HUKUMAN ATAS DASAR SUKARELA SANTRI
M.Rakib
Muballigh IKMI Riau Indonesia. 2014
Hukuman
atas dasar, sukarela,
Jangan
melanggar, hak asasi mausia
Kesepakatan,
betapapun hebatnya,
Jangan
melanggar, ketentuan Allah.
Reaksi masyarakat beragam – meski
semuanya bernada menentang – ketika sebuah video berisi rekaman kekerasan
terhadap tiga orang santri, beredar di Jombang. Diduga, peristiwa tersebut
terjadi di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Rekaman video tersebut menggambarkan
tiga santri diikat di pohon dengan mata tertutup. Kemudian beberapa orang yang
lebih senior memukuli santri tersebut dengan rotan secara bergiliran. Setiap
santri yang diikat di pohon tersebut mendapat total 35 kali pukulan. Ironisnya,
tindakan tak lazim itu dilakukan di depan puluhan santri lainnya.
Rekaman video tersebut menyebar dari
telepon selular ke ponsel milik warga sejak sekitar akhir pekan lalu. Bahkan
beberapa anggota Komisi D DPRD Jombang juga sudah mendapat video tersebut.
Ketua Komisi, Mulyani Puspita Dewi menyebutkan, hasil penelusuran yang
dilakukannya pihaknya, menduga lokasi pesantren tersebut di Jombang.
Terkait isi rekaman video, Dewi
menyatakan sangat menyayangkan terjadinya tindak kekerasan terhadap santri yang
diduga melakukan pelanggaran aturan internal tersebut. “Kekerasan itu tidak
baik. Jika pemukulan itu merupakan hukuman untuk menimbulkan efek jera, bisa
dalam bentuk lain, misalnya mengepel lantai.”
Dia mengaku sudah berkoordinasi
dengan Polres Jombang untuk menindaklanjuti kasus ini dan berharap diusut
tuntas. “Pengakuan pihak pondok, video itu rekaman 2010. Tapi bagi Komisi D,
rekaman tahun 2010 atau 2014, tetap harus diusut, karena ada faktanya. Saya
juga minta apakah pesantren tersebut sudah ada legitimasinya secara formal atau
belum.”
Tiga orang santri dicambuk
Dalam video berdurasi 5 menit 21
detik itu tampak sejumlah orang yang diduga pengurus pondok pesantren mengikat
tiga orang santri di sebuah pohon dengan kondisi mata ditutup.
Salah seorang berpeci berbicara di
depan puluhan santri, memerintahkan beberapa santri mencambuki tiga santri yang
terikat tersebut dengan menggunakan dua batang rotan. Satu per satu dari
beberapa santri mendekati ketiga santri yang terikat di pohon.
Sambil mengucapkan kalimat
‘bismillahi Allah Akbar’, mereka dengan semangat memukulkan dua batang rotan
itu ke punggung tiga santri yang terikat. Masing-masing santri mengayunkan lima
kali pukulan. ‘Prosesi’ baru dihentikan ketika masing-masing santri yang
terikat di pohon itu sudah dicambuk 35 kali.
Kepolisian Jombang langsung
menyelidiki identitas ponpes – Al-Urwatul Wutsqo yang lebih dikenal dengan
PPUW, di Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, sekitar 15 kilometer arah selatan Kota
Jombang – yang menerapkan hukuman cambuk tersebut.
Peristiwa terjadi tahun 2010
Kapolres Jombang AKBP Ahmad Yusep
Gunawan mendatangi lokasi pondok dan menemui Pengasuh PPUW, KH Mohammad Qoyim,
Senin (8/12). Usai pertemuan dia mengungkapkan, dari pengakuan pihak pondok,
peristiwa hukuman cambuk kepada tiga santri yang terekam dalam video tersebut
terjadi tahun 2010.
Menurut Qoyim, aturan hukuman cambuk
bagi santri yang melanggar sudah berlaku di ponpes itu sejak pesantren ini
berdiri, tahun 1990. “Dari penyelidikan kami sendiri, video diunggah di sebuah
blog. Pengunggahnya, Agus mengaku menemukan video tersebut dari memory card
ponsel telepon seluler,” kata Kapolres sambil menambahkan bahwa dia belum
memastikan kelanjutan kasus ini bisa diangkat ke ranah pidana atau tidak.
“Kepolisian memerlukan dua alat
bukti. Termasuk menguji keakuratan atau validitas video tersebut ke ahli
teknologi informasi komputer,” katanya.
Salah satu korban pencambukan, sudah
teridentifikasi namun dia sudah lulus dan berada di Sidoarjo, sehingga belum
bisa dioeriksa. Demikian juga pelaku, belum bisa diperiksa sepanjang belum ada
kepastian tentang keaslian video yang menghebohkan tersebut. “Polisi tetap
terus melakukan penyelidikan untuk memastikan ada-tidaknya unsur pidana pada
peristiwa tersebut.”
Komnas HAM prihatin
Kasus hukuman cambuk terhadap santri
di ponpes itu memunculkan keprihatinan Komnas HAM. “Kami mendorong Polri untuk
menyelidiki praktek hukum cambuk di salah satu ponpes di Jombang itu secara
profesional,” kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution.
Dia menilai, penerapan hukuman
cambuk terhadap santri dalam konteks pendidikan tidak tepat. “Ada baiknya
dilakukan evaluasi terhadap pola pengasuhan siswa di lingkungan sekolah,
madrasah atau pesantren sehingga lebih humanis, berkeadilan dan berkeadaban,”
ujarnya.
Maneger juga mendesak kementerian
agama agar mengharmonisasi regulasi kesiswaan di sarana pendidikan yang ada di
lingkungan Kemenag agar lebih bermartabat.
Pengasuh pondok pesantren Urwatul
Wustqo, KH M Qoyim Ya’kub (kiri).
(Foto: Antara Jatim)
(Foto: Antara Jatim)
Ada cara lebih manusiawi
Pengasuh Pondok Pesantren Urwatul
Wustqo di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, KH M Qoyim Ya’kub mengakui bahwa video
hukuman cambuk yang beredar luas di masyarakat terjadi di pondok pesantren
tersebut. Tetapi hukuman itu dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa paksaan,
saat ada seorang santri yang melanggar tata tertib pesantren atau perintah
agama.
Kiayi itu mengatakan, hukuman cambuk
merupakan syariat Islam yang termaktub dalam tata tertib Ponpes. Pondok
menjatuhkan hukuman itu karena ketiga santri tersebut mengonsumsi minuman
keras.
Di pondok pesantren yang dipimpinnya
ada berbagai macam bentuk hukuman bagi santri yang melanggar tata tertib
pesantren. Jika pelanggarannya bersifat ringan, santri akan ditawari menjalani
hukuman ringan seperti puasa atau beristigfar.
Saat ini, Ponpes Urwatul Wutsqo
dihuni sekitar 880 santri, sebagian besar berasal dari Nusa Tenggaran Timur
(NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ponpes ini memilik lembaga pendidikan
mulai dari PAUD, TK, Madrasah Ibtida’iyah (MI) sampai Sekolah Tinggi Ilmu
Tarbiyah (STIT) Al Urwatul Wutsqo.
Jika pelanggarannya berat seperti
berzina atau meminum minuman keras santri akan ditawari menjalani hukuman
dikeluarkan dari pondok atau bertaubat, katanya. “Jika santri memilih
bertaubat, maka sesuai Syariat Islam mereka harus dicambuk 35 hingga 100 kali.
Atas hukuman itu, kebanyakan santrinya memilih bertaubat atau dicambuk.
Tak hanya terhadap santrinya, kata
Qoyim, ponpes juga menerapkan hal serupa kepada masyarakat umum yang ingin
bertaubat sesuai Syariat Islam. “Pernah ada juga warga yang menjalani hukuman
cambuk berasal dari luar pesantren atas keinginannya sendiri.”
Terkait hukuman cambuk tersebut, MUI
Jombang meminta segala bentuk kekerasan terhadap santri di ponpes di Jombang
dihentikan sebab menurut KH Cholil Dahlan, penerapan hukum syar’i di lingkungan
pesantren justru akan berdampak negatif terhadap anak didik.
Dia juga mendukung sepenuhnya
penuntasan penyelidikan kasus yang meresahkan masyarakat tersebut. Pengasuh
Ponpes Darul Ulum (PPDU) Jombang ini berpendapat, pesantren sebagai tempat
pendidikan nilai-nilai Islam tidak serta merta harus menerapkan hukuman fisik
kepada anak didik. Apalagi, proses pemberian vonis hukum syar’i sebenarnya
sangat ketat.
MUI khawatir, penerapan hukum syar’i
itu tidak memenuhi syarat dan rukun yang berlaku. “Vonis hukuman di internal
pondok merupakan solusi terakhir,” katanya sambil menunjuk contoh aturan di
PPDU.
Di sana, seorang santri yang
melanggar aturan, hukuman awalnya adalah dicukur gundul. Jika masih saja
melanggar, maka santri bandel itu akan dihukum dengan menghafal ayat-ayat
Alquran. Bila melanggar lagi, santri tersebut akan dikenai skorsing dalam waktu
tertentu.
Sanksi terhadap berulangnya
pelanggaran tersebut, terlebih yang tergolong berat, santri dikeluarkan dari
pesantren. “Dia kami kembalikan kepada orang tuanya. Itu atauran yang kami
terapkan di PPDU. Kami tidak menerapkan Syariat Islam seperti hukum cambuk dan
sejenisnya,” kata Cholil.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang,
KH Solahudin Wahid (Gus Solah) juga angkat bicara. Menurutnya, hukum cambuk
untuk santri di pesantren yang melakukan pelanggaran sungguh sangat tidak
manusiawi. Sebab untuk menimbulkan efek jera dan bersifat mendidik, masih
banyak hukuman lain ketimbang memukulkan rotan ke tubuh santri.
“Selain kaget, ya saya prihatin atas
terjadinya hukuman cambuk,” ujar Gus Solah yang juga mantan Wakil Ketua Komnas
HAM. “Saya memang belum melihat video dimaksud, tetapi sekali lagi, hukuman
cambuk sangat tidak manusiawi. Di Tebuireng ada ribuah santri, tapi tidak ada
kebijakan yang menghukum santri dengan kekerasan, baik fisik maupun mental.”
Ponpes Tebuireng dikelola dengan
metode yang bersifat mendidik, ujarnya. Jika memang pihak pesantren tidak
sanggup atau santri sudah kelewat batas melakukan pelanggaran, maka solusinya
dikeluarkan dari pesantren.
Hukuman fisik yang tergolong berat,
tidak bisa diberlakukan kepada siapapun apalagi terhadap para siswa dengan
dalih apapun. Selain tidak mendidik, semua orang memiliki hak azasi manusia
yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Pelanggaran atas HAM – dalam wujud
praktek kekerasan – hukum urusannya. (T/R01/P3)
No comments:
Post a Comment