Kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh
Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak
Manusia, namun Hak manusia lebih dominan. Misalnya, adalah kisas (pembunuhan)
terhadap pembunuh dalam pembunuhan sengaja.[1]
Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh,
menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya
terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak
manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban
sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk
memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka
dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini
dianjurkan oleh Allah SWT dalam al-Quran:
“…Maka
barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula…”[2]
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.[3]
Hak Asasi
Manusia. Dalam bahasa Indonesia hak “asasi” dijelaskan sebagai hak yang dasar
atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi
manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan
raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau
manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak
mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak
yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah
gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat
derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide
untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada
budak yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.[4]
Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya untuk membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam hukum ini dijelaskan bahwa
hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan
kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri
tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang
berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan
dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya,
sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
Dalam akar budaya masyarakat
Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia
sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna telah dikenal
istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh
penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut
bertentangan dengan kemauan penguasa. Piagam
Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini
dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan
suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah
satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin,[5] dan
bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang
Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum
muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh
(pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat
(pasal 26-35).
Bagi bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan
hak-hak asasi manusia (HAM) adalah kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan
tuntutan nilai-nilai falsafah Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu
melahirkan kewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran
tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[6] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[6] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Hak-hak tiap warga negara sama
didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak
kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun
tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan
pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan
kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga terdapat
dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam,
menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu pencipta bagi
alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha illa Allah
(tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT). Seluruh alam
dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah ciptaan Yang
Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa
berasal dari Yang Maha Esa .
Tujuan hukum
pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia
sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun bila tujuan hukum
Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad,
baik yang termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk
kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil
segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak
berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat.
Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati
oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq,[7] yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan Asas-asas
dalam Hukum Pidana Islam.
1.
Azas Legalitas
Asas
Lealitas adalah tidakada larangan atau hukuman sebelum adanya undang-undang
yang mengaturnya.
Sejak
lima belas abad yang lalu Islam sudah
menerpkan asas legalitas yaitu sejak zaman nabi Muhammad saw , hal ini disebut
dalam :
“
Kami tidak membinasakan suatu negeripun melainkan sudah ada baginnya yang memberi
peringatan” [8]
“ Tidak adalah tuhanmu membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus
diibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan
tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan
melakukan kedzaliman”. .[9]
Dua ayat tersebut menjadi azas
legalitas yang mana suatu negara atau
kota yang tidak ada yang memperingati atau membacakan ayat-ayat dan
tidak ada yang melakukan kedzaliman maka Negara atau kota itu tidak boleh
menerapkan hukuman pidana, baik itu hudud,qishas, diyat atau ta’zir.
1.
Asas praduga tak bersalah
Asas
yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan harus dianggap
tidak bersalah,[10] sebelum
hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya
itu.
Wahai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebab kakamu menyesal atas perbuatanmu itu.[11]
3.
Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain
Asas
ini menyatakan bahwa setiap perbuatan m[12]anusia
baik itu perbuatan yang baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Macam-macam jarimah, dalam
hukum pidana Islam ada empat macam jenis jarimah: Jarimah Hudud, adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan
dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah smata .Yang
termasuk jarimah ini ialah zina adalah
melakukan hubungan persetubuhan diluar ikatan pernikahan yang syah secara
syara'. Zina merupakan salah satu dosa besar.
1)
Penetapan Perbuatan zina
Hukum bagi pelaku zina dapat diterapkan
jika yang bersangkutan benar-benar melakukannya. Dalam masalah ini Rasulullah
SAW benar-benar berhati-hati dalam mentetapkan hukuman ini.
Hukuman tida dijatuhkan sebelum yakin bahwa bahwa orang yang dituduh atau
mengaku zina benar-benar melakukanya.
2)
Beberapa dasar untuk menetapkan suatu perbuatan zina:
b.Pengakuan Pelaku.
Dari Jabir bin
abdullah Al-Anshari ra. bahwa seorang laki-laki dari aslam datang kepada Rasulullah
SAW., dia
menceritakan bahwa dia telah berzina. Pengakuannya ini diucapkan empat kali.
Kemudian Rasulullah menyuruh supaya orang itu dirajam, maka ia pun dirajam dan
orang itu telah mukhson. Jumhur ulama
berpendapat bahwa kehamilan saja belum dapat dijadikan dasar penetapan
perbuatan zina.
3)
had zina dapat dijatuhkan jika pelakunya memenuhi syarat:
a. Pelakunya sudah baligh dan berakal
b.Perbautan zina dilakukan atas kemauan sendiri
c.Pelakunya mengetahu bahwa zina adalah haram
·
Terbukti secara syar'i bahwa ia benar-beanr melakukan zina
4)
Bentuk had zina
Had
untuk zina :
a)
Rajam , yaitu hukuman mati dengan
dilempari batu hingga meninggal.
Artinya: "
Apabila laki-laki dan perempuan tua (sudah enikah) berzina maka rajamlah
keduanya sampai mati sebagai peringatan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi
Bijaksana."[14]
Yang dimasud Mukhsan adalah orang yang memenuhi syarat syarat sebagai berikut:
1.Merdeka. 2.Baligh 3.Berakal. 4.Pernah bercampur dengan
suami/istri dalam perkawinan yang sah.
b)
Dera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Had ini diberlaku-kan
bagi pelaku zina yang belum pernah bercampur dalam perkawinan yang sah.
Berdasarkan Q.S. Al-Nur : 2. dan juga hadist:" Dari zaid bin khalid
al Juhaini dia berata: " Saya mendengar Nabi SAW., menyuruh agar orang
yang berzina dan dia bukan mukhsan, didera
seratus kali dan diasingkan selama satu tahun."[15]
c)
Dera 50 kali dan diasingkan selama 1/2 tahun, yaitu jika pelaku adalah hamba sahaya. Berdasarkan Q.S. An-Nisa'
: 25.
Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah maskawinnya menurut yang
patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan
apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah
bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan
zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.[16]
b.
Menuduh zina (al-Qadaf)
Qadzaf secara bahasa artinya adalah melempar.
Dalam istilah fiqh yang dimaksud qadzaf adalah melemparkan tuduhan berzina
dengan terang-terangan. Allah SWT berfirman[17]:
Artinya:" Sesungghnya orang-orang
yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah (dari perbuatan keji)
lagi beriman, mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat dan bagi mereka azab
yang besar."
Had qadzaf, bagi
pelaku yang menuduh seseorang yang beriman berzina,
maka diancam dengan hukuman dera 80 kali jika ia merdeka dam 40 kali jika ia
hamba sahaya, jika kesaksiannya tidak diterima. Sesuai dengan Q.S. Al- Nur : 4
yang artinya: " Orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (Muhsonaati) berbuat zina dan mereka
tidakmendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka dengan delpn puluh kali
dera."dan juga Q.S Al- Nur : 25 ;" Dan apabila mereka(budak) telah
kawin dan melakukan zina maka bagi mereka separoh hukuman dari yang diberikan
pada wanita-wanita yang merdeka yang sudah bersuami."
Gugurnya
had qadzaf, apabila:
a)
Penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh telah benar-benar berzina.
b)
Dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
c)
Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
d.
Minum (khamr): QS.Al- Maidah: 90
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah... adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [18]
d.
Pencurian (al-Sariqah)[19]:
Pencurian adalah
suatu perbuatan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi
dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tiak
emmpunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari
definisi itu , dapat
dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan pada sesorang, harus memenuhi
unsur-unsur:
1)
Mengambil harta orang lain
2)
Pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3)
Harta itu disimpan di tempat pnyimpanannya.
4)
Pelaku adalah mukallaf
5)
Barang yang dicuri mencapai satu nishab
6)
Pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri
g.
Albaghyu
: Dalam QS. Al- Hujurat
: 9 dan Hadist
Jarimah
Qisas,
adalah jarimah yang hukumannya sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang
termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja
yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan. Jarimah
Diyat,
adalah jarimah yang hukumannya ganti rugi atas penderitaan yang dialami si
korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak
disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.[21]
a.
Pembunuhan sengaja: QS al- Baqarah : 178
dan hadist
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepadamu, qishaash, berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih.[22]
b.
Pembunuhan semi-sengaja : Hadist
”
sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai segaja ( pembunuhan dengan cambuk dan tongkat ) adalah seratus ekor onta,
diantara empat puluh ekor yang didalam perutnya ada anaknya”.
c.
Pembunuhan tidak sengaja: QS.An Nissa' : 92 dan Hadist
Q.S.an-Nisa’[4]:92
Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana.[23]
1. Jarimah
Ta’zir, adalah jarimah yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an
dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam
hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan hukuman tersebut.
Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu :
a.
Jarimah hudud atau qishash/diyat yang
syubhat atau tidak memenuhi syarat,
namun sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga.
[3] Menurut hasil survey yang dilakukan
sebuah lembaga di tahun 2008, diperoleh data sekitar 63% remaja mengaku sudah
melakukan hubungan seks bebas (berzina) sebelum nikah. Responden survey
meliputi remaja SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun sebelumnya
(2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom,
mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan
bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey
tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul Konser Musik, Zina dan Kerusuhan, December …) Bila data survey
tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas menunjukkan adanya kenaikan
yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun 2005, menjadi 63% di tahun 2008.
Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen dalam jangka waktu ‘hanya’ tiga
tahun.
[10] Everyone charged with criminal offence shall have
the right to be presumed innocent until proved guilty according to law. Setiap
orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai
kesalahannya dibuktikan menurut hukum. Asas ini ada dalam Pasal 14 [2] Konvensi
Internasional tentang Hak-Hak Sipil & Hak Politik (1966) yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan kalimat ”Everyone charged with criminal offence shall
have the right to be presumed innocent until proved guilty according to
law”.Indonesia-pun mengakui dan memberlakukan Konvensi ini berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights [Kovenan Internasional Tentang hak-hak Sipil dan Politik].
Konvensi ini tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah
sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang ; bahkan, tidak menegaskan juga
masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas
toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah atau (Dinyatakan) bersalah atas
dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
[13] Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. QS. an-Nisa’ (4) : 15
[23] Mengenai "ketidak
sengajaan" dalam pembunuhan yang tersebut dalam ayat ini, ialah ketidak
sengajaan yang disebabkan karena kurang berhati-hati yang sesungguhnya dapat
dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan
tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang,
maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang
mungkin dikenai pelurunya tanpa sengaja. Dengan demikian jelaslah, bahwa tidak
adanya sikap berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai
hukuman seperti tersebut di alas, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia
dan orang lain selalu berhati-hati dalam segala pekerjaannya terutama yang
berhubungan dengan keamanan jiwa manusia. Adapun diat atau denda yang
dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti
kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua
ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau
dua belas ribu dirham. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari
Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut: Artinya:
"Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor
unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki
sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing. dan dua ratus
perhiasan kepada yang memiliki perhiasan"H.R. Abu Daud.
No comments:
Post a Comment