Saturday, July 9, 2016

DASAR HUKUM ISLAM BUKAN HANYA QURAN DAN SUNNAH, UNTUK KAJIAN TINGKAT SARJANA


DASAR HUKUM ISLAM BUKAN HANYA QURAN DAN SUNNAH

Pada tingkatan dasar( misalnya Wahabi) mengenal Islam cukuplah dikatakan 1 tambah satu saama dengan 2, tapi pada tingkatan Tsanawiyah dan Aliyah sudah diperkenalkan pula hal yang lebih dalam lagi, yaitu IJMA’ DAN QIYAS. Pada tingkatan sarjaana diperkenalkan pula Sadduz Zari’ah, jadi kalau dihitung-hitung ada 12 sumber hukum Islam, dengan tidak menafikan dua sumber utama itu. Pada tingkatan sarjana, harus diperdalam sumber hukum Islam yang disebut Uruf, Istishab, Syar.u Man qablana Sadduz Zari’ah. Apakah itu Sadduz Zari’ah?

SADDUDZ DZARI'AH
1.      Pengertiannya
Zara'i jamak dari kata dzari'ah artinya jalan. Saddudz dzari'ah berarti menutup jalan kerusakan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqih bahwa yang disebut dengan dzari'ah ialah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
2.      Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1.      Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2.      Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan :
دع مايربك الى مالايربك
Artinya :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
A.    ISTISHAB
1.      Pengertiannya
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.

Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.

2.      Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1.          Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2.      Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
3.      Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan. 

3.      Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.

Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut:
a.        Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya :
الاصل بقاء ماكان على ماكان
Artinya :
"Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".

Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah lala.

b.        Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan.
ما ثبت باليقين لايزول بالشّك
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).

c.        Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut.
الاصل فى الاشياء الاباحة
Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istishab itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.

4.      ‘URF
1.      Pengertiannya
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Diantara contoh urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
2.      Macam-macam Urf dan Hukumnya
Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a.         Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b.        Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
                                             ii.      Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia.
                                           iii.      Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syari'at, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.
Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a.       Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b.      Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
a.       Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b.      Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c.       Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.

3.      Kedudukan Urf sebagai sumber hokum
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.
5.      ISTIHSAN
1.      Pengertiannya
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik. Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.

Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
                     ii.      Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas:         Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qu'an.
Istihsan:      Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
                   iii.      Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

2.       Khilafah Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.”Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan  “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook