JIKA BERTENTANGAN AGAMA DENGAN AKAL
Catatan Kecil M.Rakib Riau Indonesia
“Mayoritas
aliran Liberal
berpendapat bahwa akal dengan sendirinya mampu menilai baik dan buruk (yakni
tanpa wahyu). Pernyataan ini merupakan sandaran pertama dan kaidah mereka di
mana mereka membangun syariat di atasnya sehingga akal lebih utama dalam
ajarannya. Mereka tidak curiga pada akal tapi terkadang curiga pada
dalil ketika terlihat tidak sesuai dengan mereka sehingga mereka menolak banyak
dalil yang syar’i.” (Mukhtashar al-I’tisham, hlm. 46)
Pertentangan akal dengan syariat tidak akan pernah terjadi manakala nashnya shahîh dan jelas (sharîh) sementara akal yang menjadi tolok ukurnya juga sehat. Jika kita telah mengetahui suatu nash itu shahîh dan sharîh, namun masih terkesan ada pertentangan, maka bersegeralah mengintropeksi diri, mencurigai akal kita, lalu bertanya, masih sehatkah akal kita ? Sudah maksimalkah akal kita dalam usahanya memahami dan memaknai nash tersebut ?
Karena
bisa jadi akal kita tidak memahami maksud nash yang kita pelajari tersebut atau
akal kita belum mampu memahami masalah yang dibahas secara benar. Karena sudah
bisa dipastikan, nash yang shahîh tersebut pasti benar. Untuk itu, dalam
mempelajari sebuah nash, kita memerlukan bimbingan dan rujukan dari para Ulama
yang telah membahas nash tersebut dengan baik dan benar.
Jika
kita dihadapkan dengan permasalahan akal kita yang tidak sesuai dengan nash
yang sedang kita tela’ah, sementara kita juga belum menemukan rujukan dari
Ulama, maka ingat-ingatlah ajaran al-Qur’ân dan Sunnah yang mengharuskan kita
untuk selalu kembali kepada dalil serta anjuran para sahabat yang bersama
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyaksikan jalannya turunnya
wahyu secara langsung.
Seperti
beberapa perkataan Ulama berikut ini :
1.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dalil naqli bertentangan dengan
akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahîh dan akal itu dibuang dan
ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allâh Azza wa Jalla meletakkannya dan
menempatkan para pemiliknya.”
2.
Dan perkataan bijak dari Abul Muzhaffar as-Sam’âni rahimahullah ketika
menerangkan akidah Ahlus Sunnah. Beliau rahimahullah berkata, “Adapun para
pengikut kebenaran, mereka menjadikan al-Kitâb dan as-Sunnah sebagai panutan
mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak,
mereka hadapkan kepada al-Kitâb dan as-Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai
dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla di mana
Allâh Azza wa Jalla perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi
jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil
al-Kitâb dan as-Sunnah kemudian menuduh akal mereka sebagai pihak yang
bersalah. Karena sesungguhnya keduanya (al-Kitâb dan as-Sunnah) tidak akan
memberikan petunjuk kecuali kepada yang hak sementara pendapat manusia kadang
benar kadang salah.”
AKIBAT
LEBIH MENGEDEPANKAN AKAL DARIPADA NASH
Perlu diketahui, lebih mengedepankan otak daripada nash akan menimbulkan bahaya dan dampak buruk yang berujung pada kesesatan pelakunya. Diantara bahaya yang selalu mengintai pelakunya :
1.
Terjangkiti penyakit sombong yang menyerupai sifat Iblis, ketika diperintahkan
untuk sujud kepada Nabi Adam kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
قَالَ
مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ
خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Allâh
berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu ?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan
saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’ [al-A’râf/7:12]
Mereka
sombong dan ujub, tidak menjadikan firman Allâh Azza wa Jalla yang menjelaskan
tentang akibat kesombongan sebagai pedoman dan seakan tidak membutuhkan firman
Allâh Azza wa Jalla berikut :
سَأَصْرِفُ
عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ
يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا
يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
Aku
akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa
alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap
ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah
Karena mereka mendustakan ayat-ayat kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
[al-A’râf/7:146]
2.
Keengganan mengikuti serta menolak syarî’at adalah sifat yang menyerupai sifat
orang kafir yang menolak keputusan Allâh Azza wa Jalla dengan akal mereka,
seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad. Dengan sombong,
mereka mengatakan :
وَقَالُوا
لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ
Dan
mereka berkata, ‘Mengapa al Qur’ân ini tidak diturunkan kepada seorang besar
dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini ?’” [az-Zukhruf/43:31]
Sumber: https://almanhaj.or.id/4064-tidak-ada-pertentangan-antara-akal-yang-sehat-dan-nash-yang-jelas.html
No comments:
Post a Comment