Stigma Negatif yang Patut Diluruskan
oleh M.Rakib Muballigh IKMI Pekanbaru Riau. 2015
Stigma itu, artinya tanda-tanda
Baik tersembunyi, maupun nyata.
Di bidang yang gaib,maupun nyata
Semuanya' dapat dibaca
Kata
"stigma" juga dipergunakan dalam istilah "stigma sosial",
yaitu tanda bahwa seseorang dianggap ternoda dan karenanya mempunyai watak yang
tercela, misalnya seorang bekas narapidana yang dianggap tidak layak
dipercayai dan dihormati. Akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang
nikah siri, yang sebenarnya bagus, ada bagusnya tapi menurut orang luar non
agamis, ada stigma negatif terhadap hukum Islam. Pasalnya, pemerintah telah
mempersiapkan Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang
Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami dan kawin kontrak . Dalam RUU
tersebut, nikah siri dianggap ilegal sehingga pasangan yang menjalani
pernikahan model itu akan dipidanakan, diantaranya adalah kurungan maksimal 3
bulan dan denda maksimal Rp 5 juta. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang
mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah
kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya
masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun
penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat
lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.
Oleh
karenanya, Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan di
atas ditolak oleh banyak kalangan, karena akan membawa dampak yang buruk dan
secara tidak langsung akan semakin menyuburkan pelacuran. Bagaimana sebenarnya
pandangan Islam tentang Nikah Siri ?
Siri
secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. ( Ibnu
al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356 )
Kadang
Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual, sebagaimana dalam
firman Allah swt :
وَلَـكِن
لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا
“
Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina ( atau melakukan
hubungan seksual ) dengan mereka “ ( Qs Al Baqarah : 235 )
Sirran
pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti : berzina atau
lakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih Jabir bin Zaid, Hasan Bashri,
Qatadah, AnNakh’i, Ad Dhohak, Imam Syafi’i dan Imam Thobari. ( Tafsir al
Qurtubi : 3/126 ) . Pendapat ini dikuatkan dengan salah satu syi’ir yang
disebutkan oleh Imru al Qais :
ألا
زعمت بسباسة اليوم أنني كبرت و لا أحسن السر أمثالى
“
Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang sepertiku ini tidak
bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik. “
Nikah
Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga pengertian :
Pengertian
Pertama : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi –sembunyi
tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam
Syafi’I di dalam kitab Al Umm 5/ 23,
أخبرنا
مَالِكٌ عن أبي الزُّبَيْرِ قال أتى عُمَرُ بِنِكَاحٍ لم يَشْهَدْ عليه إلَّا
رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هذا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْت
تَقَدَّمْت فيه لَرَجَمْت
“
Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang
pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka beliau berkata : “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak
membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam ( pelakunya )
“
Atsar
di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :
أن
النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح السر
“
Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri “ ( HR at Tabrani di dalam al
Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah
disinggung oleh para ulama, adapaun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat (
terpecaya ) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid ( 4/ 62 )
hadist 8057 )
Pernikahan
Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.
Pengertian
Kedua : Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang
saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak
ramai.
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini :
Pendapat
Pertama : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini
pendapat mayoritas ulama, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi,
Nafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad ( Ibnu Qudamah, al
Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435 ) . Dalilnya
adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل
“
Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil “
( HR Daruqutni dan al Baihaqi ) Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di
dalam ( al-Muhalla : 9/465)
Hadits
di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua
orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak
ramai.
Selain
itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (
akad timbal balik yang saling menguntungkan ), maka tidak ada syarat untuk
diumumkan, sebagaimana akad jual beli.
Begitu
juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya
dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam
syarat-syarat pernikahan.
Adapun
perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran
dan bukan suatu kewajiban.
Pendapat
Kedua : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini
dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah ( Ibnu
Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad
al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95 ) . Bahkan ulama
Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau
membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had
kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual.
Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk
merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. ( Al Qarrafi, Ad
Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al
Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401) Mereka berdalil dengan apa yang
diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda :
فَصْل
بَيْنَ الحلالِ والحرامِ الدفُّ والصوت
“Pembeda
antara yang halal ( pernikahan ) dan yang haram ( perzinaan )
adalah gendang rebana dan suara “ ( HR an Nasai dan al Hakim dan beliau
menshohihkannya serta dihasankan yang lain )
Diriwayatkan
dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
أعلنوا
النكاح، واجعلوه في المساجد، واضرِبُوا عليه بالدُّفِّ
“
Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk
mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi berkata :
Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.
Pengertian Ketiga : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA .
Kenapa
sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk ini ? Apa yang mendorong
mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke lembaga pencatatan resmi
? Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, diantaranya adalah :
- Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.
- Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.
- Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatife tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.
- Faktor – faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya.
Bagaimana
Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini ?
Pertama
: Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun
pernikahan sudah terpenuhi.
Kedua
: Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU
Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sangsi hukum.
Pertanyaannya
adalah kenapa Negara memberikan sangsi kepada para pelaku nikah siri dalam
katagori ketiga ini ? Apakah syarat sah pernikahan harus dicatatkan kepada
lembaga pencatatan ? Bagaimana status lembaga pencatatan pernikahan dalam
kaca mata Syari’at ?
Kalau
kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak ditemukan
riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang yang menikah
dan belum melaporkan kepada Negara. Hal itu, mungkin saja belum ada lembaga
pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah pernikahan, karena
dianggap belum diperlukan. Dan memang pernikahan bukanlah urusan Negara tetapi
merupakan hak setiap individu, serta merupakan sunah Rasulullah saw.
Namun,
beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin komplek,
maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antar individu di dalam
masyarakat. Maka, secara umum Negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah
kepada maslahat umum, dan Negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang
yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi :
تصرف
الراعي منوط بمصلحة الرعية
“
Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat “ ( As Suyuti,
al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama,
hlm : 121 )
Maka,
dalam ini, pada dasarnya Negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap
orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal
itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai
mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya
kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita
dan anak-anak menjadi korban utamanya.
Oleh
karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi
hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara
umum, maka mestinya Negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan
tersebut, diantaranya adalah mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
- Memberikan keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu, bukan malah memintah bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor.
- Membuka pelayanan pada hari-hari dimana banyak diselenggarakan acara pernikahan.
- Tidak mempersulit orang-orang yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap anak dan istri mereka.
Tetapi
jika ada tujuan – tujuan lain yang tersembunyi dan tidak diungkap, maka
tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika terdapat
indikasi-indikasi yang mengarah kepada pelarangan orang yang ingin menikah
lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil, jika keadaannya
demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah kepada hal-hal
yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta telah
mengumumkan perang tehadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung memberikan
jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak di negri
Indonesia ini. Wallahu A’lam.
Mungkin akan menjadi lain reaksinya ketika
kita mendengar kata “gila”. Meski kata itu tidak selalu menjadi horror dan
menyeramkan, namun akan menjadi berbeda jika kita menghadapinya sendiri, baik
terhadap orang terdekat kita maupun orang lain. Hal itu terjadi karena “gila”
merupakan abnormalitas atau hal yang tidak biasa terjadi dan berbeda dengan
yang lain.
Manusia, sejak ribuan tahun lalu sudah mengenal dengan yang namanya kelainan jiwa. Hanya saja, anggapan mereka tentang hal ini berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa mereka yang mengalami kelainan jiwa merupakan sebuah musibah dan aib yang harus dimusnahkan, ada juga yang beranggapan bahwa mereka tengah dikuasai oleh roh-roh jahat atau kekuatan supranatural. Namun pada kenyataannya abnormalitas atau kelainan jiwa sudah ada sejak zaman sebelum masehi.
Manusia, sejak ribuan tahun lalu sudah mengenal dengan yang namanya kelainan jiwa. Hanya saja, anggapan mereka tentang hal ini berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa mereka yang mengalami kelainan jiwa merupakan sebuah musibah dan aib yang harus dimusnahkan, ada juga yang beranggapan bahwa mereka tengah dikuasai oleh roh-roh jahat atau kekuatan supranatural. Namun pada kenyataannya abnormalitas atau kelainan jiwa sudah ada sejak zaman sebelum masehi.
Hippocrates (tahun 440-377 sebelum Masehi),
dokter terkenal pada Zaman Keemasan Yunani, menentang keyakinan yang telah ada
pada masa sebelumnya dan menyatakan bahwa penyakit pada tubuh dan jiwa
merupakan hasil dari penyebab yang alami, bukan karena adanya penguasaan oleh
roh jahat ataupun kekuatan supranatural. Ia meyakini bahwa kesehatan tubuh dan
jiwa tergantung pada keseimbangan cairan pada tubuh (humors), atau cairan vital
di dalam tubuh: lendir, cairan empedu hitam, darah, dan cairan empedu kuning.
Sementara pada abad pertengahan, sejak 460 sampai 1456 setelah masehi, sesudah kepergian Galen (salah satu dokter pada masanya), keyakinan masyarakat tentang penyebab supranatural, terutama doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat semakin meningkat dan akhirnya mendominasi pemikiran pada zaman pertengahan. Hal ini diyakini bahwa doktrin tentang kekuatan supranatural itu menyatakan abnormalitas terjadi karena dirasuki oleh roh-roh jahat atau iblis. Sebagai pilihan untuk menangani perilaku abnormal yaitu dengan menggunakan metode pengusiran roh jahat (exorcism). Metode-metode ini meliputi pembacaan-pembacaan mantera atau dengan menggunakan salib, memukul dan mencambuk. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, jika seseorang yang mengalami kelainan itu tetap tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan, terdapat pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan alat yang digunakan untuk menyiksa.
Sementara pada abad pertengahan, sejak 460 sampai 1456 setelah masehi, sesudah kepergian Galen (salah satu dokter pada masanya), keyakinan masyarakat tentang penyebab supranatural, terutama doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat semakin meningkat dan akhirnya mendominasi pemikiran pada zaman pertengahan. Hal ini diyakini bahwa doktrin tentang kekuatan supranatural itu menyatakan abnormalitas terjadi karena dirasuki oleh roh-roh jahat atau iblis. Sebagai pilihan untuk menangani perilaku abnormal yaitu dengan menggunakan metode pengusiran roh jahat (exorcism). Metode-metode ini meliputi pembacaan-pembacaan mantera atau dengan menggunakan salib, memukul dan mencambuk. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, jika seseorang yang mengalami kelainan itu tetap tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan, terdapat pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan alat yang digunakan untuk menyiksa.
Zaman-zaman setelahnya juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Pada sekitar abad ke-15 hingga 17, merupakan masa yang paling bahaya bagi penderita atau seseorang yang mengalami kelainan jiwa. Masa ini begitu sulit karena terjadi siksaan besara-besaran pada kaum perempuan terutama karena mereka dianggap memiliki ilmu hitam. Mereka bahkan bertindak begitu kejam dan tidak manusiawi, seperti memakan bayi-bayi dan meracuni hasil panen. Mereka sangat meyakini bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah virus dan harus dimusnahkan agar tidak menular kepada yang lainnya.
Beberapa tahun setelahnya juga sama. Tidak ada penganggulangan dan solusi manusiawi bagi penderita. Mereka kebanyakan diasingkan ke sebuah pulau-pulau atau tempat kosong lain yang jauh dari manusia. Beberapa tahun kemudian, di Eropa muncullah sebuah rumah sakit yang kemudian beralih fungsi menjadi Rumah Sakit Jiwa pertama (asilum) yang menampung para penderita. Hal ini tidak berlangsung efektif karena rumah sakit tersebut lebih tepat disebut sebagai tempat wisata karena banyaknya pengunjung yang melihat dan menjadikan orang-orang gila tersebut sebagai ajang rekreasi. Bahkan dikenahi biaya atau tarif karcis masuk.
Lambat laun kesadaran masyarakat tentang abnormalitas dan kelaina jiwa sudah mulai meningkat. Terbukti dengan banyaknya didirikan rumah sakit-rumah sakit yang khusus menampung orang gila dan yang mengalami gangguan jiwa. Progresi itu berjalan lurus seiring dengan berkembanganya waktu.
Hinggan sekarang, di era modern ini, pandangan masyarakat tentang gangguan jiwa masih berbeda-beda. Tidak banyak yang menganggap bahwa abnormalitas terjadi karena adanya kekuatan supranatural yang tak kasat mata yang sengaja merasukinya. Jika saja ada seseorang yang mengalami gangguang jiwa, maka solusinya mereka akan memanggil dukun, paranormal, atau “orang pintar” untuk mengusir roh jahat yang menempel pada tubuhnya. Atau ada juga yang mendatangi para sesepuh untuk meminta obat meski hanya sekedar dari segelas air. Hal itu tidak salah, tidak ada yang salah dengan keyakinan. Karena adat atau kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat juga berbeda-beda, tergantung bagaimana mereka menyikapinya.
Namun, disamping itu, disamping keyakinan yang sudah melekat kuat, kita juga tidak boleh melupakan satu hal bahwa dunia ilmu pengetahuan telah berkembang pesat, terutama kedokteran. Banyak para psikiater atau psikolog-psikolog yang sudah ahli di dalamnya yang menangani kasus-kasus tersebut. Bahwa, “gila” bukanlah suatu kondisi dimana tubuh seseorang sedang dikuasai oleh roh-roh jahat ataupun iblis. Menurut pengetahuan, gila merupakan abnormalitas dan ganguan kesembuah pada manusia, dan bukan karena roh-roh jahat. Tidak ada yang salah bagi orang gila, dan mereka bukanlah aib, tapi sosok lemah yang membutuhkan pertolongan kita semua. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment