Monday, July 11, 2016

BID’AH SESAT, RUPANYA ADA JUGA PENGECUALIAANNYA…Sekedar Hobi Mencata Saja Dari DR.Haji M.Rakib Jamari, S.H.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia. 2016


WAKTU TINGKATAN SD, SAYA YAKIN SEKALI “KULLU BANGKAI NAJIS
ALANGKAH TERKEJUTNYA SAYA PADA TINGKAT SMP, TERNYATA ADA BANGKAI YANG TIDAK NAJIS. ADA BANGKAI YANG HALAL DIMAKAN, TAPI DIMASAK DULU LAH…
UNGKAPAN SEMUA BANGKAI ADALAH NAJIS, BENAR 100 PERSEN, TAPIKAN ADA PENGECUALIANNYA…NAH SEPERTI ITULAH SEMUA BID’AH SESAT, RUPANYA ADA JUGA PENGECUALIAANNYA…

Sekedar Hobi Mencatat Saja Dari DR.Haji M.Rakib Jamari, S.H.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia. 2016
    Soal  PENGECUALIAN  pada istilah bid’ah masih ada relevansinya, terutama karena geliat gerakan Islam trans-nasional (atau Islam puritan) yang cenderung "mem-bid’ah-kan" perilaku ritual Islam lokal yang banyak dilakukan oleh kaum muslim Indonesia yang sebenarnya bagian as-Siyasah al-Dakwah Islamiyah 

Kata “bidah” selama ini dipahami secara beragam dan hampir tidak ada kesepakatan definisi tentangnya. Bidah menjadi semacam “bola liar” yang bisa ditendang oleh siapa saja dan menabrak siapa saja. Sialnya, dalam hal ini semangat melontarkan tuduhan bidah didorong oleh makna “sesat” yang terkandung di dalamnya. Bidah adalah kesesatan dan kesesatan tempatnya di neraka, begitulah makna hadis di atas. 


Inilah “spirit jahat “ yang ditangkap oleh sebagian muslim kemudian digunakan menuduh muslim yang lain. Saya katakan sebagai “spirit jahat” karena tuduhan bidah sama artinya dengan mengharapkan orang lain masuk neraka, berdasarkan hadis tadi.
 

Banyak ulama yang telah mendefinisikan “bidah”, namun sekian definisi yang ada terkesan rumit dan ideologis. Kita perlu memahami kata “bidah” secara lebih definitif-konvensional hingga tidak mudah digunakan sebagai “senjata” untuk menyerang. Saya mengajak orang untuk melek sejarah hingga dapat memilih definisi yang tidak menyesatkan. Jika tidak ada keberanian seperti ini, selamanya kita akan terjerumus dalam “jurang perebutan klaim keselamatan eskatologis” yang belum pasti kita dapatkan. 

“Bidah” bagi saya adalah taqyîdu mâ athlaqahu Allahu wa rasûluh wa ithlâqu mâ qayyadahu Allahu wa rasûluh (membatasi sesuatu yang dibebaskan oleh Allah dan Rasul dan membebaskan sesuatu yang dibatasi oleh Allah dan Rasul). Sesuatu yang di batasi oleh Allah dan Rasul jumlahnya sangat sedikit. Contoh paling tegas adalah ibadah. Ibadah adalah kegiatan yang ditentukan (dibatasi) oleh Allah dan Rasul. Tidak seorang pun boleh mengadakan sebentuk ibadah yang petunjuk hukumnya tidak ada secara tegas. Karena, pada dasarnya hukum ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan kewajibannya (al-ashlu fî al-‘ibâdah harâm hattâ yadulla al-dalîl ‘alâ al-wujûb). 


Shalat wajib adalah lima waktu. Ini ketentuan dari Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh orang menentukan kewajiban shalat di luar shalat yang lima itu. Puasa wajib adalah di bulan Ramadhan. Ini ketentuan Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh seorang pun menentukan kewajiban puasa di luar bulan Ramadhan. Dan contoh-contoh lain yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada kebebasan yang Allah berikan.

Termasuk dalam kebebesan adalah tradisi. Dalam hal ini tradisi yang dilakukan oleh muslim lokal, seperti perayaan maulid nabi, tahlilan, tujuh bulanan (untuk mendoakan kehamilan), dan lain-lain merupakan tradisi yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam agama. Agama tidak mewajibkan, tidak menyunahkan, dan tidak mengharamkan. Jika sesuatu tidak memiliki pijakan hukum secara pasti, maka sesuatu itu masuk dalam kategori kegiatan yang berstatus hukum mubâh (boleh): boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. 


Tidak ada hukum yang mengikatnya hingga harus dilakukan atau ditinggalkan. Dalam hal ini saya setuju dengan prinsip landasan hukum yang menjadi pegangan Imam Syafii, al-ashlu fî al-asyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla al-dalîl ‘alâ al-tahrîm (segala sesuatu pada dasarnya berhukum boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

Tidak ada istilah “bidah hasanah (baik)” selama kata bidah yang dimaksud adalah bidah secara terminologis (istilâhi). Semua bidah, secara terminologis, adalah kesesatan. Inilah bidah yang dimaksud oleh hadis yang terkenal itu. Kategorisasi hasanah (baik) dan sayyi’ah/madzmûmah (buruk) lebih tepat diajektifkan pada kata sunnah. Jadi, ada sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Ini sesuai dengan hadis,Man sanna sunnatan hasanatan ... wa man sanna sunnatan sayyi’atan ... (HR. Muslim dan yang lain)


Kata bidah tidak bisa dan tidak boleh dituduhkan secara serampangan kepada orang lain yang melakukan ritual tertentu yang tidak ada petunjuk hukumnya dalam agama seperti yang telah saya sebutkan di atas. Lontaran bidah menunjukkan kerendahan pemahaman seseorang akan asal-usul hukum agama.
Selain itu “sikap angkuh” ini sangat membahayakan karena berpotensi menjadi sumber permusuhan antar umat. Siapa pun harus belajar akan kekayaan tradisi keilmuan Islam hingga tidak mudah menuduh orang lain sebagai pelaku bidah dan mengklaim dirinya sebagai pengemban sunnah yang paling sah: kesombongan yang tak terperikan!

Dikutip Dari Taufik Damas

Alumni Universitas Al-Azhar Kairo, mantan Pengurus PCINU Mesir


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook