Caatatan Ringan Dr,Haji M.Rakib Jamari, SH.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia
DAHULU SAYA PERCAYA KULLU TAHI PASTI
BUSUK.*( WAKTU SD) KETIKA USIA MENINGKAT RUPANYA ADA TAHI YANG HARUM DAN
BAIK,
Yaitu tahi minyak, di kampung zaman dahulu, anak-anak berebut
ingin merasakan tahi minyak kelapa perasan ibu-ibu karena jumlahnya
sangat-sangat sedikit. Begitu pulalah dengan bid;ah yang baik, jumlanya waktu
itu sangat-sangat sedikit. Ini I’tibar, kiasan dangkal saja,
masih ada kiasan lain yang lebih sopan, tapi sementara ini saja dulu. Kiasan
lain dari orang berilmu mengataakan, curigalah
pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu
belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju
dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah dan menganggapnya sebuah
kesesatan atau kemusyrikan.
Dan Rasul SAW sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak
ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit
dengan geraham (yang maksudnya berpeganglah erat – erat pada tuntunanku dan
tuntunan mereka).
Semoga
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat
dengan Abubakar Asshiddiq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, Ali bin
Abi Thalib KW dan seluruh sahabat. aamiin
1. Pendapat Al Muhaddits Al
Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii).
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu Bid’ah
Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan
sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela,
beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih :
“inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Pendapat Al Imam Al Hafidh
Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah.
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan
(Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi SAW yang berbunyi : “seburuk –
buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalalah” (wa
syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah
hal – hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul SAW, atau
perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal
ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang
buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”
(Shahih Muslim hadits No.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan
mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2
hal 87)
3. Hujjatul Islam Al Imam Abu
Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi).
Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru
yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa
membuat – buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya”. Hadits
ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan – kebiasaan yang baik, dan
ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat
pengecualian dari sabda beliau SAW : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua
yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk
dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal
104-105).
Dan berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah
menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah,
bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil
pada ucapan – ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub
(mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah
membuat buku – buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan
Bid’ah yang mubah adalah bermacam – macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh
dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan
dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa
“inilah sebaik – sebaiknya bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6
hal 154-155).
4. Pendapat Hujjatul islam Al
Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun
Makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah :
“… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya
tidak segalanya hancur, (atau pula ayat : “Sungguh telah KU-pastikan
ketentuan-KU untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya”
(QS. Assajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka,
tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan
orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan
kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul SAW) (Syarh
Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Kemudian bila muncul pemahaman
di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits dan para Imam
maka mestilah kita berhati – hati darimanakah ilmu mereka? Berdasarkan apa
pemahaman mereka? atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai
derajat Hafidh atau Muhaddits? atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya
menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa –
fatwa para Imam?
(Sebagian besar diambil dari tanya jawab dengan Habib Munzir Al
Musawwa)
Sumber :
mushollarapi.blogspot.com/2011/09/memahami-bidah-hasanah-dan-bidah.html
No comments:
Post a Comment