Kontroversi Dan Rekonstruksi
Oppenheimer
Kontroversi tentang sumber peradaban
dunia muncul sejak diterbitkannya bukuEden The East (1999) oleh
Oppenheimer, Dokter ahli genetic yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia
berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal
peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini
diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia
disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia “Pairidaeza” yang arti
sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya
peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh
kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah
etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia
mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi
leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang
banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundalandberimigrasi ke barat
yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
KATIKO GUNUNG MARAPI
SAGADANG TALUA ITIAK
Gunung Merapi kelihatan dari jauh, sebesar telur bebek
DARI MANO
, DATANG PALITO
LAMPU
TELONG, NAN BATALI
DARI MANO
ASAL, NENEK MOYANG KITO
DARI
PUNCAK, GUNUNG MARAPI
Apakah kamu menyangka gunung itu diam, tidak. Sebenarnya ia
berjalan seperti berjalannya awan.(QS 27
: 88 )
Padang rumput purba ini membentang
dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan
Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya
terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik
justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia
betah berada di padang rumput Afrasia ini….
Menyingkap Kontroversi Terbesar
Sejarah Awal Peradaban Manusia
Oki Oktariadi, peserta program
Doktor Pengembangan Kewilayahan di Universitas
(UNPAD) Bandung, Jawa
Barat, belum lama ini mengungkapkan hasil studi yang menarik mengenai
kontroversi misteri benua yang hilang itu.
”Peradaban Atlantis yang hilang”
hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos mengingat belum ditemukannya
bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya.
Mitos itu pertama
kali dicetuskan oleh seorang ahli filsafat terkenal dari Yunani, Plato
(427 - 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato
bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para
penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa
superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan
karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi. Namun dari sudut pandang
geologi masa kini, Atlantis itu sangat mungkin adalah Sunda Land.
Selama lebih dari 2000 tahun,
Atlantis yang hilang telah menjadi dongeng. Tetapi sejak abad pertengahan (mid
century), kisah Atlantis menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat
secara diam-diam meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu
banyak yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan
ada yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah.
Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi,
kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau telaah yang cukup. Sebagian
besar dari mereka hanya mengira-ngira.
Hanya beberapa tempat di bumi yang
keadaannya memiliki persayaratan untuk dapat diduga sebagai Atlantis
sebagaimana dilukiskan oleh Plato lebih dari 20 abad yang lalu. Akan
tetapi Samudera Atlantik tidak termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan
itu. Para peneliti masa kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat
hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang
hilang dan merupakan awal peradaban manusia.
Fenomen Atlantis dan awal peradaban
selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk membuktikan dan
menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa. Apakah pandangan geologi memberi
petunjuk yang kuat terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu?
Apabila jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari perdebatan
ada tidaknya Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah Indonesia?
Hampir semua tulisan tentang sejarah
peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang
kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia
atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang
berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori
yang dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir
yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu
mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan
nama periode Younger Dryas. Pada saat ini, manusia telah menyebar ke
berbagai penjuru bumi berkat ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang
lalu. Dalam kurun empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung
halamannya di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput
purba yang kini dikenal sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang
dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan
Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya
terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik
justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia
betah berada di padang rumput Afrasia ini.
Maka, ketika para ilmuwan barat
berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, merekamengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di
belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar
Timur Tengah sekarang.
Penelitian untuk menemukan sisa
Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut. Namun di akhir
dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang mulai muncul
berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1999)
dan Santos (2005).
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari
saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000
tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka
air laut sekarang.Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua
Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagaiSundaland. Namun, ketika
bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir
besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat
setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000,
11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan
muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang
paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland
malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa,
Bali, dan Sumatera.
Padahal, waktu itu kawasan ini sudah
cukup padat dihuni manusia prasejarah yang hidup sebagai petani dan nelayan.
Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak
lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di
kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas
di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan
legenda dengan fenomena Taman Eden.
Benua Atlantis Menurut ARYSIO SANTOS
Kontroversi dari Oppenheimer seolah
dikuatkan oleh pendapat Arysio Santos. Profesor asal Brazil ini menegaskan
bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang
sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian
selama 30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally
Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos
dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah,
cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya
menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland(Indonesia bagian
Barat).
Santos menetapkan bahwa pada masa
lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri
Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus
ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya.
Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh
samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia
dan samudera Pasifik.
Argumen Santos tersebut didukung banyak
arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah
sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati
Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu
tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
Wilayah Sundaland (Indonesia bagian
Barat dalam buku Santos (2005) Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang
hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan
mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi
oleh Lapisan-lapisan Es. Maka sebagian benua tersebut tenggelam.
Santos berpendapat bahwa meletusnya
berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah
Indonesia (dulu). Letusan gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung
Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk
Danau Toba, dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang
paling dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa
yang memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda (Catatan
: tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara dikutip di sini
sebagai apa yang diketahui Santos).
Berbeda dengan Plato, Santos tidak
setuju mengenai lokasi Atlantis yang dianggap terletak di lautan Atlantik.
Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi
menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani
samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit
bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini
mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang
meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang
dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Catatan : pernyataan Santos
ini disajikan seperti apa adanya dan tidak merupakan pendapat penulis.
Namun, ada beberapa keadaan masa
kini yang antara Plato dan Santos sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua
yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah
Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia,
diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango,
Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah
atau sedang aktif kembali.
Dalam usaha mengemukakan pendapat,
tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi
bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya
berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh
para ahli Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan
bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena
ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya
senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.” Atlantis memang
misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi di dunia.
Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah
satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Pandangan Geologi
Pendekatan ilmu geologi untuk
mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat
ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian
zaman es. Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng
continental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan
Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi
kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerahSundaland
di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area meliputi
suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan cekungan
laut dalam (van Bemmelen, 1949).
Kedua area paparan memberikan
beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke separuh barat dan
timur kepulauan. Area paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di
bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung
Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian
selatan Laut China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian
Barat merupakan bagian dari sistem kepulauan vulkanik akibat interaksi
penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng
yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai
dari kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa
Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunung api (magmatic
arc).
Rekontruksi tektonik lempeng
tersebut akhirnya dapat menerangkan pelbagai gejala geologi dan memahami
pendapat Santos, yang meyakini Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan
anggapan Plato yang menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak,
perunggu, timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada
jalur magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia
yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut Kepulauan Timah dan
Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain yang menurut Santos
(2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar, maka Atlantis
sesungguhnya adalah Indonesia.
Selain menunjukan kekayaan
sumberdaya mineral, fenomena tektonik lempeng tersebut menyebabkan munculnya
titik-titik pusat gempa, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia),
dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunung api aktif, titik-titik
gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti sesar Semangko (Great
Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung)
memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu besar.
Menurut Kertapati (2006),
karakteristik gempa bumi di daerah Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami.
Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika
Serikat memiliki keyakinan bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah
Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua
Atlantis telah hilang akibat letusan gunung berapi yang bersamaan.
Pendekatan lain akan keberadaan Benua
Atlantis dan awal peradaban manusia (hancurnya Taman Eden) adalah
kejadian Zaman Es. Pada zaman Es suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan
menyebabkan peningkatan pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara
geologis, Zaman Es sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di
belahan bumi utara dan selatan; dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es.
Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke belakang, definisi Zaman Es digunakan
untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan tutupan Es yang luas di
seluruh benua Amerika Utara dan Eropa.
Penyebab terjadinya Zaman Es antara
lain adalah terjadinya proses pendinginan aerosol yang sering menimpa planet
bumi. Dampak ikutan dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut. Letusan
gunung api dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan teori
kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala besar.
Dari sudut pandang di atas, Zaman Es
terakhir dimulai sekitar 20.000 tahun yang lalu dan berakhir kira-kira 10.000
tahun lalu atau pada awal kala Holocene (akhirPleistocene). Proses
pelelehan Es di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli
membuktikan proses ini berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.
Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh
lebih rendah daripada sekarang, karena banyak air yang tersedot karena membeku
di daerah kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan
Nusantara barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara.
Sementara itu pulau Papua juga
tergabung dengan benua Australia. Ketika terjadi peristiwa pelelehan
Es tersebut maka terjadi penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu
gelombang migrasi manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum
ditemukan situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi
tempat tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit
menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).
Tempat-tempat itu dapat dianggap
sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut,
yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ±6.000 tahun dengan kondisi muka
laut ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga
bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.
Berkembangnya budaya manusia, pola
berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan lambat laun berubah menjadi
penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan
kelompok lain. Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang
sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu
menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan
astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer beranggapan
bahwa Taman Eden berada di wilayah Sundaland.
Taman Eden hancur akibat air
bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar hutan-hutan maupun
taman-taman sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini telah
tenggelam dan berada dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki
kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.
Syahnan Tanjung
Syahnan Tanjung
No comments:
Post a Comment