Friday, February 13, 2015

Memahat Tebing Pelac Intelektual....(EMPAT PROFESOR SATU CINTA)



SEJARAH YANG INDAH
NOVEL  CERITA  FIKSI HAYALAN M.RAKIB RIAU INDONESIA

 
EMPAT PROFESOR SATU CINTA
(Memahat Tebing Pelac Intelektual)

Prof. Rafibudi:   Sang Penyair(Sapaan candanya padaku), kau ambil aja si Fia itu, jadi  istrimu.
Penyair           :  Dia tidak mau padaku( aku pura-pura saja menebak, tapi Si Fia senyum saja)
Prof. Rafibudi: Pasti mau, dia  kan sudah berumur 30 tahun, memasuki masa bunga yang hampir layu, seumur begitu bagi wanita mulai memasuki masa rela menerima siapa saja.Tambahan pula orangnya langsing tinggi, dan masih cantik.
Penyair        : Aku mau saja Pak Prof. Rafi, cuma aku takut masalah biaya rumah tangga  yang  kini meninggkat, taambahan pula aku Pegawai Negeri, mau menikah harus mendapatkan surat izin atasan. Tapi yah , tak apa (sambil senyum) biarlah nati akan kucari caranya,,ha,  ha  ha.
Prof. Rafibudi  : Sebenarnya aku juga senang melihat kecantikan si Fia, tapi kalau aku teruskan, pastilah aku tidak akan bisa mendapatkan tandatangan dari istri pertma, ha ha. Kau ajalah yang ngambil, isterimukan, sudah memberikan surat izn? ha ha ha.
           Ruang kuliah program S 2  saat itu terasa agak  sepi, karena lokal yang diberikan kepada sang penyair dan teman-temannya bagian paling belakang, yang dahulunya loka itu dipakai oleh mahasisawa program S1, yang kini sudah pindah ke lokal jauh, 17 kilometer di luar kota. Ruang kelas paling belakang itu lapangan luas sehingga semilir angin dirasakan sang penyair menggulirkan lamunannya. Jurusan filasafat yang didalaminya membuat alam  fikirannya berpindah silih berganti, menuai masa yang telah usang, misteri waktu yang lama sudah tak bercerita padanya. Tiba-tiba sang Penyair, gemar berbicara dalam bahasa puisi model romantika citarasa Melayu daratan Riau Indonesia.
             Sebenarnya  sang penyair jatuh hati kepada si Fia, karena pada catatan hariannya yang sangat rahasia, di dlam laci khusus, ada ungkapannya begini.
                 Fia, senyumanmu memecahkan heningnya malam.
                 Tersentak diriku dari lamunan ini.
                 Ketika bayang bayangmu mulai menerpa sukmaku.
                 Semakin dalam menusuk jiwaku
                 Dan kini kian dalam engkau hadir di kala mataku akan terpejam .
                 Engkaupun menjeputku di kala mataku akan terbuka.

          Hasrat dan ambisi kadang menyala tiba-tiba. Sekarang ini banyak yang ingin berpoligami, seakan orang itu asal ngomong . Memang dapat izin dari isteri tua, sulit untuk berlaku adil dan  mnegakkan keadilan ………………. Tapi sampai dimana keadilan itu tegak, disiplin ……………….. Tapi aturan poligami tidak berdiri  di ruangan masih kosong. Para suami, jangan mementingkan diri sendiri. Tapi sampai dimana ocehan itu. Perlombaan pemuasan nafsu semakin menjadi-jadi. Penyelamatan wanita, anak-anak bahkan rakyat dijadikan boneka keserakahan Yang penting tercapai hasrat dan ambisi orang-orang berani.
.
           Sang penyair merasa aneh sendiri, katanya “Saat ku tutup hati ku untuk cinta lain… Dan dimana hanya ada dirimu di otak ku…” Rindu ku pun berubah bagai syair-syair yang pilu… Saat kau yang slalu aku tunggu tak menoleh ke arah ku…..
Bukan ku terlalu dalam pada rasa… Bukan ku tak ingin lelap dalam dekap… Bukan ku katakan iya untuk layu dan mati… Semua itu bermula dari sini.. Karena katamu menyayat.. Karena tatapmu adalah perisai yang membunuh.. Dan diammu adalah jurang untukku..
Bukan ku terlalu dalam pada rasa… Bukan ku tak ingin lelap dalam dekap… Bukan ku katakan iya untuk layu dan mati… Semua itu bermula dari sini.. Karena katamu menyayat.. Karena tatapmu adalah perisai yang membunuh.. Dan diammu adalah jurang untukku…
         Profesor Pudin, dikenalkan oleh Sang penyair dengan si Fia, karena sang profesor selalu menyembunyikan tangisnya. Beliau menangis, karena isterinya baru saja dioperasi kanker rahim. Tidak mungkin lagi mendapatkan anak. Beliau kini, mencari isteri baru, kalau masih ada yang besedia menjadi isteri kedua, dengan tidak melepaskan isteri pertama. Profesor Pudin selalu menyepi di antara senja nan temaram. Katanya biarlah ku pendam segala rasa ini hingga butir cinta itu menghilang, menapak jejak dan waktu……. Di antara langkah yang membentang rindu biarlah kusimpan dera siksa cinta ini hingga rasa itu melebur, membaur dan terkubur.
         Pada catatan harian Prof.Pudin ada kata-kata "Ku lihat di luar jendela ku, ternyata hujan kembali membasahi bumi Lancang Kuning Riau daratan, tepatnya kota Pekanbaru. Kini katanya, kunikmati indahnya hujan dengan ketenangan ku, AKu teringat semua tentang mu… Saat pertama kali aku bertemu dengan mu Saat aku mengenal mu Saat aku mulai dekat dengan mu Saat aku mulai merindukan mu Sampai aku benar benar mencintaimu.
        Profesor Amar lain lagi, ketika menjadi dosen di S1 pernah didemon oleh mahasiswa 6 tahun sebelumnya, karena diberitakan punya hubungan khusus dengan empat mahasiswi bintang kampus saat itu. Di antara empat mahasiswi itu termasuk si Fiana. Tapi masalah itu ditutup begitu cepat, karena menyangkut aib tersembunyai para intelektual. Memang dalam kuliahnya Prof Amar selalu mengungkapkan kata-kata  "Secepat itukah kau melupakanku.  Secepat itukah kau melupakan semua kenangan yang pernah kita lalui bersama tanpa ada rasa sedih kau meninggalkanku tanpa ada rasa kecewa kau melupakanku dan hari ini engkau ucapkan selamat tinggal pada diriku. Waktu begitu cepat berlalu, karena itu isilah waktumu dengan kegiatan yang berkualitas..."..
         
         Profesor Amar Makruf (Amar) inilah yang selalu mengucapkan kata-kata yang agak vulgar. Beliaulah yang selalu mengucapkan kata-kata "Pelacur PSK itu berbahaya, tapi jauh lebih berbahaya lagi pelacur intelektual. Sang penyair berburuk sangka dengan ucapan itu, seakan-akan beliau membela pelacur PSK yang kadang-kadang menjadi penyebar sipilis dan dan HIV itu.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook