Sunday, February 22, 2015

Kok dodak, kotokan dodak, Jan deyen, tatompi-tompi,



Bagian Ke-9 Novel  Empat Profesor satu Cinta (Mengikis Tebing Pelac Intelektual)
Karya M.Rakib Muballigh IKMI Riau Indonesia 2015

https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfp1/v/t1.0-9/10277282_875190469198109_7631045968671651101_n.jpg?oh=9e88a925e4b4a911baf1f2d647b9aa91&oe=5595F89B&__gda__=1431547922_b6a35d24b02ea75860190568e9abd36b Rakib Jamari

Profesor Aswir   :  Jangan anda ingat lagi Cahyani Al-Kampari, mantan kekasihmu itu, nanti bisa mengganggu jiwamu. Biarlah dia lepas. Hapuslah namanya dari alam bawah sadarmu. Pikirkan saja yang lain-lain.
Sang Penyair      :   Tidak Pak, rugi rasa kalau kenagan seindah itu aku buang begitu saja. Biarlah nama Cahyani abadi dalam jiwaku. Soalnya dia cinta pertamaku.
Profesor Aswir   :   Anda mengatakan dahulu dia selalu memberi nasi kepadamu di saat anda tidak diberi makan oleh Nenek Dukun tempat anda tinggal. Tapi sekarang, ketika anda sudah mendapat gelar doktor, Drs, S.H.,M.A, apa yang dapat anda berikan padanya? Apa wujud dari ucapan terima kasihmu kepada gadis dusun yang kata anda super cantik itu?. Bagian mana dari komunikasi kalian yang paling berkesan.
Sang Penyair      :   Maaf Pak Ya, jika kuinmgat lagi, aku bisa menangis. Tapi tidak mengapalah. Kisahnya begini:  Cahyani al-Kampari, kemarilah sebentar.
Ada apa Bang, wajahnya senyum, agak malu. “Kamu sudah lama mengenal diriku, aku juga sudah lama mengenal dirimu.
Sekarang pertanyaanku, “Sudikah engkau menjadi pendamping dalam hidupku?”

Cahyani  : Aku pikirkanlah dahulu.
Aku        : Tidak ada lagi waktu untuk berfikir. Kalau kalum ya,    katakan iya, kalau tidak, katakan tidak.

   Kok dodak, kotokan dodak,
Jan deyen, tatompi-tompi,
 Kok indak, kotokan indak,
Ijan deyen, tananti-nanti.

Kalau tidak, tiada mengapa, hanya mungkin aku tidak akan kemari lagi. Biarlah aku pergi membawa luka hati.
Cahyani  : Ya, aku sudi menerima cintaku, aku bersedia menjadi pendamping dalam hidupku.
Mendengar jawaban itu, hatiku berbunga-bunga. Serasa seluruh dunia ini, akulah yang punya, sedangkan yang hanya mengontrak di duniaku. Yang bahagia hanya aku.
Waktu itu belum ada listrik masuk Desa.
Belum ada toilet di rumah penduduk., tahun 1970-an.
Semua aktivitas cuci mencuci, dilakukan di tepain sungai Kampar.
Waktu itulah aku menemukan kerikil kecil yang sangat indah, berkilau bak mutiara.
Akupun jatuh cinta pada kerikil itu.
Akupun membuat cerita tentang kerikil yang merindu
Cahyani al-Kampari, nama bidadari di tepian itu.
Aku ingat  kau sebuah melalui sebuah cerita
tentang kerikil yang hempas
oleh derap langkah kaki yang tegas
pada bata-bata yang tersusun regas 
tahukah kau, kerikil itu
ialah aku dari kikis batu
di alir sungai yang menggerutu
 tahukah kau, kerikil itu
merindu pantai berpasir ungu
yang di bibirnya, rebah sebatang kayu
tahukah kau,
apa yang kerikil rindu?
suara burung camar putih yang berkisah
tentang pelukis kuning, hijau dan merah
setelah langit resah oleh basah
juga semilir angin yang berdesir
tentang sepasang penyair
menulis cinta pada hamparan pasir
membisik rasa pada gemericik air
tapi bukan itu,
yang kerikil paling rindu
kau ingin tahu?
“bersisian denganmu adalah candu”
ujar kerikil kepada kayu
ingatkah kau cerita itu,
batang kayu-ku?

BAHAGIAN  KEDUA
ARJUNA DAN BIDADARI SAMA-SAMA TERPESONA

Cahyani al-Kampari, sang bidadari. Engkau sungguh mempesona. Tentulah aku dapat saingan dari banyak pemuda, terutama Jecky, teman karibku.
Diriku  menggigil memandang remang di tepian mandi.
Yang dulu, tiap hari kau kunjungi.
Dia tahu, aku pemuda asing yang datang ke tempat itu.
Karena itu wajahnya ganjil, dalam tatapan mataku.
Dan sikapku, perjuangan dan kemandirianku, mengagumkan pula, dalam pandangan mataanya.
Pokoknya aku dan dia, sama-sama terpesona.
Di mana kemutlakan masygul di hadapan kesangsian terhadap bidadariku.
Ruhku  memperoleh nilainya dalam keriuhan manusia yang istirahat di balai-balai, pinggir sungai itu.

Marilah bersama kita mengembalikan keriuhan ini. Keriuhan yang dahulu, ketika buah jeruk dan durian melimpah ruah.
Kepada cahaya kemurnian atau kecemerlangan matahari
Lalu catatlah olehmu segala yang berlangsung di dunia
Kemudian lekas kembali ke arah perjalanan semula

Kenapa mesti merusak keseimbangan hari dengan kata-kata
Sedang di luar terik mereda keteduhan menjelma
Mungkin akan lebih baik bila kita berhenti bicara
Membiarkan dunia berlangsung sebagaimana adanya
Sambil menunggu pembunuhan dalam diri kita sempurna

Sebab manusia memuat maut dalam tubuhnya



Sebuah Ruang  Rumah Ditinggal Pemiliknya Dikunci  Keheningan

Pada pepohonan merunduk
terhimpun kisah tentang angin
hujan panas dan unggas
patah sayap di sisi hari
Awan mendadak
tersibak matahari

Kalau ada yang berharga dari kehidupan
Maka itu adalah dedaunan
Menjulur setia pada cahaya
Menyerahkan diri tanpa kata-kata
Sebab musim tak bisa berbuat lain
Selagi udara menggenang cuaca mengambang
Mengembalikan pepohonan kepada tidur
Pada mata kampak dan maut segenap penjuru


Maka seluruh pepohonan bergetar
Melabuhkan butir demi butir airmata
Kisah-kisah yang menebalkan duka
Sebelum jarak menyimpan rahasia kematian
Di sebuah ruang bernama keheningan



Di Bawah Langit Bukit Ranah Singkuang

Tempatku mencari kayu api, buat anenek Maimun.
Di hutan itu, dulunya burung kuaran akan selalu ada
Burung-burung terlambat, pulang dalam senja.
Hidup yang berat, adakah hidup manusia.
Dalam jumlah rausan ribu, ditangkap pemburu yang cerdik.
Cukup seekor burung pemikat, suaranya langsung menjerat.
Di bawah langit beku
Sungai mengalir, dari hulu ke hilir.
Seakan desir angin, ricik air
Begitu-begitu saja, selamanya.

Malam, mengguris alam.
Bulan tergantung. Pepohonan mematung.
Menunggu hari. Abadi.

Sampai semuanya habis
Hutan tak sempat menangis
Burung-burung tak terbang lagi
Hidup kepalang mati
Bulan hancur mencair
Sungai berhenti mengalir
Desir angin dan pusaran cahaya
Membeku alam benda

Tuhan
Siapa manusia?


Menulis sajak
Membuka cakrawala
Membaca sejarah

Mataku penat sepanjang jalan
- sesuatu tenggelam dalam kelam -
Pada latar kelabu
kabut turun

Kurenungi kabut dengan kebimbangan yang aneh
Langit redup semata
Begitu pun dunia
Dan pada catatan yang dengan terbata kubaca:
“Kenyataan bukan impian
Hidup hanya bosan”

- di tembok-tembok dunia yang mengisyaratkan kepedihan
kulihat sajak-sajak ditulis
cakrawala terbentang
dan sejarah berulang -

Dari mata sunyi seorang lelaki
Terbaca sebuah dunia yang karam dalam kepedihan
Tepekur di keteduhan pesisir hutan bakau
Di mana burung-burung sudah tak lagi berkicau

Seberapa beratkah beban hatimu, lelaki sunyi?
Deru kehidupankah yang memadamkan cahaya matamu
Atau gelombang impiankah menghempaskanmu?

Di sampan kecil lelaki sunyi hidup sendiri
Dengan mata hampa memandang ombak di malam hari
Menyusur arus melawan arus dan diam di arus
O, lelaki tua bermata sunyi
Dukamu yang tertambat di sungai adalah duka dunia
Membuka mata siapa saja atas kesementaraan segala

Sungai apakah yang membilas tubuhmu sepanjang usia?
Sungai hibuk di tengah kota kita sungai tua bernama sungai Kampar, di sumatera tengah. Riau daratan.
Klotok dan speed-boat menabuh serbuk udara dengan suara abad
Mendesak jukung dan lanting-lanting tertambat
Masihkah tertambat cintamu pada gelombangnya
yang menepikah cita-cita masa lalu kita?
Adakah masih kuning kulit perawan pesisir
menawarkan angan dan menggelorakan nafsumu?

Sungai Kampar  sungai keruh di muaranya saja,  membelah pinggiran pulau sumatera. tercinta
Limbah pabrik dan coklat airnya masihkan menyisakan harapan?
Masihkah kau mengenang perahu-perahu kecil
yang telah bertolak ke bandar-bandar pengasingan
dan diburu gemuruh ombak  Bono ke teluk-teluk keabadian?

Di seberang bayang keabadian
Musim menipis
Udara mengering
Ombak  Bono, menderu
Menyingkirkan perahu-perahu

Di keluasan laut yang kita jelang
Tersimpan rahasia buih dan karang
Misteri kehidupan mengambang
Ombak memukul
Kilau terpantul

Semua sederhana saja sebenarnya
Perahu-perahu berlayar
Laut berdebur
Angin dingin
Tapi senantiasa ada yang tak terpahami
Pada desah sunyi abadi
Di redup cahaya bulan mati

Di balik kaki langit jauh
Burung-burung bakal berlabuh
Tempat di mana kehidupan dan airmata
Tiada

Sebelum burung-burung pulang
Sebelum langit menghilang
Pepohonan tegak
Bumi basah
Angin menerbangkan dedaunan
Seakan tak berubah senantiasa
Kebahagiaan dan bencana

Tapi burung-burung akan menangis
Awan akan menipis
musim menghembuskan kesedihan
di sepanjang pepohonan

Burung-burung pergi
pulang sendiri-sendiri
Terhapus jejak tersisa
untuk selamanya

Di ketinggian antena itu bulan pecah pohon-pohon berdarah
Manusia membusuk oleh cuaca buruk yang meninggalkan jejak
di tanah. Seperti dalam dongeng-dongeng cahaya berhamburan
Langit terbakar menyeret kekeruhan dunia di matamu
Daun-daun angsana lelah mendengar jerit karang dan batu

Dan sejarah berulang dengan perbedaan pada jarak pandang
Pohon-pohon ditanam lagi sepanjang tepian jalan raya
Menyejukkan anak-anak dari terik matahari dunia
Tapi siapa menyanyikan perih bumi dan kemurnian yang tiada
Ketika desa dan kota-kota bersaing menawarkan harga?

Dan dari menara-menara
Dan dari rumah-rumah peribadatan yang percuma
Suaramu berlumuran doa atas kemanusiaan yang jauh
Atas cahaya kebenaran yang menyusut dalam tubuh
Tapi waktu: menanam pepohonan bisu di kedalaman mataku

Di kediaman hatikah pesonamu yang paling jelita, Tuhanku?

BAB     II
               Janji enm bulan, tapi tiga bulan aku sudah datang.
Karena desakan rindu yang tiada tertahan.
Lagi pula cicin tanda pengikat, sudah dapat kubeli.
Beberapa potong pakaian belum jadi kusiapkan pula.
Tapi di jalan, mejelang ke pasar kamis, orang mengatakan
“Baru tadi maalam, Cahyani al=Kampari, menerima, lamaran orang lain.
“Ah mustahil rasanya.”. Kalau itu benar, berati aku harus gigit jari, dan bersiap-siap untuk mati.”.
 Yang menyampaikan berita padaku, seorang pedagang asongan.
Dia paling aku percaya, aku lama bersamanya, lima tahun sebelumnya.
Merekalah yang hidup dari jalanan
Adalah kami pedagang asongan
Yang hidup dari ladang
Adalah kami petani upahan
Kami yang tak nyenyak tidur
Adalah kami yang rumahnya digusur
Yang nasibnya tak mujur
Adalah kami para penganggur
Yang punya mulut tapi tak bisa bicara
Adalah kami mahasiswa Indonesia
Yang punya hak tapi tak bisa menuntut apa-apa
Adalah kami rakyat jelata
Kami semua
Berbangsa satu
Bangsa Indonesia

Tapi di mana tempat kami
Kalau kami digusur dari jalanan
Dianggap merusak pemandangan
Dan disidangkan

Tapi di mana tanah kami
Kalau kami tak lagi menggarap ladang sendiri
Mengolah sawah yang bukan milik kami
Membajak bumi tak lagi dengan cinta
Sebab ladang bukan kami punya

Tapi di mana kami tidur
Kalau rumah kami digusur
Demi tegaknya gedung-gedung konglomerat
Real estate dan lapangan golf
Villa dan toserba

Tapi sebagai mahasiswa
Bagaimana kami bicara
Kalau senjata terkokang
Di mana-mana

Tapi bagaimana para penganggur makan
Bila tak punya pekerjaan
Di mana kami mencari keadilan
Bila keadilan diperdagangkan

Sebagai rakyat jelata
Di mana tempat kami sebenarnya

Kami cinta Indonesia
Butir-butir pasir pantai pesisir
Riak danau ombak sungai gelombang samudera
Gunung menjulang dan gumpalan mega
Embusan angin hangat cuaca tropika
Hikayat raja-raja
Senang susah kami bersamanya
Bahagia sengsara kami bersamanya
Kami semua berbangsa satu
Bangsa Indonesia
Tapi airmata kami mengucur
Sepanjang desa dan kota
Di mana tempat kami sebenarnya
O, tanah air tercinta!

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook