CATATAN RINGAN Dr.M.Rakib Jamari, LPMP Riau di Pekanbaru Riau, Indonesia
SEMAKIN
BERAGAM YANG MENDESAK DALAM KEHIDUPAN MANUSIA,
SEMAKIN
BANYAK HAL-HAL BARU “BID’AH” YANG DIGUNAKAN, MISALNYA KHUTBAH JUM’AT MEMAKAI
BAHASA INDONESIA, SIFATNYA BISA MENDESAK ATAU DHARURY, HAJIYAH, ATAU TAHSINIYAH. KEMUDIAN MASALAH MENDONORKAN KORNEA
MATA KEPADA ORANG LAIN, BISA MENJADI DHARURIYAH…TAPI TIDAK ADA CONTOHNYA DARI
NABI MUHAMMAD SAW.
1)
Dharuriyah adalah segala sesuatu yang amat mendesak, harus ada untuk tegaknya
kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah
tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat. [7]
2) Hajiyah
adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.
3)
Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi tidak
mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a) Memelihara
agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima
waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara
agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud
menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang
bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam
eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang
melakukannya.
c) Memelihara
agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung
martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya
membersihkan badan, pakaian dan tempat. [8]
Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya
dibedakan menjadi tiga peringkat
a) Memelihara jiwa
dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa
dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati
makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam
eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa
dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.[9]
Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya
dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara
akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena
berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal
dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal
dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan
mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. [10]
Memelihara keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat
kebutuhannya dibedakan menjadi tiga
a) Memelihara
keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang
berzina.
b) Memelihara
keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan
mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara
keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah
dalam perkawinan. [11]
Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3
tingkat :
a) Memelihara
harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan
harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara
harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual
beli salam.
c) Memelihara
harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari
pengecohan atau penipuan. [12]
1. Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan
Hukum
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti
yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk
memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang
bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum
terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian
kebahasaan. [13]
Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan
maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang
didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa
dilaksanakan bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang
merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya
khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah
diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan
demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat
memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang
memabukkan.
Dikutip dari MAQASHID AL-SYARI`AH oleh Zefri Ansari, bahwa hukum Islam adalah hasil dari
proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath hukum yang bersumber dari Al-Qur`an
dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk
mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan keadilan. Di samping itu
juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia, tanpa adanya hukum maka
manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan kebebasan orang
lain.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode qiyas
bahwa setiap yang memabukkan adalah haram
[1] Asafari
Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cetakan
pertama ( Jakarta : Raja GraPindo Persada, 1996), hal. 60. beliau
mengutip dari kitabLisan al-Arab karya Ibnu Manzur al-Afriqy.
[2] Ibid,
hal. 60
[3] Juhaya
S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan LPPM
UI, 1995),Hal.10
[4] Asafari
Jaya Bakri, Konsep… hal. 64
[5] T.M.
Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Yogyakarta : Bulan
Bintang, 1974), hal. 181-183
[6] Faisar
Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, cetakan pertama, (Bandung : Cita
Pustaka, 2007), hal. 103
[7] T.M.
Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah … hal. 187
[8] Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997),
hal. 128.
No comments:
Post a Comment