HUKUMAN TERHADAP ANAK OLEH ORANG TUA DAN GURU
Drs.M.Rakib,S.H.,M.Ag.Pekanbaru-Riau
Hukuman adalah Instrumen Sekunder .Sebagian
pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan,
tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam
kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua
masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan
penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu
boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat
mengusik kesadarannya.
Ingatlah ketika Rasulullah SAW.
pun membolehkan orang tua memukul anaknya
Terkadang guru dan orang tua, dihadapkan pada kondisi di mana
anak-anak melakukan kenakalan yang membuat marah, kecewa dan jengkel.
Perasaan-perasaan itu kemudian mendorong untuk melakukan pemukulan kepada
mereka, mulai dari pukulan yang ringan sampai pukulan yang keras. Memang
Rasulullah SAW. pun membolehkan orang tua memukul anaknya sebagaimana hadits
(artinya): Perintahkan anak-anakmu
untuk melakukan sholat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika
meninggalkannya ketika berusia 10 tahun.[1] Bagaimana Islam menuntun para orang tua untuk
mengamalkan hadits di atas? Ayah dan Ibu
serta guru-guru. Selanjutnya tentang masalah ini Abdur Rohman al Buthoni menurunkan sebuah
analisis:
a. Ketentuan
dan aturan dalam memukul anak-anak
1.
Hendaknya meyakini bahwa memukul
adalah peritah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian perasaan, emosi dan rasa
kesal yang berlebihan yang biasanya mendomiasi sikap orang tua akan hilang
ketika menerapkan metode ini.[2]
- Maksud dari memukul adalah tarbiyah/pendidikan untuk memperbaiki anak, bukan melampiaskan amarah, menakut-nakuti, mengancam atau yag semisalnya. Pukulan harus dilakukan dengan rasa cinta kasih dan sayang disertai doa yang baik untuknya.
- Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul.
- Tidak menyiksa dan tidak menyakitkan, serta jangan memukul wajah.
- Hindari riya’ dan sum’ah (pamer) karena sebagian orang tua berkeliling dengan tongkat mencari anaknya dalam keadaan marah dan memukulnya sepanjang jalan untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa ia amat sungguh-sungguh, tegas dan sangat peduli dalam mentarbiyah dan menghukum anak. Ini salah dan merupakan amal yang sia-sia.
- Berhubung pemukulan ini maksudnya adalah sebagai obat,[3] maka harus disesuaikan kadarnya dan tidak boleh melampaui batas. Artinya, memukul sekali dan tidak boleh berkali-kali sehingga akan menyiksa. Pemukulan dengan pelan sehingga tidak menyakitkan, dengan tangan biasa tanpa alat dan bukan dengan kaki, bukan pula meninju atau bukan menempeleng kepala.
b.Maqashid al-Syari’ah memukul anak yang tidak shalat.
Setiap yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya pasti memiliki maqashid,[4] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan
(2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan
hukuman padanya. Firman Allah ta’ala (artinya):…Dan kami menurunkan besi
yang memiliki kekuatan yang sangat keras dan bermanfaat bagi manusia…[5]
Maqshid itu di antaranya bermakna
manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan
untuk menegakkan qishash. Ini adalah
manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga
mereka pasrah pada agama Allah. Maka maqashid atau manfaat memukul anak karena
meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
- Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
- Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
- Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya, tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan dengan kehendak Allah.
c. Memukul anak yang sesuai
dengan maqashid al-syari’ah.
Ada perbedaan antara memukul
biasa, dengan memukul yang diatur
oleh syari’at.[6]
Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang gampang emosi
dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat
Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qois tatkala mengabarkan kepada beliau
bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm.
Maka Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, maka ia suka memukul wanita (maksudnya
akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul adalah agar
anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut
kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar
anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak
ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang
tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
d.Jangan melampaui batas
Orang-orang yang memukul anak-anak hendaknya takut kepada
Allah. Jangan sampai termasuk golongan
orang-orang yang tidak masuk surga atau bahkan tidak mencium baunya. Di
antaranya sekelompok manusia yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[7]
Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud ”orang yang boleh memukul,”
bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[8]
Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukul dan menendang siapa saja, hanya
karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya agar guru, polisi,
satpam dan para mandor mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya,
dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan
cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
Aturan yang paling populer
selama ini ialah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua.
Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[9] kejahatan orangtua yang wajib dihindarkan. Pertama,
apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi
pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan
guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas
lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orangtua, sesama, bangsa dan
semesta.
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. [10]
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[11]
Argumen lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Hal ini masih bisa dibantah dengan kenyataan bahwa memang anak-anak tidak boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman itu akan melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya maka tidak akan lahir anak-anak seperti. itu. Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan tersebut mau tidak mau harus dihentikan dengan hukuman, sebab kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan, maka sang anak malah akan semakin berani. Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.
Alasan lain menurut kelompok tersebut bahwa hukuman fisik itu sama sekali tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang ia akan mengurungkan niatnya karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu hilang si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statemen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
Pernyataan bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal ini harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan buruknya.[12] Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan kebebasan mutlak, apalagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
Hukuman adalah Instrumen Sekunder .Sebagian
pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan,
tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam
kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua
masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan
penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu
boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat
mengusik kesadarannya. [13]
[2] Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya
adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka
dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya
anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul. Ini ketetpan Allah, bukan
ketetapan guru atau mufti. Imam Ibnu Qayyim berkata " Seorang mufti dan seorang hakim
(penguasa, qadhi) tidak akan bisa berfatwa dan memutuskan perkara dengan
kebenaran, kecuali bila memadukan dua pemahaman (fiqih). Pertama : memahami dan mengerti betul waqi' (realita), serta
menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan
'alamat (bukti-bukti dan
data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua
: memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu
memahami hukum Allah yang ditetap kan
dalam kitab-Nya atau melalui lesan Rasul-Nya atas realita tersebut. Baru
kemudian menerapkan yang satu (hukum syariat, pent) atas yang lain (realita)
[3] Arti penting teori maqashid al-syari’ah yang pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi
produk-produk fiqih para ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa
mengindahkan konteks. Misalnya hukuman fisik bagi anak yang tidak shalat, merupakan obat bagi kemalasannya. Lebih dari itu juga dapat menepis anggapan
sementara orang bahwa hukum Islam adalah hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang,
menurut mereka, kurang manusiawi (al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah,
teori ushul fiqih dan maqashid
al-syari’ah harus
dikawinkan untuk mengatasinya. Selanjutnya,
dengan metodologi Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya
yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus
jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas.
Memisahkan maqashid
al-syari’ah dari
teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua persoalan dapat
diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa
yang dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunyaMaqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang secara yakin menjadikan maqashid al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu ushul fiqh (Asyur,
1999: 180), kata Darusmanwiati, adalah tidak benar, karena teori-teori dan
kerangka yang dikemukakan Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah
teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda
(Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sebenarnya, maqashid al-syari’ah telah dikembangkan oleh para mujtahid
sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para
pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri
menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama
yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali
menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa
Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi
menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
[4] Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang
berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh)
mengenai teori maqashid
al-Syari’ah yang
disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin
dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi
Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat
kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal
dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah,
maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin,
2000: 8).
Dengan demikian, pembagian
tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang
terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya,
al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat)
ushul fiqh dengan konsep maqashid
al-syari’ah sehingga
produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila
model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani
antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan
“aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya
dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel
…. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih
menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang
terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
[6] Suruhlah anak-anakmu
untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak
mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur
mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud
(no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482),
Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’
(no. 5868)] Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan
kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
[9] Editor Tribun Pontianak.Co.id -
Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012 lalu, tak
ubahnya drama sarat makna kehidupan. Pelajaran hidup,
terutama bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih"
mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya. Vita,
sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab.
Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari
ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda
Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya
kalau menolak syuting.Tidak sampai di
situ, sang ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai
urusan busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun
mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu
pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu
tak mengelak, mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki
putrinya menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini?
Prinsipnya, tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak
kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya,
meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta
orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya.
[10] Adapun pukulan yang
dimaksud adalah: a.
Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak
menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian
tubuh, kecuali wajah. [Lihat
Menanti Buah Hati, hal. 347-348).
Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua
terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak
dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri.
Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang
baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak
disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan
perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk
memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti
ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi Adab Islam
(I/201)] Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau
menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan
bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man
bin Basyir radhiyallahu’anhu] Selain itu, orang tua juga harus
menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang
tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman, Artinya:
“Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah
(ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat
ganjaran yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28) Artinya: “Hanya saja
harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan
sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.”
(Qs. Ath-Taghabun: 15).Terutama
bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar
dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik
oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api
Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang
siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada
mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya
dari Neraka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998)
dan Muslim (no. 2629)]
[11] Apabila manusia telah
meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akan kebaikan baginya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631),
Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud
(no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278)
dari Abu Hurairah.
[12] Sudah
tidak asing lagi di beberapa pondok,pengurus atau pihak pondok menetapkan
aturan dng cara menta'zir yg salah satunya dng menarik uang(denda) bagi santri
yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh pada pesantren
di Jawa,karena , mereka para kiyai tahu
hukum menta'zir dengan uang, sehingga
timbul pertanyaan: 1. bagaimanakah hukum menta'zir dengan meng-gunakan
uang(mendenda).....2. jika tidak boleh,apakah ada cara lain yang membolehkanya,mungkin
dengan hilah(mreka daya hukum)? 3. hukum helah yang diperbolehkan seperti apa
kriteria yang diperbolehkan menurut syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i
menghukum dengan denda uang itu tidak boleh,tapi menurut pendapat imam malik
boleh menghukum dengan denda uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat
ke bawah,kalau pun organ atas yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah-
mengatakan, ”Kaum muslimin
bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa
besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas
harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang
meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan
kehinaan di dunia dan akhirat.”
(Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul
Qayyim,. 7
[13] Anak yang menjadi
dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala
kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam
firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: “Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46) Kehadiran
anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua
orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa
memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan
sering kita temui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat
perbuatan orang tuanya.
No comments:
Post a Comment