Kitab al-Ahkam
as-Sultaniyyah, Al-Mawardi mengungkapkan, esensi hukum Islam adalah
menegakkan keadilan
By Drs.Mhd.Rakib,S.H.,M.Ag. Pekanbaru-Riau. 2014
Masalah jinayat yang
tercakup dalam jarimah hudud dan qaisas-diyat yang disyariatkan pada dasarnya
untuk memelihara eksistensi manusia dan kemuliaan manusia, sebagai pembeda
antara manusia dengan makhluk lain, seperti hukuman had qisas-diyat untuk
memelihara eksistensi jiwa dari pembunuhan dan penganiayaan, hukuman had
minuman keras untuk memelihara eksistensi akal, hukuman zina untuk memelihara
eksistensi asal-usul (keturunan) manusia, hukuman had pencurian untuk
memelihara eksistensi harta, hukuman had hirabah untuk memelihara eksistensi
jiwa dan harta. Maka upaya untuk memelihara eksistensi itu pada dasarnya untuk
penguatan martabat manusia, dan fuqaha’ telah merumuskan menjadi lima kategori,
yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan,
dan memelihara harta[1].Dan
hal-hal yang bersifat hajiyah (skunder) dari tujuan hukum itu
dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, hal yang primer dalam ibadah
disebut “azimah” (yang seharusnya), maka dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan rukhsah (keringanan) dengan tujuan untuk menghindarkan kesulitan,
seperti karena sakit atau safar. [2]
Kedua, dalam masalah kebiasaan, seperti makan, boleh memakan makanan
yang lezat asalkan halal, boleh memakai pakaian yang baik, boleh mendiami rumah
yang baik, juga boleh memakai kendaraan yang baik, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam masalah muamalah, seseorang boleh jual-beli secara
salam, dibolehkan juga dengan istina’muzara’ah, murabahah, ijarah, musaqqah,
dan lain-lain. Dalam perkawinan, dibolehkan thalak untuk menghindari
kemudlaratan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Masuk hajiyat juga, seperti
memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Keempat, dalam bidang uqubah (jinayah), seperti
diharuskan tukang jahit mengganti kerugian atas kain yang dirusakkan, tidak
melaksanakan hudud karena syubhat (kesamaran) pada perkara pidana, larangan
menjual minuman keras dan sejenisnya, larangan penimbunan barang, dan lain
sebagainya.[3]
Adapun hal-hal yang bersifat tahsiniyah
[4](tersier)
adalah semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang
baik, yang semuanya tercakup dalam bagian akhlak karimah, antara lain:
Pertama, dalam hal ibadah, seperti kewajiban bersuci dari
najis, menutup aurat, memakai yang indah, mengerjakan amalan sunnah. Kedua, dalam hal kebiasaan, seperti memelihara adab
makan, minum, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, adab berkendaraan,
adab dalam hubungan sesama manusia, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam hal muamalah, seperti menghormati tamu, larangan
menjual benda najis, larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Keempat, dalam hal uqubah, seperti melarang
para wanita dengan memakai pakaian seksi dan merangsang seks di jalan-jalan.
Larangan membunuh orang yang sudah menyerah dalam peperangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa:
1.
Integritas moral suatu
bangsa akan menemukan jati dirinya dan akan menjadi karakter bangsa apabila
landasan spiritual masyarakat benar-benar melahirkan keyakinan yang kokoh dalam
jiwa setiap individu, sehingga melahirkan ketaatan dan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum.[5]
2.
Dalam mengawal ketaatan
dan kepatuhan itu, Allah menetapkan perintah dan anjuran (sunnah) untuk
dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan, dengan janji dan ancaman. Janji
bagi orang yang melaksanakan perintah dan anjuran akan dibalas kebahagian di
dunia dan di akherat kelak. Ancaman bagi
orang yang melanggar larangan akan dibalas dengan kesengsaraan,
ketidaktentraman dan neraka di akherat kelak.[6]
3.
Sedangkan dalam menjaga
eksistensi manusia yang paling asasi, Allah menetapkan hukuman (uqubah) yang telah ditentukan dalam
Al-Qur’an dan sunnah berupa hukuman had yaitu hudud dan qisas-diyat, sebagai
bentuk penjagaan yang konsisten, permanen sampai akhir zaman, dan sebagai wujud
dibedakannya manusia dengan makhluk yang lain. Sedangkan selain hudud dan qisas-diyat, yaitu ta’zir, yang cakupannya sangat luas, karena itu, eksistensinya
diserahkan sepenuhnya kepada manusia, pada zaman modern ini mekanismenya sesuai dengan sistem
ketata-negaraan dalan suatu negara.[7]
C. Subjek
dan Objek Hukum Pidana Islam
Hukum apapun di dunia,tentu ada sasarannya,
begitu pula dalam Islam ada subyek dan
obyek Hukum Pidana Islam. Adakah batas minimal umur
anak menurut konsep syar’i untuk kelayakan mempertanggung jawabkan tindak
pidana atas kerugian orang lain? Batas
minimal umur untuk cakap berbuat dalam hal ibadah berbeda dengan kecakapan
mempertanggungjawabkan tindak pidana; batas minimal umur anak untuk
mempertanggungjawabkan tindak pidana disamakan antar pelaku pria dan wanita;
batas minimal umur dimaksud memakai standar tamyiz
yaitu tujuh tahun. Kemudian dikenal pula hukuman khusus untuk mendidik, yang
disebut dengan istilah Jarimah ta’zir.[8]
Ciri khas
jarimah ta'zir adalah sebagai berikut: 1.Hukumannya tidak tertentu dan
tidak terbatas,artinya artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara'
dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.2.Penetapan hukuman tersebut adalah
hak penguasa.Hukuman jarimah banyak jumlahnya yang dimulai dari hukuman yang
paling ringan sampai hukuman paling terberat. Hakim diberi kewenangan untuk
memilih di antara
hukuman tersebut, yaitu
hukuman yang sesuai dengan keadan jarimah serta diri pembuatnya.hukuman-hukuman
jarimah ta'zir antara lain :
Pada dasarnya menurut syari'at Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan
pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai
membinasakan, karena itu dalam hukum ta'zir
tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan
tetapi beberapa foqoha'memberikan pengecualian dari hukuman umum tersebut
,yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghedaki
demikian atau pemberatasan tidak terlaksanakankecuali dengan jalan
membunuhnya,seperti mata-mata, untuk pembuat fitnah, namun foqoha' yang lain
mengatakan dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
Di kalangan
fuqoha' terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam
ta'zir.menurut pendapat yang terkenal dikalangan ulama maliki,batas tertinggi
diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasari hukuman kemashalatan
masyarakat dan atas berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, pendapat
bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali,dan menurut Abu Yusuf 75
kali. Ada dua
hukuman jilid dalam
hukum Islam
yaitu :
1.
Hukuman jilid pertama
adalah hukuman yang terbatas
2.
Hukuman jilid kedua
adalah hukuman yang tidak
terbatas
Adapun dasar pengambilan hukumnya dari:
Al-
Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 601
فإذا ارتكب الصغير اية جريمة قبل
بلوغه السابعة فلايعاقب عليها جنائيا ولا تأديبيا
Pada usia
berapa tahun seorang anak dapat digugat perdata atas perbuatan hukumnya menurut
hukum Islam?
Seorang
anak dapat digugat perdata pada usia lima belas tahun dengan syarat nyata
baligh atau nyata rusyd (pandai),berakal
sehat.
Dasar Pengambilan
Hukum
Al-
Ashbah wa al- Nadza’ir 240
الاول ما لايلحق فيه بالبالغ بلا خلاف وذلك في التكاليف الشرعية من
الواجبات والمحرمات والتصرفات من العقود والفسوخ والولايات
Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu VII hal 739
تنتهي الولاية على النفس في رأي الحنفية في حق الغلام ببلوغه خمسة عشر سنة
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I halaman 602
مرحلة الادراك التام ويسمى الإنسان فيها بالبالغ والراشد
Kapan
anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh
orang tua kandungnya di hadapan hakim peradilan?
Anak
dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh orang
tuanya dihadapan hakim pada usia 15 tahun (mukallaf)
Sharh
Jamal ala al Minhaj V hal 409
وَقَوْلُهُ: تَكْلِيفُ كُلٍّ أَيْ شَرْطُ صِحَّةِ الدَّعْوَى أَنْ يَكُونَ
كُلٌّ مِنْ الْمُدَّعِي, وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ مُكَلَّفًا فَلا تَصِحُّ مِنْ
صَبِيٍّ وَلا مَجْنُونٍ وَلا عَلَيْهِمَا وَكَوْنُهَا لا تَصِحُّ عَلَى الصَّبِيِّ
إنَّمَا هُوَ بِالنِّسْبَةِ لِطَلَبِ الْجَوَابِ مِنْهُ وَطَلَبِ تَحْلِيفِهِ
وَإِلا فَهِيَ تُسْمَعُ عَلَيْهِ لأَجْلِ إقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ كَمَا
ذَكَرَهُ الرَّشِيدِيُّ
Mughni
ala al Muhtaj IV hal 513
تنبيه: قد علم من ذلك أنه لا تنافي بين ما ذكر هنا وما ذكر في كتاب دعوى
الدم والقسامة من أن شرط المدعَى عليه أن يكون مكلفاً ملتزماً للأحكام، فلا تصح
الدعوى على صبي ومجنون؛ لأن محل ذلك عند حضور وليهما فتكون الدعوى على الولي،
Sekira
seorang anak terbukti secara bersama-sama (isytirak)
melakukan tindak pidana dengan orang yang sudah dewasa, bagaimana pertanggung
jawaban hukumnya?
Anak yang
melakukan tindak pidana secara bersama-sama (isytirak) dengan orang yang sudah
dewasa, pertanggungjawabannya dipisahkan, maksudnya anak diadili dengan
pengadilan anak.[9]
Dasar
Pengambilan Hukum
Al Mughni
Li Ibn Qudamah IX hal 337
ولنا أنه شارك من لا مأثم عليه في فعله فلم يلزمه قصاص كشريك الخاطىء ولأن
الصبي والمجنون لا قصد لهما صحيح ولهذا لا يصح إقرارهما فكان حكم فعلهما حكم الخطأ
Dapatkah
orang tua angkat, orang tua asuh bertindak selaku waliyyuddam atas nama
anak angkat atau anak asuhnya atau mereka dibebani denda pidana?
Orang tua
angkat dan orang tua asuh dapat bertindak selaku waliyyuddam atas nama
anak angkat atau anak asuhnya sepanjang menyangkut kepentingan mereka, bukan
untuk menanggung beban karena perbuatan mereka.
Dasar
Pengambilan Hukum
Al
Sharqawi II hal 363
الثالث يسقط فيه القود عن بعضهم فقط دون البعض الآخر إما لإستحالة إيجاب
القود عليه ككونه اصلا او صبيا او مجنونا شاركه غيره
Hamisy
I’anah al Thalibin IV hal 128
و يثبت القود للورثة العصبة وذي الفروض بحسب إرثهم المال ولو مع بعد
القرابة كذي رحم إن ورثناه أو مع عدمها كأحد الزوحين والمعتق وعصبته
Kifayat
al Akhyar II hal 148
الوجه الثاني كونها على العاقلة فإذا جنى الحر على نفس حر آخر خطأ أو عمد
خطأ وجبت الدية على عاقلة الجاني.
Hamisy al
Bajuri II hal 203
والمراد بالعاقلة عصبة الجانى لا اصله و فرعه
Adakah
batas normatif bahwa sanksi pidana atas anak yang belum dewasa maksimal separo
sanksi yang sama atas pelaku pidana yang dewasa?
Tidak ada
batas normatif bahwa sanksi pidana anak yang belum dewasa maksimal separuh
sanksi pelaku yang dewasa. Karena sanksi pidana pada anak ta’dib/ta’zir, maka
diserahkan pengaturan dari waliyyul amri.
[4] Marsum, Jinayat
(Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum
UII, 1991). 325
[5] Ketaatan dan kepatuhan tersebut akan melahirkan prilaku atau
moral yang sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, seperti iman seorang muslim
yang kokoh akan melahirkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan
meninggalkan larangan Allah, dan implikasi dari ketaatan dan kepatuhan itu
adalah akhlak karimah.
[8]Jarimah
ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir,pengertian ta'zir
menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.dan menurut
istilah,sebagaimana yang dikemukakan oleh Iman Al Mawardi,pengertiannya sebagai
berikut: Ta'zir
itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan
hukumannya oleh syara'.Secara
ringkas ta'zir dapat di katakan bahwa hukuman ta'zir itu adalh hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara'.melainkan diserahkan kepada ulil amri.baik
penentuan maupun pelaksanaannya.dalam menentukan hukuman tersebut,penguasa
hanya menetapkan secara global saja.artinya pembuat undang-undang tidak
menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta'zir,melainkan hanya
menetapkan sekumpulan hukuman,dari yang seringan-ringannya sampai
seberat-seberatnya.(A.Wardi Muslich 2004 : 19).
Hukuman ancaman (tagdid),teguran (tanbih)dan
peringatan. Ancaman
juga merupakan salah satu hukuman ta'zir dengan syarat akan membawa hasil dan
bukan hanya ancaman kosong.minsalnya dengan ancaman akan dijilid,dipenjarakan
atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara
hukuman teguran pernah dilakukan Rosulullah terhadap sahabat abu dzar yang
memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.maka Rosulullah saw
berkata;wahai abu dzar engkau menghina dia dengan menjelek-jelekan
ibunya,engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat jahiliyah.Hukuman
peringatan juga diterapkan dalam syari'at islam dengan jalan memberi nasehat
kalau hukuman ini cukup membawa hasil.hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur'an
sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
Hukuman pengucilan (al-hajru). Hukuman
pengucilan merupakan salah satu hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam.dalam
sejarah,Rosullah pernah melakukan hukuman pengecualin terhadap tiga orang yang
tidak ikut serta dalam perang tabuk,yaitu ka'ab bin malik,miroroh bin
rubi'ah,dan hilal bin umaiyah.mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpak
diajak bicara. Hukuman
denda ditetapkan juga oleh syariat islam sebagai hukuman,antra lain mengenai
pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,hukuman didenda dengan lipat
dua kali harga buah tersebut. Addul Qodir audah membagi tiga hukuman
terhadap jarimah ta'zir yaitu:
1.
Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengadung
unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat namun hal itu sudah dianggap
sebagai perbuatan maksiat seperti pencurian harta syirkah,pembunuhan ayah
terhadap anaknya dan pencurian yang bukan harta benda.
2. Jarimah
ta'zir dimana jenis jarimah di tentukan oleh nash,tetapi saksinya oleh syariat
diserahkan kepada penguasa seperti sumpah palsu,sakit palsu,mengurangi, timbangan,menipu,mengikari
janji,menghianati amanah,dan menghina agama.
3.
Jarimah ta'zir dimana jarimah dan saksinya secara
penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.dalam hal
ini akhak menjadi pertimbangan yang paling utama minsalnya pelanggaran terhadap
peraturan lingkungan hidup ,lalu lintas,dan pelanggaran terhadap pemerintah
lainnya.
[9] Tingkat
kemampuan seorang mumayyiz. Kemampuan ‘aql atau nalar,adalah hal
yang di perhitungkan pertama kali pada seorang anak untuk di sebut mumayyiz. Bulugh
(tanda-tanda pubertas fisik) dan ciri khasnya. Saat anak beranjak dewasa,
menjadi lebih mudah bagi kita untuk mengetahui dengan tepat tingkat
perkembangannya. Pada tingkat tertentu dalam kehidupan seorang anak, berbagai
macam aspek perkembangannya dapat diamati. Masa pubertas dapat dengan mudah
terlihat jika seorang anak berada dalam pengamatan yang terus menerus dan
seksama. Istilah bulugh yang juga dikenal dengan istilah pubertas
merupakan masa transisi fisik dari fase kanak-kanak menjadi fisik orang dewasa
dengan ditandai oleh gejala-gejala fisik—penomena mimpi bagi laki-laki dan haid
bagi kalangan perempuan. Adapun klasifikasi umur yang menginjak era
pubertas/transisi fisik menurut para ahli hukum, sebagaiman di rangkum oleh
Dadan Muttaqien, bahwa sejauh ini masa pubertas tidak pernah dicapai sebelum
usia Sembilan tahun. Mereka juga menekankan bahwa masa puber tidak selalu
terjadi di usia ini pada setiap anak, karena banyaknya factor-faktor yang
munkin dapat menunda proses kedewasaan fisik. Oleh karena itu sebagian besar
ahli hukum seperti: al-Awza’I, Imam Ahmad, al-Syafi’I, Abu Yusuf,
dan Muhammad, semua berkesimpulan bahwa lima belas tahun adalah usia paling
lambat bagi seseorang untuk mencapai kematangan fisik, terlepas dari tidak
tampaknya tanda-tanda fisik. Rusyd (kedewasaan mental) . Hukum juga
menekankan pentingnya pencapaian rusyd atau kedewasaan mental, yaitu
baik kesempurnaan bulugh maupun kematangan mental, dalam arti mampu
untuk berfikir (‘aql).
No comments:
Post a Comment