Bagian Ke 8 Karya
M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia
MEMAHAT
TEBING PELAC INTELEKTUAL
Novel (Empat Profesor Satu Cinta)
Sang
penyair : Disertasi
saya, tentang adat Melayu dalam menghukum
anak(Kali ini sang penyair membawa dua kilogram ubi celembu bakar yang baunya
harum, siap untuk disantap)
Profesor Amar :
Adat Melayu yang benar itu yang sesuai dengan agama. Begitukan yang anda
tulis? Ah tidak menarik, tukar aja
judulnya.
Sang Penyair : Judulnya tidak bisa ditukar lagi Pak, kan
sudah ujian tertutup. Tapi kalau permasalahannya dipertajam lagi, aku setuju.
Lebih lebih lagi kini tentang menghukum anak, sudah ada Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002. Kemudian menghukum anak secara moral adat, aku beruntung
sekali,menemukan gambarannya ada di dalam Tunjuk Ajar Melayu, sperti yang
ditulis oleh Dr.Hc.Tenas Effendy.
Menurut orang tua-tua Melayu,
sebagaimana disampaikan oleh Tenas Effendy, fungsi dari tunjuk ajar ini kepada anak, untuk membawa manusia ke jalan yang
lurus dan diridhai Allah, sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan
akhirat. Oleh sebab itu, kedudukan tunjuk ajar menjadi sangat penting dalam
kesusastraan dan tradisi Melayu. Buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy
ini, memuat ungkapan-ungkapan yang mengandung tunjuk ajar tersebut. Tenas cukup
telaten dalam mengumpulkan dan menyusun ungkapan-ungkapan tunjuk ajar yang
mulai jarang digunakan oleh masyarakat Melayu tersebut menjadi satu buku. Agar
lebih sistematis, tunjuk ajar yang terangkum dalam buku tersebut kemudian ia
klasifikasi ke dalam beragam tema, sesuai dengan kandungan isi masing-masing
ungkapan. Kemudian sang penyair belajar membuat sendiri pantun-pantun Melayu
yang dapat dikaitkan dengan masalah moral dan hukum:
KALAU
MUSIM, BUAH LAKUM
ASAMNYA
SAMBAL, AKAN KENTARA
KALAU
HAKIM, MELANGGAR HUKUM
NEGARA
RUSAK, ATURAN HUKUM BINASA
KEMUMU DI DALAM SEMAK
BUAH LAKUM, DI SAMPINGNYA
MESKI ILMU SETINGGI TEGAK
MELANGGAR HUKUM, APA GUNANYA
ASAM KANDIS ASAM GELUGUR
KETIGA ASAM RIANG-RIANG
MENANGIS DI PINTU KUBUR
MELANGGAR HUKUM, BUKAN KEPALANG
BUAH LAKUM, DI SAMPINGNYA
MESKI ILMU SETINGGI TEGAK
MELANGGAR HUKUM, APA GUNANYA
ASAM KANDIS ASAM GELUGUR
KETIGA ASAM RIANG-RIANG
MENANGIS DI PINTU KUBUR
MELANGGAR HUKUM, BUKAN KEPALANG
Pantun hukum ini disebut pula pantun undang-undang, karena
isinya mengandung ajaran dan pedoman bagi masyarakat. Kelebihan sebuah pantun,
disamping memang sudah sangat mengakar dalam masyarakat Melayu, juga sangat
fleksibel untuk digunakan. Jika ceramah atau khutbah hanya dapat dilakukan pada
saat dan momen tertentu, maka pantun dapat digunakan kapan saja dalam kehidupan
sehari-hari. Pantun dapat diselipkan dalam percakapan atau perbualan dalam
nyanyian ataupun dalam senda gurau. Karena itu, pantun sering disebut juga
sebagai pemanis cakap, pelemak kata, penyedap bual, rencah perbualan dan buah
bicara.
Di kalangan para orang tua Melayu, ada ungkapan: kalau bercakap sesama tua, banyaklah pantun pelemak kata; adat orang duduk berbual, banyaklah pantun penyedap bual; kalau yang tua duduk bercakap, banyalah pantun pemanis cakap. Dengan fleksibelnya penggunaan pantun ini, maka ajaran agama yang diselipkan di dalamnya juga bisa disampaikan kapan saja, tanpa menunggu momen tertentu. Dengan itu, penyampaian ajaran moral agama tetap berlangsung kapan dan di mana saja, tanpa terikat oleh waktu tertentu.
Pantun hukum disebut juga pantun dakwah karena:
Pantun hukum berisikan aturan yang indah
Berisikan syarak beserta sunnah
Berisikan petuah dengan amanah
Berisikan jalan mengenal Allah
Berisikan ilmu memahami aqidah
Di situ disingkap benar dan salahnya
Di situ dicurai halal dan haramnya
Di situ dibentang manfaat mudaratnya
Di situ didedahkan baik buruknya
Di situ ilmu sama disimbah
Di situ tempat mencari tuah
Di situ tempat menegakkan marwah
Menyebarkan Islam dengan akidahnya
Supaya hidup ada kiblatnya
Apabila mati ada ibadatnya.
Berisikan petuah dengan amanah
Berisikan jalan mengenal Allah
Berisikan ilmu memahami aqidah
Di situ disingkap benar dan salahnya
Di situ dicurai halal dan haramnya
Di situ dibentang manfaat mudaratnya
Di situ didedahkan baik buruknya
Di situ ilmu sama disimbah
Di situ tempat mencari tuah
Di situ tempat menegakkan marwah
Menyebarkan Islam dengan akidahnya
Supaya hidup ada kiblatnya
Apabila mati ada ibadatnya.
Demikianlah kandungan dan fungsi pantun agama dalam kehidupa sehari. Berikut ini beberapa contoh dari pantun agama tersebut:
KEMUMU DI DALAM SEMAK
BUAH LAKUM, DI SAMPINGNYA
MESKI ILMU SETINGGI TEGAK
MELANGGAR HUKUM, APA GUNANYA
ASAM KANDIS ASAM GELUGUR
KETIGA ASAM RIANG-RIANG
MENANGIS DI PINTU KUBUR
MELANGGAR HUKUM, BUKAN KEPALANG
Kemumu di tengah pekan
Dihembus angin jatuh ke bawah
BUAH LAKUM, DI SAMPINGNYA
MESKI ILMU SETINGGI TEGAK
MELANGGAR HUKUM, APA GUNANYA
ASAM KANDIS ASAM GELUGUR
KETIGA ASAM RIANG-RIANG
MENANGIS DI PINTU KUBUR
MELANGGAR HUKUM, BUKAN KEPALANG
Kemumu di tengah pekan
Dihembus angin jatuh ke bawah
Hukum yang, tidak dilaksanakan
Bagai pohon tidak berbuah
Ambil galah kupaskan jantung
Orang Arab bergoreng kicap
Kepada Allah tempat bergantung
Kepada Nabi tempat mengucap
Asam rumbia dibelah-belah
Buah separuh di dalam raga
Dunia ikut firman Allah
Akhirat dapat masuk surga
Belah buluh bersegi-segi
Buat mari serampang ikan
Rezeki yang dapat, dibagi-bagi
Baik di laut, maupun juga daratan
Buah ini buah berangan
Masak dibungkus sapu tangan
Dunia ini pinjam-pinjaman
Akhirat kelak kampung halaman
Delima batu dipenggal-penggal
Bawa galah ke tanah merah
Lima waktu kalau ditinggal
Ibu marah, Tuhanpun murka
Banyaklah hari antara hari
Tidak semulia hari Jumat
Banyaklah nabi antara nabi
Tidak semulia Nabi Muhammad
Orang Bayang pergi mengaji
Ke Cubadak jalan ke Panti
Meninggalkan sembahyang jadi berani
Seperti badan tak akan mati
Pangkal dibelit di pohon jarak
Jarak nan tumbuh tepi serambi
Jangan dibuat yang dilarang syarak
Itulah perbuatan yang dibenci Nabi
Jarak nan tumbuh tepi serambi
Pohon kerekot bunganya sama
Itulah perbuatan yang dibenci Nabi
Petuah diikut segala ulama
Pohon kerekot bunganya sama
Buahnya boleh dibuat colok
Petuah diikut semua ulama
Jangan dibawa berolok-olok
Tunjuk ajar yang terangkum dalam buku ini berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, etika, moral hingga politik. Misalnya, pantun mengenai rasa tanggung jawab, apalah tanda batang dedap / pohonnya rindang daunnya lebat / apalah tanda orang beradap / bertanggung jawab samapi ke lahat. Contoh lain, misalnya pantun tentang musyawarah dan mufakat, pucuk putat warnanya merah / bila dikirai terbang melayang / duduk mufakat mengandung tuah / sengketa usai dendam pun hilang.
Pembagian secara tematik yang dilakukan Tenas dalam buku ini disesuaikan dengan isi kandungan dari setiap ungkapan. Namun, bisa saja satu ungkapan memiliki beragam kandungan isi, sesuai dengan pemahaman dan penafsiran pembaca. Misalnya ungkapan, “bila hidup tidak mufakat, di sanalah tempat tumbuhnya laknat”. Oleh Tenas, ungkapan diatas dimasukkan dalam tema persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa. Namun, bila diperhatikan, sebenarnya ungkapan di atas bisa dimasukkan pula dalam tema musyawarah dan mufakat. Sebagai pembaca, mungkin kita bisa berbeda pendapat dengan Tenas dalam hal kategorisasi dan pemaknaan setiap ungkapan ini. Namun, menurut Tenas, hal ini dapat dimaklumi, bahkan penting, mengingat perkembangan penafsiran harus sejalan dengan konteks masyarakatnya, sehingga ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai luhur itu dapat dipahami dan berfungsi dengan baik. Ringkasnya, walaupun beberapa ungkapan ini bisa ditempatkan secara fleksibel dalam beberapa kategori atau tema, tetapi kandungan ajarannya yang paling dalam tetap sama: sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang Melayu.
Bagai pohon tidak berbuah
Ambil galah kupaskan jantung
Orang Arab bergoreng kicap
Kepada Allah tempat bergantung
Kepada Nabi tempat mengucap
Asam rumbia dibelah-belah
Buah separuh di dalam raga
Dunia ikut firman Allah
Akhirat dapat masuk surga
Belah buluh bersegi-segi
Buat mari serampang ikan
Rezeki yang dapat, dibagi-bagi
Baik di laut, maupun juga daratan
Buah ini buah berangan
Masak dibungkus sapu tangan
Dunia ini pinjam-pinjaman
Akhirat kelak kampung halaman
Delima batu dipenggal-penggal
Bawa galah ke tanah merah
Lima waktu kalau ditinggal
Ibu marah, Tuhanpun murka
Banyaklah hari antara hari
Tidak semulia hari Jumat
Banyaklah nabi antara nabi
Tidak semulia Nabi Muhammad
Orang Bayang pergi mengaji
Ke Cubadak jalan ke Panti
Meninggalkan sembahyang jadi berani
Seperti badan tak akan mati
Pangkal dibelit di pohon jarak
Jarak nan tumbuh tepi serambi
Jangan dibuat yang dilarang syarak
Itulah perbuatan yang dibenci Nabi
Jarak nan tumbuh tepi serambi
Pohon kerekot bunganya sama
Itulah perbuatan yang dibenci Nabi
Petuah diikut segala ulama
Pohon kerekot bunganya sama
Buahnya boleh dibuat colok
Petuah diikut semua ulama
Jangan dibawa berolok-olok
Tunjuk ajar yang terangkum dalam buku ini berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, etika, moral hingga politik. Misalnya, pantun mengenai rasa tanggung jawab, apalah tanda batang dedap / pohonnya rindang daunnya lebat / apalah tanda orang beradap / bertanggung jawab samapi ke lahat. Contoh lain, misalnya pantun tentang musyawarah dan mufakat, pucuk putat warnanya merah / bila dikirai terbang melayang / duduk mufakat mengandung tuah / sengketa usai dendam pun hilang.
Pembagian secara tematik yang dilakukan Tenas dalam buku ini disesuaikan dengan isi kandungan dari setiap ungkapan. Namun, bisa saja satu ungkapan memiliki beragam kandungan isi, sesuai dengan pemahaman dan penafsiran pembaca. Misalnya ungkapan, “bila hidup tidak mufakat, di sanalah tempat tumbuhnya laknat”. Oleh Tenas, ungkapan diatas dimasukkan dalam tema persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa. Namun, bila diperhatikan, sebenarnya ungkapan di atas bisa dimasukkan pula dalam tema musyawarah dan mufakat. Sebagai pembaca, mungkin kita bisa berbeda pendapat dengan Tenas dalam hal kategorisasi dan pemaknaan setiap ungkapan ini. Namun, menurut Tenas, hal ini dapat dimaklumi, bahkan penting, mengingat perkembangan penafsiran harus sejalan dengan konteks masyarakatnya, sehingga ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai luhur itu dapat dipahami dan berfungsi dengan baik. Ringkasnya, walaupun beberapa ungkapan ini bisa ditempatkan secara fleksibel dalam beberapa kategori atau tema, tetapi kandungan ajarannya yang paling dalam tetap sama: sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang Melayu.
Pada setiap tema dan kategori, Tenas memberikan keterangan pengantar tentang adat istiadat Melayu yang berhubungan dengan tema yang disajikan, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami nilai luhur yang terkandung dalam budaya Melayu. Tampaknya, upaya tematik yang diberikan Tenas hanya untuk mempermudah pembaca dalam menelusuri kandungan atau sebagian kandungan, dari setiap ungkapan yang disajikan, terutama syair. Selebihnya, pembaca dapat menafsirkan dan memahaminya sendiri.
Meskipun buku ini cukup tebal, namun Tenas mengakui bahwa, ungkapan-ungkapan yang disajikannya secara tematik tersebut belum dapat mengungkap seluruh jenis tunjuk ajar, sebab masih banyak sekali tunjuk ajar Melayu yang belum terjamah, terutama tunjuk ajar yang berkembang dalam masyarakat perkampungan. Setidaknya, kehadiran buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam upaya melestarikan tamadun Melayu, terutama dalam kesusastraan, di tengah ketidakpedulian generasi muda pada warisan agung leluhurnya. Dalam konteks tersebut, buku ini menjadi sangat penting, sebab, mengutip Tenas, bila orang Melayu kehilangan tunjuk ajarnya, berarti mereka telah kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad telah mampu mengangkat harkat dan martabat Melayu. Selain itu, kehadiran buku ini juga penting dalam upaya memahami seni kesusastraan Melayu.
Membaca buku setebal 688 halaman ini, kita akan terbuai dan terlena oleh indahnya ungkapan-ungkapan Melayu. Keindahan ungkapan bukan saja terletak pada pilihan kata serta kalimat yang rancak, demikian kata Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, tetapi lebih dari itu adalah pada makna yang terkandung di dalamnya. Buku ini cukup representatif untuk memahami adat istiadat Melayu.
Permainan Tradisional Masyarakat Melayu Riau
Virus penyakit epidemik global zaman
kini, –yang ditularkan oleh para pembuka kotak Pandora, yang sadar tak sadar
telah menjadi pengikut sekte satanic post-moderenisme– mulai makin
memperlihatkan gejala deman sosio-politik-ekonomi-kulturalnya di Indonesia.
Betapa tidak, Post-Modernisme,
sebagai sebuah bentuk pseudo filsafat ideology kontemporer, salah satu
dewa berhalanya bernama prinsip dekonstruksionalisme (aliran penghancuran
segala sesuatu) adalah antitesa dan kontra-ideology dari developmentalis
konstruktifisme (pembangunanisme) moderenisme. Post-modernisme kini telah
memunculkan banyak fenomena yang direkayasa untuk menghegemoni wacana &
praksis sosio-ekonomi-politik-kultural publik bangsa kita ini. Sebutlah
beberapa rentetan issue aktual berikut:
Telah muncul statement salah satu
elit politik sebuah partai: Pramono Anung dari PDIP, yang bertekad dan
mencanangkan figure pornoaksi terkenal “Inul Daratista” sebagai “icon”
partainya untuk strategi kampanye pemilu yang akan datang. Sebagai sebuah
partai yang mengklaim diri sebagai partai terbesar, terpopuler dan partainya
“wong cilik”, PDIP mempertontonkan, mohon maaf, sebagaimana disebut dalam kolom
Rehat di pojok halaman depan Koran Republika, Sabtu, 13 September 2003, sebagai
“pertanda Banteng tak lagi mengandalkan kepalanya”. Artinya, tinimbang mereka
menggunakan kekuatan akal di kepala (logika rasional), mereka lebih suka
menggunakan kekuatan pesona goyang “ngebor dan ngecor”-nya pantat Inul sebagai
Icon penarik simpati dan promosi partainya untuk meraih kemenangan politik
dalam pesta-“mabuk”- demokrasi, tahun depan.
Akal sehat saya mencerna, kalau
memang begitu, pantat Inul sebagai “icon” (lambang) partai, pada hakekatnya
sudah, sedang dan akan menjadi berhala penarik dukungan massa, yang diharapkan
akan kuat menyedot “basic instinct” bagian penting naluri hewaniyah
manusia. “Icon Inul”, sudah tentu akan merangsang dan meng-hyperactive-kan
bagian otak reptil dan otak mamalia manusia, dalam kesatuaan yang seharusnya
Otak “Three in One”. Dan mengalah-lumpuhkan bagian lapisan otak neocortex-nya,
yang seharusnya menjadi cirri khas kemanusiaan sejatinya. Artinya, pikiran akal
sehat (rasionalitas ilmiah) akan dikalahkan demi hawa nafsu bahimiyah
(kebinatangan) umat manusia. Sedang dan akan terjadi proses pembodohan massal
ketika nafsu dikedepankan sambil menyingkirkan rasionalitas akal sehat dalam
wacana & praktek politik publik, sekiranyanya partai “Inul” yang menang
nanti. Naudzu billah min Dzalik”.
Lho mengapa harus “naudzu billah
min dzalik”? Ya..ya..ya, sebab fungsi neokortek & “God Spot” dalam
kepala saya, dan juga mungkin masih banyak persediaan akal sehat dan fitrah
keimanan pada kalangan anak bangsa ini, walau masih “silent majority”, tidak
akan rela, jika hajat hidup rakyat banyak, urusan politik kenegaraan dan
kehidupan ekonomi-sosial-budaya diserahkan sepenuhnya kepada para pemuja
berhala seksualitas-sensualisme tersebut.
Kenapa?
Mudah-mudahan kekuatan rasio yang terbimbing “fitrah ilahi” dari silent
majority, masih mampu menyadari, ketika hawa nafsu liar menjadi dominan dan
menghegemoni seluruh sendi kehidupan masyarakat manusia, maka kerusakan dan
kehancuran moral-peradaban bangsa menjadi sangat niscaya. AIDS dan berbagai
penyakit kelamin akibat perzinahan akan menjadi epidemik dan endemic; kerusakan
struktur sosial dan institusi keluarga sebagai basisnya akan lebih cepat lagi
akibat angka penyelewengan seksual para suami dan para istri makin tinggi.,
freesex remaja makin popular, trendy dan funky. Para bapak akan makin larut
dalam pelukan pelacur atau “perek” dan lupa diri pada tanggung jawabnya sebagai
kepala keluarga, suami dan bapak pengayom bagi anak-anak dan istrinya. Lalu
para Ibu sedang dan akan semakin asyik bermain sex dengan masing-masing
selingkuhannya atau para gigolo. Naudzu billah min dzalik. Lalu
kemanakah anak-anaknya ? Ya bisa juga jadi pengikut dan penyembah berhala sex,
freesex, promotor dan salesman/salesgirl seks. Atau mungkin jadi korban “broken
home” yang terjerat jaringan bandar narkoba. Atau jadi kriminal cilik di
jalanan kota dan kampung-kampung. Atau jadi anak-anak idiot, cacat mental,
imbisil, dll. Naudzu billah min dzalik.
Memang
dahsyat penyebaran virus penyakit moral yang keluar dari kotak pandora sekte
satanic post-mo tersebut. Bagaimana tidak? Dekonstruksionisme (aliran ideologi
penghancur) tersebut telah dapat menghancurkan potensi fitrah ilahiyah salah
seorang kawan saya sesama guru pendidik di sekolah. Berhala
hipersexualitas-mashocis, transeksualitas, homosex, lesbianisme, dll, dalam
karya tulis sastranya, telah mengubah wajah ayu sang guru muslimah, kawan saya
itu. Padahal 4-5 tahun yang lalu, Dinar Rahayu, begitu popular, disukai dan
dicintai anak-anak murid kami. Dulu, kepadanya kami bersimpati. Tapi sayang
kini, wajahnya tak lagi ceria dan cemerlang dengan cahaya Nur-Ilahi. Wajah,
yang walau masih terbungkus rapi jilbab nan anggun, ironisnya kini semakin
pucat dan kelabu, tertutupi make-up zaman reformasi yang kebablasan,
terkontaminasi oleh bedak dan gincu dekonstruksionisme posmo. Akhirnya dia
terusir dari oase intelektual-spiritual di sekolah tempat kami mengajar dulu.
Dengan
kesedihan dan keprihatinan yang sangat mendalam, saya terpaksa mengatakan bahwa
Dinar kawan saya itu, kini telah menjadi salah satu gerbong novelis-cerpenis
yang ditarik oleh lokomotif gerakan pornografi, pornoaksi, pornojurnalitik, dan
sastraporno, Arswendo Atmowiloto and “His Yellowpaper Syndicate with Their
Red & Blak Conspiracy”. Berikut gerbong-gerbong lainnya yang
aktif cari penumpang seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Hudan Hidayat, Anny
Arrow, Tommy F. Awuy, .
Namun
dalam hati kecilku, aku masih berharap, Dinar yang kukenal, dan juga
novelis-cerpenis lain yang kini bergelimang dosa itu akan segera bertobat &
sadar mencari hidayah Allah SWT. Sebagaimana taubat dan sadarnya sastrawan
terkenal Almarhum Motinnggo Busye di dekade akhir hayatnya, Setelah sekian
ratus novel & cerpen porno karyanya mengharu-biru jagat atmosfir bangsa
kita di era tahun 1960-1970-an. Hingga konon karya-karya itu ditampung khusus
dalam sebuah ruang dan rak-rak perpustakaan kepresidenan di Washington DC USA.
No comments:
Post a Comment