TERSINGKIRNYA RASA MALU
BY
H.M.RAKIB, S.H.,M.Ag…
LPMP RIAU DI PEKANBARU RIAU
MENCARI
BENALU, KE SIALANG
TEMPAT
ORANG, MENCARI ROTAN
JIKA
MALU, SUDAH HILANG
PERSIS
SEPERTI, BABI HUTAN
Hal
yang paling mencemaskan para ualam dan budayawan saat ini ialah hilangnya rasa
malu..KINI kita kembali ke zaman jahiliyah. Zaman di mana hampir semua orang
tidak memiliki rasa malu. Tak terkecuali para perempuannya. Sifat-sifat
jahiliyah perempuan: tomboi, membuka aurat, tabarruj (bersolek),
campur baur dengan laki-laki, kini sudah mendarah daging.
Rasa malu yang meskinya menjadi mahkota terindahnya sudah tidak lagi terjaga. Dandanan atau style terkini menjadi pilihan utama para perempuan kita. Tak peduli apakah style tersebut mencerminkan diri seseorang seutuhnya (prinsip diciptakan manusia) atau tidak, yang penting mengikuti mode yang ada. Perempuan akan merasa bangga mengikuti mode terkini meski harus menjual harga dirinya sebagai makhluk yang suci.
Sangat sulit saat sekarang untuk tidak mendapati perempuan tak punya rasa malu. Di mana pun tempat selalu menemukannya. Di jalan raya, di kampus, atau di mana pun tempat, selalu terlihat perempuan dengan pakaian minim. Media elektronik dan cetak menampilkan perempuan dengan busana minim. Bahkan di televisi, adegan ciuman dengan lawan jenis bukan lagi menjadi hal yang tabu.
Dengan begitu, maka perempuan akan diremehkan harga dirinya. Kesucian tiada tara, yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, seketika akan menjadi luntur. Luntur karena keindahan kamuflase sesaat. Alhasil, dengan adanya perempuan yang menggunakan pakaian seadannya, bergaul tanpa batas, akan menjadikan laki-laki dengan mudah mengajaknya untuk berbuat yang tidak diperkenankan oleh agama, sosial dan negara.
Seorang laki-laki dipastikan akan menganggap remeh perempuan yang menggunakan pakaian dengan mengumbar auratnya dan/atau bergaul seenaknya. Berbeda dari perempuan yang selalu menjaga diri dengan rasa malunya. Perempuan yang memiliki rasa malu, meski tidak bercadar, akan selalu berpakaian rapi dan menjaga seluruh auratnya.
Disadari atau tidak, perempuan
adalah tongkat estafet peradaban. Perempuan yang memiliki rasa malu akan
menghasilkan peradaban luhur. Perempuan tanpa rasa malu akan menghasilkan
peradaban negatif.
Saat seorang perempuan telah menjadi ibu, dirinya akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Apapun yang dilakukan perempuan (baca: ibu) akan selalu terekam kuat dalam memori anak-anaknya. Mereka akan menirukan segala jenis perilaku dan ucapan yang ada pada ibunya. Maka dari sinilah saat ibu salihah, maka anak dimungkinkan besar akan menjadi anak yang salih dan salihah. Saat ibunya tidak salihah, jangan harap anaknya menjadi salih dan salihah.
Maka tidak heranlah saat Rasulullah Muhammad SAW sejak jauh hari sudah berpesan: ’’Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.’’ (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Perempuan adalah tiang negara, hancur atau majunya suatu negara tergantung bagaimana kondisi perempuan yang ada di dalamnya..
Saat seorang perempuan telah menjadi ibu, dirinya akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Apapun yang dilakukan perempuan (baca: ibu) akan selalu terekam kuat dalam memori anak-anaknya. Mereka akan menirukan segala jenis perilaku dan ucapan yang ada pada ibunya. Maka dari sinilah saat ibu salihah, maka anak dimungkinkan besar akan menjadi anak yang salih dan salihah. Saat ibunya tidak salihah, jangan harap anaknya menjadi salih dan salihah.
Maka tidak heranlah saat Rasulullah Muhammad SAW sejak jauh hari sudah berpesan: ’’Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.’’ (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Perempuan adalah tiang negara, hancur atau majunya suatu negara tergantung bagaimana kondisi perempuan yang ada di dalamnya..
Malu merupakan salah satu sifat
terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan
yang tidak sepatutnya dilakukan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْحَيَا
ءُ لَا
يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
Rasulullah bersabda, “Rasa malu
adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR.
Muslim)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang
iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman
yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa
malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Suatu ketika Nabi menjumpai seorang
yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan
dia karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim,
alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga
kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati
seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh
orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.
Hakikat rasa malu adalah suatu
akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang
memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.
Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama
adalah rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah
melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Yang kedua
adalah rasa malu dengan sesama manusia.
Untuk rasa malu dengan kategori
pertama, Nabi jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan
sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para sahabat.
Nabi bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ
الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ
الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Bukan demikian namun yang dimaksud
malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota
badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan
dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang
menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan
hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan
sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan
karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih
Jami’ Shaghir no. 935)
Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan
bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar
tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak
panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat
serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.
Rasa malu yang kedua adalah malu
dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan
perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang
mengetahui kekurangan yang dia miliki.
Rasa malu dengan sesama akan
mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina.
Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan
Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang
ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.
Rasa malu kepada Allah adalah di
antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan
buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah
itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham
dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
Rasa malu kepada Allah adalah
termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling
puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan
memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini
bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).
Orang yang memiliki rasa malu dengan
sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk
yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba,
menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan
tindakan maksiat dan keburukan.
Rasa takut kepada Allah mencegah
kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi
menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela.
Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman.
Nabi bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui
banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu
maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari)
Makna hadits, jika orang itu sudah
tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia
inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai
tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah
tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan
kemungkaran.
Nabi bersabda,
الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر
“Rasa malu dan iman itu terikat
menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut
kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga
dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)
Salman
al Farisi mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا
أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ
الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ
إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ
الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ
إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ
الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ
إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ
“Sungguh
jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan
rasa malu
dari diri orang tersebut. Jika rasa
malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut
melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah
dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia
akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih
sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan
menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”
kata-kata di atas ada yang
menganggapnya sebagai sabda Nabi karena jika dinisbatkan kepada Nabi maka
berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar.
Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.
Ibnu Abbas mengatakan,
الحياء والإيمان في قرن ، فإذا سلب
أحدهما اتبعه الآخر
“Rasa
malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti
oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu
Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh
al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435)
Hadits
dan perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak
lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan
keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah
tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata
yang buruk.
Oleh
karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan
hilang bagi sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan
dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah
kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina
sebagaimana artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancer. Wal’iyadu
billah…
No comments:
Post a Comment