ANALISIS HUKUM
FIKIH DOCTRINAL DAN
NON-DOKTRINAL
M.RAKIB SH.,
M.Ag. Kandidat Doktor..Di Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Dalam hal memukul ANAK
DIDIK, Mazhab Hanafi menganjurkan agar menggunakan alat berupa sepuluh lidiatau
kurang dari itu, atau dengan alat yang tidak sampai melukai. Hal ini
berdasarkan hadis Rasululullah SAW :
Tidak dibenarkan salah seorang kamu memukul dengan dengan pemukul yang
lebih dari sepuluh lidi kecuali untuk melakukan hal yang telah ditetapkan Allah
SWT. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Apabila akibat pemukulan tersebut istri yang nusyuz meninggal dunia,
maka menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat harus diqishas karena yang
bersangkutan mengabaikan syarat pemukulan yaitu harus menjaga keselamatan istri
yang dipukul, kendati sebagai usaha memperbaiki sikapnya, tetapi akan lebih
baik apabila tidak memukulnya.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW :
Dan ketiadaan memukulnya adalah tindakan yang terbaik bagi kamu(suami).
(HR. Al-Baihaki).Tahap keempat sesungguhnya tahap yang diberikan untuk
menyelesaian persoalan syiqaq,namun demikian, apabila tahap pertama, kedua
danketiga tidak berhasil, sementara nusyuz istri sudah menimbulkankemarahan
suami dan menjurus pada syiqaq, maka diperlukan juru damai.Juru damai ini akan
meneliti kasusnya dan jika ditemukan kemudharatan yang mengharuskan untuk
memisahkan kedua suami istri, maka harusdiambil jalan untuk memisahkan pasangan
tersebut, sedangkan untuk mengatasi nusyuz suami terhadap istri adalah istri
meminta khuluk(membatalkan pernikahan dengan tebusan) kepada suami.Menurut Husein
Muhammad, mengatakan, bahwa sebagian Ulama’ menafsirkan al-Qur’an tentang pemukulan
ini, Pertama,pemukulan tidak boleh di arahkan ke wajah. Kedua, pemukulan tidak boleh
sampai melukai, dianjurkan dengan benda yang paling ringan seperti sapu
tangan.Ketiga pemukulan dilakukan dalam rangka mendidik.Keempat, pemukulan
dilakukan dalam rangka sepanjang memberikan efek manfaat bagi keutuhan dan
keharmonisan kembali relasi suami istri.Selanjutnya nusyuz suami kepada istri
serta solusinya dapat dilihatdalam penjelasan firman Allah SWT dalam surat
An-Nisa 128:
وَإِنِ ٱمْرَأَةٌ خَافَتْ مِنۢ بَعْلِھَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًۭا
فَلَا جُنَاحَ عَلَیْھِمَآ أَن یُصْلِحَا بَیْنَھُمَا
صُ
لْحًۭا ۚوَٱلصُّ لْحُ خَیْرٌۭ ۗ وَأُحْضِرَتِ
ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّ حَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا۟ وَتَتَّ قُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّ ھَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِیرًۭا
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergauldengan istrimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Q.S. An-Nisa 4:128).Dari
ayat di atas dap
Hukuman lain adalahTakzir
Imam Malik berpendapat bahwa pelaku tindak pidana penganiayaan disengaja
berhak di-takzir, baik ia berhak diqishas maupun tidak, karena adanya
penghalang qishas,ampunan atau akad damai.mencegah, menghalangi dan membuat
jera semua orang agar tidak melakukan tindak pidana.Ketika hukuman qishas tidak
dapat diterapkan, maka kewajiban membayar diat merupakan bentuk perlindunagn
kepada korban kejahatan, selain itu juga merupakan bentuk pidana pengganti
karena asas ajaran pemaaf yang sangat dianjurkan atau ditekankan dalam al-Qur’an
dan sunnah
Tidak boleh dilupakan bahwa sebagian
bahkan sebagian besar isi kitab fikih juga hasil ijtihad ulama yang tidak dapat
dikategorikan sebagai doctrinal ajaran agama. Dengan demikian kategorisasi
obyek kajian hukum sebagai doctrinal dan non-doktrinal yang diperkenalkan
Soetandyo dapat menimbulkan kerancuan ketika diterapkan kepada salah satu
bentuk literature hukum Islam yang disebut fikih yang memang mengandung
unsur-unsur doctrinal dan non-doktrinal keagamaan sekaligus, sehingga sebaiknya
kategorisasi ini tidak digunakan.
Adapun Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penelitian hukum itu dari segi
tujuannya terdiri atas dua macam yaitu penelitian hukum normative dan
penelitian hukum sosiologis atau empiric. Menurut Soeryono, termasuk ke dalam
penelitian hukum normative adalah penelitian azaz-azaz hukum, kajian hukum
positif seperti UUD dan UU, sistimatika hukum, taraf sinkronisasi hukum,
sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
Adapun yang termasuk ke dalam hukum
sosiologis atau empiric menurut Soerjono ialah penelitian identifikasi hukum
tidak tertulis dan penelitian efektivitas hukum. Pendapat ini mungkin lebih
dapat diterapkan dalam kajian hukum Islam, karena hukum Islam memang terdiri
atas aturan yang bersifat normative dan prilaku masyarakat di seputar hukum
yang bersifat sosiologis atau empiric. Meskipun demikian, terdapat beberapa
catatan terhadap pendapat ini ketika kita terapkan kedalam penelitian
hukum Islam. Salah satu catatan atau
bahkan keberatan terhadap pendapat Soerjono ialah bahwa ia memasukkan
penelitian hukum azaz atau penelitian azaz-azaz hukum
kedalam kategori penelitian hukum
normative. Sesungguhnya penelitian hukum azaz
atau azaz-azaz hukum adalah
penelitian filsafat hukum dan setiap filsafat tentu selalu
bersifat spekulatif dan tidak
bersifat normative. Mungkin lebih tepat jika penelitian
filsafat hukum dikeluarkan dari
kategori penelitian hukum normative dan diletakkan
dalam kategori tersendiri yaitu
kategori penelitian filsafat hukum. Dengan demikian
maka penelitian hukum itu terdiri
atas tiga macam, yaitu penelitian pada tataran filsafat
hukum, penelitian hukum normative,
dan penelitian hukum sosiologis atau empiric.
Catatan lain terhadap pendapat
Soerjono ialah bahwa kajian sejarah hukum
dimasukkannya ke dalam lingkup kajian
hukum normative. Tentu saja sejarah sebagai
ilmu, termasuk sejarah hukum, selalu
bersifat deskriptif dan unik, sehingga tidak pernah
bersifat normative. Dengan demikian
lebih tepat jika kajian sejarah hukum dimasukkan
ke dalam wilayah kajian hukum empiric.
Catatan lain lagi untuk pendapt Soerjono ialah
bahwa untuk jenis penelitian ketiga
itu disebutnya dengan istilah penelitian hukum
No comments:
Post a Comment