MAQOSHID AL-SYARI’AH
DAN HIKMAT AL-TASYRI’ PADA PERAAYAAN
MAULID
Oleh M.R.Jamari
Maqasid al-Syari'ah terdiri dari dua kata yakni مقا صد dan الشر يعة. Maqasid adalah
jamak dari yang berasal dari fiil قصد yang berarti mendatangkan sesuatu, juga
berarti tuntutan, kesengajaan dan tujuan. Syari'ahmenurut bahasa berarti
jalan menuju sumber air yang dapat pula diartikan sebagai jalan ke arah sumber
pokok keadilan.
Menurut defenisi yang diberikan oleh
para ahli, syariat adalah segala kitab Allah yang berhubungan dengan
tindak-tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur sendiri. Dengan
demikian, syariat itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliyah…
Maka dari itu, Maqasid
al-Syari'ah dapat diartikan sebagai tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari
suatu penetapan hukum.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). Ibnu Taimiyah,
Al-Siyasah al-Syariyah fi islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Arabiyah, t.t). Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:
Logos, 1997). Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum,
Fiqh Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1993). Alaiddin Koto, Ilmu fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)…
ARAB SAUDI KHUSUS WAHABI TERJEBAK
DALAM BID’AH HARFIAH
SEACARA HARFIAH, MAULID ITU BID’AH
PERGURUAN TINGGI, BID’AH
TAPI SECARA ISTILAH, EKSTASI ITU
YANG BID’AH
Kerjasama dengan Amerka dan Isreal
itu yang bid’ah dholalah, tapi tidak disadari
PEMILU JUGA BID’AH
Belum ada
orang Wahabi yang berani mengeluarkan fatwa bahwa menyediakan landasan pesawat
untuk Amerika menyerang Iraq itu bid’ah. Padahal secara teks harfiah
dan konteksnya sangat-sangat bid’ah.
Hai wahabi, jangan hanya kepada rakyat kecil berani menuduh bid’ak, coba
tuduhkan bid’ah itu kepada Israel dan
Amerika, Inggeris dan Australia.
JAWABAN
BAGI ORANG YANG MENGANGGAP BID'AH HARFIYAH SEBAGAI SIAYASAH AL-SYAR'IYAH BUKANPERBUATAN BAIK SEPERTI MERAYAKAN
MAULID NABI
Al-aslu
fil adat mubah
Al-Aslu
fi syai’in al-Ibahah
Peringatan maulid adalah al-Ashlu
fil adah atau fis Syai’in
Peringatan maulid hanya straegi
Agar dakwah, tidak mati
Maqoshid syari’ah dapat digali
Asalkan ibadah mahdhoh, tidak ditambahi
Mohon diperhatikan masalahi ini,
bahwa bid’ah itu hanyalah jika menambah syahadat dan salat, dikurangi atau ditambahi.. Terjadi perdebatan antara kepicikan
Wahabi dan mereka yang liberal berlebihan, mengatakan bahwa perayaan maulid
Nabi merupakan bid'ah dengan mereka yang mengatakan bahwa perkara tersebut
adalah bid'ah. Mereka yang mengatakan bahwa merayakan maulid nabi adalah bid'ah,
lebih baik membid’ahkan Alfamart, Indomaret, dan sejeisnya karena tidak pernah
membayar zakat dan pemiliknya, mungkin jarang salat, kecuali karyawannya. Nah beralasan bahwa hal tersebut tidak terlaksana
pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan pada masa
shahabat atau salah seorang tabi'in. Sedangkan kelompok lain menjawab dengan
berkata, 'Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat
pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan
tabi'in.
Nama bin Baz juga tidak ada pada
masa Nabi, apalagi nama Al-Bani.
Bacalan al-siyasah al-Sar'iyah
Alhamdulillah
Pertama,
Hendaknya diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang tanggal persisnya kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam
berdasarkan beberapa pendapat. Ibnu Abdul Bar rahimahullah berpendapat bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan pada tanggal 2 bulan Rabi'ul Awal.
Ibnu Hazm rahimahullah menguatkan pendapat bahwa beliau dilahirkan pada tanggal
8 Rabiul Awal. Ada pula yang berpendapat tanggal 10 Rabiul Awal, sebagaimana
dikatakan oleh Abu Ja'far Al-Baqir. Ada pula yang berpendapat tanggal 12 Rabiul
Awal, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ishaq. Adapula yang berpendapat bahwa
beliau dilahirkan pada bulan Ramadan sebagaimana dikutip oleh Ibnu Abdul Bar
dari Zubair bin Bakar.
Lihat As-Sirah An-Nabawiah, Ibnu Katsir, hal. 199-200.
Pendapat-pendapat ini cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa
orang-orang yang mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada masa lalu
tidak memastikan hari tertentu sebagai hari kelahirannya, apalagi untuk
merayakannya. Telah berlalu sekian abad kaum muslimin tidak melakukan perayaan
hari kelahiran beliau, hingga akhirnya kaum Fathimiah mengada-adakannya.
Syekh Ali Mahfuz rahimahullah berkata,
"(Perayaan maulid) pertama kali
diadakan di Kairo, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, abad ke 4. Ketika itu
mereka mengada-adakan empat perayaan kelahiran (maulid); Maulid Nabi, Maulid Imam Ali radhiallahu anhu, Maulid Fatimah Az-Zahra' radhiallahu
anha, Maulid Hasan dan Husain radhiallahu anhuma dan maulid Khalifah saat itu.
Perayaan tersebut terus dilaksanakan hingga dihilangkan oleh Al-Afdhal,
pemimpin tentara. Kemudian diadakan kembali pada masa khalifah Al-Amir bi
Ahkamillah, pada tahun 524 H setelah nyaris dilupakan orang. Sedangkan yang
pertama kali mengadakan maulid di wilaya Arbil adalah Raja Muzaffar Abu Sa'id
pada abad ketujuh dan terus diadakan hingga hari ini. Bahkan orang-orang
mengembangkannya dan melakukan bid'ah sesuka hati mereka dengan bisikan setan
manusia dan jin."
Al-Ibda' Fi Madhari Al-Ibtida', hal. 251
Adapun pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang merayakan
maulid nabi, ''Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus
terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat
dan tabi'in' Hal itu menunjukkan bahwa mereka belum paham makna bid'ah yang
telah diperingatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak
hadits.
Dalam masalah ibadah, tidak dibenarkan seseorang bertaqarrub
(beribadah) kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam kepada kita. Kesimpulan inilah yang dapat kita
ambil dari larangan beliau tentang bid'ah. Maka bid'ah adalah beribadah kepada
Allah Ta'ala dengan sesuatu yang tidak dia ajarkan. Karena itu, ulama kalangan
mazhab Hanafi radhiallahu anhu berkata,
كُلُّ
عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْهَا أَصْحَابُ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَلاَ
تَعَبَّدُوهَا
'Semua ibadah yang tidak dilakukan para shahabat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, hendaklah jangan kalian beribadah dengannya.'
Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Imam Malik
rahimahullah,
فَمَا
لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيناً ، لاَ يَكُونُ الْيَوْمَ دِيناً
'Apa yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka pada
hari inipun bukan bagian dari agama.'
Maksudnya adalah sesuatu yang tidak dianggap agama pada masa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak dijadikan sebagai ibadah
kepada Allah, maka hal tersebut tidak dianggap agama setelah itu.
Adapun contoh yang disebutkan penanya, yaitu ilmu jarh wa ta'dil,
yang dinyatakan sebagai bid'ah yang tidak tercela. Kesimpulan ini dipakai oleh
mereka yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah
sayyi'ah (bid'ah yang buruk). Lalu mereka tambahkan pembagian bid'ah dalam
hukum taklifi yang lima (wajib, sunah, mubah, haram, makruh). Pembagian ini
dinyatakan oleh Al-Izz bin Abdussalam rahimahullah, kemudian diikuti muridnya,
Al-Qarafi.
Asy-Syatibi telah membantah Al-Qarafi atas persetujuannya
terhadap pembagian tersebut, dia berkata,
'Pembagian ini merupakan perkara baru, tidak ada
landasannya dari dalil syar'i, bahkan pembagian itu sendiri bertolak belakang.
Karena hakikat bid'ah adalah sesuatu yang tidak dilandasi dalil syar'i, baik
dari teks syar'i, maupun dari prinsip-prinsip. Sebab, jika ada dalil dari
syariat yang menunjukkan wajib, sunah atau mubah, maka hal tersebut tidak dapat
disebut bid'ah, dan amalnya dapat digolongkan sebagai amal yang diperintahkan
secara umum atau dipilih. Maka menjadikan satu masalah sebagai bid'ah sementara
dalil-dalil yang ada menunjukkan wajib, atau sunnah atau mubah, merupakan
kesimpulan yang bertolak belakang.
Adapun perkara makruh dan haram dapat diterima sebagai
bid'ah dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain. Karena, seandainya ada dalil
yang melarang suatu perkara, atau memakruhkannya, maka hal tersebut tidak tepat
dikatakan bid'ah, tapi lebih tepat disebut maksiat, seperti pembunuhan atau
pencurian, minum khamar dan semacamnya. Maka tidak ada bid'ah yang dapat
digambarkan dalam pembagian tersebut selain pembagian haram dan makruh
sebagaimana telah disebutkan dalam babnya.
Apa yang dinyatakan Al-Qarafi tentang disepakatinya
penolakan terhadap bid'ah adalah benar. Akan tetapi pembagian yang dia lakukan
tidak benar. Uniknya, pengakuan adanya kesepakatan terebut dibenturkan dengan
sesuatu yang berlawanan, padahal dia tahu perkara-perkara yang dapat merusak
ijmak. Sepertinya dia mengikuti gurunya dalam masalah pembagian ini, yaitu Ibnu
Abdussalam, tanpa memperhatikan lagi.
Kemudian dia, Asy-Syatibi, menyebutkan dipahaminya
kekeliruan Al-Izz bin Abdusssalam rahimahullah dalam masalah pembagian ini, dan
bahwa dia menyebutkannya sebagai Al-Mashalih Al-Mursalah sebagai bid'ah. Lalu
dia berkata, 'Adapun Al-Qarafi, tidak dapat diterima kekeliruannya yang mengutip
pembagian bid'ah tersebut tidak sesuai yang dimaksud oleh gurunya, juga tidak
sesuai dengan yang dimaksud orang lain. Karena dia telah berbeda pendapat dengan semua pihak dalam pembagian ini. Maka itu artinya
bahwa pandangannya bertentangan dengan ijmak."
Al-I'tisham, hal. 152-153. Kami nasehatkan untuk merujuk
kepada kitab tersebut. Sebagian beliau telah membantah dengan
sangat baik dan sangat bermanfaat.
Al-Izz bin Abdussalam telah memberikan contoh bid'ah yang
wajib dalam pembagiannya. Dia berkata,
Contoh pertama, "Bid'ah yang wajib memiliki beberapa
contoh, di antaranya, 'Menyibukkan diri dengan ilmu nahwu
(gramatika bahasa Arab) untuk memahami Kalamullah (Al-Quran) dan sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ini adalah kewajiban, karena memelihara
syariah adalah kewajiban, dan hal tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan
mengetahuinya. Sebuah kewajiban yang tidak terlaksana dengan sempurna kecuali
dengan suatu perkara, maka perkara itu menjadi wajib.'
Contoh kedua, 'Menjaga kosa kata yang sulit dalam Al-Quran
dan Sunnah.'
Contoh ketiga, 'Membukukan Ushul Fiqih.
Contoh keempat, 'Membincangkan Al-Jarh Wat-Ta'dil (ilmu
untuk membedakan mana perawi yang dapat diterima dan mana yang tidak) untuk
membedakan hadits shahih dan hadits lemah.
Kaidah dalam syariat telah menunjukkan bahwa memelihara
syariat merupakan fardhu kifayah apabila telah melampaui batasan fardhu ain.
Memelihara syariah tidak dapat terlaksana kecuali dengan apa yang telah kami
sebutkan."
Qawa'idul Ahlam Fi Mashalih Al-Anam, 2/173.
Asy-Syatibih juga telah membantah perkataannya dengan
berkata, 'Adapun apa yang dikatakan oleh Izzuddin, maka telah dibicarakan
sebelumnya. Contoh-contoh tentang perkara wajib yang dikemukakan, berdasarkan
bahwa sebuah kewajiban tidak dapat diwujudkan kecuali dengan perkara tersebut,
seperti yang dia katakan, tidak disyaratkan terlaksana di kalangan salaf, juga
tidak disyaratkan memiliki landasan khusus dalam syariat,
karen hal itu termasuk dalam bab 'Al-Mashalih Al-Mursalah', bukan bid'ah."
Al-I'tisham, hal. 157-158.
Kesimpulan dari bantahannya adalah bahwa ilmu-ilmu ini tidak
pantas jika dikatagorikan sebagai bid'ah syar'iah yang tercela. Karena
kebenarannya dikuatkan oleh nash-nash yang umum dan kaidah syariah yang umum
yang memerintahkan untuk memelihara agama dan sunah serta perintah untuk
menyampaikan ilmu syariah dan nash-nash syar'I (Al-Quran dan Sunnah) kepada
manusia dengan cara yang benar.
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
"Bi'dah menurut defenisi syariat adalah tercela,
berbeda menurut definisi bahasa. Karena semua perkara yang diada-adakan tanpa
contoh sebelumnya (menurut bahasa) adalah bid'ah, apakah yang terpuji atau
tercela."
Fathul Bari, 13/253.
Dia juga berkata,
"Bid'ah adalah segala sesuatu yang tidak memiliki
contoh sebelumnya. Maka dari segi bahasa bid'ah dapat mencakup perkara yang
terpuji dan tercela. Sedangkan menurut pemahaman syariah bid'ah khusus memiliki
sifat tercela. Jadi kalau disebutkan dalam katagori terpuji, maka maksudnya
adalah pemahaman bid'ah dari segi bahasa."
Fathul Bari, 13/340
Syekh Abdurrahman Al-Barrak ketika memberi penjelasan
tentang hadits no. 7277 dalam bab Al-I'tisham bil Kitab was-Sunnah, pasal 2
dalam kitab Shahih Bukhari, beliau berkata,
"Pembagian ini benar jika bid'ah dipahami secara
bahasa. Adapun bid'ah menurut syariat, semuanya adalah sesat. Sebagaimana
hadits Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam 'Seburuk-buruk perkara adalah
yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat." Dengan kaidah yang
umum ini, maka tidak dibenarkan jika dikatakan, di antara
bid'ah ada yang sifatnya wajib, sunah, mubah. Tapi yang namanya bid'ah dalam
agama, apakah masuk dalam perkara haram atau makruh. Di antara perkara bid'ah
yang dimakruhkan dan ada pula bahwa ini adalah perkara yang mubah, adalah
mengkhususkan waktu Shubuh dan Ashar untuk saling berjabat tangan setelah
shalat.."
Yang layak dipahami dan diperhatikan adalah hendaknya
diperhatikan tersedianya semua sebab dan tidak adanya penghalang dalam suatu
perbuatan pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta para
shahabatnya. Maka perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta
kecintaan para shahabat terhadapnya merupakan dua sebab yang terdapat pada masa
shahabat yang mulia untuk menjadikan hari maulid sebagai perayaan yang mereka
rayakan. Tidak sesuatu yang mencegah mereka untuk melakukna hal itu. Maka
ketika hal tersebut tidak dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, juga
para shahabatnya tidak ada satupun yang melakukannya, maka dapat disimpulkan
bahwa perkara tersebut tidak disyariatkan. Sebab seandainya hal itu
disyariatkan, niscaya mereka akan lebih dahulu dari kita untuk
melakukannya."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,
"Demikian pula apa yang diada-adakan sebagian orang.
Apakah hendak menyerupai kaum Nashrani dalam merayakan hari lahirnya Isa
alaihissalam, atau karena kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam
serta penghormatannya kepadanya, maka boleh jadi Allah akan memberi mereka
pahala atas kecintaan dan kesungguhannya, bukan atas perbuatan bid'ahnya, yaitu
dengan cara menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai perayaan dengan perbedaan
yang ada di antara mereka. Sesungguhnya hal ini tidak terdapat di kalangan
salaf, padahal sebabnya ada, dan penghalangnya tidak
ada. Jika perkara itu murni sebuah kebaikan, atau lebih besar kemungkinan
benarnya, niscaya kalangan salaf lebih layak melakukannya ketimbang kita.
Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mencintai dan memuliakan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam daripada kita, dan mereka adalah orang yang sangat
gemar pada amal kebaikan. Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengormatan
kepadanya terwujud dengan mengikuti jejaknya, taat kepadanya, mengikuti
petunjuknya, menghidupkan sunahnya lahir batin seta menyebarkan ajarannya dan
berjihad untuk itu, baik dengan hati, tangah dan lisan. Ini merupakan petunjuk
generasi awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka
dengan baik."
Iqtidha Ash-Shiratal Mustaqim, hal. 294-295.
Ini adalah ucapan yang tepat, menjelaskan bahwa cinta kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terwujud dalam bentuk mencintai
sunahnya, mengajarkannya dan menyebarkannya di antara manusia serta membelanya.
Inilah jalan yang ditempuh para shahabat radhiallahu anhum.
Adapun orang-orang yang datang belakangan, mereka menipu
diri mereka sendiri, dan mereka ditipu oleh setan dengan perayaan-perayaan
tersebut dengan pandangan bahwa semua itu sebagai ekspresi kecintaan mereka
terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sementara mereka jauh dari tindakan
untuk menghidupkan sunah, mengikutinya, mendakwahkannya, mengajarkannya dan
membelanya.
Ketika.
Adapun bantahan orang tersebut yang berdalil dengan ucapan
Ibnu Katsir rahimahullah, bahwa dia membolehkan pelaksanaan maulid Nabi,
hendaknya dia menyebutkan kepada kami dimana dia dapatkan ucapan Ibnu Katsir
seperti itu. Karena kami tidak mendapatkan
ucapan Ibnu Katsir rahimahullah seperti itu. Kami yakin Ibnu Katsir jauh dari
tindakan membela dan mengajarkan bid'ah seperti itu.
Wallahua'lam.
Soal Jawab
Tentang Islam
Aqidah
Ibadah
Lihat juga Website Islam Soal Jawab
( islamqa.com )© 1997-2014 0.02
No comments:
Post a Comment