Monday, July 11, 2016

SEMAKIN BANYAK HAL-HAL BARU “BID’AH” YANG DIGUNAKAN, MISALNYA KHUTBAH JUM’AT MEMAKAI BAHASA INDONESIA,

 CATATAN RINGAN Dr.M.Rakib Jamari, LPMP  Riau di Pekanbaru Riau, Indonesia
SEMAKIN BERAGAM YANG MENDESAK DALAM KEHIDUPAN MANUSIA,
SEMAKIN BANYAK HAL-HAL BARU “BID’AH” YANG DIGUNAKAN, MISALNYA KHUTBAH JUM’AT MEMAKAI BAHASA INDONESIA, SIFATNYA BISA MENDESAK ATAU DHARURY, HAJIYAH, ATAU TAHSINIYAH. KEMUDIAN MASALAH MENDONORKAN KORNEA MATA KEPADA ORANG LAIN, BISA MENJADI DHARURIYAH…TAPI TIDAK ADA CONTOHNYA DARI NABI MUHAMMAD SAW.

1)       Dharuriyah adalah segala sesuatu yang amat mendesak, harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat. [7]
2)       Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.
3)       Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a)      Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b)      Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c)      Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat. [8]
Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat
a)      Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b)      Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c)      Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.[9]
Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a)      Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b)      Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c)      Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. [10]
Memelihara keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga
a)      Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b)      Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c)      Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. [11]
Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a)      Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b)      Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c)      Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. [12]
1.      Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan. [13]
Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa dilaksanakan  bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dikutip dari  MAQASHID AL-SYARI`AH oleh Zefri Ansari, bahwa hukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia, tanpa adanya hukum maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan kebebasan orang lain.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode qiyas bahwa setiap yang memabukkan adalah haram

[1] Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cetakan pertama ( Jakarta : Raja GraPindo Persada, 1996), hal. 60. beliau mengutip dari kitabLisan al-Arab karya Ibnu Manzur al-Afriqy.
[2] Ibid, hal. 60
[3] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995),Hal.10
[4] Asafari Jaya Bakri, Konsep… hal. 64
[5] T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Yogyakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 181-183
[6] Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, cetakan pertama, (Bandung : Cita Pustaka, 2007), hal. 103
[7] T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah … hal. 187
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 128.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook