JIKA
TIDAK DITEMUKAN DALAM QURAN
DAN
HADITS
SUMBER
HUKUM ISLAM BERJUMLAH SEPULUH, empat sumber hukum yang
disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili
menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah
disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al
Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke
Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia
berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat
dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”.
Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya
akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke
dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan
utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila
terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah,
jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab
Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum
dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia
kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan
pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan
ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.
Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama,
berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan
أجمع فلان على الأمر
berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang
pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan
arti kedua lebih dari satu orang.[10]
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para
mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum
syara.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya
kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’
dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang
lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’
dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai
yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid
Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara
syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk
kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam
suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah
seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan,
fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para
mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan
yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah
yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu
hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.[12]
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
No comments:
Post a Comment