Sunday, February 1, 2015

JIKA HUKUMAN ATAS DASAR SUKARELA SANTRI



HUKUMAN ATAS DASAR SUKARELA SANTRI


 

M.Rakib   Muballigh  IKMI  Riau Indonesia.  2014

Hukuman atas dasar, sukarela,
Jangan melanggar, hak asasi mausia
Kesepakatan, betapapun hebatnya,
Jangan melanggar, ketentuan Allah.


       Reaksi masyarakat beragam – meski semuanya bernada menentang – ketika sebuah video berisi rekaman kekerasan terhadap tiga orang santri, beredar di Jombang. Diduga, peristiwa tersebut terjadi di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Rekaman video tersebut menggambarkan tiga santri diikat di pohon dengan mata tertutup. Kemudian beberapa orang yang lebih senior memukuli santri tersebut dengan rotan secara bergiliran. Setiap santri yang diikat di pohon tersebut mendapat total 35 kali pukulan. Ironisnya, tindakan tak lazim itu dilakukan di depan puluhan santri lainnya.
Rekaman video tersebut menyebar dari telepon selular ke ponsel milik warga sejak sekitar akhir pekan lalu. Bahkan beberapa anggota Komisi D DPRD Jombang juga sudah mendapat video tersebut. Ketua Komisi, Mulyani Puspita Dewi menyebutkan, hasil penelusuran yang dilakukannya pihaknya, menduga lokasi pesantren tersebut di Jombang.
Terkait isi rekaman video, Dewi menyatakan sangat menyayangkan terjadinya tindak kekerasan terhadap santri yang diduga melakukan pelanggaran aturan internal tersebut. “Kekerasan itu tidak baik. Jika pemukulan itu merupakan hukuman untuk menimbulkan efek jera, bisa dalam bentuk lain, misalnya mengepel lantai.”
Dia mengaku sudah berkoordinasi dengan Polres Jombang untuk menindaklanjuti kasus ini dan berharap diusut tuntas. “Pengakuan pihak pondok, video itu rekaman 2010. Tapi bagi Komisi D, rekaman tahun 2010 atau 2014, tetap harus diusut, karena ada faktanya. Saya juga minta apakah pesantren tersebut sudah ada legitimasinya secara formal atau belum.”
Tiga orang santri dicambuk
Dalam video berdurasi 5 menit 21 detik itu tampak sejumlah orang yang diduga pengurus pondok pesantren mengikat tiga orang santri di sebuah pohon dengan kondisi mata ditutup.
Salah seorang berpeci berbicara di depan puluhan santri, memerintahkan beberapa santri mencambuki tiga santri yang terikat tersebut dengan menggunakan dua batang rotan. Satu per satu dari beberapa santri mendekati ketiga santri yang terikat di pohon.
Sambil mengucapkan kalimat ‘bismillahi Allah Akbar’, mereka dengan semangat memukulkan dua batang rotan itu ke punggung tiga santri yang terikat. Masing-masing santri mengayunkan lima kali pukulan. ‘Prosesi’ baru dihentikan ketika masing-masing santri yang terikat di pohon itu sudah dicambuk 35 kali.
Kepolisian Jombang langsung menyelidiki identitas ponpes – Al-Urwatul Wutsqo yang lebih dikenal dengan PPUW, di Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, sekitar 15 kilometer arah selatan Kota Jombang – yang menerapkan hukuman cambuk tersebut.
Peristiwa terjadi tahun 2010
Kapolres Jombang AKBP Ahmad Yusep Gunawan mendatangi lokasi pondok dan menemui Pengasuh PPUW, KH Mohammad Qoyim, Senin (8/12). Usai pertemuan dia mengungkapkan, dari pengakuan pihak pondok, peristiwa hukuman cambuk kepada tiga santri yang terekam dalam video tersebut terjadi tahun 2010.
Menurut Qoyim, aturan hukuman cambuk bagi santri yang melanggar sudah berlaku di ponpes itu sejak pesantren ini berdiri, tahun 1990. “Dari penyelidikan kami sendiri, video diunggah di sebuah blog. Pengunggahnya, Agus mengaku menemukan video tersebut dari memory card ponsel telepon seluler,” kata Kapolres sambil menambahkan bahwa dia belum memastikan kelanjutan kasus ini bisa diangkat ke ranah pidana atau tidak.
“Kepolisian memerlukan dua alat bukti. Termasuk menguji keakuratan atau validitas video tersebut ke ahli teknologi informasi komputer,” katanya.
Salah satu korban pencambukan, sudah teridentifikasi namun dia sudah lulus dan berada di Sidoarjo, sehingga belum bisa dioeriksa. Demikian juga pelaku, belum bisa diperiksa sepanjang belum ada kepastian tentang keaslian video yang menghebohkan tersebut. “Polisi tetap terus melakukan penyelidikan untuk memastikan ada-tidaknya unsur pidana pada peristiwa tersebut.”
Komnas HAM prihatin
Kasus hukuman cambuk terhadap santri di ponpes itu memunculkan keprihatinan Komnas HAM. “Kami mendorong Polri untuk menyelidiki praktek hukum cambuk di salah satu ponpes di Jombang itu secara profesional,” kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution.
Dia menilai, penerapan hukuman cambuk terhadap santri dalam konteks pendidikan tidak tepat. “Ada baiknya dilakukan evaluasi terhadap pola pengasuhan siswa di lingkungan sekolah, madrasah atau pesantren sehingga lebih humanis, berkeadilan dan berkeadaban,” ujarnya.
Maneger juga mendesak kementerian agama agar mengharmonisasi regulasi kesiswaan di sarana pendidikan yang ada di lingkungan Kemenag agar lebih bermartabat.
Pengasuh pondok pesantren Urwatul Wustqo, KH M Qoyim Ya’kub (kiri).  (Foto: Antara Jatim)
Pengasuh pondok pesantren Urwatul Wustqo, KH M Qoyim Ya’kub (kiri).
(Foto: Antara Jatim)
Ada cara lebih manusiawi
Pengasuh Pondok Pesantren Urwatul Wustqo di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, KH M Qoyim Ya’kub mengakui bahwa video hukuman cambuk yang beredar luas di masyarakat terjadi di pondok pesantren tersebut. Tetapi hukuman itu dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa paksaan, saat ada seorang santri yang melanggar tata tertib pesantren atau perintah agama.
Kiayi itu mengatakan, hukuman cambuk merupakan syariat Islam yang termaktub dalam tata tertib Ponpes. Pondok menjatuhkan hukuman itu karena ketiga santri tersebut mengonsumsi minuman keras.
Di pondok pesantren yang dipimpinnya ada berbagai macam bentuk hukuman bagi santri yang melanggar tata tertib pesantren. Jika pelanggarannya bersifat ringan, santri akan ditawari menjalani hukuman ringan seperti puasa atau beristigfar.
Saat ini, Ponpes Urwatul Wutsqo dihuni sekitar 880 santri, sebagian besar berasal dari Nusa Tenggaran Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ponpes ini memilik lembaga pendidikan mulai dari PAUD, TK, Madrasah Ibtida’iyah (MI) sampai Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Urwatul Wutsqo.
Jika pelanggarannya berat seperti berzina atau meminum minuman keras santri akan ditawari menjalani hukuman dikeluarkan dari pondok atau bertaubat, katanya. “Jika santri memilih bertaubat, maka sesuai Syariat Islam mereka harus dicambuk 35 hingga 100 kali. Atas hukuman itu, kebanyakan santrinya memilih bertaubat atau dicambuk.
Tak hanya terhadap santrinya, kata Qoyim, ponpes juga menerapkan hal serupa kepada masyarakat umum yang ingin bertaubat sesuai Syariat Islam. “Pernah ada juga warga yang menjalani hukuman cambuk berasal dari luar pesantren atas keinginannya sendiri.”
Terkait hukuman cambuk tersebut, MUI Jombang meminta segala bentuk kekerasan terhadap santri di ponpes di Jombang dihentikan sebab menurut KH Cholil Dahlan, penerapan hukum syar’i di lingkungan pesantren justru akan berdampak negatif terhadap anak didik.
Dia juga mendukung sepenuhnya penuntasan penyelidikan kasus yang meresahkan masyarakat tersebut. Pengasuh Ponpes Darul Ulum (PPDU) Jombang ini berpendapat, pesantren sebagai tempat pendidikan nilai-nilai Islam tidak serta merta harus menerapkan hukuman fisik kepada anak didik. Apalagi, proses pemberian vonis hukum syar’i sebenarnya sangat ketat.
MUI khawatir, penerapan hukum syar’i itu tidak memenuhi syarat dan rukun yang berlaku. “Vonis hukuman di internal pondok merupakan solusi terakhir,” katanya sambil menunjuk contoh aturan di PPDU.
Di sana, seorang santri yang melanggar aturan, hukuman awalnya adalah dicukur gundul. Jika masih saja melanggar, maka santri bandel itu akan dihukum dengan menghafal ayat-ayat Alquran. Bila melanggar lagi, santri tersebut akan dikenai skorsing dalam waktu tertentu.
Sanksi terhadap berulangnya pelanggaran tersebut, terlebih yang tergolong berat, santri dikeluarkan dari pesantren. “Dia kami kembalikan kepada orang tuanya. Itu atauran yang kami terapkan di PPDU. Kami tidak menerapkan Syariat Islam seperti hukum cambuk dan sejenisnya,” kata Cholil.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, KH Solahudin Wahid (Gus Solah) juga angkat bicara. Menurutnya, hukum cambuk untuk santri di pesantren yang melakukan pelanggaran sungguh sangat tidak manusiawi. Sebab untuk menimbulkan efek jera dan bersifat mendidik, masih banyak hukuman lain ketimbang memukulkan rotan ke tubuh santri.
“Selain kaget, ya saya prihatin atas terjadinya hukuman cambuk,” ujar Gus Solah yang juga mantan Wakil Ketua Komnas HAM. “Saya memang belum melihat video dimaksud, tetapi sekali lagi, hukuman cambuk sangat tidak manusiawi. Di Tebuireng ada ribuah santri, tapi tidak ada kebijakan yang menghukum santri dengan kekerasan, baik fisik maupun mental.”
Ponpes Tebuireng dikelola dengan metode yang bersifat mendidik, ujarnya. Jika memang pihak pesantren tidak sanggup atau santri sudah kelewat batas melakukan pelanggaran, maka solusinya dikeluarkan dari pesantren.
Hukuman fisik yang tergolong berat, tidak bisa diberlakukan kepada siapapun apalagi terhadap para siswa dengan dalih apapun. Selain tidak mendidik, semua orang memiliki hak azasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Pelanggaran atas HAM – dalam wujud praktek kekerasan – hukum urusannya. (T/R01/P3)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook