“Kenapa Harus Takut?”
Simaklah ketakutan seorang penyanyi
di bawah ini
Sepanjang kita masih terus begini
Takkan pernah ada damai
bersenandung
Kemesraan antara kita berdua
Sesungguhnya keterpaksaan saja
Senyum dan tawa hanya sekedar
saja
Sebagai pelengkap sempurnanya
sandiwara
Berawal dari manisnya kasih
sayang
Terlanjur kita hanyut dan terbuai
Kucoba bertahan mendampingi
dirimu
Walau kadangkala tak seiring
jalan
Kucari dan selalu kucari jalan
terbaik
Agar tiada penyesalan dan air
mata
Senyum dan tawa hanya sekedar
saja
Sebagai pelengkap sempurnanya
sandiwara
Berawal dari manisnya kasih
sayang
Terlanjur kita hanyut dan terbuai
Agar tiada penyesalan dan air
mata
Apa yang kiranya bakal terjadi jika seseorang berlalu di
suatu tempat sementara ada benda keras di hadapannya siap menghantam tubuhnya,
sedangkan orang tersebut tak punya keinginan sedikitpun untuk menghindar ? Apa
pula yang kiranya bakal terjadi jika seseorang berlalu di suatu tempat
sementara di sekitarnya bertebaran benda-benda tajam siap menusuk-nusuk telapak
kakinya, sedangkan orang tersebut tak punya keinginan sedikitpun untuk beranjak
mundur?
Takut ( خوف )
adalah sebentuk perasaan yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa karuniakan
kepada kita agar dengannya kita menghindar dari segala yang dapat menciderai
diri kita. Kita mengelak dari besi tajam yang siap menghujam, berkelit dari
kejaran binatang buas yang siap menggigit, berlari dari kobaran api yang siap
membakar, surut ke belakang ketika kaki sudah di tepi jurang. Semua itu karena
takut.
Tak
ada yang mendorong kita untuk berlindung atau menghindar dari bahaya, kecuali
rasa takut. Tak ada yang mendorong kita untuk berupaya mencari dan memperoleh
keselamatan -di dunia maupun di akhirat- kecuali juga rasa takut. Maka apa
jadinya jika ALLAH tidak mengaruniai kita rasa takut? Takut kepada segala
marabahaya dan kemarahan, juga takut kepada api neraka dan kemurkaan-NYA. Tentu
saja dengan mudahnya kita akan tertimpa malapetaka di dunia dan terjerumus ke
dalam perbuatan yang menghantarkan kita kepada kesengsaraan dan penderitaan di
akhirat ,seandainya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak mengaruniai kita
rasa takut. Karenanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun
mengajari kita untuk berdo’a :
اللهم اقسم لنا من خشيتك ما يحول بيننا وبين معاصيك
(Ya, Tuhan kami. Karuniailah kami
rasa takut kepada-MU, yang dengan itu menjauhlah kami dari berma’shiyat kepada
MU)
Takut Yang Bersifat Tabi’at
Jangan takut kepada siapapun,
Siapa menyangka, tuah dirimu sbentar
lagi kan menjelma.
Jangan cepas menghadapi apaun
masalah.
Siapa sangka, dirimu keluar jadi
pemenang.
Tuah ayam, dapat dilihat.
Tuah mausia, tiada yang tahu.
Siapa sangka, kayu yang berdiri
angkuh itu, kan terbelah
Ditetak kapak misteri, berbilah-bilah
Tanpa kelihatan, siapa memanggul kapak
Ayunkan saja tanganmu menyentak sentak
Hei...teman, lihat!
Kepala raja, yang melentuk penat, kelelahan?
Berapakah banyak keringat, peluhnya tumpah
Harus tak lelah
Ini musim menutup celah
Di ujung usia nanti
Tak perlu lagi mengucah rezeki
Duduk segak di beranda waktu
Kini aku hanya si budak-budak
Gemar pula mengintai
Adakah hasrat kian menyidai
Di tiup angin serakah, pun mengelepai
Serupa pucuk-pucuk
Dihantam badai membantai
Tapi batang tubuhmu tidakkah lunglai
Suatu waktu nanti yakinlah kan usai…..
Ditetak kapak misteri, berbilah-bilah
Tanpa kelihatan, siapa memanggul kapak
Ayunkan saja tanganmu menyentak sentak
Hei...teman, lihat!
Kepala raja, yang melentuk penat, kelelahan?
Berapakah banyak keringat, peluhnya tumpah
Harus tak lelah
Ini musim menutup celah
Di ujung usia nanti
Tak perlu lagi mengucah rezeki
Duduk segak di beranda waktu
Kini aku hanya si budak-budak
Gemar pula mengintai
Adakah hasrat kian menyidai
Di tiup angin serakah, pun mengelepai
Serupa pucuk-pucuk
Dihantam badai membantai
Tapi batang tubuhmu tidakkah lunglai
Suatu waktu nanti yakinlah kan usai…..
Takutnya kita kepada tikaman senjata,
terkaman binatang, jilatan api, terjatuh dari tempat yang tinggi, atau
tenggelam ke dalam air merupakan takut yang bersifat tabi’at (khauf thabi’iy).
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memang telah memperlengkapi kita dengan perasaan
ini, sebagaimana juga perasaan benci dan cinta -yang dengan itu manusia benci
kepada siapa saja yang berbuat jahat kepadanya dan cinta kepada siapa saja yang
berbuat baik kepadanya-. Karena nya takut yang bersifat tabi’at ini tidaklah
berdosa, selama tidak menjadi sebab dilalaikannya perintah atau dilanggarnya
larangan ALLAH. Namun jika lantaran takut terluka atau cidera kemudian kita
enggan berangkat ke medan jihad, maka takut semacam ini menjadi berdosa.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
telah berfirman:
( فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ) (آل عمران: من الآية175)
(…Maka janganlah kalian takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepada-KU jika kalian orang beriman) (Ali
Imran: 175)
Maka
ketika kita tiba-tiba muncul rasa takut dari hal-hal yang dapat menciderai
tubuh, hendaknya kita bertanya ,”Kenapa harus takut. Apakah
yang muncul ini semata tabi‘at dan ia tidak menyebabkan dilalaikannya perintah
atau dilanggarnya larangan ALLAH. Masih bolehkah aku merasa takut, atau
sudahkah rasa takut ini menjerumuskan aku kepada dosa?“
Takut
Yang Bersifat Ibadah
Kita
tegakkan sholat, shaum di bulan Ramadhan, tunaikan zakat, berhaji ke baitullah,
dan amalkan segala bentuk ibadah lainnya seperti zikir, berdo’a, atau i’tikaf
tidak lain karena mengharapkan kebaikan -berupa keridhoan ALLAH dan
ganjaran-NYA- atau karena menghindari keburukan -berupa kemurkaan ALLAH dan
hukuman-NYA-. Manakala seseorang melakukan sebentuk upacara ritual -yang
tidaklah ia lakukan itu kecuali didorong oleh rasa takut, yakni takut terhadap
bahaya atau petaka yang akan menimpa jika ia tidak melaksanakan upacara
tersebut-, maka yang semacam ini semua merupakan takut yang bersifat ibadah (khauf
ibadah). Jika takut semacam ini ditujukan kepada atau disebabkan oleh
selain ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa, maka takut yang demikian merupakan
sejenis kesyirikan. Begitu pula, manakala seseorang menanam ari-ari bayi di
depan rumah kemudian memberinya penerangan selama 40 hari, atau menggantung
janur kemudian menanam kepala kerbau di saat menegakkan bangunan -tidaklah ia
lakukan yang demikian kecuali karena takut tertimpa petaka-, maka takut yang
demikian merupakan sejenis kesyirikan.
Bukankah ALLAH Subhaanahu wa
ta’alaa berfirman :
(قُلْ إِنَّ صَلاتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) (الأنعام:162)
(Katakanlah, sesungguhnya
sholatku, ibadahku,hidup, dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Rabb semesta alam)
(Al An’am: 162)
Dan Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
لعن الله من ذبح لغيرالله
(ALLAH mela’nat orang yang
menyembelih bukan karena ALLAH) (HR: Muslim)
Perhatikanlah,
betapa seringnya kita lihat manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilandasi perasaan takut yang bersifat ibadah (khauf ibadah) ini. Membuat
sesajen-sesajen, menyembelih atau menanam sesembelihan, dan menggantung atau
memancangkan benda-benda, yang semuanya dilakukan dengan maksud untuk
menghindari petaka dan takut jika tidak dilakukan maka petaka itu akan menimpa
dirinya. Semua ini termasuk perbuatan menyekutukan ALLAH, karena telah
mengalihkan khauf ibadah tersebut kepada selain ALLAH.
Bukankah
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:
(وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَخْلُقُونَ
شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ)
(النحل:20)
(Mereka yang menyeru selain
ALLAH, yaitu yang tak mampu menciptakan sesuatu, bahkan sesuatu yang diciptakan)
(An-Nahl:30)
Dan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam telah mengajarkan kita melalui do’anya:
ببسم الله الذي لا يضر مع إسمه شئ في
الأرض ولا في السماء و هو السميع البصير
(Dengan Nama ALLAH Yang dengan
NYA tak ada satu pun yang dapat mencelakakan, di langit maupun di bumi. Dan IA
Maha Mendengar dan Maha mengetahui)
Maka
ketika hati ini terdorong -disebabkan bisikan syaithan atau adat kebiasaan-
untuk meyiapkan sesajen, menanam sesembelihan,atau menggantung penangkal bala’,
hendaknya kita bertanya, “Kenapa harus takut. Apakah layak
sesuatu yang tak dapat memberikan man’faat dan mendatangkan mudharat menerima
rasa takutku. Kenapa sesuatu yang tak dapat menciptakan dan tak mampu -bahkan
menyelamatkan dirinya sendiri- harus dimuliakan melalui rasa takutku?“
Takut
Yang Tersembunyi
Takut
yang tersembunyi (khauf sirry) adalah takut yang sesungguhnya tidak
beralasan dan tidak pada tempatnya kita merasa takut. Dan tidaklah timbul rasa
takut semacam ini kecuali karena telah tertanam keyakinan bahwa sesuatu yang
ditakutinya itu dapat mendatangkan mudharat atau petaka baginya. Maka takut
yang demikian ini (sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin -rahimahullahu ta’alaa- di dalam Syarah Tsalatsatul
Ushul) merupakan jenis kesyirikan.
Perhatikanlah,
wahai kaum muslimin. Betapa upaya untuk menanamkan bibit kesyirikan kepada umat
melalui jalan ini begitu nampak. Para produser film dan sutradaranya -atas nama
imaginasi dan kreativitas seni- menjadi kader dan pelanjut para pendongeng
primitif, ramai-ramai menebarkan khauf sirry ini. Entah dari mana atau
siapa yang mengilhami mereka untuk menceritakan kejadian-kejadian yang dapat
menimbulkan rasa takut manusia kepada syaithan atau jin itu.
Akhirnya
sebelum rasa takut kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tertanam pada
anak-anak kita -bahkan orang dewasa sekalipun- rasa takut mereka kepada
syaithan sudah tertanam lebih dahulu. Kalau dikatakan kepada mereka, “Jangan
lakukan ini atau itu, nanti dimurkai ALLAH!” Kita dapati mereka
melanggarnya karena tidak takut sama sekali terhadap kemurkaan ALLAH. Akan
tetapi, kalau dikatakan kepada mereka,”Jangan lakukan ini atau itu, nanti
jin atau syaithan penunggu tempat ini akan marah!” Kita dapati mereka
segera menta’ati larangan atau perintah itu karena takut mendapat petaka. Kalau
dinasihatkan kepada mereka,”Jangan bergaul dengan bajingan itu, karena dia
sangat berbahaya dan tega mencelakakan dirimu!” Kita dapati mereka tetap
bergaul akrab dengan bajingan tersebut dan tidak takut sama sekali bajingan
tersebut akan menipu dan memperdayakannya. Namun jika dikatakan kepada mereka,
“Tolong temani sebentar mayat (bajingan) temanmu ini di ruang mayat
sendirian sementara keluarganya belum datang melayat!” Kita dapati mereka
mencari teman lain karena takut menunggui mayat tersebut sendirian.
Manakala
anak-anak kita lebih takut kepada ceritra-ceritra takhayul temannya ketimbang
amarah dan pukulan orang tuanya, atau dia lebih berani berkelahi -dengan lawan
yang lebih besar sekalipun- ketimbang harus pergi sendirian ke kakus yang
terletak jauh di belakang rumah, sesungguhnya anak tersebut telah mengidap khauf
sirry dan bibit-bibit kesyirikan. Karena tidaklah khauf sirry itu
muncul kecuali karena ada keyakinan bahwa yang ditakuti itu memang layak untuk
ditakuti, sebagaimana seharusnya perasaan tersebut ditujukan semata kepada
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa.
Maka
jika muncul perasaan takut ketika kita harus meliwati daerah pekuburan di malam
hari, sehabis mendengar ceritra-ceritra takhayul dan khurafat, atau karena
mendengar longlongan anjing di tengah malam, hendaklah kita bertanya, “Kenapa
harus takut. Apakah sesuatu yang tak dapat menciptakan -walau sebiji
kacang- dapat mencelakakan dan mendatangkan petaka bagiku. Kenapa takut yang
telah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa karuniakan kepada ku -demi keselamatanku-
harus aku tujukan kepada yang tidak dapat menyelamatkan diriku?“
Kenapa
Harus Takut ?
Ya,
kenapa harus takut itu artinya: Apakah takutnya kita kepada sesuatu hanya
bersifat tabi’at? Apakah takut yang bersifat tabi’at itu telah menyebabkan kita
melalaikan perintah dan melanggar larangan ALLAH Subhaanahu wa ta’alla ?
Apakah yang mendorong kita melakukan ritus-ritus tertentu sedangkan hal tersebut
tidak pernah diperintahkan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa ? Mengapa sesuatu
yang tak mampu mendatangkan petaka itu dapat menggetarkan hati kita ? Dan
terakhir, kenapa kita harus takut hanya kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
?
Ya,
takut adalah sebentuk perasaan yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
karuniakan justru demi keselamatan hamba-NYA di dunia maupun di akhirat. Yang
dengannya seorang hamba menjauh dari segala yang dapat mencelakakan dirinya.
Maka bagaimana mungkin perasaan yang IA karuniakan kepada kita -dengan
rahmat-NYA- itu kemudian kita persembahkan kepada selain DIA. Sebagaimana kita
diciptakan untuk beribadah kepada NYA, maka bagaimana hukumnya jika kemudian
kita beribadah kepada selain NYA.
No comments:
Post a Comment