DASAR HUKUM ISLAM BUKAN HANYA QURAN DAN SUNNAH
Pada tingkatan dasar( misalnya Wahabi) mengenal
Islam cukuplah dikatakan 1 tambah satu saama dengan 2, tapi pada tingkatan
Tsanawiyah dan Aliyah sudah diperkenalkan pula hal yang lebih dalam lagi, yaitu
IJMA’ DAN QIYAS. Pada tingkatan sarjaana diperkenalkan pula Sadduz
Zari’ah, jadi kalau
dihitung-hitung ada 12 sumber hukum Islam, dengan tidak menafikan dua sumber
utama itu. Pada tingkatan sarjana, harus diperdalam sumber hukum Islam yang
disebut Uruf, Istishab, Syar.u
Man qablana Sadduz Zari’ah. Apakah itu Sadduz Zari’ah?
SADDUDZ DZARI'AH
1. Pengertiannya
Zara'i jamak dari kata dzari'ah artinya jalan.
Saddudz dzari'ah berarti menutup jalan kerusakan. Menurut istilah ulama Ushul
Fiqih bahwa yang disebut dengan dzari'ah ialah menghambat segala sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang
mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i,
bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang
menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam
sebuah hadits nabi saw. dikatakan :
دع مايربك الى مالايربك
Artinya :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu
kepada apa yang tidak meragukan".
A. ISTISHAB
1. Pengertiannya
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana
umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa
definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah
Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara
hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang
terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an,
al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam
berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus
mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian
qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa
sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu,
maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum
yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak
terdapat hukum yang mengubahnya.
2. Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali
jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan
yang terpenting diantaranya, yaitu:
1. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan
dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika
ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para
ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan
dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil
lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu
terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil
atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan
sesuatu
3. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
3. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang
menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang
dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh
berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa.
Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap
baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat
dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah
terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku
sebelumnya.
Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan
kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut:
a. Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya :
الاصل بقاء ماكان على
ماكان
Artinya :
"Pada dasarnya yang dijadikan dasar
adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".
Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah lala.
b. Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang
karena adanya keragu-raguan.
ما ثبت باليقين لايزول
بالشّك
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian
dia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada
(tidak batal).
c. Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh),
sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut.
الاصل فى الاشياء
الاباحة
Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan
Hanafiyah mengatakan bahwa istishab itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk
menolak.
4. ‘URF
1. Pengertiannya
Urf menurut bahasa berarti mengetahui,
kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik
dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah
sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan
tradisi.
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling
dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat,
baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli syara' urf
bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Diantara
contoh urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian
dengan tidak mengucapkan shighat. Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui
bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
2. Macam-macam Urf dan Hukumnya
Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa
perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa
perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad
jual-beli.
Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
ii. Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang
tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan
tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan dan bahkan harus
dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi
manusia.
iii. Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah
dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syari'at, atau menghalalkan yang
haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya haram, sebab
bertentangan dengan ajaran agama.
Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua
macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk
seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku
hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum
islam
a. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau
masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya
nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau
kesempitan.
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan
hanya dilakukan beberapa orang saja.
3. Kedudukan Urf sebagai sumber hokum
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih
saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang
terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan
qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan
mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu
jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.
5. ISTIHSAN
1. Pengertiannya
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap
baik. Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah
berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly
(jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari
hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena
ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.
Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan
itu ada dua, yaitu :
ii. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan
dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh
membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas: Wanita
yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak
suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram
membaca Al-Qu'an.
Istihsan: Haid berbeda dengan junub,
karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan
membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak
memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
iii. Pengecualian sebagian hukum kully dengan
dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan Istihsan diperbolehkan.
Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada
waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan
sudah menjadi kebiasaan mereka.
2. Khilafah Tentang
Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan
tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan
mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti
ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.”Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan “Perumpamaan orang
yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang
menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah
Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah
Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata
pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan
menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam
qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu,
sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
No comments:
Post a Comment