KAEDAH PERLINDUNGAN
ANAK DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Drs,H,M.RAKIB, S.H.,M.Ag
Perlindungan
anak dalam Islam
1. Perlindungan dari hukuman fisik.
Di masa
hidupnya Rasulullah, di masa Amirul Mukminin, dan di masa jayanya dinasti
Umayyah dan Abbasiyah, hukuman fisik oleh orang tua dan guru, yang digunakan untuk menghukum anak-anak adalah cambuk kecil,[1] untuk
menakut-nakuti anak-anak yang tidak
disiplin belajar dan tidak shalat. Menanamkan
sikap kesatria dan bertanggungjawab,bersedia dihukum, mau mengakui kesalahan, merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam
untuk melestarikan, menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan
nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga
nilai-nilai cultural-religious yang dicita-citakan tetap berfungsi dan
berkembang dalam masyarakat dari waktu-kewaktu. Permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk lembaga dan sistem pendidikan
Islam pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Makmun?
Hukuman fisik tidak banyak ditulis para
ilmuwan. Lembaga
pendidikan Islam yang berkembang pada masa khalifah Harun ar-Rasyid berbentuk:
kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, toko buku dan
perpustakaan. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa al-Makmun yaitu:
kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majlis, rumah sakit,
observatorium, khan, ribat, toko buku dan perpustakaan. Sistem pendidikan Islam
pada masa kedua khalifah ini meliputi: tujuan, kurikulum, metode, kehidupan
guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Tujuan Pendidikan Islam pada masa
Pola hubungan guru dan murid tidak ditemui
informasi tentang kekerasan apapun. Karena didasarkan pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta
akhlaqul karimah.
Dari data historis tersebut, menurut
analisis penulis angtara konsep
Hukum Islam dan UU RI No 23, secara
tekstual seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara kontekstual, “ tidak”, karena hukuman fisik
terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai
alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi
kerusakan (dar’ul mafasid).[2]Dar’ul
mafasid, artinya mencegah kerusakan yang lebih besar. Maksudnya memberikan hukuman fisik
kepada anak-anak adalah untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan
dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan
tindak kekerasan dikemudian hari. Kalau itu terjadi, maka pendidikan saat ini
hanya menghasilkan kesalahan besar.
2.Melindungi
anak-anak dari kekerasan guru.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak
pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi
dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan
lainnya”.
Apakah
bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik sekedarnya,
untuk melindungi dan menjunjung tinggi
kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat
dalam al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan
ayat-ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan
manusia itu suci sehingga haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan
(diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya
pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis
pandangan-pandangan ulama fikh tentang
kekerasan, argumentasi methodologis (usul fikh), solusi fikh, dan argumentasi fikh. Berikut ini disajikan tabel :
Tabel 5
Perbedaan antara
UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam, tentang hukuman fisik, bagi anak-anak.
No
|
UU
Nomor 23 Tahun 2002
|
Hukum Islam
|
1
|
Berdasarkan HAM dan
konvensi PBB tentang hak-hak anak.
|
Berdasarkan
Al-Quran dan Hadits
|
2
|
Keterangannya
bersifat global
|
Keterangannya bersifat
detil
|
3
|
Untuk semua agama
|
Untuk umat Islam
dan dunia
|
4
|
Melarang hukuman
fisik, tanpa batas
|
Membolehkan hukuman
fisik, dengan batas-batas tertentu.
|
5
|
Bersifat sekular
rasionalis
|
Bersifat sakral
relegius
|
6
|
Memuat sanksi
hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
|
Memuat sanksi
hukuman qishas dan ta’zir bagi yang
melanggarnya.
|
Keterangan tabel
5
Pada baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan
tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002
adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Konvensi PBB tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah
Al-Quran dan Hadits. Walaupun
dasarnya dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan
perlindungan kepada anak-anak. Dalam
Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing dan diberi contoh, bagaimana
melakukan shalat. Mereka biasanya lebih terpengaruh oleh
kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah ia akan
terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau
pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik maka insya
Allah jiwa anak terbina dgn baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya
hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam
pola yang kurang baik.
Di saat seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si
anak selama 7 tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang
pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada
peningkatan. Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah
dibina oleh guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si
anak dgn baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya
hanya sekadar menyampaikan pelajaran yg sasarannya hanya membekali otak dengan
ilmu teori dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit
sekali yang menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan
atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan. Kemaslahatan manusia dapat terwujud apabila
terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah)
maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).[3] Yang diinginkan ialah:
1. Mencari solusi
dengan fikih alternatif
Dalam konteks hukuman fisik , mirip dengan aborsi tak aman yang menimbulkan
tingginya kecelakaan, bukan merupakan persoalan sederhana,
tetapi memiliki dimensi sosial yang kompleks baik secara fisik, psikis bagi
yang bersangkutan maupun psiko-sosial bagi lingkungannya. Fikih dalam hal ini
harus berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal
atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi harus memberikan jawaban berupa
solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi perempuan.
Dengan kata lain, diakui pula oleh K.H. Sahal Mahfudz (2003):“Fikih sosial
bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang
sebagai perhatian utama syari’at Islam”.[4]
Dalam konteks menetapkan kepastian
hukum mengenai tingginya angka
kematian
ibu akibat aborsi tak aman yang merupakan dua kondisi yang sama-sama
membahayakan, dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara
lain: Pertama,
“Bahaya itu menurut agama harus dihilangkan (al-dlarar yuzaalusyar’an)”;
Kedua, “Bahaya
yang lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar
al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua
kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil
risikonya (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iyaa’dhamuhuma dlararan)”;
Ketiga,
“Keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu
tubiihul mahdzuraat)”; [5]Keempat,
perubahan hukum Islam dapat dilakukan dengan adanya perubahan zaman, perubahan
tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyir
al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid)”[6].
2.
Mengutamakan pencegahan
Ada argumentasi klasik di
kalangan ulama bahwa pencegahan atau men- dahulukan
prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal hukum aborsi,
melarang
aborsi dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi di- bolehkan
akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari
jalan
keluar. Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk
melakukan
perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih
menjawab
realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang
jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan
argumentasi
preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya
berorientasi
pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu kondisi yang
mengancam
kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman
tidak
terjadi. Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di
lapangan.Argumentasi
klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah
rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan
berstatus menikah.[7]
Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi
berstatus menikah.[8]
B. Status Anak sebagai subjek
dan objek hukum
Islam
1.Anak-anak bukan subjek hukum.
Para ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi. Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seorang perbuatannya
dikenai khitab Allah
SWT, yang disebut dengan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf
berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah mukallaf disebut juga
dengan mahkum alaih (subjek hukum).
Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik
yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangan-nya. Seluruh
tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan perintah
allah swt, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan
apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT., ia
mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
2. Dasar penetapan subjek hukum
Anak-anak belum
dikenai taklif (pembenanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk
itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah
akal dan pemahaman. Maksudnya, seorang baru dapat dibebani hukum apabila ia
berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan
demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak
kecil tidak dikenakan taklif. Karena tidak atau belum berakal, mereka dianggap
tidak dapat memahami taklif fari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang
yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan mabuk
tidak dikenai taklif karena berada dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal
ini, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : “diangkatkan pembebanan hukum dari
tiga (jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh,
dan gila sampai sembuh.”[9]
Dalam hadits lain dikatakan :
“ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam
keadaan terpaksa.”
3.
Syarat-syarat taklif
Ada dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
a. Mukallaf
dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung
atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak
dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah
kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga
dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima
pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Dengan akal
tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi
yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syar’i telah menghubungkan
beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi
tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah
sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak
kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban. Atas dasar ini orang
gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena tidak adanya akal yang
menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang lupa, tidur, dan mabuk
tidak dapat diberi beban.
Rasulullah SAW bersabda : “ Diangkatlah
pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga
orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia bangun, kedua dari kanak-kanak
sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila sampai dia berakal.” Beliaupun
bersabda : “ Barangsiapa
tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaklah
dia mengerjakan shalat itu ketika ingat, sesungguhnya ketika ingat itulah waktu
shalat.” Adapun
kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan
berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya
agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila
itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Adapun
firman Allah SWT. :
[1] Hukuman fisik dapat
dihindari dengan kekuatan bai’at kepada guru. Masalah bai’at
cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini cukup
membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya. Namun
sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu ini
tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi SAW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at. Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi SAW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at. Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .
[2] Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam
artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan
mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya,
maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada
meraih kemaslahatan tersebut. 2.
Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan
timbul, maka meraih maslahat itu lebih
diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir
disyari’at
kan, karena meskipun ada
mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama
dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat
seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada
meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan
mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada
mengambil sebuah maslahat).Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat
kembali kaidah (Tidak
boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan
Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011),57
Madzhab
Manhaji.
Pidato Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang
Fikih Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 juni. Jakarta: Universitas
Islam Negeri, 18.
Qayyim
Al-Juuziyyah). 1980. ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin. Cairo:
Mathabi’ Al-
Islam, jilid
3, 3.
Makalah Seminar
Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, PP Fatayat NU dan Ford Foundation,
Jakarta, 1 September 2001
Konseling.
Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan.Lihat juga
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,189
No comments:
Post a Comment