Friday, February 20, 2015

RASIONALITAS SEORANG PEREMPUAN




RASIONALITAS SEORANG PEREMPUAN


M.Rakib  Muballigh IKMI  Pekanbaru Riau Inonesia


         Bagaimana kebebasan berfikir, rasionalitas seorang perempuan?..Cerita ini berawal ketika 2009 lalu seorang prerempuan mengaku, katanya aku diperkenalkan oleh suamiku tentang facebook. Saat itu, aku yang hanya bekerja di dalam rumah seakan mendapat hiburan baru. Suamiku pun senang karena melihat diriku tidak bosan menjaga anak di rumah. Sebulan mengenal facebook, aku menilai tak ada yang istimewa pada jaringan sosial ini. Namun, setelah mengenal chat (ngobrol), aku mulai menikmatinya. Apalagi banyak yang ingin berkenalan denganku.

        Baik itu laki-laki, maupun ibu-ibu. Wajahku memang ayu. Kulitku putih bersih. Saat ini usiaku sekitar 34 tahun. Aku memasang foto profil yang cukup menarik di facebook. Mungkin ini yang membuat banyak orang yang tertarik untuk berkenalan lebih jauh denganku.

       Dari sekian banyak lelaki yang menyapa aku di facebook, ada beberapa lelaki yang mengaku tertarik kepadaku. Walaupun saat itu aku mengatakan bahwa aku sudah punya anak dan suami. Sehingga, mereka tidak pantas untuk menyukaiku.

        Awalnya aku bertekad untuk tidak tergoda dengan bujuk rayu sejumlah lelaki di facebook. Namun, setelah aku mengenal Salam (samaran), semuanya berubah. Salam adalah salah satu pejabat di perusahaan BUMN di Sulsel. Salam betul-betul mampu menggoyahkan imanku. Bahasanya yang santun, dan caranya ia memerhatikanku di facebook telah membuat hati ini luluh. Itulah batasan berfikir prempuan.

    
Pergolakan Pemikiran Islam dalam Ruang Gagasan

         Bukan hanya perempuan yang berfikir dengan perasaan, bahkan laki-laki juga bisa demikian, misalnya seorang yang bernama Ahmad Wahib yang selalu mereproduksi gagasanya dalam ruang-ruang terbatas yang cukup intim, bukan pada khalayak luas. Limited Group yang dibentuknya beranggotakan Dawam Rahardjo, Djohan effendi, dan dimentori oleh Mukti Ali.
Ahamad Wahib dkk, sebaiknya membaca kisah ini: Dalam kitab Manaqib diceritakan  saat  al-Syeik ‘Abd al-Qadir al-Jailani tenggelam dalam mujahadahnya kepada Tuhan, tiba-tiba muncul sinar cemerlang yang memenuhi cakrawala penglihatan. Sinar tersebut berkata: “Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Tuhanmu, setelah beribadah selama puluhan tahun, maka amalmu sangat banyak sehingga memehuni antara Timur dan Barat, menyesakkan antara bumi dan langit,  dan memberatkan timbangan mizan di akhirat. Oleh karenanya, mulai sekarang ini, Aku cukupkan ibadah kepadamu. Kamu tidak perlu beribadah lagi kepadaku, karena telah cukup amalmu”
Dalam Manaqibnya lagi-lagi diceritakan  saat  al-Syeik ‘Abd al-Qadir al-Jailani tenggelam dalam mujahadahnya kepada Tuhan, tiba-tiba muncul sinar cemerlang yang memenuhi cakrawala penglihatan. Sinar tersebut berkata: “Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Tuhanmu, setelah beribadah selama puluhan tahun, maka amalmu sangat banyak sehingga memehuni antara Timur dan Barat, menyesakan antara bumi dan langit,  dan memberatkan timbangan mizan di akhirat. Oleh karenanya, mulai sekarang ini, Aku cukupkan ibadah kepadamu. Kamu tidak perlu beribadah lagi kepadaku, karena telah cukup amalmu”.
Mendengar perintah sinar yang mengaku Tuhan seperti itu, Abd al-Qadir berfikir sejenak, benarkah ini wahyu Tuhan khusus kepadaku, benarkah Tuhan memberiku keistimewaan untuk tidak menjalankan perintahNya? Abd al-Qadir sempat ragu, antara meyakini suara Agung nan cemerlang tersebut atau menolaknya. Hatinya yang sedang dilingkupi keterharuan, kegembiraan karena “bertemu” Tuhan merasa menerima suara tersebut. Akan tetapi akal rasionya tidak menerimanya, mana mungkin Tuhan mencabut perintahNya untuk beribadah, mana mungkin ia mendapatkan keistimewaan sudah cukup dalam beribadah, sementara Muhammad Sang Nabi sendiri masih tetap diperintahkan beribadah hingga akhir hayat?  Dalam kebimbangan tersebut, Abd al-Qadir memutuskan untuk memilih akalnya, ia segera ambil terompahnya dan dilemparkan pada sinar agung yang bergulung tersebut; “Pergi, engkau adalah syetan bukan Tuhan, Tuhan tidak mungkin membatalkan firmannya”. Seketika itu juga, sinar putih keperakan tersebut hilang, diiringi dengan suara yang menggema; “ Wahai Abd al-Qadir, engkau selamat dari godaannku, ketauhilah, sudah ribuan salik yang berhasil aku sesatkan dengan cara seperti ini. Engkau selamat karena menggunakan akalmu, sedangkan para salik yang geblinger tersebut karena mereka mengabaikan akalnya”.
Cerita tersebut memberikan pelajaran berharga bahwa akal memainkan peran yang sangat signifikan dalam memutuskan sesuatu. Akal mampu menunjukkan kebenaran, dan mencerahkan hati di saat hati diliputi oleh kebimbangan dan keraguan. Bukankah dalam teologi  Mu’tazilah tentang konsep tahsin dan taqbih  akal memiliki kemampuan dasyat sehingga dapat menentukan baik dan buruknya sesuatu? Dalam cerita Abdul Qadir tersebut, akal berfungsi sebagai hidayah Tuhan yang menyelamatkan Abdul Qadir dari tipu daya syetan. Sedemikian pentingnya fungsi akal dalam beragama, sampai Nabi pernah mengatakan dalam sabdanya; al-din aql, la dina liman la aqla lah  (Agama adalah manifestasi akal, maka tidak dianggap beragama bagi orang yang tidak berakal).  
Namun demikian, meskipun akal mampu menyelamatkan manusia dari kejahatan syetan, mampu “mewakili” Tuhan sebagai petunjuk bagi manusia dalam memilah antara kebaikan dan keburukan, ia tidak lantas sempurna tanpa kekurangan, sebab jika sempurna tanpa cacat, maka cukuplah Tuhan menurunkan akal sebagai pengganti Nabi dan syariat, sehingga yang ada adalah “agama aqliyyah” dan “Nabi Aqil”.  Ada sesuatu yang meta-rasional yang terkadang akal tidak mampu menjangkaunya. Terlebih dari itu, seseorang yang berfikir rasionalis murni terkadang terjebak dengan subyektivisme dan apriori. Dalam kontek inilah, maka menjadi benar kritik Imanuel Kant terhadap otentisitas akal murni (pure reason) dalam kemampuannya menentukan suatu etika (baik dan buruk). Menurut Kant, akal murni (pure reason) terlalu subyektif untuk menentukan baik buruk suatu perbuatan (etika), sehingga kepentingan menjadi ikut tercampur di sana. Terlebih lagi, ada suatu hukum dunia “Noumenal” yang tidak mampu ditembus oleh akal murni. Selanjutnya Kant mengusulkan bukan menggunakan akal murni (pure reasion) tetapi menggunakan akal transcendental, yang dalam bahasa santrinya adalah “akal ilahiyah” atau “rasio ladunni” atau “burhani-irfani”.
Berkaitan dengan hidayah Tuhan dalam memilih dan memilah putusan, maka Ibn Katrir membagi hidayah menjadi lima, yaitu pertama, hidayah naluri, yaitu petunjuka tuhan yang diberikan pada manusia dan binatang, seperti rasa lapar, sakit kalo dipukul, haus dan sebagainya. Hidayah ini menempati hidayah paling bawah. Kedua, hidayah hawassi, yaitu petunjuka Tuhan melalui pancaindera, seperti kemampuan melihat, mendengar, membau, dan mengecap. Indera ini diberikan kepada hewan dan manusia. Dengan hidayah hawassi ini manusia mampu melahirkan ilmu-ilmu empirik. Ketiga, hidayah akal, yaitu petunjuk tuhan yang diberikan kepada manusia melalui perantara akal. Akal hanya dberikan kepada manusia, tidak kepada hewan. Dalam istilah filsafat, maka ilmu-ilmu yang dilahirkan adalah bersifat rasional dan dalam istilah epetimologi Islam disebut dengan burhani. Keempat, hidayah ilham, yaitu petunjuka Tuhan yang diberikan kepada manusia dengan melalui perantara ilham atau kebeningan hati, yang dalam istilah epistemology filsafat Islam dengan irfani. Kelima, hidayah taufiq, yaitu petunjuka Tuhan paling besar untuk menggerakan hati hambaNya untuk memeluk Islam. Hidayah yang kelima ini merupakan petunjuk Tuhan  terbesar, yang langsung masuk dalam relung hati seseorang guna mengucapkan kalimah syahadah.
Berdasarkan beberapa macam petunjuk Tuhan tersebut, maka disamping pentingnya akal dalam menemukan suatu kebenaran, juga diperlukan ilham yang didapatkan melalui kebeningan hati. Artinya, ketajaman akal harus diimbangi dengan kecerdasan hati dalam menentukan sesuatu. Keduanya harus terus berdialog, tanpa putus, dan selalu dalam hidup ini. Hal ini karena jika salah satunya berhenti berdialog atau tidak berfungsi, maka yang terjadi adalah ketersesatan hati, dan keblingeran akal. Dalam epistemology Islam yang digagas oleh al-Jabiri, maka semangat burhani yang rasional harus dikawinkan dengan semangat irfani yang suci. Jika keduanya, yaitu akal dan hati dapat digabungkan, maka akan lahirlah Sang Syuhrawardi dan Ibn Arabi kontemporer dalam dunia ini, yaitu seseorang yang berfikir rasional, menjadi filosof, namun juga seorang sufi, yang menciptakan kebeningan hati, seseorang yang pikirannya seluas cakrawala, dan hatinya sejembar samudra, fikirannya mampu mengembara sampai bintang tsurayya, dan hatinya tertancap di bumi menggenggam mutiara.  
          Nah jenis pemikiran sufi Abdul Kadir Jailani itulah yang tidak dimiliki oleh Ahmad Wahib dkk. Reproduksi gagasan yang sangat intim dilakukannya dalam kelompok ini, di lain sisi seringkali Wahib menantang pemikiran-pemikiranya dalam forum-forum pelatihan kader di HMI. Sosoknya sebagai konseptor dan pengkader berhasil menerjemahkan prinsip-prinsip dalam lingkaran kultur dan tradisi organisasi yang digelutinya. Namun, kegelisahanya sebagai pribadi memang sangat sulit dipahami secara utuh tanpa melihat konteks dimana ia hidup.
Wahib sempat hidup bersama orang Kristen, khususnya  para Romo Katolik di asrama realino. Dia sangat banyak menyerap gagasan moralis kalangan Gereja Katolik yang berusaha membangunkan agama sebagai landasan moral publik. Namun, kedirian wahib sebagai seorang muslim, dan aktivis HMI mengidentikan dia dengan keseluruhan pilihan sikap HMI dalam kehidupan publik. Hal ini baginya agak sulit diterima, ia menyadari banyak perbedaan signifikan antara apa yang ia resahkan dengan praksis pilihan-pilihan sikap kawan-kawanya, baik dalam politik maupun dalam praksis pemahaman beragama. Tidak jelas, apa yang mendasari sosok wahib bergulat habis-habisan dengan hal ini, namun ada yang tersimpan bahwa ia memang tidak puas dengan kondisi aktual saat itu.
Dalam memahami wahib sangat penting untuk dilihat apa, dimana dan kapan pemikiranya ditelurkan. Wahib bukanlah pemikir yang telah selesai, ia benar-benar orang yang resah dalam mencari hakikat hidupnya sebagai hamba Allah dalam menempatkan diri dengan berbagai perubahan realitas yang begitu cepat. Periode dekade 60-70-an. Pada periode ini pergolakan sosial dan politik yang sangat dramatis terjadi akibat G 30 S.[2] Panasnya konflik ideologi menjadikan islam sebagai salah satu alat untuk menghabisi ideologi lain, termasuk jadi legitimasi untuk membenarkan pembunuhan pada mereka yang tak bedosa atasnama agama. Keresahan ini menyelimuti pola pikir wahib untuk membangun satu konsepsi islam yang butuh diterjemahkan ulang secara individual agar setiap individu menemukan makna atas keberislamanya secara otentik bukan semata-mata tafsir atau dogma dari orang-orang disekitarnya. [3]
Pemikiran wahib dalam buku Pergolakan pemikiran islam, bukanlah satu rangkaian utuh yang terstruktur, wahib menuliskanya dalam lembar-lembar catatan harian, jelas siapapun tahu catatan harian bukan konsumsi publik, bahkan sesuatu yang sangat intim bagi manusia dan lingkaran terdekatnya. Walaupun ada beberapa tulisan dan argumentasi yang tajam, tapi ini memiliki ruang personalitas yang tinggi. Keresahan ini jelas berbeda dengan kaum liberal proyekan yang menuangkan kekonyolan-kekonyolan diruang publik dan belum tentu ia mengamini apa yang diucap atau dituliskanya.
Wahib bukan sosok intelektual yang genit, tapi ia berusaha menerjemahkan apapun yang bebal dalam dirinya untuk dirinya pula. Sayangnya, ia meninggal di usia yang terlalu muda dan pada masa pencarianya yang belum pernah usai, mungkin akan berbeda ketika ia meninggal di era tuanya, jelas konsistensinya sebagai pemikir yang rasionalitis, skeptis dan kritis akan bisa dikoreksi apakah ia akan tetap bergulat dengan pemikiran demikian ditengah proyek-proyek atau ia mengartikulasikan keresahan justru pada pendirian liberalismenya sendiri. Bahkan dalam beberapa tulisan wahib menunjukan ketawaduanya dan sekaligus keraguan atas jalan pikirnya untuk menemukan kebenaran dengan mengatakan[4] :



Sekilas Pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib
Sebenarnya sulit untuk meringkas pemikiran wahib yang terkandung dalam buku catatan harianya. Hal ini dikarenakan kompleksitas isi buku tersebut dan kesingkatanya serta tidak ada penjelasan apa yang terjadi saat itu dan sebagai respon atas apa wahib kemudian menuliskan setiap jengkal kalimatnya. Beberapa bisa tertangkap dengan jelas sebagai ungkapan kekecewaan maupun sebagai ungkapan keresahan, namun banyak yang tidak bisa terlacak.
Secara umum pemikiran wahib cenderung identik dengan refleksi kritisnya atas segala kondisi yang dianggapnya tidak ideal. Wahib menginginkan satu rumusan ulang tentang agama yang tidak mewujud dalam dogmatisme, melainkan hidup sebagai kesadaran otentik. Pemikiran semacam ini nampaknya bukanlah sebuah pemikiran yang mudah untuk dicerna publik, melainkan suatu gagasan emosional pribadi yang kemudian lahir dari sebuah latar kecenderungan untuk menginginkan sebuah pembaharuan total menuju puncak idealitas.
Wahib menolak pula segala bentuk nostalgia dengan menempatkan sejarah hidup Nabi Muhammad saw, sebagai hasil final peradaban islam. Hal ini sering disebut wahib sebatas bentuk sikap apologetic islam untuk menutupi kegagalanya. Bagi wahib, sejarah memiliki dimensi proses yang tak pernah final, sehingga perlu kritik terhadap apa-apa yang telah final. Walaupun begitu, wahib cukup sering menjadikan refleksi sejarah Rasul sebagai bentuk interpretasi atas Al Quran dan Shunah.[5]  Bai wahib, islam harus menempati sebatas konsep sumber keluhuran moral dan perlu diterjemahkan kembali dalam praksis kehidupan.[6] Sebagaimana disebut wahin pada hal 115 “insane medeka”
Dalam catatan harian yang dibukukan ini, wahib juga banyak berbicara tentang budaya dan politik namun dua tema itu tidak lebih sekedar curahan gagasanya yang tidak terlalu mencolok. Wahib hanya menekankan perlunya pluralitas dan kemajuan. Hal ini identik dengan ideologi modernisme yang sedang hangat pada generasi masa awal orde baru. Gagasan wahib tentang budaya lebih sering menyerang budaya-budaya yang dianggapnya melawan kemajuan.
Gagasanya wahib, justru mencolak tentang bagaimana menghidupkan sebuah organisasi dan bagaimana dia menghayati semua proses ilmiah di kampus. Wahib mengajarkan konsistensi dan kekritisan yang mampu menghasilkan dinamisasi yang terus berjalan. Alhasil gagasanya secara tidak sadar terlembagakan dalam banyak proses di HMI. Walaupun, secara politis wahib dikalahkan oleh kubu Nur Cholis Majid yang pada waktu itu dianggap sebagai fundamentalis dan natsirian.
Refleksi terhadap Wahib
Di zaman mudah mengkafirkan orang dan susah mencari sosok yang memiliki integritas serta kepekaan moral, sosok wahib mungkin menjadi sosok yang aneh. Aneh karena ia dengan kekonyolanya menertawakan tuhan sedemikian rupa, dalam arti dia berusaha mencari pemahaman kebenaran tentang tuhan secara otentik. Sebuah proses pencarian yang sangat berharga dan tentunya sangat teramat menyiksa dan melelahkan. Wahib sebagai sesosok pluralis memang mudah disalah pahami sebagai pengkhianat agamanya, namun sebagai seorang yang berusaha memahami realitas kemanusiaan ia merupakan generasi yang berusaha keluar dari pertikaian dan kejumudan yang dipengaruhi realitas sosial politik yang mengatasnamakan agama ataupun ideologi demi syahwat kepentingan. Hal ini nyata-nyata masih eksis di era kini dimana pragmatisasi dan kepentingan menjadi ideologi resmi untuk mengejar kekuasaan, sedangkan islam, nasionalisme, kerakyatan sekadar pemanis untuk menggalang suara.
          Wahib memang bukan panutan, dia sendiri belum selesai menemukan kebenaran yang ia yakininya, ia terjebak dalam penggunaan alat pencarian kebenaran yang tiada batasnya yaitu “akal”. Namun, konsistensi wahib bukanlah persoalan sederhana, yang sulit tergantikan sebagai sebuah proses pencarian kebenaran, Merefleksi wahib sebagai seorang pengembara pemikiran sedianya bukan untuk mencari sisi sesat apalagi mencari sebuah pembenaran atas kerancuan dan kegelisahan kita, melainkan merefleksi pada diri kita seberapa jauh kita telah menyelesaikan soal-soal prinsip pada diri kita, seberapa jauh pula kita menemukan kebenaran dan menyuarakanya, seberapa jauh pula kita selalu bersikap tawadu dan melakukan muhasabah “otokritik” yang tajam pada berbagai kerancuhan diri dan kolektif sebagai sebuah generasi.
          Berkaitan dengan hidayah Tuhan kepada A.Wahib, dalam memilih dan memilah putusan, maka sekedar catatan lihatlah Ibn Katrir yang  membagi hidayah menjadi lima, yaitu pertama, hidayah naluri, yaitu petunjuk tuhan yang diberikan pada manusia dan binatang, seperti rasa lapar, sakit kalo dipukul, haus dan sebagainya. Hidayah ini menempati hidayah paling bawah. Kedua, hidayah hawassi, yaitu petunjuk Tuhan melalui pancaindera, seperti kemampuan melihat, mendengar, membau, dan mengecap. Indera ini diberikan kepada hewan dan manusia. Dengan hidayah hawassi ini manusia mampu melahirkan ilmu-ilmu empirik. Ketiga, hidayah akal, yaitu petunjuk tuhan yang diberikan kepada manusia melalui perantara akal. Akal hanya dberikan kepada manusia, tidak kepada hewan. Dalam istilah filsafat, maka ilmu-ilmu yang dilahirkan adalah bersifat rasional dan dalam istilah epetimologi Islam disebut dengan burhani. Keempat, hidayah ilham, yaitu petunjuka Tuhan yang diberikan kepada manusia dengan melalui perantara ilham atau kebeningan hati, yang dalam istilah epistemology filsafat Islam dengan irfani. Kelima, hidayah taufiq, yaitu petunjuk Tuhan paling besar untuk menggerakkan hati hambaNya untuk memeluk Islam. Hidayah yang kelima ini merupakan petunjuk Tuhan  terbesar, yang langsung masuk dalam relung hati seseorang guna mengucapkan kalimah syahadah.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook