BERBURU
KANCIL, KE KUALA TUNGKAL
SAMPAIKAN
JUGA, KE DERMAGA
KETIKA KECIL TIDAK DIBERI BEKAL
SAMPAI
TUA, SENGSARA JUGA
Diberi
bekal, artinya diberi keterampilan. Murid jangan hanya diberikan mata pelajaran
sejarah dan matematika, berikanlah juga, keterampilan dalam pertukangan,
perbengkelan dan perdagangan…
M.Rakib
LPMP Riau dan Muballigh IKMI Riau Indonesia
Berita
Terbaru
Kepada guru jangan mendendam
Orang pendendam imannya padam
Budi yang baik jadi tenggelam
Hari depanmu menjadi suram
Orang pendendam imannya padam
Budi yang baik jadi tenggelam
Hari depanmu menjadi suram
Budi gurumu janganlah dilupakan
Penat letihnya jangan diabaikan
Ilmu diterima engkau amalkan
Semoga pahalanya sama dirasakan
Keadilan Restoratif dalam Putusan-Putusan MA beberapa
kali memutus berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Ada sejumlah hambatan
dalam penerapannya.IHW/Inu Dibaca: 6641 Tanggapan: 1Keadilan Restoratif dalam
Putusan-Putusan MAKeadilan Restoratif dalam Putusan-putusan MA. Foto: Sgp Hakim
Agung Komariah Emong Sapardjaja mengatakan bahwa Mahkamah Agung sudah sejak
lama menerapkan keadilan restoratif (restorative justice). Walaupun tidak
seutuh teori keadilan restoratif seperti dikemukakan para pakar.
“Dimana seharusnya dilibatkan banyak pihak, yaitu korban,
pelaku, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya,” kata Komariah dalam
seminar yang diselenggarakan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) di Jakarta, Selasa
(26/4).Mahkamah Agung, lanjut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran
Bandung itu lebih menempatkan keadilan restoratif bagi kepentingan pelaku dan
korban. Caranya dengan memposisikan kepentingan hukum pelaku dan korban dalam
posisi yang sama-sama mendapat perhatian. Tidak seperti yang diatur dalam KUHAP
yang menurut Komariah hanya bertujuan memidana pelaku.
Dengan
kondisi itu, Komariah mengatakan MA sudah beberapa kali mengeluarkan putusan
yang menerapkan prinsip keadilan restoratif itu. Dalam putusan perkara pidana
No. 1600 K/Pid/2009 misalnya MA mempertimbangkan pencabutan pengaduan, walaupun
pencabutan tersebut sudah melewati batas waktu yang ditentukan dalam aturan
KUHP. Alasannya karena keluarga korban dan keluarga pelaku. “Terlebih lagi
karena mereka masih sekeluarga,” tulis Komariah seperti tertuang dalam makalah.
Keadilan
restoratif, lanjut Komariah, juga pernah digunakan MA untuk mengadili seorang
suami yang menelantarkan istri dan anaknya. Sang suami didakwa dengan Pasal 49
huruf a Jo Pasal 9 Ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Kekerasan
dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman paling lama tiga tahun atau denda
Rp15 juta.
Namun
MA dalam perkara No 307 K/Pid.Sus/2010 itu memilih menjatuhkan hukuman
percobaan dengan syarat khusus memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak.
Salah satu pertimbangannya adalah yang dibutuhkan oleh korban adalah nafkah
bulanan, sedangkan pelaku berharap tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai PNS.
“Dengan demikian kepentingan hukum kedua pihak dapat terakomodasi,” demikian
Komariah.
Komariah
juga menyebutkan keadilan restoratif terdapat dalam perkara narkotika.
Dijelaskan Komariah, akhir-akhir ini para hakim sering dihadapkan pada dakwaan
tunggal dalam kasus narkotika. Biasanya jaksa hanya menggunakan Pasal 112 UU No
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal tersebut intinya memberi ancaman pidana
bagi seorang yang kedapatan menguasai narkotika.
Padahal
fakta dalam BAP maupun di persidangan terungkap bahwa pelaku sebenarnya sedang
atau selesai menggunakan narkotika dalam jumlah yang sangat kecil sehingga
harusnya didakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika. Pasal itu mengatur mengenai
penyalahgunaan narkotika dimana hakim dibolehkan menjatuhkan sanksi berupa
rehabilitasi medis. Dalam perkara seperti ini MA akhirnya memvonis pelaku
dengan hukuman penjara yang ringan dikurangi masa rehabilitasi medis. Demikian
terdapat dalam Pasal 566 K/Pid.Sus/2012.
Kasus
terakhir yang dicontohkan Komariah menerapkan keadilan restoratif adalah
perkara Nomor 2399K/Pid.Sus/2010. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menyatakan
bahwa terdakwa memang terbukti melakukan korupsi sesuai Pasal 2 UU
Pemberantasan Korupsi.
Namun
karena kerugian negara yang timbul dari uang yang dikorupsi terdakwa ‘hanya’
Rp2,9 juta, maka hakim hanya menghukum terdakwa selama setahun penjara. Padahal
ancaman minimal hukuman adalah empat tahun penjara.
“Tindak pidana korupsi tidak boleh disikapi secara
permisif berapapun nilai kerugian negara yang timbul karenanya, akan tetap
sebaliknya penjatuhan pidana yang mencederai rasa keadilan juga harus
dihindarkan,” kata Komariah mengutip pertimbangan hakim dalam putusan tersebut.Pakar
Hukum Pidana Andi Hamzah dalam kesempatan yang sama menjelaskan beberapa
hambatan penerapan keadilan restoratif di Indonesia. Hambatan pertama adalah
ketiadaan payung hukum yang mengaturnya. “Karena perkara kriminal diambil alih
oleh negara yang diwakili jaksa. Maka walaupun para pihak berdamai, perkara
jalan terus kecuali delik aduan.”
Hambatan lain muncul dari aspek kultural dimana
masyarakat cenderung sulit memaafkan. Menurut Andi Hamzah, mengutip mantan
gubernur jenderal Inggris di Indonesia Thomas Raffles, bangsa ini cenderung
pendendam. “Lihat saja pernyataan tokoh masyarakat, hukum mati koruptor,
miskinkan koruptor, bikin kebun koruptor, dll,” Andi Hamzah memberi contoh.
Hal
ini berbanding terbalik dengan keadaan di beberapa negara lain. Di Den Haag
Belanda, kata Andi hamzah, 60 persen perkara pidana diselesaikan di luar
pengadilan dengan ganti rugi dan denda. “Di Norwegia lebih tinggi lagi. Sekitar
74 persen.”
Andi
Hamzah yang mengaku terlibat penyusunan RUU KUHP sejak 25 tahun silam mengaku
sudah pernah memasukkan rumusan kewenangan jalur pemaafan oleh hakim
(rechtelijk pardon). Dalam konsep ini hakim dapat menyatakan dakwaan terbukti
dan menyatakan terdakwa bersalah dengan tanpa sanksi pidana.
Selain
itu, ia juga pernah memasukkan konsep submisi (submission) dimana terdakwa yang
berkasnya sudah ada di pengadilan dapat menghadap hakim untuk dijatuhi pidana
tanpa sidang, dengan mengakui semua perbuatan yang didakwakan. Ini harus
disetujui jaksa dan pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari 2/3
maksimum ancaman sanksi.
“Sayang,
Patrialis Akbar mengambil kembali rancangan KUHP ini dari Sekretariat Negara
dan sampai sekarang terbenam di Menteri Hukum dan HAM selama tiga tahun,”
pungkasnya.
Wahai
ananda dengarlah amanat
Terhadap gurumu hendaklah hormat
Ilmunya banyak memberi manfaat
Menyelamatkan hidup dunia akhirat
Terhadap gurumu hendaklah hormat
Ilmunya banyak memberi manfaat
Menyelamatkan hidup dunia akhirat
Kepada guru hendaklah sopan
Tunjuk ajarnya ananda dengarkan
Penat letihnya jangan dilupakan
Supaya hidupmu dirahmati Tuhan
Kepada gurumu janganlah durhaka
Jangalah pula berburuk sangka
Tunjuk ajarnya ananda jaga
Supaya manfaatnya dapat dirasa
Kepada gurumu eloklah perangai
Apabila disuruhnya janganlah lalai
Tunjuk ajarnya selalu dipakai
Supaya hasratmu cepat tercapai
Apabila gurumu selalu kau tantang
Ditujuk diajar engkau membangkang
Akibatnya buruk bukan kepalang
Ilmu dituntut berkahnya hilang
Kepada guru jangan menista
Bercakap kasar bermasam muka
Orang benci Allah pun murka
Hidupmu akan terlunta-lunta
Kepada gurumu nampakkan minat
Petuah didengar petunjuk diingat
Supaya belajar beroleh manfaat
Membawa berkah dunia akhirat
Kepada gurumu hendaklah patuh
Ditunjuk diajar jangan mengeluh
Belajarlah dengan bersungguh-sungguh
Supaya hidupmu menjadi senonoh
Anggaplah guru sebagai ibu bapa
Tempat merunjuk tempat bertanya
Memudahkan ananda memahami ilmunya
Supaya pelajaranmu tak sia-sia
Jadikan gurumu contoh teladan
Minta nasihat untuk pegangan
Apa masalahmu boleh disampaikan
Supaya bebanmu menjadi ringan
Kepada gurumu berterus terang
Jangan bercakap main belakang
Supaya belajar hatimu lapang
Guru mengajar hatnya senang
Kepada gurumu berterima kasih
Kerana mengajarmu berpenat letih
Sampaikan dengan hati yang bersih
Semoga menjadi amalan soleh
Wahai ananda permata bunda
Gurumu itu juga manusia
Tentulah ada lebih kurangnya
Maafkan olehmu bila ada salahnya
No comments:
Post a Comment