kegagalannya, malah masih saja mau lagi menambah jabatan
baru.
Dengan
dorongan mental dan pola pikir rasa malu seperti itu, bangsa Jepang yang
meskipun kalah dan bangkrut setelah dikeroyok rame-rame oleh Sekutu pada perang
dunia ke 2 dan diwajibkan pula membayar pampasan perang yang tidak sedikit;
ternyata dalam waktu hanya beberapa puluh tahun saja, bangsa Jepang sudah mampu
bangkit kembali; bahkan mampu pula mensejajarkan dirinya dengan negara-negara
G7 yang pernah meluluh lantakkan negeri mereka dulunya.
Keberhasilan
tersebut tentulah berkat strategi usaha yang telah dilakukan oleh para Pemimpin
bangsa Jepang yang tentunya berasal dari masyarakatnya sendiri yang memang juga
punya mental rasa malu yang sangat besar itu.
Seterusnya
mari pula kita lihat mental dan pola pikir dari masyarakat bangsa Cina yang
begitu gigih, ulet dan yakin dengan keberhasilan berbagai usaha dagangnya dan
program jangka panjangnya. Dengan pola pikir seperti itu, masyarakat Cina
ternyata telah melahirkan para pemimpin yang semakin lihay dalam strategi
menata ekonomi negerinya guna mensejahterakan masyarakat banyaknya.
Keahlian
pemimpin Cina dalam menata ekonominya sampai-sampai telah menjadikan produksi
dalam negeri Indonesia semakin terhenyak yang diakibatkan oleh semakin
membanjirnya berbagai barang-barang buatan Cina ke Indonesia, yang semakin
sulit untuk dibendung.
Lain
lagi halnya dengan masyarakat Barat yang semakin maju, karena masyarakatnya
yang dinamis; mengutamakan kualitas, ketegasan, kerapian, keselamatan,
kebersihan, kesehatan, kenyamanan dan didukung pula oleh tingkat intelijensia
mereka yang memang lebih tinggi.
Dari
masyarakat yang memang punya intelijensia yang cukup tinggi seperti itu, selain
telah melahirkan para pemimpin yang berkualitas,
masyarakat barat juga telah melahirkan cukup banyak orang-orang yang telah
menemukan (inventor) berbagai peralatan canggih yang sangat dibutuhkan
manusia didalam kesehariannya.
Dengan
berbagai temuan tekhnologi yang sangat diperlukan manusia dalam kesehariannya
itu, dimana temuan-temuan tersebut telah dibeli oleh banyak orang; tentulah
wajar saja kalau mereka (penemu-penemu itu) menjadi orang-orang kaya didunia ini.
Ketika
para pemimpin bangsa-bangsa lain semakin hari semakin maju untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat banyaknya; pemimpin bangsa ini justru malah makin
tersandung, terpuruk dengan sejuta masalah yang semakin menyulitkan untuk dapat
menciptakan negeri yang adil, aman dan makmur.
Ironisnya
lagi, bangsa yang besar ini, sepertinya semakin hari semakin kehilangan arah
untuk dapat menciptakan kemakmuran itu. Padahal, semenjak kemerdekaan bangsa
ini sudah berkali-kali berganti bukan hanya para pemimpinnya tetapi juga
strategi pola pemerintahannya. Namun, strategi pemerintahan yang pas itu
ternyata masih juga belum ditemukan.
Kalau
dulu diawal zaman kemerdekaan disebut zaman revolusi. Setelah itu zaman
darurat. Dilanjutkan lagi dengan zaman komunis. Seterusnya zaman Orde Lama.
Diganti lagi dengan Orde Baru dan kini menjadi zaman refromasi, setelah itu
entah zaman apa lagi namanya. Meskipun demikian, yang namanya kesejahteraan
masyarakat banyak itu ternyata masih saja meerupakan angan-angan.
Sampai
disini tentu timbul pertanyaan, kenapa bangsa yang besar dengan sumber daya
alam yang melimpah ruah ini sebegitu sulitnya untuk dapat menciptakan
kemakmuran itu ?. Kalau sudah begitu, tentunya ada yang salah. Tetapi kalau
memang ada yang salah, salahnya itu dimana ?. Nah, untuk mendapatkan
jawabannya, mari sama-sama kita renungkan lagi ungkapan berikut ini.
Ibaratkan
kerusakan sebuah mesin. Biasanya seorang mekanik hanya akan segera dapat
memperbaiki kerusakannya bila sang menkanik bisa segera tahu yang rusak itu
apa. Tetapi bila sang mekanik tidak segera dapat menemukan kerusakannya itu
apa, maka dapat dipastikan bahwa kerusakan itu tidak akan segera dapat
diperbaiki.
Demikian
pula keadaannya dengan negeri kita ini. Bagaimana mungkin bangsa ini akan dapat
memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraannya kalaulah pokok permasalahannya,
yang telah menjadi hambatan mendasarnya belum dapat dipahami oleh masyarakatnya
sendiri?.
Oleh
sebab itu, kini sebagai langkah awal dari usaha perbaikan itu, mari sama-sama
kita dalami atau kita pahami dulu apa saja sebenarnya permasalahan yang telah
terjadi dengan masyarakat kita ini. Terutama kebiasaan masyarakatnya, metalnya,
tabiatnya dan pola pikirnya yang sebenarnya adalah suatu permasalahan pokok
yang sangat menentukan dalam hal maju atau mundurnya bangsa ini sebagaimana
diuraikan dalam ungkapan berikut ini:
1.
Berjuta-juta orang dinegeri ini, tanpa ada rasa beban, tanpa ada rasa bersalah;
dengan santainya seenaknya saja membuang sampah sembarangan meskipun tempat itu
baru saja dibersihkan.
2.
Berjuta-juta orang dinegeri ini masih saja belum bisa menghargai atau
bertenggang rasa terhadap jasa usaha, kerja keras dari para pencinta lingkungan
dan petugas kebersihan yang harus berhujan dan berpanas mengumpulkan sampah-sarap
yang mereka tebarkan.
3.
Berjuta-juta orang dinegeri ini masih saja menjadikan sungai-sungai sebagai
tong sampah, memasang pamlet-pamlet disembarang tempat yang justru semakin
mengotori lingkungan. Mereka tidak peduli bahwasanya yang
namanya sampah, walaupun memang harus dibuang tetapi mestilah dengan cara yang
pantas. Karena walaupun sampah, bila dilecehkan, diremehkan, dicampakkan
sesuka-sukanya, maka setiap saat sang sampah bisa saja sakit hati. Kalau sang
sampah sudah sakit hati, sang sampah tak akan segan-segan untuk melakukan
serangan balik.
Kalau
sang sampah sudah melakukan serangan balik, maka manusia yang meremehkan sampah
itu tidak akan berdaya untuk mengelak dari serangannya. Dan bila sampah sudah
melakukan serangan balik, tak tanggung tanggung akibatnya manusia bisa
mengalami kerugian yang sangat besar. Terjadilah banjir yang dapat menimbulkan
kerugian yang tidak sedikit. Tersebarlah bebagai penyakit yang berbahaya.
4.
Berjuta-juta orang dinegeri ini telah terbiasa atau membiasakan diri hidup dalam
lingkungan kumuh semraut brantakan. Selama hidupnya hampir-hampir tidak pernah
terlintas dalam pikiran mereka untuk merapikan dan membersihkan minimal
lingkungannya sendiri.
Dari
masyarakat yang masih memiliki pola pikir yang kumuh, berantakan, seperti itu,
tentulah sangat wajar bila dinegeri ini juga telah terlahir para pemimpin yang
juga tidak punya rasa kepedulian dengan keadaan yang kumuh brantakan pada
daerah yang berada dibawah kendali pengaturan atau pimpinannya.
5.
Berjuta-juta orang dinegeri ini masih saja belum
terdorong untuk lebih peduli dengan berbagai kerusakkan dilingkungannya.
6.
Berjuta-juta orang dinegeri yang didiami oleh kebanyakan orang beriman ini,
telah memperburuk suasana lingkungan dengan melakukan corat coret pada
dinding-dinding, pagar-pagar, batu-batu cagar
alam, jembatan atau tiang-tiang bahkan pakaian mereka sendiripun yang
seharusnya dijaganya kebersihannya justru juga dicorat coretnya seperti anak sekolah yang baru saja lulus ujian. Tidak
sedikit pula malah kulit badannya yang diberikan Tuhan dengan kulit yang mulus
bersih yang seharusnya dijaganya, yang seharusnya dia bangga telah diberikan kulit yang
mulus bersih oleh yang Maha Kuasa, itupun
dicorat coretnya juga dan itupun ternyata masih juga belum cukup untuk
memuaskan hasrat semrawut mereka. Hal ini semakin jelas terlihat, karena
beberapa tahun kebelakangan ini, untuk semakin memuaskan hasrat kesemrawutan
bathinnya, terpaksalah rambut dikepala sendiri yang dijadikan sasaran. Kalau
dulu kebanyakan orang akan merasa bangga bila bisa tampil dengan rambut yang
disisir rapi dan bersih, sedangkan kini malah sebaliknya orang akan merasa
sangat bangga kalau bisa tampil dengan rambut yang semrawut kusut, seperti
layaknya orang-orang yang baru saja bangun dari tidurnya.
Selain
dari itu, kesemrawutan dinegeri ini semakin bertambah parah lagi, manakala kita
melihat kepada tata cara kerjanya pihak listrik (PLN), telepon, tv kabel dan
air pump. Karena pemasangan kabel listrik (PLN), kabel telepon, tv kabel dan
pipa air pump, dipasang benar-benar dengan cara seni yang kusut semrawut pula,
seperti sarang burung tempua.
7.
Ketika kami pergi melaksanakan haji di tahun 2001, kami telah melihat
bahwa pada batu peringatan pertemuan Adam dan Hawa di bukit Rahmah yang
besarnya sekitar 1.5 X 1.5
meter dan tingginya 3 meter itu, penuh dengan corat coretan
tulisan dan hebatnya lagi 95 % tulisan itu adalah tulisan latin dalam bahasa
Indonesia. Tidak ada tulisan Arab atau tulisan Cina.
8.
Berjuta-juta orang telah melakukan pengrusakkan fasilitas umum, merusak telepon
umum, merusak taman, merusak pagar, merusak cagar budaya, melempari kaca-kaca
spion keamanan dijalan ditikungan kritis, melempari kaca rumah, toko dlsb. Semua
itu dilakukannya hanyalah untuk kepuasan pribadi mereka semata.
Dari
masyarakat yang miskin kepedulian seperti digambarkan diatas, maka terlahirlah;
a.
Para pemimpin yang juga punya pola pikir kusut semrawut. Bahkan
Undang-Undang yang disusun/ diciptakan oleh para pemimpin inipun juga
undang-undang yang kusut marut dan masih harus diperdebatkan
b.
Para pemimpin yang hanya bisa membangun tetapi tidak punya program pencegahan dan pemeliharan untuk
berbagai aspek kehidupan sosial masyarakatnya (Pemimpin auto pilot istilah
sekarang). Setelah mereka selesai membangun, maka lepaslah tanggng jawab
mereka. Selanjutnya bagi para pemimpin itu, nasib bangunan itu terserahlah
kepada alam. Mau hidup, mau mati, mau roboh mereka tidak mau tahu lagi.
c.
Para pemimpin yang harus menunggu kecelakaan besar dan parah terlebih dahulu,
baru tampil memperbaikinya bagaikan seorang pahlawan kesiangan.
d.
Para pemimpin yang harus menunggu longsor dulu, baru tampil dengan projek
besarnya.
e.
Para pemimpin yang tidak punya rasa kepedulian dengan banyaknya ruas jalan yang
hancur-hancuran didaerahnya.
f.
Para pemimpin yang harus menunggu rusak berat dulu — meskipun sudah terjadi
selama puluhan tahun — baru ada perbaikan asal jadi. Itupun kadang harus didemo
dulu baru ada reaksinya.
9.
Berjuta-juta orang telah memaksakan diri memakai tortoar, bahu jalan bahkan
sebahagian besar badan jalan untuk berjualan sehingga kendaraan yang lalu
lalang dijalan tersebut menjadi kehilangan haknya. Mereka tak berfikir/ peduli
bahwasanya jalan itu adalah haknya kendaraan untuk lalu lintas yang
dibayar melalui STNK dan tortoar itu pun sebenarnya adalah
juga haknya pejalan kaki.
10.
Berjuta-juta pengemudi malah merasa bangga bila telah berhasil ugal-ugalan
melanggar aturan lalu lintas, menerobos lampu merah, mencuri/ mendahului/ memotong jalan dengan kecepatan tinggi dijalan umum, tak
peduli ditempat sempit, ditikungan atau tempat kritis lainnya, mereka tetap
saja memaksakan diri mendahului setiap kendaraan yang ada didepannya sambil
mengacung-acungkan tangannya layaknya polisi yang sedang mengusir orang-orang
dijalanan karena ada penguasa yang akan lewat.
Sepertinya mereka merasa, ketika mereka berada dijalanan itu, hanya dialah
orang yang paling berkepentingan. Padahal perilaku sopir seperti
itulah diantaranya yang sering mengakibatkan
tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Hebatnya lagi, bila terjadi
kecelakaan rem lah yang selalu dijadikan alasan. Padahal, meskipun mobil balap
f1 yang memang sudah dirancang khusus untuk kecepatan tinggi, masih saja bisa
selip. Apalagi mobil besar yang sebenarnya dirancang hanya untuk kecepatan 60
tentu saja pasti selip bila dipacu dengan kecepatan diatas 100 km/ jam,
ditambah lagi dengan dorongan bawa muatan lebih dari 20 ton yang semakin
mengecilkan tenaga rem
11.
Walaupun
demikian, ironisnya, Polisi Lalu lintas tidak pula berdaya menghentikan
perilaku kebut-kebutan dijalan raya itu. Tidak seperti di Malaysia; meskipun
mereka termasuk negara kecil, tetapi Polisinya ternyata ada kemampuan untuk
menghentikan kebut-kebutan itu.
12.
Berjuta-juta
pengemudi seenaknya saja menerobos/ memotong dikanan jalan, disamping ratusan
pengemudi lainnya yang sedang dengan segala kesabarannya antri menunggu giliran
dikala jalan sedang mengalami kemacetan. Mereka menerobos
tanpa rasa bersalah. Mereka menerobos, sepertinya hanya mereka sajalah yang
ingin cepat sampai.
Akibat dari ulah para pengemudi yang ugal-ugalan itu,
tidak sedikit orang didaerah perumahan yang terpaksa melakukan pengrusakan
terhadap jalan yang sudah diaspal mulus dengan cara membuat bandulan atau
istilah masyarakatnya adalah polisi tidur. Pengrusakan jalan didaerah perumahan
dengan cara membuat bandulan itu terpaksa mereka lakukan karena kebanyakan para
pengemudi, terutama pengemudi sepeda motor benar-benar tidak punya perasaan,
timbang rasa dengan cara tancap gas ditambah lagi dengan raungan knalt pot
kendaraan mereka yang meraung sangat memekakan dan menyakitkan telinga bagi
mereka yang berada dipinggir jalan.
Dari para pengemudi yang memetingkan diri sendiri seperti
itu, maka muncullah para pemimpin yang katanya demi kepentingan rakyat. Padahal
dalam kenyataanya merek justru mendahulukan kemewahannya. Mobil mewahnya,
kantor mewahnya, rumah mewahnya, perjalanan dinas mewahnya. Kalau masih ada
sisa, barulah itu untuk rakyat.
13.
Berjuta-juta orang, cendrung tidak malu berperilaku
pengemis, melakukan pungutan atau minta sedekah secara paksa dijalan umum,
dipasar, bahkan ditempat rekreasipun yang seharusnya bisa santai. Begitu
banyaknya pengemis dinegeri ini sehingga menjadi sulit untuk membedakan mana
yang pengemis sungguhan dan mana pula pengemis kambuhan. Mereka kadang cendrung
minta sedekah ini dengan cara memaksa, kadang dengan memanfaatkan istilah
aministrasi, keamanan, jatah, upah angkat dlsb (mirip penyamun dimasa dulu),
cuma bedanya kalau dulu para penyamun melakukan rampasan ditempat tersembunyi
sedangkan sekarang dilakukan terang–terangan ditempat umum dimana para penegak
hukum hampir setiap hari dapat melihatnya. Mereka tidak berfikir resiko apa
yang akan terjadi akibat dari pungutan-pungutan yang banyak itu. Mereka tidak
peduli bahwa nilai total pungutan-pungutan itu akan dibebankan oleh pengusaha
dan pedagang terhadap harga barang dagangan dan produksinya, sehingga
harga-harga barang akhirnya akan menjadi semakin mahal untuk dijangkau.
Dari
lingkungan masyarakat banyak yang cendrung berperilaku pengemis itu, maka lahir
pulalah;
a.
para pemimpin yang juga cendrung mengemis berhutang keluar negeri meskipun hutang
yang ada sudah bertumpuk triliunan. Entah siapa, kapan dan bagaimana
hutang-hutang itu akan dapat dibayar lunas nantinya.
b.
Para pemimpin yang lebih cendrung mengemis berhutang dari pada berusaha keras
untuk memberdayakan masyarakatnya sendiri dengan berbagai program padat karya.
c.
Para pemimpin yang cendrung mengemis dengan membengkakan atau memotong nilai
harga proyek-proyek yang akhirnya menjadikan proyek-proyek itu terpaksa
dibangun asal jadi dengan kualitas dibawah standar bangunan. Karena dana proyek yang sampai kepada pelaksana sudah
sangat minim sekali.
14.
Berjuta-juta orang lebih suka melakukan usaha tidak wajar dengan alasan cari
makan, padahal hasilnya dihabiskan untuk mabuk-mabukan berhura ria di klub
malam, hotel-hotel, di meja bilyar, di meja domino atau tempat hiburan lainnya.
15.
Berjuta-juta orang telah membabat hutan habis-habisan, tanpa peduli bahwa
penggundulan hutan itu dapat mengakibatkan banjir bandang, longsor yang parah,
semakin panasnya suhu udara atau semakin tandusnya tanah pertanian.
16.
Berjuta-juta orang telah melakukan manipulasi ukuran dengan mempergunakan tiga
macam ukuran. Ada yang namanya ukuran net, ada yang namanya ukuran Medan dan
ada pula yang namanya ukuran Jawa. Kalau ukuran net itu artinya ukuran internasional,
4 mm misalnya benar-benar 4 mm persis atau lebih. Tetapi kalau ukuran Medan,
yang namanya 4 mm itu ketemunya paling hanya 3.2,
3.5 mm. Kalau 10 mm, ketemunya paling yah hanya 8.5
mm. Itulah dia ukuran Medan.
17.
Berjuta-juta pedagang telah melakukan penipuan (manipulasi)
dengan menambahkan formalin atau borax kedalam bahan makanan, menyuntikkan zat
pewarna merah dan pemanis
buatan kedalam buah semangka agar
kelihatannya masak ranum. Menyuntikkan air kedalam daging agar timbangannya
menjadi lebih berat. Ada juga yang memberi pemutih
kedalam makanan krupuk dan merebus ikan dengan bayclin agar kelihatan lebih menarik. Mereka
tidak peduli kalau perbuatan tipuannya itu akan menimbulkan berbagai penyakit
berbahaya bagi orang lain.
18.
Berjuta-juta orang telah melakukan penipuan (manipulasi) dengan
cara membuat undian-undian palsu, usaha multi level, menipu mesin-mesin ATM
yang telah merugikan banyak orang dengan kerugian yang tidak sedikit. Melakukan
penjambretan dan pencopetan yang sangat menyengsarakan orang atau korbannya.
19.
Tidak sedikit
pula operator celuler yang telah melakukan penipuan dengan cara sedot pulsa.
20.
Berjuta-juta orang tanpa merasa bersalah telah menjadi pendukung/ pembela dari perbuatan melawan hukum/ peraturan dengan cara menjadi
pembeli ditempat-tempat dimana jelas-jelas dilarang
berjualan, dengan cara menjadi penadah dari barang-barang curian, dengan cara menjadi penadah dari barang-barang seludupan.
Padahal akibat dari adanya pembelaan terhadap mereka yang melawan hukum
itu, justru akan menyuburkan praktek pelanggaran hukum itu sendiri
Dari masyarakat yang masih dibelit oleh pola pikir yang
cendrung manipulasi ini, maka lahir pulalah para pemimpin yang juga punya
tabiat suka manipulasi, pemimpin
yang cendrung untuk melakukan perbuatan korupsi dan berbagai penyelewengan.
21. Berjuta
pendidik dinegeri ini cendrung didorong/ terdorong mendidik anak didiknya
dengan cara menanamkan rasa kekerasan, dengan cara menghilangkan rasa malu pada
kepada anak didiknya dengan alasan plonco, dengan alasan mapram, ospek,
orientasi dan lain sebagainya. Terlebih lagi, biasanya dalam pelaksanaan
perpeloncoan itu pada setiap tahun ajaran baru, para guru cendrung pula
menyerahkan pelaksanaan perpeloncoan itu kepada murid atau mahasiswa yang baru
saja naik ke tingkat dua. Akibatnya, karena ingatan murid yang diserahi tugas
perpeloncoan tersebut masih segar dengan penderitaan siksaan yang telah mereka rasakan ketika mereka menjadi murid baru setahun yang lalu, maka mereka yang sudah naik kelas itu akan merasa
pelaksanaan orientasi yang diserahkan kepada mereka itu adalah merupakan satu
kesempatan baik bagi mereka untuk balas dendam kepada
murid yang baru, bahkan tak jarang pula perlakuan mereka malah lebih sadis lagi dari apa yang pernah mereka alami pada
tahun yang lalu. Buktinya, setiap tahun ajaran baru selalu saja ada korban yang
tidak perlu.
Sepertinya,
para pendidik dinegeri yang memiliki beragam adat, budaya dan sopan santun ini
atau dinegeri yang katanya beradat ini, merasa ada hiburan tersendiri melihat
para murid baru sampai termehek-mehek dipelasah oleh kakak kelasnya.
Padahal,
kalaulah mapram alias ospek ini memang dirasa sangat perlu, mutlak, mesti harus
dilaksanakan karena dianggap hanya itulah satu-satunya cara terbaik untuk
menjadikan masyarakat bangsa Indonesia ini agar dapat menjadi lebih
cerdas; mestinya ospek itu dilakukan oleh para guru itu sendiri, bukannya
diserahkan kepada murid-murid yang baru naik kelas sehingga tingkat kesadisan dari ajaran perpeloncoan itu akan
tetap sama dari tahun ketahun atau tingkat balas dendamnya tidak akan
bertambah.
Memang,
diakui, bahwasanya mereka yang dianggap telah melanggar batasan kewajaran yang tak jelas dalam sistem orientasi
itu, bisa saja di adili dan diberikan sangsi. Tetapi buat apa sangsi itu bagi
mereka yang sudah terlanjur meregang nyawa akibat perpeloncoan itu ?.
Sudah
saatnya kini kita menyadari bahwasanya dengan system perpeloncoan seperti apa
yang sudah pernah diterapkan selama ini, yang telah dibebankan kedalam dunia
pendidikan dinegeri ini; maka lahirlah tidak sedikit siswa-siswa brutal yang
semakin jauh dari rasa sopan santun, yang tidak punya rasa segan, yang tidak
punya tenggang rasa terhadap kesulitan orang lain, yang semakin jauh dari rasa
malu. Bahkan lebih jauh dari itu, dengan sistem pendidikan yang dibebani
perpeloncoan ini juga telah melahirkan cukup banyak anak bangsa ini yang justru
hobinya tawuran.
22.
Banyak orang di
negeri ini malah merasa bangga bukannya malu bila telah berhasil mengirimkan
ribuan bangsanya untuk jadi pembantu ke negeri jiran dan negara-negara lainnya.
23.
Berjuta-juta orang telah merokok di bus umum, ruangan umum/ ruangan ber AC.
Mereka tidak peduli dengan penderitaan orang lain yang alergi terhadap asap
rokok.
24. Berjuta orang cendrung berusaha keras untuk menuntut
kenaikan gaji. Padahal apalah gunanya kenaikan gaji kalau nilai belinya malah
jadi menurun. Tahun 70an dulu orang punya gaji cuma rata-rata Rp 75.000,- /
bln. Tetapi karena harga beras ketika itu cuma Rp 250,-/ kg, maka dengan gaji
sebanyak itu orang sudah dapat membeli beras sebanyak 300 kg. Sedangkan
sekarang, orang yang rata-rata sudah punya gaji Rp 1.500.000,- / bln, tetapi
karena harga berasnya kini naik pula menjadi Rp 7.500,- / kg, maka orang
sekarang dengan gaji sebesar itu hanya dapat beli beras sebanyak 200 kg.
Artinya jumlah gajinya memang sudah jauh naiknya, dari 75.000/ bln menjadi
1.500.000/ bln = 20 kali lipat (2000 %) , tapi apalah gunanya gaji bisa naik
sampai 20 kali lipat sementara harga berasnya malah naik menjadi 30 kali lipat,
dari Rp 250/ kg menjadi Rp 7.500,-/ kg = 3000 %. Jadi sama aja bohongnya tuh.
Mestinya yang dituntut oleh masyarakat itu adalah turunnya harga barang.
Bukannya melakukan demo menuntut kenaikan gaji.
Padahal, akibat dari demo-demo menuntut kenaikan gaji
itu, cukup banyak pula perusahaan-perusahaan yang terpaksa harus gulung tikar – para buruh sepertinya tidak peduli
itu. Sesungguhnya cara-cara menuntut
kenaikan gaji yang sudah dilakukan selama ini dapat dicontohkan dengan gambaran
berikut ini.
Suatu
ketika, pada lantai dasar satu pasar swalayan sedang diadakan pertunjukan musik
yang cukup ramai penontonnya. Salah seorang dari penonton, karena merasa pendek
sehingga kurang leluasa untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut, maka dia
berusaha naik kelantai 2. Ketika sudah berada di lantai 2, ternyata dia memang
merasa lebih nyaman karena tempatnya menonton sudah lebih tinggi dari
pertunjukan itu sendiri. Tetapi, ketika dia yang pendek sedang berada dalam
lift, merasa tidak bebas melihat kiri dan kanan karena padatnya orang dalam
lift tersebut; maka di mencoba lagi untuk menekan tombol agar dia bisa naik ke
tingkat yang lebih tinggi dengan tujuan agar dia bisa bebas lagi untuk melihat.
Namun, meskipun dia sudah naik beberapa tingkat ternyata dia tetap saja tidak
bisa bebas untuk melihat, kenapa ?. Jawabannya tak lain tentu saja, ya karena
orang-orang disampingnya juga turut naik.
Demikian
juga dengan gaji. Kalau yang dituntut itu adalah naik gaji secara umum;
meskipun itu bisa dikabulkan, paling itu akan terasa nikmat hanya untuk
beberapa saat saja. Setelah itu barang-barang kebutuhan akan menyesuaikan/
melonjak lagi bahkan bisa lebih tinggi nilainya dari gaji semula. Lalu apa
artinya naik gaji ???
Adakah
kepedulian bangsa ini dalam hal ini. Oleh karena itulah, mestinya yang dituntut
itu adalah turunnya harga barang-barang kebutuhan umum. Untuk menurunkan harga
barang-barang sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan diantaranya;
a.
Dengan cara menciptakan keseimbangan
b.
Dengan cara bersunguh-sunguh dalam melaksanakan pembangunan. Tidak asal jadi.
Seperti robohnya jembatan di Kalimantan. Akibatnya bila harus dibangun lagi,
biaya jembatan itu menjadi 2 kali lipat, menjadi sangat mahal sekali. Itulah
akibatnya bila pembangunan asal jadi.
c.
Dengan melakukan penghematan, tidak boros seperti yang terjadi saat ini.
d.
Dan yang lebih penting lagi, para penyeleweng dana rakyat jangan lagi
dipelihara.
Bila
cara-cara diatas bisa dilakukan, yakinlah nilai gaji yang ada sekarang saja
sudah akan terasa cukup nikmat. Untuk lebih jelasnya, silahkan dibaca di
tulisan berikutnya dengan judul “Reformasi Undang-Undang Indonesia” yang
diterbitkan pada bulan April.
25. Dan
tentunya masih ada lagi perilaku lainnya yang dapat menjadi petunjuk dari kecendrungan
kurang pedulinya masyarakat kita terhadap lingkungannya. Baik itu dari
lingkungan fisik maupun dari sudut mentalnya.
Dari sejumlah contoh pola pikir dan kebiasaan buruk
masyarakat banyak dinegeri ini, yang digambarkan pada tulisan diatas, akan semakin
jelaslah terlihat betapa masyarakat bangsa ini masih memiliki mental dan pola
pikir yang sangat miskin kepedulian terhadap lingkungannya.
Sebenarnya masih ada lagi beberapa contoh lainnya dalam
hal permasalahan miskin mental dan pola pikir ini yang sangat besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan hidup dinegeri ini; yaitunya permasalahan politik,
khianat dan …… yaaaa nantilah dulu. Pada episode berikutnya akan kita coba lagi
membahasnya. Tapi, walau bagaimanapun, yang jelas dari semua rangkuman gambaran
permasalahan mental; yang miskin kepedulian itulah sebenarnya yang menjadi
penyebab utama dari kenapa bangsa yang besar ini dulunya dapat dengan mudahnya
di jajah oleh bangsa-bangsa mini dari Eropa selama lebih dari 350 tahun. Dan
dengan mental rasa kepedulian yang sangat rendah itulah bangsa ini dulunya
dengan mudahnya dapat pula diadu domba oleh pihak-pihak lain sementara kekayaan
alam negeri ini tetap saja dikuras dan dibawa untuk negeri-negeri lain.
Namun demikian, sejarah ternyata berkata lain. Pada tahun
1940, tentara Dainippon Jepang dibawah arahan Kaisarnya telah pula merangsek ke
Asia Tenggara untuk melakukan penjajahan. Tetapi cara penjajahan yang dilakukan
Jepang saat itu sangatlah berbeda dengan cara penjajahan yang dilakukan oleh
bangsa-bangsa mini dari Eropa sebelumnya seperti Portugis, Ingris dan Belanda
yang pernah menjajah bangsa yang besar ini.
Kalau bangsa Eropa melakukan penjajahan adalah dengan
cara adu domba yang tidak disadari oleh bangsa ini yatu dengan cara memperalat
para begundal, freeman atau para pengemis kambuhan untuk memerangi bangsanya
sendiri; sedangkan Jepang melakukan penjajahan justru dengan cara membagero
para begundal dan freeman itu sendiri apalagi kalau ketahuan ianya adalah
pengkhianat; maka itu tidak akan ada ampun lagi, langsung saja diperintahkan
untuk berhenti bernafas oleh Kempetai
Hebatnya lagi, akibat dari
bagero dan banzai yang tak tanggung-tanggung yang telah dilakukan Jepang terhadap bangsa ini ketika itu; meskipun
hanya beberapa tahun saja, ternyata justru telah menimbulkan rasa kepedulian
yang sangat mendalam bagi sesama penduduk negeri ini. Perilaku yang tidak
berperi kemanusiaan atau melanggar HAM yang dilakukan Jepang terhadap penduduk
negeri ini, justru membangkitkan semangat tenggang rasa yang sangat mendalam
terhadap penderitaan sesama anak bangsa ini sekaligus semangat juang untuk
memerdekakan diri.
Begitulah masa berlalu. Setelah bangsa Jepang dikalahkan
dengan cara dikeroyok rame-rame oleh bangsa-bangsa penjajah dari Eropa dibawah
naungan bendera PBB, ternyata semangat perlawanan bangsa ini semakin hebat,
sampai-sampai tentara sekutu yang ingin mengembalikan penjajahan Belanda
dinegeri inipun dilawan.
Hal itu dapat terjadi, tak lain adalah karena dimasa
penjajahan Jepang yang sangat singkat itu, para begundal-begundal anak emasnya
Belanda atau para pengkhianat bangsa pada masa itu banyak yang sudah dibagero
Jepang. Sehingga orang-orang yang dapat dijadikan tangan kananya Belanda atau
orang-orang yang mau diperalat Belanda untuk jadi pengkhianat dan orang-orang
yang mau diadu domba ketika itu sudah tidak banyak lagi.
Disini ada satu hal yang barangkali belum disadari oleh
kebanyakan penduduk negeri ini yaitu; seandainya kegiatan penjajahan yang
sedang marak dilakukan oleh bangsa-bangsa mini dari Eropa ketika itu tidak
terganggu oleh munculnya Dainippon, Nazi dan Komunis; mungkin saja PBB tidak
akan pernah ada. Tidakkah kita memperhatikan siapa sajakah sebenarnya yang
dibela mati-matian oleh PBB ?.
Ironisnya, setelah negeri ini mendapatkan kemerdekaannya,
sifat-sifat aslinya bangsa ini berangsur-angsur muncul kembali yaitu sifat
miskin kepeduliannya. Haruskah bangsa yang besar ini harus kembali dibagero
agar rasa kepeduliannya muncul lagi ??.
Kini kita kembali kepada pokok persoalan. Dari masyarakat
yang miskin kepedulian ini, amatlah mustahil akan memunculkan para pemimpin
yang juga benar-benar peduli terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Logikanya, bila seandainya dalam satu kelompok masyarakat
agamis, telah terpilih seorang freeman untuk menjadi pimpinan, pastilah akan
terjadi bentrok antara masyarakat dengan pimpinannya. Begitu pula sebaliknya,
bila seandainya dalam satu kelompok masyarakat freeman atau lokalisasi, yang terpilih menjadi ketuanya adalah
seorang ustazd atau orang baik-baik, tentulah juga akan terjadi bentrok; karena
pola pikir masyarakatnya menjadi tidak sejalan dengan pimpinannya.
Dengan kata lain, tampilan seorang pemimpin sebenarnya
adalah gambaran dari dari masyarakatnya
sendiri.
Seandainya masyarakat dinegeri yang kaya dengan sumber daya
alam ini memang benar-benar menginginkan negeri ini menjadi satu negeri yang
adil aman dan makmur, maka orang-orang yang akan terpilih menjadi pimpinan
dinegeri ini pastilah orang-orang yang juga benar-benar ada kemauannya untuk
melaksanakan operasi pekat (menghentikan perbuatan maksiat) dan rakyat yang
memilihnya akan mendukung pula usaha pimpin
No comments:
Post a Comment