BANYAK
YANG TIDAK TAHU BAHWA “ SEMUA BID’AH” ITU SESAT
ADALAH
PELAJARAN TINGKATAN PALING DASAR, JANGAN DIPERTENTANGKAN DENGAN “BID’AH YANG
BAIK”, KARENA KAJIAN INI HANYA UNTUK TINGKATAN ALIYAH KE ATAS, BAHKAN UNTUK
TINGKAT SARJANA.S3. MISALNYA UANGKAPAN PALING KRITIS TINGKAT TINGGI OLEH
IMAM SYAFII :
Memahami
Perkataan BID’AH Imam Syafi’i
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatawanya menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di
atas seraya berkata, “Apa saja yang menyelisihi, BERTENTANGAN dengan dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan
kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi
dalil, maka tidak disebut bid’ah. Imam Syafi’irahimahullah menuturkan, “Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang
menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ dan atsar dari sebagian sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bid’ah seperti ini termasuk
bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi,
maka ia termasuk bid’ah hasanah.” Karena
‘Umar berkata,
“Sebaik-baik
bid’ah adalah ini.” Ucapan ini untuk orang yang level berfikirnya jauh lebih
tinggi.
Perkataan semacam ini dan
semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih”.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan
maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah
madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti
yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela)
adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya.
Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji
(bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran
Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah
secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini
bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[15]
Ibnu Rajab rahimahullah juga
menambahkan, “Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i perkataan beliau yang
menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam Syafi’i berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ
مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما
أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang
baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al
Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang
tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah)
yang tercela”.[16]
Intinya di sini, sahabat
mulia seperti ‘Umar bin Khottob dan Imam Syafi’i bukanlah orang yang begitu
mudahnya melegalkan bid’ah. Dengan perkataan mereka berdua, orang-orang
beralasan adanya bid’ah yang hasanah sehingga acara bid’ah maulid, selamatan
kematian, yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena
perbuatan-perbuatan tadi jelas baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas
sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa saja yang beralasan dengan dua orang
terkemuka di atas.
Pertama: Secara
jelas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan
bahwa setiap bid’ah adalah sesat tanpa ada pengecualian. Maka tidak bisa sabda
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat
atau perkataan imam madzhab. Sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, lalu
perkataan ini masyhur diucapkan oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam
Ahmad,
ليس أحد إلا ويؤخذ من رأيه ويترك
؛ ما خلا النبي
“Pendapat seseorang bisa diambil atau ditinggalkan selain Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Kedua: Jika seseorang
merenungkan kembali perkataan Imam Syafi’i, “Bid’ah
itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah
(yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu
termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan
tercela”. Maksud beliau di sini adalah jika suatu amalan tidak
menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, maka itulah bid’ah hasanah (mahmudah)
karena dalam perkataan beliau dikaitkan dengan demikian. Jika tidak demikian
maksudnya, apalah gunanya beliau membuatkan kaitan setelah perkataannya. Setiap
bid’ah yang menyelisihi syari’at bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa
Islam telah sempurna,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al
Ma’idah: 3). Begitu pula bid’ah yang tercela bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang
tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR.
Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Ibnu Taimiyah berkata,
“Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk bid’ah sayyi’ah
dan termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat para ulama.
Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu
jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan
tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah (anjuran),
maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah
(kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.”[17]
Ketiga: Sudah sangat ma’ruf
bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau
mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah
orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang yang menentang ajaran Rasul
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ar Rabie’ (murid Imam
Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang
sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana
pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata
kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي
وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ
بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan
kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[18]
Jika Imam Syafi’i bersikap
keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami bahwa perkataan
beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah
sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’I, yaitu
kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Jadinya kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara
bahasa. Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada
Imam Syafi’i karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti
berikut ini,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي
خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ
وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ
أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah
sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i
mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[19]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ
النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”[20]
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ
النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ
أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي
“Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk
diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.”[21]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا
الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ
فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para
ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku
menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun
sesudah matiku.”[22]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ
مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada
hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[23]
No comments:
Post a Comment