Thursday, February 12, 2015

Sekedar Catatan Ringan M.Rakib Muballigh IKMI Pekanbaru Riau Indonesia. 2015........HP 0823 9038 1888




M.Rakib  family  Groups Ali Shari'aty with Ummi Aini and 3 others

 Sekedar Catatan Ringan  M.Rakib  Muballigh IKMI Pekanbaru  Riau  Indonesia. 2015........HP 0823  9038   1888
Urgensi Perlindungan Anak  

Alhamdu lillah…Indonesia merupakan negara yang menegakkan HAM bagi setiap warganya. Hak Asasi Manusia sendiri merupakan hak dasar yang dibawa sejak lahir yang berlaku universal pada semua manusia. Yang dimaksud dengan HAM sesuai dengan  UU RI No 39 Tahun 1999 pasal 1 yaitu “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 serta jaminannya, meski begitu masih saja banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Saya mengambil contoh salah satunya yaitu pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal hak asasi perlindungan anak jelas sudah diatur dalam:
- Undang Undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
- Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
- Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak
- Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi konversi hak anak
Contoh pelanggaran HAM pada anak-anak dapat terjadi saat hak anak di abaikan. Anak merupakan masa depan bangsa, jadi tidak ada pengecualian, hak asasi manusia untuk anak perlu di perhatikan. Contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia pada anak seperti pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids. Komnas PA menerima pengaduan kasus penelantaran sekitar 5,4 juta anak, dan pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah. Contoh lainnya yaitu gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia.
Kasus lainnya misalnya pernikahan dini, minimnya pendidikan, perdagangan anak, penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Pernikahan dini banyak terjadi di pedesaan, 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun dan 21,5% menikah sebelum mencapai 16 tahun. Kasus paling nyata dan paling segar adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo Widianto atau dikenal dengan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Di dalam pernikahan itu seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang Undang perlindungan anak.
Menurut saya, sangat disayangkan jika anak diperlakukan seperti itu. Anak mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pembangunan. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita – cita perjuangan yang dasar – dasarnya telah di letakkan oleh generasi sebelumnya.Hal ini bertujuan agar setiap anak kelak mampu memiliki tanggung jawab penuh, baik secara individual maupun universal.Oleh sebab itu anak membutuhkan perlindungan dan hukum terhdap berbagai hak – hak anak.
Dengan lahirnya UU Perlindungan Anak, diharapkan anak-anak Indonesia bisa menikmati hak mereka sebagai seorang anak. Atau bahkan mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang berkualitas dan diharapkan bisa menjadi tulang punggung bangsa yang akan menjalankan pembangunan.
Solusi dari pelanggaran HAM dalam bentuk ini juga bisa melalui Komisi Nasional Perlindungan Anak. Tugas KNPA yaitu:
- melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
- mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
- memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah segera membuat undang–undang larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU.
Solusi lainnya yaitu, jika dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat yang baik, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.


ADA KEGELISAHAN PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK
Upaya korban menggugat pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu didorong.

Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh (kiri) dan Kepala Divisi Pidana LBH Mawar Sharon, Primayvira Limbong (kanan) dalam acara diskusi "Ngopi Bareng Kumi", Rabu (7/5). Foto: RES
  •  
  •  
Revisi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) menjadi salah satu ide di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak. Kepolisian menerima banyak laporan dari masyarakat yang anggota keluarganya menjadi korban pelecehan seksual. Setelah kasus di Jakarta International School (JIS) terungkap, kasus sejenis banyak terungkap. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menetapkan status darurat perlindungan anak.


Agar kasus serupa tak terulang, KPAI memandang perlu memikirkan langkah-langkah yang menimbulkan efek jera kepada pelaku atau kepada orang yang berpotensi menjadi pelaku.

Komisioner KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh, melihat urgensi tanggap cepat pemerintah untuk mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Terutama langkah aparat penegak hukum untuk memastikan penegakan hukum dalam kasus semacam ini bisa berjalan maksimal. Kepada pelaku harus ada efek jera. Ironisnya, meskipun ancaman hukuman sudah maksimal 15 tahun, aparat penegak hukum masih belum memaksimalkannya. Walhasil, ada kegelisahan penegakan hukum perlindungan anak.

“Ada kegelisahan dalam penegakan hukum, meskipun sudah ada hukuman maksimal 15 tahun penjara, tapi jarang diterapkan. Dan kalaupun diterapkan, tidak impas atas perbuatan yang dilakukan,” kata Asrron dalam diskusi yang diadakan di hukumonline, Rabu (07/5) lalu.

Presiden SBY juga sudah meminta agar aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi berat kepada pelaku agar ada efek jera.  Salah satunya, melakukan revisi terhadap UU Perlindungan Anak.

Rencana revisi UU PA, kata Asrorun, sudah dibicarakan KPAI dengan Komisi VIII dan Badan Legislasi (Baleg) DPR. KPAI juga sudah menyusun draf revisinya. Revisi ini antara lain untuk memperkuat sanksi. “Hukuman yang berat kepada pelaku di ujung, namun juga harus disumbat di awal,” ungkapnya.

Ia menilai, maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak, dapat terjadi bukan karena faktor longgarnya hukum di Indonesia. Tetapi juga paparan pornografi dan cyber crime, longgarnya pengawasan keluarga dikarenakan kesibukan serta hubungan emosional antara ibu dan anak yang juga sangat longgar. “Yang perlu diperhatikan itu faktor awalnya. Problemnya sekarang, diserahkan ke penegak hukum, namun tidak ada langkah proaktif,” jelas Asruron.

Dengan adanya revisi UU PA, lanjutnya, bukan hanya persoalan proteksi yang nantinya akan diatur, tetapi juga lebih kepada mengisi dan pemenuhan hak dasar anak. Asruron juga menuturkan pentingnya perlindungan khusus serta perspektif pendidikan yang harus segera diperbaiki.

“Perspektif pendidikan juga harus dbongkar. Tidak sekadar kognitif saja atau fisik sekolah, tetapi harus ada value di sana. Value  di lingkungan sekolah penting untuk memberikan proteksi,” tuturnya.

Kepala Divisi Pidana LBH Mawar Sharon, Primayvira Limbong, menilai banyak hal yang luput saat menangani kasus pelecehan seksual terhadap anak. Sebagai salah satu lembaga bantuan hukum yang kerap memberikan dampingan kepada korban, ia mengatakan kepentingan hak anak menjadi bagian yang tidak dipenuhi dalam hal ini. Proses pengadilan hanya fokus kepada pelaku. “Yang luput selama ini adalah kepentingan hak anak. Bagaimana pemenuhannya?”

Vira –begitu Primavyra biasa disapa-- mendukung  revisi UU PA. Tetapi revisi juga harus dapat memberikan kepastian upaya rehabilitasi dan upaya pemenuhan perlindungan saksi dan korban. Saat ini, lanjutnya, UU PA masih mengambang. UU PA tidak memberikan ruang kepada korban tidak bisa melakukan gugatan kepada pelaku, seperti yang diterapkan di luar negeri. “UU kita belum berani. Kalau di luar, korban bisa melakukan gugatan kepada pelaku,” ungkapnya.

Vira berpendapat revisi UU PA harus menjamin adanya pemenuhan atas hak pendidikan, pemenuhan atas hak penempatan permanen, dan pemenuhan atas hak pemulihan psikologis. Vira sepakat dengan pemberian hukuman yang berat kepada pelaku. Namun ia mengingatkan, penentuan hukuman jangan diambil dalam situasi emosional. Untuk saat ini, ia berharap adanya reaksi yang cepat dari kepolisian untuk menangani masalah ini, mulai dari penyelamatan hingga proses hukum. “Sampai saat ini, tidak ditemui adanya reaksi cepat atas kasus pelecehan seksual anak oleh pihak kepolisian,” pungkasnya.
Oleh : Samsul Nizar
PENDIDIKAN bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai social machine yang bertanggungjawab untuk merekayasa masa depannya. Seorang pendidik bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Namun belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya, seperti adanya pengaduan orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan pendidik tatkala melaksanakan tugasnya di sekolah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan UU Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji.
Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Perlakuan Terhadap Guru
Sebagai tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.
Urgensi UU Guru dan Dosen
Secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Berangkat dari paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian.
Jalan Tengah
Kita tidak menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan.
Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.
Bila UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Prof Dr H Samsul Nizar MA,
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Pekanbaru.
Dikutip dari Riau Pos
Berbagi :



Indonesia termasuk negara yang serius mengatur perlindungan terhadap anak. Hal ini terlihat dari telah adanya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, pada 30 Mei 2012 Indonesia juga telah mengetuk palu pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Pada tingkat provinsi juga telah disahkan peraturan-peraturan daerah dan peraturan gubernur yang mendukung terwujudnya perlindungan terhadap anak. Akan tetapi masih terdapat kesenjangan antara regulasi dan operasional di lapangan. Kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan kasus pelanggaran terhadap anak. Sebuah upaya yang sistematis dan komprehensif diperlukan untuk memperkecil angka kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook