SISA
UMUR
Sisa
umur ini, kita isi dengan amal bakti.
Sisa
umurku ini, kuisi dengan puasa dan mengaji.
Sisa
hidup ini hendak kupelihara dengan
hati-hati..
juga
tanah, pohon yang sejak dulu kutanami.
juga
tulang, daging dan darah yang masih bertahan ini.
jangan
suara jadi parau di musim kemarau.
Tapi
tanah kami sudah kena percikan api
lama
bermula, tidak hilang sampai kini
dan
meski tawaran damai sudah diberi
orang
masih tidak peduli!
Pohon
getah dan tanah mengandung bijih
rebutan
manusia daerah asing
kita
gali kubur dan masuk berdiam di dalamnya!
Damai
- seruan dan tawaran
damai
- untuk tanahairku dan kemerdekaan
damai
- untuk dunia dan kesejahteraan!
Keseluruhan
dari keadaan dan kenyataan
keseluruhan
dari kesanggupan dan kebenaran
keseluruhan
dari kemungkinan dan kepastian
perpaduan
- pendirian - pengorbanan dan perjuangan
-telah
benar-benar membangunkan kepercayaan
-telah
benar-benar menimbulkan harapan
"Bahwa
kemerdekaan yang sekian lama kita perjuangkan
telah
dekat - mendekati kita
telah
tegas dan nyata
terbayang
di hadapan mata
Pasti merdeka".
DITINGGALKAN
TEMAN
Mereka
pergi makan, aku mereka tinggalkan.
Hari
kamis, kebetulan aku, dalam kelaparan.
Puasa
sunnat yang sejak lama, aku amalkan.
Dalam mataku
yang hari itu, agak bersih merayap
cahaya jernih
aku sama
menagih kemerdekaan kekasih,
dalam dada
yang mesra tenang telaga cinta
aku janji
setia membela tanah pusaka.
Kira ribut
mendurja mengancam tanah yang indah
setapak
tiada kurela untuk melutut kecewa,
biar
peluru selaksa mendendam liar mangsanya
untuk
kekasih pusaka hatiku tetap rela.
Dalam lari
berlari berbaja kasih di hati
azam besi
berumbi: melebur penjajah di bumi!
Dalam
rindu berpadu, hitam dendam terpendam
aku
terlalu merindu fajar cemerlang menjelang.
Hati ini
seluruh kasihkan kekasih sepenuh
beri janji
yang teguh hingga badanku luluh!
PENCOPET PURA-PURA
BAIK.
Pencopet itu, duduk dim sampingku
Dia mengira, siapa dia, aku tidak tahu.
Jauh jauh sudah berjalan
mendukung semua kepercayaan
pertama dan terakhir
sekarang kita sampai
ke puncak tiada tercapai
keazaman pantang cair
Katanaya, kita sudah bersua hati
mengisi setiap janji
pertama dan terakhir
tiada hari kiranya
hingga bernanah dada
sumpah tiada termungkir
Gemuruh kita bersorak
bumi dan langit retak
pertama dan terakhir
berani kita bergerak
darah dan daging serentak
hingga ke saat akhir
padu kita berhasrat
hingga bumi kiamat
pertama dan terakhir
kuat jantung berdetak
untuk berpaling tidak
biar di gelegak air
Rela kita mengangkat
cita bangsa berdaulat
ke puncak murni berukir!
NENEK SIHIR MINTA DIANGGAP IBUKU
Nenek sihir itu, meminta jadi pengganti ibuku.
Agar aku bekerja di sawahnya yang berlintah dan semak yang
padu.
Ibu kandungku jauh,
beribu batu..
Ibu, melalui doamu, bukakan rongga kalbu.
luangkan tempat bisikan anakmu
yang tetap bergelora dalam sukma
rasa tak kuasa menahan lama.
Masih terbayang ibu di
desa.
dirantai dibelenggu kemiskinan, hidup melarat.
hendak membebaskan diri melalui niat yang kuat dalam ibadat.
tapi, apakan daya tiada sempat.
Kedatangan perkasa suruhan Tuhan
ibu terbebas dari genggaman
beta melompatlah mara ke hadapan
dengan tujuan hendak berkorban.
Di telapak tangan ibu gerangan syurga
tapi hairan putera umpama beta
masih ada yang lengah dan terlupa
bahawa bondakan masih belum berdaya.
Dah datang masanya wahai putera
mengabdi menjunjung titah bonda
supaya dia jangan kecewa
menunggu kita setiap masa.
Kalau tak kita yang berusaha
ibu pertiwi tak akan jaya
dalam lingkungan Asia Raya
menuju kemakmuran bersama.
KUTINGGALKAN KEKASIH HATI
Kutinggalkan kekasih hati, duh perihnya.
Kuharus pergi, kuliah di kota.
Apapun yang terjadi, akan kuterima.
Kalau esok ditakdirkan kasih kita
'kan hancur jua
usah ditaburi bumi ini dengan air
mata.
Akupun Tak Akan Menangis Selamanya.
dunia bukan semata milik orang
bercinta
hidup jua bukan semata untuk berlagu
kecewa.
di bawah sinar mentari pagi demikian
jernihnya
hayunkan gagah langkahmu sepenuh
khidmat
usapi kesetiaan hati seluruh umat.
Kalau esok jua hidup dijenguk
kematian
usah ditangisi sepinya tanah
kelahiran
nyanyikan lagu perindu ke wajah
Tuhan
tanda hatimusetia dalam usia
pengembaraan.
tau-taulah di bintang satu
di hari hidup kita mengejar bahagia
dalam sengsara
di hari mati kita mengira pahala
dalam dosa.
AKU TAK AKAN BEREBUT LAHAN
Kawan berebut,
lahan, aku disingkirkan.
Aku tak akan
berkejaran seperti hewan.
Walau tinggal di kota, tapi jiwaku kampungan.
buat kesekian kalinya, aku tersisihkan.
Aklu bias saja, titis air mata darah
Teman-teman menghembus nafas panas api
Mereka berpesta pora bersama bulan bintang
Mereka berwisata ke gunung
ke hutan bersama
kita patah duri beracun
terlalu lama menusuk daging
dan kalian di hutan
ketagih pada kibaran bendera merah
ayuh! putar haluan
kembali ke pangkal jalan
Kubandingkan anak-anak Cina dan anak peribumi
kira bakat alami masing-masing, menggeliat di hatinya
buat kesekian kali
kuteteskan air mata darah
Kubuang dan kuhembus nafas panas api
kita bakar mereka
bersama
api yang mereka nyala sendiri
buat kesekian kalinya, aku tersisihkan.
Aklu bias saja, titis air mata darah
Teman-teman menghembus nafas panas api
Mereka berpesta pora bersama bulan bintang
Mereka berwisata ke gunung
ke hutan bersama
kita patah duri beracun
terlalu lama menusuk daging
dan kalian di hutan
ketagih pada kibaran bendera merah
ayuh! putar haluan
kembali ke pangkal jalan
Kubandingkan anak-anak Cina dan anak peribumi
kira bakat alami masing-masing, menggeliat di hatinya
buat kesekian kali
kuteteskan air mata darah
Kubuang dan kuhembus nafas panas api
kita bakar mereka
bersama
api yang mereka nyala sendiri
AKULAH
TUKANG JAHIT ITU
Dari tukang cangkul, aku hijrah ke tukang jahit.
Atas keinginan diriku sendiri.
Semula berkubang lumpur, di terik
mentari.
Kini, menggoyang mesin jahit, sore
dan pagi.
Temapatnta dimana?
Di bumi inilah
tiada lain.
Tempat akau makan nasi, tanpa lauknya
Tempat sawah ladang yang tanahnya, segenggam
Kuharapkan suatu hari nati, menjadilah gunung harapan.
Bukankah tanah ini
sawah ladang ini
yang memberikan nafas
dan anak-anakmu yang menginjak
memamah lumat daging tulang
tanah sejengkal ini
kasihmu masih berbelah
hatimu di bumi lain
asing bagai ikan-ikan di gurun.
Mengucaplah mereka yang wajar mengucap
dengan dua bibir hatimu sendiri
di sinilah udara yang kau hirup
usahlah hembuskan kembali
dengan racun yang berbisa
membunuh pucuk yang baru bertunas
menginjak dahi para wali
yang kepadanya kauberikan kepercayaan.
Tiada kematian yang lebih nikmat
dari mengasihi tanah keramat ini
Di bumi inilah
tiada lain.
Tempat akau makan nasi, tanpa lauknya
Tempat sawah ladang yang tanahnya, segenggam
Kuharapkan suatu hari nati, menjadilah gunung harapan.
Bukankah tanah ini
sawah ladang ini
yang memberikan nafas
dan anak-anakmu yang menginjak
memamah lumat daging tulang
tanah sejengkal ini
kasihmu masih berbelah
hatimu di bumi lain
asing bagai ikan-ikan di gurun.
Mengucaplah mereka yang wajar mengucap
dengan dua bibir hatimu sendiri
di sinilah udara yang kau hirup
usahlah hembuskan kembali
dengan racun yang berbisa
membunuh pucuk yang baru bertunas
menginjak dahi para wali
yang kepadanya kauberikan kepercayaan.
Tiada kematian yang lebih nikmat
dari mengasihi tanah keramat ini
KELINGKING BERKAIT
Telunjuk
dan kalingking, tidak memuat berita apa-apa.
Tapi keduanya dapat memberi isyarat , luar biasa.
Isyarat masa keris dan berdaulatan
tak dapat membenteng kemaraan
orang-orang Portugis
dengan kepala ilmu baru
menghujani kota Melaka dengan peluru
dan memaksa sultan lari ke hulu.
Tahun 1511 telah mengajar kita
hulubalang berilmu kebal
tak dapat membendung perpaduan
semangat keperwiraan yang kental
dicairkan oleh pemimpin
yang gelap mata dan fikir
fitnah dan rasuah
sudah terasuk jiwa
sedang Tuah dihukum bunuh
dan Jebat lebih sedia mabukkan darah
hampir 500 tahun sudah berlalu
Portugis, Belanda dan Inggeris
tidak betah lagi bermain untung
tentang gold, gospel dan glory
Melaka sudah lebih 30 tahun mengenal
nilai kemerdekaan.
Akan bangkitkah semangat Tuah
akan terbelakah setiakawan Jebat
atau akan datang lagi
ilmu yang lebih baru
untuk merundukkan rantau
yang cintakan keamanan?
Tanyalah diri
tanyalah hati
sebelum kita dikalahkan lagi!
Tapi keduanya dapat memberi isyarat , luar biasa.
Isyarat masa keris dan berdaulatan
tak dapat membenteng kemaraan
orang-orang Portugis
dengan kepala ilmu baru
menghujani kota Melaka dengan peluru
dan memaksa sultan lari ke hulu.
Tahun 1511 telah mengajar kita
hulubalang berilmu kebal
tak dapat membendung perpaduan
semangat keperwiraan yang kental
dicairkan oleh pemimpin
yang gelap mata dan fikir
fitnah dan rasuah
sudah terasuk jiwa
sedang Tuah dihukum bunuh
dan Jebat lebih sedia mabukkan darah
hampir 500 tahun sudah berlalu
Portugis, Belanda dan Inggeris
tidak betah lagi bermain untung
tentang gold, gospel dan glory
Melaka sudah lebih 30 tahun mengenal
nilai kemerdekaan.
Akan bangkitkah semangat Tuah
akan terbelakah setiakawan Jebat
atau akan datang lagi
ilmu yang lebih baru
untuk merundukkan rantau
yang cintakan keamanan?
Tanyalah diri
tanyalah hati
sebelum kita dikalahkan lagi!
Kritik terhadap ayahku
Ayahku otoriter,
belum kenal demokrasi,
Tiada kesemtan buatku bermain, hanya bekerja, demi sesuap nasi..
hari-hari yang kutumpuk, dari malam sampai pagi,
konon menghargai kesetiaan pada firman Ilahi.
Tiada kesemtan buatku bermain, hanya bekerja, demi sesuap nasi..
hari-hari yang kutumpuk, dari malam sampai pagi,
konon menghargai kesetiaan pada firman Ilahi.
Kusaksikan wajah ayahku, pada tumpukan bintang, samuderaraya.
di atas pentas di hadapan rakyat,
orang-orang kampung jauh terpencil
lidah bapaku petah bersilat,
uratnya tegang, matanya terjegil,
bapaku pakar pintar teori,
mulut berbuih mata melilau,
bersembur serapah segala jampi,
orang-orang kampung batunya hijau
Kisah sejarah dan hadis nabi
jadi hafalan bapaku bistari
rakyat marhaen ditabur janji
tiada siapa tahu bapaku gaji bermata dua,
sondol sana sondol sini,
dia main tutup mata,
orang-orang kampung terlopong,
melihat dengan mata terbuka.
aku anak bertuah tidak pernah mengundi
diajarnya aku berotak pintar,
untuk hidup mesti terlebih ajar,
oh alangkah bertuah aku anak bapa
masing-masing putar belit,
masing-masing pintar teori
masing-masing isi tembolok dan perut sendiri,
No comments:
Post a Comment