MELAWAN
KEKERASAN TANPA KEKERASAN
M.Rakib Muballigh
IKMI Pekanbaru Riau Indonesia
BENTURAN ANTARA UU 23 DENGAN FIQIH
Penerapan hukum
Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz.
Negara pada saat itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam
sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-masing daerah.
Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara seragam,
namun berkaitan dengan hal-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek
setempat dan variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.
Pembaruan hukum
keluarga dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917
dengan disahkannya The Ottoman Law of Family Rights (Undang-undang
tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di
Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di
negara-negara lain.
Pembaruan hukum keluarga Turki telah
dimulai pada tahun 1876. Pada tahu tersebut Turki telah mempersiapkan sebuah
undang-undang civil yang didasarkan pada mazhab Hanafi, yaitu yang disebut
dengan Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah, tetapi di dalamnya belum ada
aturan perkawinan dan warisan.
Pada tahun 1915,
kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang mereformasi hukum matrimonial (yang
berhubungan dengan perkawinan) dalam mazhab Hanafi yang secara lokal terkait
dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit tersebut digunakan
prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil sumber dari mazhab Hanbali
dan Hanafi. Dinyatakan dalam dua dekrit tersebut bahwa perempuan diperbolehkan
mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan suami atau karena penyakit yang
di deritanya[
Dua tahun
kemudian, Imperium mengeluarkan undang-undang tentang hukum matrimonial. UU
tersebut terdiri dari 156 pasal yang berisi tentang hak-hak dalam keluarga
(minus pasal mengenai waris). UU inilah yang kemudian diberi nama Qanun
Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniyyah (the Ottoman Law of Family Rights) Tahun 1917.
Penetapan UU ini didorong semangat takhayyur, proses legilslasi yang
mulai menjadi ternd pada era itu dan kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia
muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum keluarga.
Beberapa tahun
setelah pencabutan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, situasi politik
di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca
konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi
hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha
menempatkan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 Majallat al-Ahkam
al-Ardliyyah tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam
hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan
modernis dan tradisional - seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda
dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar - menjadikan
komite hukum kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi
kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut, Pemerintah Turki
mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The Civil Code of Switzerland,
1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan
diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish Civil Code of
1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926
sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan
wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi yang menonjol
dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang
pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal untuk
kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan
perkawinan, perceraian, dan lain-lain.
Hukum keluarga di
Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga
tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights) diperbarui dengan Hukum
Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish Civil Code, 1926), kemudian diamandemen
dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.
Ada sedikit benturan
yang cukup berarti antara Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Anak
Hal yang
seringkali dianggap sekuler oleh banyak kalangan dalam memandang kekerasan pada
pemberitaan hukuman dalam mendidik anak. Walaupun secara umum masih dapat
dibedakan antara kekerasan sebagai hukuman dalam mendidik anak yang cenderung
terukur, tidak keluar dari batas yang telah ditentukan serta
memiliki maksud dan tujuan yang jelas, dengan bentuk kekerasan sebagai
penganiayaan yang cenderung tanpa batas dan lebih hanya sekedar pelampiasan lua
pan emosi terhadap anak atau bahkan
dengan maksud yang jelas-jelas direncanakan sebagai penyiksaan. Kekrasan dapat
terjadi apabila potensi mental pada diri seseorang tidak sesuai dengan
realisasi aktualnya.28Hal
ini berarti ada orang lain yang mempengaruhi dan ada cara untuk
mempengaruhinya, jadi ada subject dan object yang dalam hal ini adalah manusia
serta adanya tindakan.29Kekerasan
dapat dilakukan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun, tanpa terkecuali
kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anknya. Hal ini menurut Erich
Fromm tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi lingkungan orangtua 28Yayah Kisbiyah (et al), Melawan
Kekerasan Tanpa Kekerasan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 3. 29I. Marsana Windu, Kekuasaan dan
Kekeraaan Menurut Johan Galtung,cet. IV (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
hlm.67-68. 22
semasa kecilnya, seperti pendidikan,
teladan-teladan buruk dan tatanan sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya
tindakan yang beersifat destruktif.30Teori-teori di ataslah yang akan digunakan sebagai landasan
berfikir dalam melihat fenomena tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtua
terhadap anak yang terjadi dalam rumah tangga. Seda
ngkan prinsip dasar yang digunakan
sebagai ruh atas kerangka teori di atas akan diambil dari al-Qur'an, as-Sunnah
dan kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagaimana akan disebutkan berikut ini:
Sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Qas}as}:
#&23
4
5 678 #&9%
31Ayat
ini memberikan pemahaman bahwa manusia dilarang berbuat kerusakan di muka bumi
ini. Kerusakan adalah segala
sesuatu yang dapat membuat kerugian
bagi pihak lain, sehingga Allah sangat membenci para pelaku kerusakan. Tindakan
pengrusakan ini sendiri dapat menimpa siapa saja dan apa saja serta dalam
bentuk apapun juga, seperti pembunuhan,
penganiayaan dan perbuatan keji
lainnya yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT. Dalam ayat lain Allah
berfirman:
30Erich
Feomm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia, cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 34. 31Al-Qas}as} (28) : 77.
Wabtaghi fima
atakumullah
‑,
32
Ayat ini menjelaskan bahwa orangtua
harus memperlakukan anak-anak mereka dengan baik. Kata
<"dalam "" tidak hanya bermakna membunuh jiwa sang
anak, melainkan dapat diartikan
larangan pembunuhan kreativitas,
perasaan, potensi, serta ruang gerak s
ang anak. Anak akan berkembang
secara tidak wajar dan akan menjadi musu
h bagi orangtua akibat dari
ketidakhati-hatian orangtua dalam mendidik ana
knya.33Adapun kaidah fiqh yang digunakan dalam teori ini antara
lain:
Kaidah tersebut menekankan bahwa,
walau bagaimanapun ke-madarat-an harus dihilangkan. Artinya, segala
bentuk perbuatanyang dapat merugikan orang lain adalah perbuatan yang dilarang
dalam Islam. Kaidah lain yang
berkaitan dengan ini adalah:
35
32Al-An’a>m (6) : 151.
Lihat juga M. Anies, Anak, hlm. 2. 33
M. Anies, "Anak dalam
Perspektif Al-Qur'an: Kajian
dari Segi Pendidikan,"Jurnal
Al-Jami'ah, No. 54, Th. 1994, hlm. 3. 34 Asmuni Abdurrahman, Qawa>’idul
Fiqhiyyah, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), hlm. 85. 35Ibid.,24 Sikap antisipatif ditawarkan oleh
kaidah ini. Bagaimanapun juga menolak atau menghindari
ke-mad}a>ra>t-an harus lebih diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan.
Kemudian pertimbangan un
tuk bersikap arif dan bijaksana
dalam menghadapi persoalan juga sangat di
tekankan oleh para alim ulama,
sebagaimana tersirat dalam kaidah berikut:
Di samping itu juga terdapat teori
kekuasaan yang dirumuskan oleh Max Weber. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan
untuk mengontrol tindakan dari orang lain. Dalam sosiologi, kekuasaan sering
diartikan sebagai wewenang dan pengaruh (influence), yang keduanya merupakan
unsur dari kekuasaan itu sendiri. Weber berpendapat bahwa sese
orang yang memiliki kekuasaan atau
wewenang berhak untuk menentukan kebijakan-kebijakan atau sanksi atas
pelanggaran yang terjadi atas apa yang telah ditetapkan, terhadap orang lain
atau kelompok yang berada di bawah kekua
saannya.37Jika berkaca pada pendapat Weber,
orangtua dalam satu keluarga memiliki wewenang dan bertanggungjawab atas
perkembangan dan pertumbuhan anak baik jasmani maupun rohani. Kekuasaan dan wewenang
tersebut, orangtua berhak melakukan apapun terhadapanaknya (selama tidak melampaui
batas-batas
syar’i>
-
undanganDjaenabAl-Risalah | Volume 10
Nomor 1Mei 20103
Kesejahteraan Anak, dan sebagainya.
Dalam makalah ini akan dilakukan analisis
komparatif.PEMBAHASANAnak adalah
amanat Allah Swt yang harus senantiasa dipelihara. Apapun
statusnya, pada dirinya melekat
harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Namun, pada
kenyataannya betapa banyak anak yang
terlantar, tidak mendapatkan
pendidikan karena tidak mampu, bahkan menjadi
korban tindak kekerasan. Hidupnya tidak
menentu, masa depan tidak jelas dan rentan
terhadap berbagai upaya eksploitasi
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk mengatasi masalah
-
masalah ini, banyak upaya dilakukan
sebagai bentuk perlindungan terhadap anak tersebut. Hal inilah yang akan
dibahas dalam makalah ini dari perspektif Fiqh dan perundang-undangan di
Indonesia.1.Konsep dan Implementasi Perlindungan Anak Perspektif FiqhSyari’at
Islam merupakan piranti perlindungan anak
dari tindak eksploitasi. Hukum Islam
sebagai salah satu norma yang dianut dalam masyarakat perlu dijadikan
landasan dalam mengkaji persoalan
perlindungan anak. Elastisitas hukum Islam dengan prinsip “
Shalih li Kulli Zaman wa Makan” dan
prinsip “ al-Hukmu Yadurru ma’al Illati Wujudan wa ‘Adaman
” menghendaki dilakukannya analogi
dan interpretasi baru sesuai dengan konteks fenomena kejahatan yang terjadi
pada anak saat ini. Nilai transedental yang melekat pada norma hukum Islam,
merupakan kelebihan tersendiri
yang menyebabkan penganutnya lebih
yakin bahwa jika ajaran agama dipahami dengan baik, maka akan disadari pula
betapa agama tidak menghendaki terjadinya
eksploitasi sesama manusia. Nilai
-
nilai penegakan keadilan, pencegahan
kezaliman,
dan perlunya kerjasam
a dalam mengatasi masalah
-
masalah sosial merupakan misi
kemanusiaan yang dibawa agama. Namun
demikian, nilai
-
nilai tersebut perlu
senantiasa diaktualkan dan
diinterpretasikan kembali sesuai dengan perkembangan
terbaru modus kejahatan.
Antisipasi normatif
hukum Islam urgen dilakukan, karena
tindak kekerasan
terhadap anak banyak diwarnai aksi
perlakuan sadis, tidak berprikemanusiaan, atau
tidak lagi ada rasa kasih sayang
pada dir
i pelaku. Padahal Rasulullah S
AW
menekankan perlunya kasih sayang dan
saling men
ghargai di antara sesama,
sebagaimana hadis riwayat Anas bin
Malik:
بن
Risalah
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
Dari Anas bin Malik menuturkan,
bahwa Rasulullah Saw bersabda: “tidak
termasuk golongan umatku mereka yang
(tua) tidak menyayangi yang muda,
dan mereka yang (muda) tidak
menghormati yang tua.” (HR
. Al
-
Nasaiy).
Mahmud Mahdi al
-
Istanbuli menegaskan, bahwa hati
yang kosong dari rasa
cinta dan kasih sayang terhadap anak
-
anak, pertanda hati tersebut kasar
dan keras.
Perlakuan dari hati yang kasar dan
keras hanya akan menyebabkan anak
-
anak tumbuh
dalam
kubangan kebodohan dan kemalangan,
karena memang sudah menjadi tabiat
anak
-
anak sejak mereka dilahirkan selalu
membutuhkan bimbingan, arahan,
perhatian, dan asuhan.
5
Orang tua seharusnya menyayangi anaknya
dengan segala prilaku, pemberian,
termasuk dalam memerintahkan anakn
ya. Suatu perintah harus dilandasi
kasih
sayang, bukan amarah, kebencian,
sehingga cenderung bersifat eksploitatif. Begitu juga
sebaliknya, anak seharusnya
menghormati orang tuanya dengan tulus dan ikhlas,
bukan karena keterpaksaan.
Jika benar orang tua m
encurahkan kasih sayangnya, maka ia
tidak mungkin
memaksa anaknya melakukan sesuatu,
apalagi hal itu bertentangan dengan
kemaslahatan dirinya. Begitu juga
sebaliknya, anak tidak akan mudah menentang
orang tua, jika ia benar
-
benar ingin memberikan penghorma
tan kepada orang tuanya.
Kedurhakaan anak atau orang tua
tidak akan terjadi dalam keluarga yang penuh
dengan kasih sayang timbal balik.
6
Keluarga itu akan bahagia sebagaimana
yang
digambarkan dalam QS. al
-
sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu
bena
r
-
benar terdapat tanda
-
tanda bagi kaum yang berfikir.
Seorang anak tidak boleh
dipekerjakan di luar batas kemampauannya. Sebagai
contoh Nia (15 tahun) diajak
tetangganya bekerja di kota Bandung, orang tuanya
mengizinkannya pergi dengan harapan
dapat memba
ntu ekonomi keluarga. Akan
tetapi, Nia dipekerjakan di pabrik
tekstil dengan beban kerja yang sangat berat. Ia
bekerja dari pukul 07.00 sampai
pukul 17.00 dan gajinya ditahan selama 10 bulan agar
5
Mahmud Mahdi al
-
Istanbuli,
Nisa’ Haula al
-
Rasul,
diterjemahkan oleh Ahmad Sarbaini
dengan
judul
Isteri
-
isteri dan Puteri
-
puteri Rasulullah Saw serta Peranan Beliau
terhadap Mereka
(Cet. II; Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 2003), h. 231.
6
Faqihuddin Abdul Kodir dkk
., Fiqh Anti Trafiking
(Cet. I; Cirebon: Fahmina Institute,
2006), h.
100
-
101.
-
undangan
Djaenab
Al
-
Risalah
| Volume
10
Nomor
1
Mei 2010
5
Nia tidak lari dari perusahaan.
7
Dalam kasu
s seperti ini perlu dilihat
perspektif
fiqhnya.
Dalam pandangan fiqh, kasus ini
merupakan pelanggaran dan kezaliman yang
berakibat pada kehidupan manusia.
Pihak orang tua telah mengabaikan keselamatan
anaknya, karena anaknya bekerja di
luar kemampuannya s
ebagai anak
-
anak. Tetangga
yang mengantar anak itu juga
terlibat sebagai orang yang membukakan jalan
terjadinya kezaliman. Tetapi yang
paling besar kesalahannya adalah majikan yang
mempekerjakan anak itu. Ia menahan
gaji dan memberikan beban kerja lebih da
ri jam
kerja tanpa istirahat. Dasar
pertimbangannya adalah bahwa dalam Islam dilarang
melakukan kezaliman baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain.
8
Dari Abi Durr, ia berkata, Raulullah
Saw menyampaikan hadis dari
Allah
yang Maha Suci dan Maha Tinggi: “Aku
haramkan
kezaliman terhadap
diri
-
Ku dan terhadap hamba
-
Ku, maka
janganlah kamu saling menzalimi
satu sama lain.”
Demikian pula halnya majikan di
larang menahan upah buruh tanpa
alasan
yang dapat dibenarkan.
Contoh kasus lain, Sudira (67) sudah
yang keempat kalinya menawarkan setiap
anak yang dilahirkan isterinya
kepada siapapun yang mau mengadopsinya. Mulai dari
anak pertama sampai anak yang keemp
at, ia serahkan kepada orang lain
dengan
imbalan satu sampai tiga juta
rupiah. Ia merasa tidak sanggup menghidupi anak dan
isterinya dari pekerjaan sebagai
tukang becak di Jawa Barat. Ketika ditangkap dan
ditanya, ia menjawab terpaksa
memberikan anak itu k
arena kemiskinan yang
melilitnya. Ia tidak bermaksud
menjual anak, tetapi mengamanatkan kepada orang
lain yang sanggup memberi nafkah dan
mendidiknya. Tetapi anehnya, ia tidak
mempedulikan ke mana anak itu di
bawa, oleh siapa, dan dengan siapa ia hidup.
10
Dalam pandangan fiqh, anak adalah
karunia sekaligus amanah. Oleh karena
itu, orang tua harus menjaga dan
memeliharanya dengan baik. Islam mengecam tradisi
jahiliyah yang tega membunuh anak
-
anak mereka karen
a kesulitan ekonomi. Dalam
QS. al
-
An’am (6): 151, Allah Swt berfirman:
7
Ibid
., h. 143.
8
Ibid.
9
Abi Husain Muslim bin Hajjaj al
-
Qusyairiy al
-
Naisaburiy,
Shahih Muslim
, Juz 4 (Beirut: Dâr al
-
Kitab al
-
Ilmiyah, 1992M/1413 H), h. 132.
10
Faqihjuddin Abdul Kodir dkk.,
op. cit.
, h. 243.
-
undangan
Djaenab
6
Al
-
Risalah
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
(
Dan janganlah kamu membunuh anak
-
anak kamu Karena takut
kemiskinan, kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka, dan
jang
anlah kamu mendekati perbuatan
-
perbuatan yang keji, baik yang
nampak
di antaranya maupun yang
tersembunyi.
Ayat ini menegaskan bahwa orang tua
tidak berhak merampas masa depan
anak, dengan menjualnya karena
kekurangan biaya (ekonomi), Kata “membunuh”
dala
m ayat di atas, tidak hanya berarti
membunuh keberlangsungan hidupnya, tetapi
juga menjerumuskan anak pada masa
depan yang suram. Dalam ayat lain Allah Swt
memberikan wasiat agar setiap orang
berpikir serius dan mempersiapkan anak
-
anaknya agar di kemudian
hari tidak menjadi orang yang lemah
dan hina. QS. al
-
Nisa’(4): 9
Dan hendaklah takut kepada Allah
orang
-
orang yang seandainya
meninggalkan
dibelakang mereka anak
-
anak yang lemah, yang mereka khawa
tir
terhadap (kesejahteraan) mereka.
oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.
Abdurrahman bin Muhammad, seorang
mufti Hadhramiyah, menyatakan:
tidak boleh menjual anak demi
mencukupi ke
butuhan mereka, karena
memperdagangkan orang merdeka
hukumnya haram.
11
Men
urut al
-
Syarbini, ayah tidak boleh mengajari
pekerjaan yang justru
menghinakan anaknya, dan tidak boleh
bagi orang tua mengajari anaknya pekerjaan
yang buruk, demi menjaga
kemaslahatan anak. Wajib bagi orang tua, kakek, dan wali
mendidik dan mengajari anak
-
anaknya, bila anak tidak memiliki
harta, maka biaya
pendidikannya dibebankan kepada
orang yang wajib menafkahinya.
12
Jika yang diperdagangkan adalah anak
maka dosa
nya lebih besar dibanding
orang dewasa, sebab menelantarkan
mereka dari kesempatan untuk memperoleh hak
pendidikan dan perlindungan.
Perdagangan anak juga berakibat pada problem
psikologis dan sosial. Yaitu,
menjauhkan anak dari kasih sayang orang tuanya s
endiri
secara paksa. Tindakan ini merupakan
sesuatu yang diharamkan dan termasuk dosa
besar. Ada dua pertimbangan mengapa
hal ini diharamkan.
Pertama
, karena pada
dasarnya memperdagangkan manusia itu
haram.
Kedua
, lebih dari itu karena anak
masih berada pa
da usia perlindungan dan belum
memiliki pola pikir kedewasaan,
sehingga memiliki kerentanan sangat
tinggi untuk dieksploitasi di luar kepentingan
dirinya. Ia justru seharusnya
memperoleh hak
-
hak yang membuatnya bisa tumbuh
11
Abdurrahman bin Muhammad,
Bugyah al
-
Mustarsyidin
(Beirut: Dar al
-
Fikr, t.th.), h. 243.
12
Muhammad Khatib al
-
Syarbini,
Mugni al
-
Muhtaj
, Juz 3 (Beirut: Dar al
-
Fikr, t.th.), h. 458.
MUNZIR HITAMI (2)
1.Dipukul anak tidak shalat, apabila
cara lain tidak ada lagi.
2.Di mana dikenal istilah Hukum Islam
3.Bagaimana keberadaan hukum
Ta’zir.
SUDIRMAN (3)
1.Kapan Konvensi PBB dan
diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No.23 tahun (Analisis Sejarah)
2.Apakah ada keterangan tentang
kekerasan non fisik, tapi juga bisa dipidana.
3.Apa yang dimaksud dengan Hukum
Keluarga.
AMIR LUTHFI (4)
1.Bagaimana penelitian dengan pendekatan
sosiologis ?
2.Hukum Islam sebagai pembanding dari UU 23 th
2002 khususnya tentang konsep "kekerasan" terhadap anak.
SAFRINALDI (5)
1.Hukum
Islam dan UU Perlindungan anak, berbicara tentang obyek yang sama, yaitu
tentang kekerasan.
2.Kekerasan
terhadap anak, bukan hanya kekerasan fisik.
3.Bagaimana
Law in forcmen perlindugnan anak.
4.Analisis
harus dipertajam.
ARRAFII ABDUH (6)
1.Perhatikan
Loc Cit dan OP
Cit
2.Perbedaan
terjemahan dan tafsir.
3.Gunakan
tafsir ayat-ayat hukum.