KEKERASAN KHUSYUNAT
Haji M.Rakib Jamari, SH., M.Ag Riau
Pekanbaru
Ada sebuah syair:
Wahai
orang yang ingin menanduk gunung tinggi untuk menundukannya Sayangilah
kepala(mu), dan bukan gunung itu.
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata: Ingin
terbang, tidak memiliki bulu burung, Ingin memanduk kambing hutan, tidak
memiliki tanduk.
Para ulama sunnah masa kini tentang tokoh-tokoh Ikhwan. Anda akan
menemukan perbedaan mencolok ulama sunnah tersebut dengan kalangan yang justru
mengaku mengikuti mereka. Kesaksian ini kami ambil dari buku Al Ikhwan Al
Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi edisi lengkap dan juga buku yang sangat
bagus, karya Al Ustadz Abduh Zulfidar Akaha, Lc -hafizhahullah- yang berjudul
Siapa Teroris? Siapa Khawarij? Penerbit Pustaka Al Kautsar, cetakan pertama,
Juni 2006. Sebuah buku yang berhasil membuka banyak sekali kesalahan, kedustaan
terhadap ulama, dan penyimpangan pemikiran (yang justru mudah mengkafirkan
orang lain), dari Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh -hafizhahullah- yang
tertera dalam buku Mereka Adalah Teroris! Maaf, istilah `kedustaan’ bukanlah
dari kami tetapi dari Ustadz Abduh Zulfidar sendiri terhadap Ustadz Luqman,
sebagaimana tertera dalam Catatan Ketujuh (hal. 137 – 159).
Kami sangat menganjurkan (tanpa berniat promosi)
bagi pembaca setia Tatsqif untuk segera membaca dan menelaah baik buku
tersebut. Selain dari dua buku tersebut kami juga memaparkannya dari
sumber¬sumber lain.
Kekerasan yang dalam bahasa Arab sering
disebut dengan khusyunat, dan dalam bahasa Inggris berarti violence sering diartikan dengan; “Suatu
tindakan yang bersandar pada penggunaan ketegasan ekstra”. Sebagian lagi
mendefiniskannya sebagai; “Prilaku yang bertentangan dengan kelembutan dan
sesuatu yang natural”. Tentu pendefinisian semacam itu adalah definisi yang
bersumber dari konsep abstrak yang sangat memungkinkan adanya perbedaan redaksi
dan tolok ukur kriterianya. Konsep kekerasan tidak jauh berbeda bahkan mirip
dengan konsep-konsep abstrak lainnya seperti; kebebasan (liberal), toleransi,
reformasi dan sebagainya yang dalam pendefinisiannya sangat berbeda dengan
konsep-konsep obyektif. Atas dasar itulah, perdebatan dalam pendefinisian
konsep kekerasan dalam tulisan ringkas ini lebih baik dihindari. Tidak satupun
definisi yang para pemikir lontarkan yang memenuhi parameter ilmiah sebuah
definisi, sehingga dari situ akhirnya menyebabkan mereka pun sewaktu
menyebutkan kata teror, penyiksaan, pelaksanaan hukum pidana, reaksi kekerasan,
penyitaan dan embargo pun dimasukkan sebagai ekstensi dari tindak kekerasan.
Kesulitan pendefisian ini akhirnya
menyebabkan sebagian pihak menyatakan bahwa tindak kekerasan tidak memerlukan
sebuah definisi ilmiah, karena ia telah bersifat aksiomatis. Kelompok yang
menyatakan hal ini masuk pada jajaran kelompok aksiomatisme. Anehnya, ketidakjelasan
dalam pendefinisian ini dipakai alat yang seenaknya dipakai untuk menyerang
pihak-pihak lain yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Sebagai contoh, mereka
menganggap “hukum qishas” (vonis balasan setimpal) dalam ajaran agama Islam
dianggap praktik tindak kekerasan yang buruk sehingga harus ada aksi nyata
untuk menghapus vonis hukuman tersebut. Tentu dalam meneliti fenomena
pelaksanaan hukum qishas tadi tidak mungkin menggunakan tolok ukur sebuah
budaya yang dengan jelas tidak mampu untuk menjelaskan hakekat hukum Islam
tersebut. Jika inilah yang mereka ingin terapkan ataupun berusaha memaksakan
untuk menerapkannya maka akan menjadi bukti, betapa sederhana cara pikir mereka
tentang tindak kekerasan.
Muncul kelompok lain yang juga merasa
kesulitan dalam mendefinisikan hal tadi. Kelompok ini tidak serta merta
menyebutkan definisi versi mereka, namun mereka hanya konsentrasi dalam
membahas sebab dan faktor kemunculan tindak kekerasan saja. Kesenjangan sosial
ataupun pengharapan yang berlebih adalah beberapa faktor kemunculan praktik
kekerasan, menurut mereka. Tentu kajian tersebut tidak dapat mewakili
pembahasan yang mendalam berkaitan dengan tesis tentang tindak kekerasan.
Terdapat kelompok lain yang dikarenakan problem yang sama
dalam pendefinisian akhirnya mereka berusaha berdiri di garis tengah, namun
ternyata mereka pun tidak selamat, mereka turut terjerumus ke dalam lembah
penyamarataan yang bertentang dengan konsep keadilan dalam pembahasan ilmiah.
Kemunculan kelompok ini lebih dikarenakan mereka kesulitan dalam meneliti
banyak hal yang berkaitan dengan fenomena sosial. Selayaknya penelitian kajian
sosiologis, seorang peneliti akan mencari obyek-obyek kajian umum untuk mencari
esensi secara umum. Dari situ lantas peneliti tadi akan menganalisanya. Dikarenakan
penelitian tentang tindak kekerasan sering dianaktirikan, maka yang muncul
adalah penyamarataan yang tidak sehat oleh para peneliti dari kalangan sosiolog
tersebut.
Ada beberapa bentuk penyamarataan yang tidak sehat
tersebut antara lain;
Pertama, penyamarataan dalam pelontaran masalah. Seringkali,
sewaktu diadakan penelitian tentang sumber-sumber yang berkaitan dengan
kekerasan, mereka hanya meneliti dan menganalisa pada bagian tertentu dan pada
obyek khusus saja. Tentu kelemahan cara tersebut adalah generalisasi atas
obyek-obyek lain, dengan kata lain keuniversalan hasil analisanya tidak dapat
dipertanggungjawabkan sehingga konklusi penelitiannya masih bersifat ambigu dan
tidak lebih hanya sekedar praduga saja. Hal itu meniscayakan bahwa apa yang dihasilkan
merupakan kontek doktrinal yang tidak memiliki muatan ilmiah sama sekali.
Kedua, penyamarataan dalam pensifatan. Meskipun tindak
kekerasan merupakan fenomena riil yang bersifat obyektif dalam kehidupan
manusia, namun tanpa adanya analisa yang jelas tentang hal tersebut maka
penerapan dan pensifatan secara obyektif mustahil akan dapat diberikan. Hal
tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan dan disimpangkan, terlebih oleh
kelompok yang dianggap kuat atas kelompok yang lemah, mayoritas atas minoritas,
senior atas yunior dan seterusnya.
Ketiga, penyamarataan dalam penganalisaan. Dalam kasus ini
sering terjadi vonis hitam-putih dalam menghukumi sebuah fenomena, tanpa ada
alternatif ketiga. Ungkapan terkenal presiden Amerika Serikat G.W Bush yang
mengatakan: “Barangsiapa yang tidak bersama kami maka ia bersama teroris”,
adalah contoh konkrit dari tesis ini. Penyebab dari hal tersebut dikarenakan
tidak adanya hubungan yang logis antara konsep dan analisa tentang praktik
teror (baca: kekerasan). Penyamarataan semacam inilah yang akhirnya menyeret
G.W Bush ke dalam jurang radikalisme, yang konon akan diperanginya.
Pada kasus ketiga -penyamarataan dalam menganalisa-,
untuk menanggulangi tindakan radikal dalam menilai fenomena semacam tindakan
teror (kekerasan) maka menempuh jalan tengah yang lebih hati-hati akan lebih
menjanjikan keselamatan dalam berpikir dan bertindak. Apa yang dilakukan oleh
Donald J Hanel dan Richard Clutterbuck dalam menganalisa fenomena peperangan
dan tindakan teror merupakan tindakan yang tepat. Ada beberapa poin dan tahapan
yang mereka berikan sebagai solusi; harus diadakan pembahasan tentang konsep
dasarnya terlebih dahulu, lantas selanjutnya dilakukan proses pemilahan
berbagai penyebab dan bentuk tindakan kekerasan tersebut. Dari situ akan muncul
solusi berupa ditemukan hukum yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki
konsekuensi yang berbeda-beda pula.
Cara di atas juga diamini oleh Sudhir Kakar, seorang
peneliti dan penulis asal India. Ia menambahkan bahwa cara itupun dapat dijadikan
pedoman dan diterapkan oleh setiap negara-negara di dunia. Dengan cara ini maka
doktrin hitam-putih yang radikal dengan sendirinya akan musnah. Doktrin
hitam-putih semacam itu tidak akan pernah bertahan lama, karena ia bertentang
dengan rasio sehat manusia dan kejelasan argumen rasional. Cara yang dilakukan
oleh Kakar tadi akan dapat mengharuskan akal manusia untuk membedakan antara
kekerasan yang bersifat legal, kekerasan sakral, kekerasan karena dukungan
eksternal ataupun inernal negara yang bersangkutan. Dimana semua itu memiliki
konsekuensi dan vonis penghukuman yang berbeda-beda. Sebagai contoh apa yang
pernah disampaikan oleh Paul Wilkonson berkaitan dengan tindak teror yang
mendapat dukungan dari luar negeri. Ia mengatakan: “Teror yang mendapat dukungan
luar negeri selama tidak menganggu ketentraman umum dan keamanan sumber
kekayaan alam negara yang bersangkutan, hal itu tidak menjadi masalah”. Yonah
Alexander menyatakan: “Tindak intimidasi asing di Timur Tengah akan dapat
dibenarkan selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum normatif dan
dasar-dasar demokratis negara yang bersangkutan”. Ini semua hanya sebagai bukti
bahwa, tidak semua tindak kekerasan bersifat illegal.
Atas dasar ini pula dapat dijelaskan bahwa Islam sebagai
agama yang ajarannya didasari oleh ideologi dan pandangan dunia ketuhanan
terhadap Sang Pencipta alam semesta Yang Maha Esa pun tidak terlepas dari
beberapa konsep tindak kekerasan, jihad sebagai contoh konkritnya. Atas dasar
itu pula maka tolok ukur legalitas kekerasan dalam kaca mata Islam hanya
bertumpu kepada konsep ke-Esa-an Tuhan (tauhid) dengan berbagai konsekuensinya
termasuk Tuhan sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas mutlak dalam
menentukan hukum, termasuk menentukan hukum jihad. Konsep tauhid inilah yang didukung
oleh argumen sejarah, teks, fitrah dan akal sehat manusia, bukan konsep
monoteis yang telah terpolusi dengan polyteis seperti pada doktrin Trinitas
yang tidak memiliki dasar sejarah, teks ataupun rasio sehat manusia. Dari
pembahasan ini akan menghantarkan kita pada pembahasan selanjutnya, apakah
setiap tindak kekerasan dilarang?
ADAKAH
KEKERASAN LEGAL
Memeukul
anak, yang tidak shalat,
Dengan
ukuran yang akurat.
Jangan
sampai, memeberi mudarat,
Ciptakan,
suasana yang sehat..
Memukul anak yang tidak shalat,
namanya kekerasan legal…Manusia
diciptakan memiliki perasaan emosional, baik emosional yang berkaitan dengan
mencintai dan membenci. Dikarenakan emosional dimiliki oleh setiap manusia,
maka emosional ini merupakan bagian dasar manusia. Segala macam usaha untuk
menghilangkan dan menghapus bagian dasar manusia tadi, sama halnya dengan
menghilangkan esensi kemanusiaaan manusia tersebut. Usaha semacam ini mustahil
akan terwujud. Atas dasar itulah cinta dan benci yang terdapat dalam diri
manusia adalah potensi untuk menjadikan manusia menjadi makhluk yang sempurna.
Perlu ada pengarahan yang baik dan benar terhadap potensi rasa benci dan cinta
yang dimiliki oleh setiap manusia agar potensi tersebut terealisasi dengan
baik. Pengarahan segenap potensi itu akan dapat diwakili oleh akal dan wahyu.
Penggabungan arahan akal dan wahyu dalam menuntun daya emosi manusia akan
menjadikan manusia sebagai makhluk sempurna. Jadi dengan terealisasinya semua
potensi itu, niscaya manusia akan menjadi manusia yang sempurna, ‘manusia
tuhan’.
Banyak cara orang melampiaskan perasaan
benci dan cinta, baik berkaitan dengan dirinya sendiri, maupun pada pihak lain.
Tentu, akal menghukumi bahwa segala macam bentuk tindakan ekstrim dalam
melampiaskan sesuatu –baik benci maupun cinta- masuk kategori hal buruk. Segala
sesuatu harus disesuaikan dengan proporsinya. Hal itu pula yang dihukumi oleh
Allah swt dalam ajaran agama-Nya yang diturunkan kepada manusia agung, Muhammad
saww dan tongkat estafet kepemimpinan agamanya dilanjutkan oleh para manusia
suci dari ahlul bayt-nya. Ajaran akal yang selalu sesuai dengan ajaran Allah
swt yang terangkum dalam agama Islam Muhammadi menyatakan; “Seseorang boleh
mencintai pihak lain namun dengan batas-batas yang jelas”. Akal manusia sehat
akan menyatakan bahwa seseorang mustahil akan mencintai musuhnya yang telah
berusaha untuk menghancurkan dirinya. Sebagaimana akal telah memberikan hukum
bahwa manusia pasti akan mencintai kekasih sejatinya.
Sebaliknya, akal
manusia juga akan menghukumi bahwa mustahil seseorang akan membenci kekasih
sejatinya. Sebagaimana akal juga menghukumi bahwa manusia pasti akan membenci
dan memusuhi musuh sejatinya. Benci dan cinta tidak akan pernah bertemu dalam
satu wajah dan pada satu obyek. Ini sebagai bukti, bahwa akal menyatakan bahwa
ada sesuatu yang bernama cinta dan ada pula yang bernama benci. Setiap manusia
merasakan hal itu dengan jelas. Akal pun menyatakan bahwa kebencian dan
kecintaan harus sesuai dengan proporsinya. Jika tidak, maka manusia akan
terjerumus kedalam kesesatan dan kebinasaan. Mencampuradukkan obyek cinta dan
benci merupakan hal yang divonis salah oleh akal dan agama Islam sebagai agama
rasional. Oleh karenanya agama Islam tidak melarang orang untuk membenci dan
mencintai pihak lain. Namun agama Islam ingin mengarahkan obyek cinta dan benci
sesuai dengan realita dan bertindak sesuai dengan proporsinya.
Dengan sangat jelas dan dapat dirasakan secara langsung
bahwa terdapat gradasi dalam kualitas cinta yang disesuaikan dengan obyeknya,
begitu juga dengan benci. Kecintaan seorang ibu terhadap anaknya, sangat
berbeda dengan kecintaannya terhadap cincin pernikahan yang diberikan oleh
suaminya. Kebencian seorang anak muda terhadap orang yang pernah menipunya,
tentu berbeda dengan kebenciannya terhadap lelaki yang telah membunuh ibu
kandungnya. Perbedaan kualitas benci dan cinta pada obyek-obyek yang ada tadi
sangat memberikan dampak dan pengaruh terhadap reaksi yang berbeda pula. Reaksi
beragam akibat dari kualitas cinta dan benci yang beragam pula merupakan hal
alami yang telah dilegalisir oleh agama dan akal.
Atas dasar kualitas cinta dan benci tersebut, maka agama
dan akal menyatakan bahwa terdapat kekerasan yang legal dan ada juga yang
bersifat illegal. Kekerasan yang bersifat difensif (difa’i) merupakan
contoh konkrit kekerasan yang legal. Fungsi agama adalah menjabarkan secara
detail batasan-batasan hukum praktik tindak kekerasan. Tidak ada agama yang
menjelaskan hal itu secara terperinci dan detail melainkan Islam yang dibawa
oleh Muhammad Rasulullah saww yang tongkat estafet kepemimpinannya dilanjutkan
oleh para manusia suci dari keluarga beliau. Jadi jelas sekali bahwa ada
beberapa tindak kekerasan yang dilegalkan oleh akal dan agama. Sebagaimana ada
pula yang tidak mendapat legalisir agama dan akal. Hal itu pula yang pernah
disampaikan oleh Karl Poper dalam sebuah ungkapannya. Ia menegaskan: “Jangan
biarkan ada pihak-pihak yang hendak menyamakan antara aksi penyerangan dengan melakukan
pertahanan (reaktif), bahkan harus ditekankan untuk selalu membedakannya”.
Islam dan Tindak Kekerasan
Indonesia sejatinya dikenal sebagai negara yang berpegang pada nilai-nilai
ketuhanan, perdamaian, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun
sayangnya tragedi-tragedi kekerasan yang terus terjadi justru menodai cerminan
tersebut. Apa yang salah?
Konflik etnis di Tarakan (26/9/2010),
bentrok di Jalan Ampera, Jakarta (29/9/2010), pembantaian terhadap pengikut
Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (6/2/2011), hingga kerusuhan di Temanggung, Jawa
Tengah (8/2/2011), adalah contoh kekerasan yang baru-baru ini terjadi. Tak
mudah untuk menjelaskan bagaimana bisa ada kelompok di negeri yang konon
beradab ini dengan mudahnya melakukan tindak kekerasan. Korban-korban
berjatuhan, namun para pelaku seakan tidak merasa bersalah. Bisa jadi para
pelaku merasa tindakannya adalah sebuah “kewajiban” yang harus dilaksanakan…
Dalam pandangan agama Samawi, tujuan manusia hanyalah
untuk menuju ridho Allah swt. Tidak semua ridho Allah harus melalui jalan lemah
lebut, bahkan terkadang harus melalui jalan kekerasan seperti yang tercantum
dalam aturan perintah Ilahi yang terangkum dalam konsep amar makruf nahi
munkar.
Dalam psikologi Islam disebutkan bahwa esensi dasar
manusia (fitrah) adalah suci yang selalu mengajak kepada kesucian dan
kesempurnaan. Namun terkadang dikarenakan beberapa faktor eksternal (seperti;
lingkungan) akhirnya bisa menjerumuskannya kepada penyimpangan.
Dengan sangat jelas sekali bahwa manusia dianugerahi oleh
Allah swt berupa nafsu. Dan dengan nafsu tersebut manusia dapat merasa benci
dan cinta. Dengannya pula manusia bisa melakukan persahabatan dan permusuhan.
Dan dengannya pula manusia bisa mencapai kesempurnaan ataupun kesengsaraan.
Hanya nafsu yang telah berhasil dijinakkan oleh akal saja yang akan mampu
menghantarkan manusia kepada kesempurnaan. Namun sebaliknya, jika nafsu diluar
kendali akal niscaya akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesengsaraan
dan kehinaan.
Permusuhan berasal dari rasa benci yang
dimiliki oleh setiap manusia. Sebagaimana cinta, benci pun berasal dari nafsu
yang harus bertumpu di atas pondasi akal. Permusuhan di antara manusia
terkadang karena kedengkian pada hal-hal duniawi seperti pada kasus Qabil dan
Habil ataupun pada kisah nabi Yusuf as dan saudara-saudaranya. Terkadang pula
permusuhan dikarenakan dasar ideologi dan keyakinan.
Musuh yang dikarenakan kesadaran penuh membenci dan
hendak berbuat makar terhadap Islam harus diperangi. Sedang pribadi-pribadi
yang tidak memiliki kesadaran semacam itu maka harus ada cara yang lebih lunak
dalam memberitahu letak kesalahannya. Semua itu telah disusun dalam konsep amar
makruf nahi munkar dalam hukum dan perundang-undangan Islam. Tentu, Islam
sebagai agama yang diturunkan melalui Muhammad bin Abdillah saww sebagai rahmatan
lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) lebih mengutamakan cara dialog
ketimbang cara kekerasan. Hal itu sebagaimana yang telah disinyalir dalam ayat
al-Quran yang berbunyi: “Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS
at-Taubah: 6). Namun bagi pribadi-pribadi yang tidak lagi dapat menerima cara
dialog maka tiada jalan lain melainkan dengan cara kekerasan yang tentunya cara
inipun memiliki jenjang-jenjang yang harus dijaga dalam pelaksanaannya.
Sering dijumpai beberapa pihak yang
ingin menghilangkan kesan negatif dari Islam dengan cara menghapus sama sekali
legalitas beberapa tindakan kekerasan dalam Islam. Dengan dalih Islam sebagai
agama rahmatan lil alamin maka segala bentuk kekerasan ingin mereka
tutup-tutupi agar Islam yang dianutnya tidak dijadikan bahan ejekan musuh-musuh
Islam, terkhusus dari pihak Barat. Padahal konsep rahmatan lil alamin
agama Islam sama sekali tidak bertentangan dengan legalitas beberapa tindak
kekerasan dalam pandangan Islam. Hal itu dikarenakan secara esensial kekerasan
tidak dapat divonis sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk. Jadi tindak
kekerasan tidak dapat digeneralisasikan dalam pem-vonis-annya. Semua tergantung
pada hal-hal seperti, kekerasan dengan arti yang bagaimana, dari pihak mana,
untuk siapa, dengan tujuan apa, dengan kapasitas berapa, dengan cara apa,
cakupan radius waktu dan tempatnya seberapa? Jawaban beragam yang dihasilkan
dari semua pertanyaan-pertanyaan itu akan mempunyai hukum dan konsekuensi yang
berbeda-beda. Semua itu akan menjadi faktor dan tolok ukur penilaian baik-buruk
suatu tindak kekerasan. Tanpa melihat delapan tolok ukur penilaian tadi niscaya
tindak kekerasan tidak akan pernah dapat teranalisa dengan baik dan benar,
bahkan tidak akan pernah terealisasi. Tentu akal dan ilmu pengetahuan moderen
pun dapat menghukumi bahwa kekerasan seorang ibu terhadap anaknya (mencubit,
misalnya) dengan tetap memperhatikan batas-batas yang wajar guna mendidik
anaknya tersebut akan dapat dihukumi baik. Dari sini jelas sekali bahwa tidak
semua tindak kekerasan bersifat negatif dan bertentangan dengan konsep ke-rahmatan
lil alamin-an Islam…
No comments:
Post a Comment