JIKA MERESAHKAN SEGALA HAL YANG
DILIHAT TIDAK RASIONAL
M.Rakib Muballigh
IKMI Pekanbaru Riau Indonesia
2015
Meresahkan
Segala Hal Yang Dilihatnya Tidak Rasional
dalam perilaku beragama umat islam. Keresahanya didasarkan pada kekakuan dan
kejumudan pada dogmatisasi agama yang mengantarkan agama tidak lagi
menjadi wahana penyadaran dan bangunan prinsip moral, melainkan sekedar menjadi
alat legitimasi politik kekuasaan. Agama sering direproduksi oleh tokoh-tokoh
islam sebagai alat mobilisasi untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
Wahib bukan orang yang banyak terlibat dalam perdebatan politik praksis
ia lebih tertarik pada filsafat agama yang mengantarkanya berfikir tajam
bagaimana menempatkan prinsip-prinsip agama dalam kehidupan yang kontekstual.
Pergolakan
Pemikiran Islam dalam Ruang Gagasan
Wahib
selalu mereproduksi gagasanya dalam ruang-ruang terbatas yang cukup intim,
bukan pada khalayak luas. Limited Group yang dibentuknya beranggotakan Dawam
Rahardjo, Djohan effendi, dan dimentori oleh Mukti Ali.
Ahamad Wahib dkk, sebaiknya membaca
kisah ini: Dalam kitab Manaqib
diceritakan saat al-Syeik ‘Abd al-Qadir al-Jailani tenggelam dalam
mujahadahnya kepada Tuhan, tiba-tiba muncul sinar cemerlang yang memenuhi
cakrawala penglihatan. Sinar tersebut berkata: “Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah
Tuhanmu, setelah beribadah selama puluhan tahun, maka amalmu sangat banyak
sehingga memehuni antara Timur dan Barat, menyesakkan antara bumi dan
langit, dan memberatkan timbangan mizan di akhirat. Oleh karenanya, mulai
sekarang ini, Aku cukupkan ibadah kepadamu. Kamu tidak perlu beribadah lagi
kepadaku, karena telah cukup amalmu”
Dalam
Manaqibnya lagi-lagi diceritakan saat al-Syeik ‘Abd al-Qadir
al-Jailani tenggelam dalam mujahadahnya kepada Tuhan, tiba-tiba muncul sinar
cemerlang yang memenuhi cakrawala penglihatan. Sinar tersebut berkata: “Wahai
Abd al-Qadir, Aku adalah Tuhanmu, setelah beribadah selama puluhan tahun, maka
amalmu sangat banyak sehingga memehuni antara Timur dan Barat, menyesakan
antara bumi dan langit, dan memberatkan timbangan mizan di akhirat. Oleh
karenanya, mulai sekarang ini, Aku cukupkan ibadah kepadamu. Kamu tidak perlu
beribadah lagi kepadaku, karena telah cukup amalmu”.
Mendengar perintah sinar yang mengaku Tuhan seperti itu, Abd
al-Qadir berfikir sejenak, benarkah ini wahyu Tuhan khusus kepadaku, benarkah
Tuhan memberiku keistimewaan untuk tidak menjalankan perintahNya? Abd al-Qadir
sempat ragu, antara meyakini suara Agung nan cemerlang tersebut atau
menolaknya. Hatinya yang sedang dilingkupi keterharuan, kegembiraan karena
“bertemu” Tuhan merasa menerima suara tersebut. Akan tetapi akal rasionya
tidak menerimanya, mana mungkin
Tuhan mencabut perintahNya untuk beribadah, mana mungkin ia mendapatkan
keistimewaan sudah cukup dalam beribadah, sementara Muhammad Sang Nabi sendiri
masih tetap diperintahkan beribadah hingga akhir hayat? Dalam kebimbangan
tersebut, Abd al-Qadir memutuskan untuk memilih
akalnya, ia segera ambil terompahnya dan
dilemparkan pada sinar agung yang bergulung tersebut; “Pergi, engkau adalah
syetan bukan Tuhan, Tuhan tidak mungkin membatalkan firmannya”. Seketika
itu juga, sinar putih keperakan tersebut hilang, diiringi dengan suara yang
menggema; “ Wahai Abd al-Qadir, engkau selamat dari godaannku, ketauhilah,
sudah ribuan salik yang berhasil aku sesatkan dengan cara seperti ini. Engkau
selamat karena menggunakan akalmu, sedangkan para salik yang geblinger tersebut
karena mereka mengabaikan akalnya”.
Cerita tersebut memberikan pelajaran berharga bahwa akal
memainkan peran yang sangat signifikan dalam memutuskan sesuatu. Akal mampu
menunjukkan kebenaran, dan mencerahkan hati di saat hati diliputi oleh
kebimbangan dan keraguan. Bukankah dalam teologi Mu’tazilah tentang
konsep tahsin dan taqbih akal memiliki kemampuan dasyat
sehingga dapat menentukan baik dan buruknya sesuatu? Dalam cerita Abdul Qadir
tersebut, akal berfungsi sebagai hidayah Tuhan yang menyelamatkan Abdul Qadir
dari tipu daya syetan. Sedemikian pentingnya fungsi akal dalam beragama, sampai
Nabi pernah mengatakan dalam sabdanya; al-din aql, la dina liman la aqla lah
(Agama adalah manifestasi akal, maka tidak dianggap beragama bagi
orang yang tidak berakal).
Namun demikian, meskipun akal mampu menyelamatkan manusia
dari kejahatan syetan, mampu “mewakili” Tuhan sebagai petunjuk bagi manusia
dalam memilah antara kebaikan dan keburukan, ia tidak lantas sempurna tanpa
kekurangan, sebab jika sempurna tanpa cacat, maka cukuplah Tuhan menurunkan
akal sebagai pengganti Nabi dan syariat, sehingga yang ada adalah “agama
aqliyyah” dan “Nabi Aqil”. Ada sesuatu yang meta-rasional yang terkadang akal
tidak mampu menjangkaunya. Terlebih dari itu, seseorang yang berfikir
rasionalis murni terkadang terjebak dengan subyektivisme dan apriori. Dalam
kontek inilah, maka menjadi benar kritik Imanuel Kant terhadap otentisitas akal
murni (pure reason) dalam kemampuannya menentukan suatu etika
(baik dan buruk). Menurut Kant, akal murni (pure reason) terlalu
subyektif untuk menentukan baik buruk suatu perbuatan (etika), sehingga
kepentingan menjadi ikut tercampur di sana. Terlebih lagi, ada suatu hukum
dunia “Noumenal” yang tidak mampu ditembus oleh akal murni. Selanjutnya Kant
mengusulkan bukan menggunakan akal murni (pure reasion) tetapi
menggunakan akal transcendental, yang dalam bahasa santrinya adalah “akal
ilahiyah” atau “rasio ladunni” atau “burhani-irfani”.
Berkaitan dengan hidayah Tuhan dalam memilih dan memilah
putusan, maka Ibn Katrir membagi hidayah menjadi lima, yaitu pertama,
hidayah naluri, yaitu petunjuka tuhan yang diberikan pada manusia dan binatang,
seperti rasa lapar, sakit kalo dipukul, haus dan sebagainya. Hidayah ini
menempati hidayah paling bawah. Kedua, hidayah hawassi, yaitu
petunjuka Tuhan melalui pancaindera, seperti kemampuan melihat, mendengar,
membau, dan mengecap. Indera ini diberikan kepada hewan dan manusia. Dengan
hidayah hawassi ini manusia mampu melahirkan ilmu-ilmu empirik. Ketiga,
hidayah akal, yaitu petunjuk tuhan yang diberikan kepada manusia melalui
perantara akal. Akal hanya dberikan kepada manusia, tidak kepada hewan. Dalam
istilah filsafat, maka ilmu-ilmu yang dilahirkan adalah bersifat rasional dan
dalam istilah epetimologi Islam disebut dengan burhani. Keempat,
hidayah ilham, yaitu petunjuka Tuhan yang diberikan kepada manusia dengan
melalui perantara ilham atau kebeningan hati, yang dalam istilah epistemology
filsafat Islam dengan irfani. Kelima, hidayah taufiq, yaitu
petunjuka Tuhan paling besar untuk menggerakan hati hambaNya untuk memeluk
Islam. Hidayah yang kelima ini merupakan petunjuk Tuhan terbesar, yang
langsung masuk dalam relung hati seseorang guna mengucapkan kalimah syahadah.
Berdasarkan beberapa macam petunjuk Tuhan tersebut, maka
disamping pentingnya akal dalam menemukan suatu kebenaran, juga diperlukan
ilham yang didapatkan melalui kebeningan hati. Artinya, ketajaman akal harus
diimbangi dengan kecerdasan hati dalam menentukan sesuatu. Keduanya harus terus
berdialog, tanpa putus, dan selalu dalam hidup ini. Hal ini karena jika salah
satunya berhenti berdialog atau tidak berfungsi, maka yang terjadi adalah
ketersesatan hati, dan keblingeran akal. Dalam epistemology Islam yang digagas
oleh al-Jabiri, maka semangat burhani yang rasional harus dikawinkan
dengan semangat irfani yang suci. Jika keduanya, yaitu akal dan hati
dapat digabungkan, maka akan lahirlah Sang Syuhrawardi dan Ibn Arabi
kontemporer dalam dunia ini, yaitu seseorang yang berfikir rasional, menjadi
filosof, namun juga seorang sufi, yang menciptakan kebeningan hati, seseorang
yang pikirannya seluas cakrawala, dan hatinya sejembar samudra, fikirannya
mampu mengembara sampai bintang tsurayya, dan hatinya tertancap di bumi
menggenggam mutiara.
Nah jenis pemikiran sufi Abdul Kadir Jailani itulah yang tidak dimiliki
oleh Ahmad Wahib dkk. Reproduksi gagasan yang sangat intim dilakukannya dalam
kelompok ini, di lain sisi seringkali Wahib menantang pemikiran-pemikiranya
dalam forum-forum pelatihan kader di HMI. Sosoknya sebagai konseptor dan pengkader
berhasil menerjemahkan prinsip-prinsip dalam lingkaran kultur dan tradisi
organisasi yang digelutinya. Namun, kegelisahanya sebagai pribadi memang sangat
sulit dipahami secara utuh tanpa melihat konteks dimana ia hidup.
Wahib
sempat hidup bersama orang Kristen, khususnya para Romo
Katolik di asrama realino. Dia sangat banyak menyerap gagasan moralis
kalangan Gereja Katolik yang
berusaha membangunkan agama sebagai landasan moral publik. Namun, kedirian
wahib sebagai seorang muslim, dan aktivis HMI mengidentikan dia dengan
keseluruhan pilihan sikap HMI dalam kehidupan publik. Hal ini baginya agak
sulit diterima, ia menyadari banyak perbedaan signifikan antara apa yang ia
resahkan dengan praksis pilihan-pilihan sikap kawan-kawanya, baik dalam politik
maupun dalam praksis pemahaman beragama. Tidak jelas, apa yang mendasari sosok
wahib bergulat habis-habisan dengan hal ini, namun ada yang tersimpan bahwa ia
memang tidak puas dengan kondisi aktual saat itu.
Dalam
memahami wahib sangat penting untuk dilihat apa, dimana dan kapan pemikiranya
ditelurkan. Wahib bukanlah pemikir yang telah selesai, ia benar-benar orang
yang resah dalam mencari hakikat hidupnya sebagai hamba Allah dalam menempatkan
diri dengan berbagai perubahan realitas yang begitu cepat. Periode dekade
60-70-an. Pada periode ini pergolakan sosial dan politik yang sangat dramatis
terjadi akibat G 30 S.[2] Panasnya konflik ideologi
menjadikan islam sebagai salah satu alat untuk menghabisi ideologi lain,
termasuk jadi legitimasi untuk membenarkan pembunuhan pada mereka yang tak
bedosa atasnama agama. Keresahan ini menyelimuti pola pikir wahib untuk
membangun satu konsepsi islam yang butuh diterjemahkan ulang secara individual
agar setiap individu menemukan makna atas keberislamanya secara otentik bukan
semata-mata tafsir atau dogma dari orang-orang disekitarnya. [3]
Pemikiran
wahib dalam buku Pergolakan pemikiran islam, bukanlah satu rangkaian utuh yang
terstruktur, wahib menuliskanya dalam lembar-lembar catatan harian, jelas
siapapun tahu catatan harian bukan konsumsi publik, bahkan sesuatu yang sangat
intim bagi manusia dan lingkaran terdekatnya. Walaupun ada beberapa tulisan dan
argumentasi yang tajam, tapi ini memiliki ruang personalitas yang tinggi.
Keresahan ini jelas berbeda dengan kaum liberal proyekan yang menuangkan
kekonyolan-kekonyolan diruang publik dan belum tentu ia mengamini apa yang
diucap atau dituliskanya.
Wahib
bukan sosok intelektual yang genit, tapi ia berusaha menerjemahkan apapun yang
bebal dalam dirinya untuk dirinya pula. Sayangnya, ia meninggal di usia yang
terlalu muda dan pada masa pencarianya yang belum pernah usai, mungkin akan
berbeda ketika ia meninggal di era tuanya, jelas konsistensinya sebagai pemikir
yang rasionalitis, skeptis dan kritis akan bisa dikoreksi apakah ia akan tetap
bergulat dengan pemikiran demikian ditengah proyek-proyek atau ia
mengartikulasikan keresahan justru pada pendirian liberalismenya sendiri.
Bahkan dalam beberapa tulisan wahib menunjukan ketawaduanya dan sekaligus
keraguan atas jalan pikirnya untuk menemukan kebenaran dengan mengatakan[4] :
Sekilas
Pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib
Sebenarnya
sulit untuk meringkas pemikiran wahib yang terkandung dalam buku catatan
harianya. Hal ini dikarenakan kompleksitas isi buku tersebut dan kesingkatanya
serta tidak ada penjelasan apa yang terjadi saat itu dan sebagai respon atas
apa wahib kemudian menuliskan setiap jengkal kalimatnya. Beberapa bisa
tertangkap dengan jelas sebagai ungkapan kekecewaan maupun sebagai ungkapan
keresahan, namun banyak yang tidak bisa terlacak.
Secara
umum pemikiran wahib cenderung identik dengan refleksi kritisnya atas segala
kondisi yang dianggapnya tidak ideal. Wahib menginginkan satu rumusan ulang
tentang agama yang tidak mewujud dalam dogmatisme, melainkan hidup sebagai
kesadaran otentik. Pemikiran semacam ini nampaknya bukanlah sebuah pemikiran
yang mudah untuk dicerna publik, melainkan suatu gagasan emosional pribadi yang
kemudian lahir dari sebuah latar kecenderungan untuk menginginkan sebuah
pembaharuan total menuju puncak idealitas.
Wahib
menolak pula segala bentuk nostalgia dengan menempatkan sejarah hidup Nabi
Muhammad saw, sebagai hasil final peradaban islam. Hal ini sering disebut wahib
sebatas bentuk sikap apologetic islam untuk menutupi kegagalanya. Bagi wahib,
sejarah memiliki dimensi proses yang tak pernah final, sehingga perlu kritik
terhadap apa-apa yang telah final. Walaupun begitu, wahib cukup sering
menjadikan refleksi sejarah Rasul sebagai bentuk interpretasi atas Al Quran dan
Shunah.[5] Bai wahib, islam harus
menempati sebatas konsep sumber keluhuran moral dan perlu diterjemahkan kembali
dalam praksis kehidupan.[6] Sebagaimana disebut wahin pada
hal 115 “insane medeka”
Dalam
catatan harian yang dibukukan ini, wahib juga banyak berbicara tentang budaya
dan politik namun dua tema itu tidak lebih sekedar curahan gagasanya yang tidak
terlalu mencolok. Wahib hanya menekankan perlunya pluralitas dan kemajuan. Hal
ini identik dengan ideologi modernisme yang sedang hangat pada generasi masa
awal orde baru. Gagasan wahib tentang budaya lebih sering menyerang
budaya-budaya yang dianggapnya melawan kemajuan.
Gagasanya
wahib, justru mencolak tentang bagaimana menghidupkan sebuah organisasi dan
bagaimana dia menghayati semua proses ilmiah di kampus. Wahib mengajarkan
konsistensi dan kekritisan yang mampu menghasilkan dinamisasi yang terus
berjalan. Alhasil gagasanya secara tidak sadar terlembagakan dalam banyak
proses di HMI. Walaupun, secara politis wahib dikalahkan oleh kubu Nur Cholis
Majid yang pada waktu itu dianggap sebagai fundamentalis dan natsirian.
Refleksi
terhadap Wahib
Di
zaman mudah mengkafirkan orang dan susah mencari sosok yang memiliki integritas
serta kepekaan moral, sosok wahib mungkin menjadi sosok yang aneh. Aneh karena
ia dengan kekonyolanya menertawakan tuhan sedemikian rupa, dalam arti dia
berusaha mencari pemahaman kebenaran tentang tuhan secara otentik. Sebuah
proses pencarian yang sangat berharga dan tentunya sangat teramat menyiksa dan
melelahkan. Wahib sebagai sesosok pluralis memang mudah disalah pahami sebagai
pengkhianat agamanya, namun sebagai seorang yang berusaha memahami realitas
kemanusiaan ia merupakan generasi yang berusaha keluar dari pertikaian dan
kejumudan yang dipengaruhi realitas sosial politik yang mengatasnamakan agama
ataupun ideologi demi syahwat kepentingan. Hal ini nyata-nyata masih eksis di
era kini dimana pragmatisasi dan kepentingan menjadi ideologi resmi untuk
mengejar kekuasaan, sedangkan islam, nasionalisme, kerakyatan sekadar pemanis
untuk menggalang suara.
Wahib memang bukan panutan, dia
sendiri belum selesai menemukan kebenaran yang ia yakininya, ia terjebak dalam
penggunaan alat pencarian kebenaran yang tiada batasnya yaitu “akal”. Namun,
konsistensi wahib bukanlah persoalan sederhana, yang sulit tergantikan sebagai
sebuah proses pencarian kebenaran, Merefleksi wahib sebagai seorang pengembara
pemikiran sedianya bukan untuk mencari sisi sesat apalagi mencari sebuah
pembenaran atas kerancuan dan kegelisahan kita, melainkan merefleksi pada diri
kita seberapa jauh kita telah menyelesaikan soal-soal prinsip pada diri kita,
seberapa jauh pula kita menemukan kebenaran dan menyuarakanya, seberapa jauh
pula kita selalu bersikap tawadu dan melakukan muhasabah “otokritik” yang tajam
pada berbagai kerancuhan diri dan kolektif sebagai sebuah generasi.
Berkaitan
dengan hidayah Tuhan kepada A.Wahib, dalam memilih dan memilah putusan, maka
sekedar catatan lihatlah Ibn Katrir yang membagi hidayah menjadi lima, yaitu pertama,
hidayah naluri,
yaitu petunjuk tuhan yang diberikan pada manusia dan binatang, seperti rasa
lapar, sakit kalo dipukul, haus dan sebagainya. Hidayah ini menempati hidayah
paling bawah. Kedua, hidayah hawassi, yaitu petunjuk
Tuhan melalui pancaindera, seperti kemampuan melihat, mendengar, membau, dan
mengecap. Indera ini diberikan kepada hewan dan manusia. Dengan hidayah hawassi
ini manusia mampu melahirkan ilmu-ilmu empirik. Ketiga, hidayah akal, yaitu petunjuk
tuhan yang diberikan kepada manusia melalui perantara akal. Akal hanya dberikan
kepada manusia, tidak kepada hewan. Dalam istilah filsafat, maka ilmu-ilmu yang
dilahirkan adalah bersifat rasional dan dalam istilah epetimologi Islam disebut
dengan burhani. Keempat, hidayah ilham, yaitu petunjuka Tuhan yang
diberikan kepada manusia dengan melalui perantara ilham atau kebeningan hati,
yang dalam istilah epistemology filsafat Islam dengan irfani. Kelima,
hidayah taufiq,
yaitu petunjuk Tuhan paling besar untuk menggerakkan hati hambaNya untuk
memeluk Islam. Hidayah yang kelima ini merupakan petunjuk Tuhan terbesar,
yang langsung masuk dalam relung hati seseorang guna mengucapkan kalimah
syahadah.
No comments:
Post a Comment