Drs.M.Rakib,SH.,M.Ag
HASIL PENELITIAN
Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan perkara Nomor :
33/Pid.B/2008/PN.Sby, bagi pelaku pencabulan yang dilakukan
anak di bawah umur dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara
Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi
Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada hal-hal yang
meringankan. Menurut UU
perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan
hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun
dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling
banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah).
Sedangkan Hukum Pidana Islam tidak membolehkan untuk menjatuhkan hukuman pidana bagi anak di bawah umur, tetapi dalam rangka mendidik dan mengarahkan kepada kemaslahatan, maka anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman taâzir.[1] Berdasarkan analisis di atas, penulis menyarankan bagi penegak hukum agar dapat melindungi hak-hak anak sebagaimana dalam undang-undang tersebut, bagi orang tua agar masa depannya lebih baik.
B.Karakteristik Hukum Pidana Islam
Para ahli hukum Islam (fuqaha)
menempatkan jinayah (Hukum Pidana
Islam) memiliki sifat dan karakter yang berbeda dengan hukum pidana positif
suatu negara. Perbedaan ini terletak pada otoritas pembentukan hukumnya, yang
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, karena itu dari sudut pandang ini
pelaksanaan hukum pidana Islam sebagai bagian dari ibadah atau sebagai wujud
ketaqwaan hamba kepada Tuhannya, untuk mengawal tingkah laku manusia agar
sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.[2]
Ketentuan hukum pidana Islam sering
dipahami sebagai doktrin, sehingga melahirkan pandangan bahwa hukum pidana
Islam tidak mungkin untuk diubah atau diganti dalam pelaksanaannya seperti
halnya melaksanakan doktrin agama mengenai aqidah dan ibadah. Sehingga timbul
kesan kurang memberi kesempatan atau peluang untuk mengkaji dari sudut pandang
ilmu pengetahuan yang berusaha membuktikan kebenaran hukum. Hukum pidana Islam
ditempatkan sebagai bagian hukum dari ajaran Islam, tetapi ketentuan hukum itu
masih memberi ruang gerak akal manusia untuk melakukan ijtihad guna merespon
perkembangan masyarakat yang terjadi saat ini. Hukum pidana Islam selain
sebagai hukum normatif dalam mengatur dan melaksanakan hukum, sedang ijtihad
yang dipergunakan untuk mengisi hukum ta’zir
dan hukum acaranya. [3]
Hukum pidana Islam dapat ditemukan dalam berbagai ayat yang tersebar
diberbagai surat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dari kedua sumber tersebut
diperoleh suatu kaidah (asas) yang mengatur beberapa perbuatan yang
dilarang dan yang diancamkan kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum. Selanjutnya
para fuqaha mensistematisir dalam bentuk kitab hukum, pada umumnya fuqaha
menggolongkan jarimah ke dalam: jarimah hudud, jarimah qishash-diyat, dan
jarimah ta’zir. Dalam hal ini, ketentuan Allah dalam jinayat itu berhubungan dengan perbuatan yang dilarang, karena itu
ia berfungsi sebagai social control dan social engeeniring of law dalam
mengawal tingkah laku atau perbuatan manusia agar sesuai dengan eksistensi dan
martabat manusia sebagai makhluk terbaik.
1.Ketentuan Allah Sebagai Penjaga Eksistensi Manusia
Ketentuan-ketentuan Allah yang
menjaga eksistensi manusia secara permanen itu disebut “had”, jamaknya “hudud”,
artinya ketentuan (hukum) yang telah ditentukan Allah, dan menjadi hak
Allah. karena itu cara penerapannya sangat teliti dan hati-hati, dalam hal ini
Nabi bersabda yang artinya: “ Hindarilah
hukuman hudud karena ada syubhat”[4]. Jarimah had dibagi menjadi dua yaitu hudud dan qisas-diyat.
Macam-macam jarimah hudud telah ditentukan yaitu zina, qadzaf, sirqah,
syurbah, hirabah, riddah, dan bughah.[5]
Dan jarimah qisas-diyat yaitu qatl al-‘amd, qatl syibh al-‘amd, qatl
al-khata’, jarh al-‘amd, dan jarh al-khata’.
Secara umum tujuan hukum Islam adalah
untuk kemaslahatan manusia, artinya semua kewajiban, baik perintah, larangan,
dan anjuran pada hakekatnya kembali untuk memelihara tujuan hukum[6](dhoruriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah). Karena itu, hal-hal yang bersifat dharuriyah
(primer) dari tujuan hukum itu dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Pertama, semua pokok ibadah pada dasarnya untuk memelihara agama dan eksistensinya,
seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan semua masalah kebiasaan
pada dasarnya untuk memelihara eksistensi jiwa dan akal, seperti makan, minum,
berpakaian, dan mendiami rumah.
Kedua, semua masalah muamalah pada dasarnya untuk memelihara
eksistensi harta dan keturunan, termasuk juga memelihara eksistensi jiwa dan
akal.
Ketiga, sedangkan jinayat sebagai manifestasi dari amar ma’ruf nahi
munkar pada dasarnya untuk memelihara dan menjaga semua eksistensi tersebut di
atas dari kerusakan.
Masalah jinayat yang tercakup dalam
jarimah hudud dan qaisas-diyat yang disyariatkan pada dasarnya untuk memelihara
eksistensi manusia dan kemuliaan manusia, sebagai pembeda antara manusia dengan
makhluk lain, seperti hukuman had qisas-diyat untuk memelihara eksistensi jiwa
dari pembunuhan dan penganiayaan, hukuman had minuman keras untuk memelihara
eksistensi akal, hukuman zina untuk memelihara eksistensi asal-usul (keturunan)
manusia, hukuman had pencurian untuk memelihara eksistensi harta, hukuman had
hirabah untuk memelihara eksistensi jiwa dan harta. Maka upaya untuk memelihara
eksistensi itu pada dasarnya untuk penguatan martabat manusia, dan fuqaha’
telah merumuskan menjadi lima kategori, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta[7].Dan
hal-hal yang bersifat hajiyah (skunder) dari tujuan hukum itu
dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, hal yang primer dalam ibadah
disebut “azimah” (yang seharusnya), maka dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan rukhsah (keringanan) dengan tujuan untuk menghindarkan kesulitan,
seperti karena sakit atau safar. [8]
Kedua, dalam masalah kebiasaan, seperti makan, boleh memakan makanan
yang lezat asalkan halal, boleh memakai pakaian yang baik, boleh mendiami rumah
yang baik, juga boleh memakai kendaraan yang baik, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam masalah muamalah, seseorang boleh jual-beli secara
salam, dibolehkan juga dengan istina’muzara’ah, murabahah, ijarah, musaqqah,
dan lain-lain. Dalam perkawinan, dibolehkan thalak untuk menghindari
kemudlaratan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Masuk hajiyat juga, seperti
memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Keempat, dalam bidang uqubah (jinayah), seperti
diharuskan tukang jahit mengganti kerugian atas kain yang dirusakkan, tidak
melaksanakan hudud karena syubhat (kesamaran) pada perkara pidana, larangan
menjual minuman keras dan sejenisnya, larangan penimbunan barang, dan lain
sebagainya.[9]
Adapun hal-hal yang bersifat tahsiniyah
[10](tersier)
adalah semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang
baik, yang semuanya tercakup dalam bagian akhlak karimah, antara lain:
Pertama, dalam hal ibadah, seperti kewajiban bersuci dari
najis, menutup aurat, memakai yang indah, mengerjakan amalan sunnah. Kedua, dalam hal kebiasaan, seperti memelihara adab
makan, minum, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, adab berkendaraan,
adab dalam hubungan sesama manusia, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam hal muamalah, seperti menghormati tamu, larangan
menjual benda najis, larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Keempat, dalam hal uqubah, seperti melarang
para wanita dengan memakai pakaian seksi dan merangsang seks di jalan-jalan.
Larangan membunuh orang yang sudah menyerah dalam peperangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa:
1.
Integritas moral suatu
bangsa akan menemukan jati dirinya dan akan menjadi karakter bangsa apabila
landasan spiritual masyarakat benar-benar melahirkan keyakinan yang kokoh dalam
jiwa setiap individu, sehingga melahirkan ketaatan dan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum.[11]
2.
Dalam mengawal ketaatan
dan kepatuhan itu, Allah menetapkan perintah dan anjuran (sunnah) untuk
dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan, dengan janji dan ancaman. Janji
bagi orang yang melaksanakan perintah dan anjuran akan dibalas kebahagian di
dunia dan di akherat kelak. Ancaman bagi
orang yang melanggar larangan akan dibalas dengan kesengsaraan,
ketidaktentraman dan neraka di akherat kelak.[12]
3.
Sedangkan dalam menjaga
eksistensi manusia yang paling asasi, Allah menetapkan hukuman (uqubah) yang telah ditentukan dalam
Al-Qur’an dan sunnah berupa hukuman had yaitu hudud dan qisas-diyat, sebagai
bentuk penjagaan yang konsisten, permanen sampai akhir zaman, dan sebagai wujud
dibedakannya manusia dengan makhluk yang lain. Sedangkan selain hudud dan qisas-diyat, yaitu ta’zir, yang cakupannya sangat luas, karena itu, eksistensinya
diserahkan sepenuhnya kepada manusia, pada zaman modern ini mekanismenya sesuai dengan sistem
ketata-negaraan dalan suatu negara.[13]
[1] Penelitian
kepustakaan tentang "Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid. B/2008/PN.Sby Tentang
Pencabulan Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan
Hukum Pidana Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan
tentang apa Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby
dan.Bagaimana Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby serta
Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya
No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby.
[4]Marsum, Jinayat (Hukum
Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII,
1991), hlm. 62. Lihat juga: A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1967), 52. Bandingkan: Abdul Qadir Audah.
[6] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 186.
[10] Marsum, Jinayat
(Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum
UII, 1991). 325
[11] Ketaatan dan kepatuhan tersebut akan melahirkan prilaku atau
moral yang sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, seperti iman seorang muslim
yang kokoh akan melahirkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan
meninggalkan larangan Allah, dan implikasi dari ketaatan dan kepatuhan itu
adalah akhlak karimah.
No comments:
Post a Comment