SEORANG
LAKI-LAKI PEMERKOSA TERMUDA
DI BARAT, ANAK SEUISIA DELAPAN TAHUN TELAH MENJADI SEORANG LAKI-LAKI PEMERKOSA TERMUDA
KEJAHATAN ANAK-ANAK DI BARAT
M.RAKIB MUBALLIGH
IKMI RIAU INDONESIA 2015
Kejahatan terhadap kesusilaan pada
umumnya menimbulkan kecemasan orang tua terhadap anak wanita,[1]
karena selain dapat mengancam
keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan, perbuatan cabul) dapat pula mempengaruhi
proses pertumbuhan ke arah kedewasaan,
seksual lebih dini. Perihal
tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2)
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat
(1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1).
Jika disimak angka yang disodorkan
oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, ditemukan angkan kekerasan terhadap
anak yang dilaporkan ada 500 kasus, pada 2005 jumlahnya naik 40 persen,
mencapai 700 kasus. Sebanyak 68 persen kekerasan dilakukan oleh orang yang
dikenal korban. Kejadian yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sudah
cukup lengkap aturan hukum yang melindungi anak-anak.[2] Kemudian Indonesia juga mempuyai Undang-Undang No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang ini, anak-anak
berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk eksploitasi
dan kekerasan. Jagankan penganiaya anak sendiri, orang yang menelantarkan anak
orang lain, sampai menjadi sakit atau menderita pun bisa dihukum penjara lima
tahun. Hanya prakteknya
tidak gampang memperkarakan orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap
anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan atau kekerasan seksual biasanya
belum mampu atau tidak berani melapor ke polisi. Akibatnya banyak kasus yang
baru terungkap setelah anak tewas. Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi
dua golongan besar: berasal dari dalam keluarga dan berasal dari luar
lingkungan keluarga.
1. Dalam keluarga, berupa :
1. Dalam keluarga, berupa :
a. Penganiayaan fisik,
berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau
pemberian racun.
b. Kelalaian, merupakan
perbuatan yang tidak disegaja akibat ketidaktahuan atau akibatan kesulitan
ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan
gagal tumbuh (failure to thrive),
anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan
perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko
terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan,
misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi
kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya,
gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga
sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan
emosional, berupa hukuman,
[3]
berbentuk kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak
mengakui anak. Sering pula berlanjut pada melalaikan anak, mengisolasinya dari
lingkungan, atau menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula
dengan penganiayaan dalam bentuk lain.
2. Menghapuskan
kekerasan di luar keluarga
Di luar keluarga, ada kekerasan yang berasal dari: satu institusi atau lembaga
tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang.
Dari uraian tersebut di atas
penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau
tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia
terutama anak. Dalam catatan penulis, dari
berbagai sumber, hanya di madarasah dan
di pesantern , dan disekolah mlainnya, paling banyak terjadi dilemma hukuman
fisik,karena lebih banyak manfaat dari pada mafsadat,[4]
karena itu, kehadiran undang-undang ini, sangat berarti. Adapun penyebab terjadinya dilemma[5]
ini, ialah situasi sulit yang mengharuskan orang
menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan
atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.Penyebab terjadinya dilemma hukuman
fisik bagi anak-anak, ialah dalam satu kelompok anak-anak.
C. Signifikansi UU Perlindungan Anak.
1. Tidak ada lagi anak-anak
yang boleh dipukul
UU
Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002, bahwa anak adalah seseorang
yang belum
berusia 18 ( delapan belas )
tahun
dikategorikan masih kanak-kanak. Apabila seseorang belum berumur 18 tahun, tiba-tiba melangsungkan
pernikahan,
dengan tegas
dikatakan dilarang pernikahan
anak di bawah Umur, karena hal itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh hak hidup sebagai remaja
yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif, sesuai dengan yang digariskan undang-undang.
Jika anak-anak tersebut, dipukul, bisa
dikatakan melakukan kekerasan dan dikriminasi terhadap anak-anak, seperti yang
dinyatakan pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23 tahun 2002, bahwa orang tua, berkewajiban ntuk mencegah adanya perkawinan
pada usia muda.
Perkawinan yang dilakukan oleh
Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dan anak di bawah umur, yang telah
dijatuhi Putusan Sela nomor 233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan
negeri Ungaran Jawa tengah pada tanggal 13 oktober 2009 batal demi hukum.
karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat yang ada pada pasal 143, ayat (2)
huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan posisi terdakwa
melakukan kekerasan terhadap korban.
Penolakan perkawinan di usia muda
yang dilakukan oleh Syekh Puji kepada anak di bawah umur. Penolakakan juga
datang dari berbagai aktifis berbagai
LSM, yang menyatakan bahwa dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek materil dan Substansi
Hukum, sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah
umur yang dilakukan oleh Syekh Puji, adalah hal yang tidak beres dalam hal
keputusan hakim dan dalam pelaksanaan putusan sering ditemukan di mana pelaku
perkawinan dini itu masih bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
2. Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2
Tentang Perlindungan anak.
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh syeh puji ini seharus nya syeh puji di jatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda 60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara.
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh syeh puji ini seharus nya syeh puji di jatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda 60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara.
Korban dari perkawinan di usia muda
ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang
tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak
wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun
belom cukup umur. pada kasus syeh puji ini seharus nya ulfa di kembalikan
kepada orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam
pernikahan di bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara
agar mendapat pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau
masih berada di tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh Syekh Puji.timbul
pertanyaaan , antara lain :
a.
Apa hakekat pernikahan
di laksanakan disaat anak masih belum
belum cukup umur ?
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syekh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada syekh Puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua dan guru kepada menunjukkan hukuman yang kejam.Fenomena kekerasan dalam bentuk hukuman di rumah atau di sekolah sudah saatnya ditiadakan, karena hukuman kadang-kadang tidak me -mecahkan masalah, tapi justru sebaliknya menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati murid.Itu membuktikan kepada kita bahwa anak tidak hanya memiliki guru yang tunggal di kelas, tapi guru bagi anak-anak kita sekarang banyak dan beragam, mulai dari mall, ‘play station’, televisi, dan lingkungan sekitar,” ujarnya. Karena itu, seharusnya bentuk-bentuk hukuman di sekolah sudah tidak relevan lagi, karena hanya akan memunculkan kebencian dan kekerasan baru, sementara di luar bentuk-bentuk kekerasan telah sedemikian nyata dilihat siswa. Pendidikan yang paling berpengaruh adalah pendidikan emosi, di mana guru harus bisa mengendalikan emosi saat berada di dalam kelas. Emosi itu sebetulnya tidak ada yang negatif dan positif, tapi yang harus diingat bahwa emosi itu harus dikendalikan,” katanya. Melalui pengendalian emosi itulah, katanya, akan tercipta emosi positif, dan akan menghasilkan hati yang senang dan situasi otak cemerlang.
Belajar
itu memang perlu kerja keras, tapi jika kerja keras itu dilakukan dengan
berbagai kegiatan yang menyenangkan, maka hasilnya juga akan menyenangkan, dan
menjadi pendidik yang menyenangkan pula. Menurut data – data yang dilihat, berupa bangkitnya minat siswa terhadap pelajaran yang
diberikan, adanya keterlibatan siswa, terciptanya makna, munculnya semangat
untuk menguasai materi pelajaran, dan munculnya atau didapatkannya nilai
kebahagiaan.[6]Tindak
kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman
video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK
Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap
siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat
mengendalikan diri. Video yang direkam oleh salah seorang siswa tanpa
sepengetahuan guru yang bersangkutan.
Pada
dasarnya orang tua dan guru menginginkan anak-anak berperilaku baik dan sopan bukan
karena takut akan hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan
fisik, mempunyai tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja,
cara yang dilakukan guru dan penerapan tersebut
perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam
menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk
mendisiplinkan siswa. Akan tetapi, anak-anak penting untuk dilindungi.[7]
Perlakuan
kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini
berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan
anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional
anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah.Di sekolah-sekolah yang tata
tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang
sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya
peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam
maupun di luar sekolah.Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan
tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk
pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh
parasiswa.[8]
Disiplin
di sini diartikan ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya bermula, sebelum
disiplin diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang benar-benar
realistik menuju suatu titik, yaitu kualitas . Lalu mengapa banyak sekolah yang
mutunya rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal sekolah.
Jawabanya mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan sehingga tidak
mudah diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan peraturan itu. Dalam
hal ini kekurangkonsistenan semua pihak. Bisa saja oknum guru tidak tahu apa yang harus
dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya mengajar apa adanya terkesan
menghabiskan waktu mengajar saja.
Banyak hal
yang harus ditangani dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi jika itu terlalu
berat mungkin bisa saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar dan mengajar
saja. Selama ini yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya kelas kosong
saat jam belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa ada tugas
yang harus dikerjakan siswa. Ketidakmasukan guru itu bisa saja karena
kepentingan dinas atau yang lain. Ketidaktepatan dalam hal guru masuk kelas
sehingga jeda waktu pergantian jam bisa dimanfaatkan siswa untuk melakukan
tindakan indisipliner. Komitmen guru dalam hal ini kadang sering menjadi
penyebabnya. Dalam manajemen sekolah, biasanya pengawasan banyak yang tidak
bisa berjalan dengan baik, lebih-lebih jika komitmen guru dan siswa rendah maka
sekolahpun akhirnya sulit majunya. Perlu adanya force.[9] Tapi ternyata peraturan sekolah itu
ada gunanya di antaranya ialah :
1.Sekolah menjadi tertib 2.Proses KBM (kegiatan belajar
mengajar) dengan nyaman dan tenang. 3.Untuk tepat waktu 4.Disiplin 5.Latihan untuk mandiri 6.Melatih murid menaati peraturan di
masyarakat kelak, dan melatih respon mereka
dalam menyikapi sebuah peraturan.[10]
Menurut
Clemes ada beberapa pertanda yang menunjukkan bila hukuman dan disiplin
sekolah tidak sesuai diterapkan,
sehingga anak sulit mematuhi disiplin sekolah disebabkan: 1.Anak yang mempunyai citra diri
yang sangat buruk, dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri, pasti membutuhkan penghargaan. 2.Anak yang takut mencoba hal-hal
yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang
melelahkan, mungkin akan lebih
bersemangat bila diberikan penghargaan. 3.Anak yang sangat manja dan takut melakukan
tugasnya sendirian, perlu diberikan penghargaan, jika dia ternyata mampu
melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain. 4.Anak yang merasa kecewa, karena
selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih
mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan penghargaan agar dia merasa mampu
untuk berhasil. 5.Anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif,
atau perasaan takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya
tidak dapat melakukannya,” dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu
melakukannya lagi,” adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan.[11]
Anak yang mengalami gangguan fisik,
motorik, atau organik, dan karena kesulitan semacam itu, sering mengalami
kegagalan dibandingkan anak lainnya yang sebaya dengannya, perlu diberikan
tugas yang sesuai dengan kebutuhannya yang khas dan juga perlu diberikan
penghargaan, atas keberhasilannya dalam melaksanakan tugasnya. Di sekolah-sekolah yang tata
tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang
sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya
peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam
maupun di luar sekolah. Penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada
tekniknya. Di bawah ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang
tertuang dalam bentuk peraturan sekolah, yakni “peraturan otoritarian,
peraturan permisif, peraturan demokratis.”[12]
[1] Pasal
penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”), pasal penganiayaan ringan sesuai Pasal
351 jo. 352 KUHP, dan Pasal 80 ayat
(1)UU Perlindungan Anak. Menurut
buku Kitab Undang-Udang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal yang ditulis R.Soesilo,1980,245. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan, perilaku siswa akan
lebih semrawut. Bisa diduga,
ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika
sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut
konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar
bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi
para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan
halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan.
[3] oleh beberapa ahli, di antaranya:
Pertama, hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja
sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi
sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak
mengulanginya. (Amin Danien Indrakusuma,1973:14. Kedua ,menghukum adalah
memberikan atau mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang
menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya
untuk menuju kearah perbaikan, ,(Suwarno,Jakarta : 1981),115.
[4]Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Syaikh ‘Abdurrahman
Ibn Nashir As-Sa’diy rahimahullah .Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat
berbenturan maka diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid (kerusakan) : bisa haram atau
makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang jelek, maka diambil
yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah satunya haram dan yang lainnya
makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka memakan sesuatu yang masih diragukan
keharamannya lebih didahulukan daripada memakan sesuatu yang pasti haramnya.
Apabila keduanya haram atau keduanya makruh, maka yang dikerjakan adalah yang
paling ringan keharamannya atau kemakruhannya. Kondisi di atas semuanya hanya
dalam kondisi darurat !!
[5]English
to English,dictionarynoun:1. state of uncertainty or perplexity
especially as requiring a choice between equally unfavorable options 2. An argument which presents an antagonist
with two or more alternatives, but is equally conclusive against him, whichever
alternative he chooses.
Di Barat, anak seuisia delapan tahun telah menjadi seorang laki-laki termuda yang diinterogerasi oleh polisi atas dugaan pemerkosaan.
Daily Mail memberitakan, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun telah menjadi seorang termuda yang akan ditanyai polisi atas dugaan pemerkosaan. Anak belia tersebut ditanyai setelah seorang gadis berusia di bawah sepuluh tahun mengklaim dirinya telah diserang anak itu.
Detektif menanyainya, tetapi mereka tak bisa menangkapnya atau tuntutan karena usianya yang masih kanak-kanak. Anak di bawah usia sepuluh tahun tidak dianggap telah mencapai usia di mana mereka dapat bertanggungjawab atas kejahatan mereka.
Aduan tersebut dibuat pada akhir tahun lalu, beberapa bulan setelah insiden tersebut diduga terjadi. Gadis itu menjalani pemeriksaan kesehatan dan diwawancarai oleh petugas spesialis.
Seorang sumber polisi mengatakan anak-anak laki-laki itu tidak akan dituntut jika dia telah berusia lebih dari tanggung jawab pidana karena tidak ada cukup bukti. Sumber menambahkan, “Ini bukan kasus tuduhan pemerkosaan oleh seorang asing. Anak-anak saling mengenal.”
Petugas menyimpulkan penyelidikan mereka dengan mengatakan bahwa mereka “tidak mengambil tindakan lebih lanjut” karena usia dan kurangnya bukti.
Anak-anak Terancam di Barat
Anak laki-laki itu adalah salah satu dari 24 anak-anak berusia di bawah 10 tahun yang ditanyai oleh Kepolisian Suffok tahun lalu dicurigai atas berbagai kejahatan. Freedom and Information Act terungkap bahwa anak delapan tahun lainnya telah ditanyai tentak dugaan serangan seks terhadap seorang gadis di wilayah Ipswich.
Seorang anak berusia lima tahun, dua orang berusia enam tahun dan delapan tahun juga ditanyai tentang dugaan pelecehan rasial di daerah Lowestoft.
Polisi Suffolk juga menyelidiki dua dugaan penyerangan yang dilakukan oleh anak usia sembilan tahun dan sembilan kasus kriminal kerusakan yang disebabkan oleh anak seusia tujuh, delapan dan sembilan tahun.
Dia mengatakan, “Dalam keadaan di mana para tersangka berada di bawah usia tanggungjawab kriminla, insiden itu, seperti kejahatan lainnya adalah sepenunya diselidiki. Namun tidak dapat ditangani dengan cara penuntutuan. Dalam kasus ini, tidak akan ada aksi lebih lanjut polisi atau tanpa dakwaan terhadap pelaku karena mereka berusia di bawah sepuluh tahun.”
Kyle Abdo menjadi pemerkosa termuda di Inggris yang dihukum ketika berusia 12 tahun pada tahun 2004 dan diganjar dua setengah tahun penjara karena telah memperkosa gadis sembilan tahun. Pengadilan Liverpool mendengar bagaiman Abdo saat usia 11 tahun, ia melakukan serangan selama permainan petak umpet di rumahnya. Seorang hakim membuat tuntutan.
Pada bulan Februari, anak laki-laki berusia 12 tahun di beri waktu pengawasan di Pengadilan Newscastle, setelah dia mengakui memperkosa seorang gadis berusia tujuh tahun dalam keadaan mabuk dalam permainan truth or dare.
Pemerkosaan pun telah terjadi di Gateshead pada bulan Februari 2006, setelah anak laki-laki berusia 11 tahun saat ia minum empat kaleng bir dan dua botol mini vodka.
Bagaimana di Indonesia?
Tidak jauh berbeda dengan di Barat. Akibat sekularisme, perzinahan telah marak di kalangan remaja. Bahkan baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita, seorang anak sekolah dasar di Klaten, Jawa Tengah, diduga mencabuli temannya hanya karena sering nonton film porno. Seperti dikabarkan Liputan6, tindakan yang memalukan oleh anak di bawah umur tersebut dilakukan sebanyak empat kali di kamar mandi sebuah rumah kosong.
Kepada petugas, pelaku berinisial BE mengaku, Senin (14/12), tergoda melakukan pencabulan karena sering diajak nonton film porno oleh remaja tetangganya. Tak hanya nonton film porno, BE pun dipengaruhi oleh tetangganya itu supaya mau melakukan hal serupa di film tersebut.
BE pun mencoba merayu teman sekolahnya yaitu DA yang masih duduk di kelas empat. Dengan iming-iming uang Rp 1.000, DA diajak berhubungan intim layaknya suami istri. Meski perbuatan tak layak ini dilakukan empat kali, BE hanya sekali memberi Rp 1.000 kepada DA. Selain harus menghabiskan waktunya di tahanan Markas Kepolisian Resor Klaten, BE harus berhadapan dengan tuduhan melanggar pasal 81 subsider 82 UU Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya adalah maksimal penjara selama 15 tahun.
Itu hanya satu kasus, belum lagi kasus-kasus lainnya, baik di tingkat SMP, SMA bahkan Universitas. Pergaulan bebas telah menyebabkan hancurnya sebagian generasi muda masa depan. Bila perzinahan merebak, terlebih lagi di negeri Muslim terbesar ini, betapa kemurkaan Allah sangat besar. Sungguh sangat mengerikan!
Sudah Nyata Kehancurannya, Malah Ditiru!
Generasi muda di Barat benar-benar hancur akibat sistem kapitalisme liberalisme yang tak mampu mendidik mereka menjadi generasi yang unggul dan berbudi pekerti baik. Persoalan kerusakkan dan kejahatan anak-anak telah menjadi salah satu masalah di Inggris. Sistem sosial yang rusak ditambah sistem pendidikan rusak seperti menyelipkan pendidikan seks di sekolah telah menggiring semakin menjamurnya kejahatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak-anak.
Kejahatan anak-anak telah menjadi salah
satu masalah di Inggris. Sistem sosial yang rusak ditambah sistem pendidikan
rusak seperti menyelipkan pendidikan seks di sekolah telah menggiring semakin
menjamurnya kejahatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak-anak.
Apa yang telah kita saksikan berupa
kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak-anak di Barat menunjukkan kerusakkan
akibat tantanan sistem sosial dan sistem pendidikan seks yang telah diterapkan
di masayakat Barat. Semua itu menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme Barat
untuk membangun peradaban yang benar.
Sungguh sangat aneh, bila di negeri
Muslim terbesar di dunia ini, mala para pemegang kebijakan mencoba memaksakan
penerapan pendidikan seks melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Padahal, kita telah menyaksikan kesehatan seks bukan menjadi solusi atas
meningkatnya kehamilan yang tidak diinginkan. Justru sebaliknya, dari beberapa
data, pergaulan bebas yang dilakukan oleh anak-anak remaja semakin meningkat.
Program
KRR telah disisipkan di dalam mata pelajaran IPA – Biologi di tingkat SMP.
Beberapa buku pelajaran IPA untuk kelas 3 SMP, dalam pembahasan Reproduksi,
telah disisipkan pengetahuan tentang cara-cara Kontrasepsi. Bila mau jujur,
kita bertanya-tanya untuk kepentingan apa sebenarnya pengetahuan kontrasepsi
dan reproduksi vulgar tersebut diberikan kepada anak-anak seusia SMP? Bukankah
usia mereka tidak diperkenankan untuk menikah, karena sistem yang ada telah
memperlambat pernikahan pada usia dini?
Bukan
hanya itu saja, disadari atau tidak, upaya perusakkan generasi muda juga telah
disisipkan di dalam pembelajaran internet. Melalui mata pelajaran Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK), lagi-lagi usia SMP telah diajarkan bahasan
internet. Hal tersebut menggiring anak-anak belia tersebut berselancar di dunia
maya. Apa yang mereka lakukan, apakah untuk mencari informasi dan pendidikan.
Hanya sedikit yang demikian. Fakta menunjukkan Indonesia termasuk negeri yang
paling banyak mengakses situs-situs porno. Beberapa komputer yang disediakan di
warnet pun dipenuhi dengan file-file yang merusak tersebut.
Upaya
perusakkan generasi muda melalui tatanan sosial semakin nyata lagi. Tidak
adanya kontrol dalam acara-acara televisi yang dipenuhi dengan adegan-adegan
syahwat gentayangan di setiap rumah. Hal ini telah menggiring para remaja untuk
berperilaku ala barat. Kini, diskotik telah masuk ke rumah-rumah kaum Muslim.
Para remaja dan generasi Muda Muslim telah digiring untuk bergaul bebas tanpa
aturan Islam. Beberapa perusahaan kapitalis telah memberikan sponsor untuk
acara perusakkan generasi Muda Muslim tersebut.
Bila
demikian yang terjadi, sungguh betapa besarnya tanggung jawab penguasa dan para
pemegang kebijakan di negeri ini. Yakin, di akhirat kelak mereka semua akan
dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan dan kebijakannya yang telah
membiarkan rakyatnya bermaksiyat. Bukan hanya para pemegang kekuasaan yang
telah membiarkan perusakkan generasi muda ini, tetapi semua pihak yang
mendukung perusakkan generasi muda tersebut. Termasuk di dalamnya, para
penyedia program televisi yang tak mendidik, para pembuat kurikulum pendidikan
yang sekular, dan juga para sponsor yang telah memberikan biaya.
Bagi kaum
Muslim, sudah saatnya kita menyadari bahwa semua terjadi akibat pemaksaan
sistem kapitalisme sekularisme ke tengah-tengah kaum Muslim. Sementara Islam
sebagai tatanan paripurna dari Maha Pencipta malah diinjak-injak oleh para
penganutnya. Sudah saatnya, kaum Muslim bangkit termasuk generasi mudanya. Tinggalkan
ide-ide rusak seperti kapitalisme, sekularisme, demokrasi dan liberalisme.
Semua ide tersebut hanya layak disimpan di tong sampah. Saatnya kini, kita
mengambil Islam sebagai satu-satunya aturan yang mampu membangung peradaban
manusia dengan benar. Hal itu dapat terwujud di bawah naungan Khilafah
Rasyidah. Insya Allah, tidak akan lama lagi segera berdiri.
[m/h/mail/l6/syabab.com]
PERLINDUNGAN ANAK MODEL KAPITALIS LIBERAL BARAT
JIKA DITERAPKAN DI INDONESIA (M.RAKIB MUBALLIGH IKMI RIAU
INDONESIA.2015) HP 0823 9038 1888
A.Perlindungan anak Indonesia
Hukuman fisik bagi anak-anak, yang
menjadi dilema bagi guru, orang tua dan anak-anak [1] itu
sendiri, karena melanggar HAM dan UU RI No.23 tahun 2002. Sedangkan hukum Islam
membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad yang lalu. Kemudian Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun 2002 Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa,
“guru dan siapapun lainnya di sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik,
kepada anak-anak.” [2]
Hal yang lebih menguatkan lagi, Indonesia merupakan salah satu negara anggota penandatanganan dari konvensi PBB
untuk hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara
menjamin bahwa: ”Tidak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman
lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau
hukuman, karena itu diajukan tuntutan
sebagai berikut:
1.
Tuntutan
penghapusan hukuman fisik
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak
begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya,[3] dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru
efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu
biasanya tidak bisa membuat jera.
2.
Hukuman fisik
bermasalah
Hukuman fisik itu membuat si anak merasa
terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri."Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya
melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya
tidak disenangi orang lain, karena ingin
diterima oleh orang lain, ia berusaha
menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan
bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan
demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan
kadar dan waktu yang tepat.
Hukuman
fisik dilakukan dengan tujuan menanamkan
rasa takut kepada anak, tapi tidak pula membuat anak seperti robot, harus mengikuti suatu
perintah. Proses pendidikan yang kaku, sangat membahayakan perkembangan
jiwa anak, karena akan melahirkan
anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah.
Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.[4]
3.Batasan perlindungan terhadap hukuman fisik
Ruang lingkup dan batasan, kewenangan negara
dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha
melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
2.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk
melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu
pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[5]
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[5]
2. Jaminan
pelaksanaan perlindungan, hendaknya dituangkan dalam suatu peraturan yang
tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau perda, yang perumusannya
sederhana teapi dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan secara merata
dalam masyarakat. Kemudian pengaturannya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di
Indonesia. Hak dan kewajiban orang tua,[6]
menurut UU No. 1 Tahun 1974:
1. Memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
2.Anak wajib menghormati orang tua dan
menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu
orang tuanya manakala sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah
kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan.
5.Orang tua
mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan
hukum.
6.Orang tua tidak boleh memindahkan hak
/menggadaikan benda yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu
juga diperhatikah hak perdata bagi anak.
4. Kepidanaan
dan keperdataan anak-anak:
4.1. Hak
dan kewajiban anak, orang tua, dan pemerintah
terhadap anak-anak.
4.2.
Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
4.3.
Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.[7]
4.4. Pengasuhan dan
pengangkatan anak serta perwalian.
4.5. Perlindungan
Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[8] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[8] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1.
Adopsi adalah suatu perbuatan pegambilan
anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang
yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan
yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2
. Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak
angkat adalah anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan .
5. Anak-anak
menjadi korban yang kekerasan
Korban kekerasan dalam rumah tangga,
berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, maka orang
lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau
mengetahui terjadinya kekerasan di sekolah atau dalam rumah tangga, wajib
melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam rumah tangga
yang diberikan kepada anak yang menjadi korban
di sekolah, [9]
dan dalam rumah tangga, antara
lain:
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan
yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b. Pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c. Penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Didampingi
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
e. Pelayanan
bimbingan rohani
B.
Urgensi Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002
1.
Menjamin, terpenuhinya hak-hak anak
UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat
dengan jelas dilihat dalam pasal 3 bahwa
perlindungan anak, bertujuan untuk menjamin, terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut,
selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU ini mengatur
hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini
juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi dalam pasal 13. Khusus
dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan.
2.Setiap anak
harus didengar pendapatnya.
Undang-Undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan
pendapatnya. Termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”[10]
Dan pada pasal 24 yang menyataakan:
“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Pentingnya pemberian perlindungan
hukum bagi anak, baru disadari pemerintah pada
tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No:
81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan
persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan
sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian
dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi
dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.
[1] Djauhari,
Seminar Nasional, Dilema Guru Dalam Proses Pendidikan, 6 Oktober , 2011. Di antara saran yang paling mengemuka
ialah mengoptimalkan Lembaga Bantuan Hukum guna pendampingan kepengacaraan
apabila ada anggota guru yang terkena jerat hukum. 4. Segera diadakan amandemen/perubahan UU
Nomor 23 Tahun 2002 khususnya terkait sanksi bagi guru yang dianggap melakukan
kekerasan terhadap anak didik. Terkait perlindungan anak dengan berlakunya UU Nomor
23 Tahun 2002 membuat para guru gelisah, tidak nyaman, dan tidak berdaya dalam
melakukan pembelaan terkait suatu tindakan guru terhadap anak didik yang dapat
dikategorikan sebagai tindakan kekerasan.sebagaimana yang diatur dalam Pasal 80
– 82, memberi ancaman pidana paling rendah selama 3 (tiga) tahun dan paling
tinggi 15 (lima belas) tahun dan denda paling rendah Rp.60.000.000,– (enam
puluh juta rupiah) dan paling tinggi Rp.300.000.000,– (tiga ratus juta rupiah).
[2]
Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari
hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari
orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar
penderitaan umat manusia ini bisa sirna." Tetapi argumentasi
beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum
tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima
pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari
hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah
terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim itulah
yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. Lihat juga Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit.,121
[3] Joan Durant yang merupakan kepala peneliti dan
rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of Eastern Ontario di Ottawa,
mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi agresif dan anti
sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan pertumbuhan.
Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman fisik akan mengurangi
materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen atau IQ.
"Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan mengakibatkan sikap agresif pada
anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami banyak kesulitan, misalnya saja
depresi dan penggunaan narkoba," ujar Durant. "Tidak ada penelitian
yang menunjukkan hasil positif jangka panjang dari hukuman fisik,"
tambahnya. Hukuman fisik sudah tidak boleh diterapkan di 32 negara, tetapi
masih banyak orang tua yang mempertahankan hukuman ini. Harapan Joan Durant
dari penelitian ini, para orang tua tidak hanya melihat hukuman fisik sebagai
hal mereka, tetapi melihat efek buruk dari perspektif medis yang akan diderita
anak dalam waktu yang sangat lama. Terkait
dengan tindak kekerasan guru terhadap siswa, data KPAI melalui hot line service
dan pengaduan ke KPAI memperlihatkan angka kenaikan, pada tahun 2007 dilaporkan
555 kasus kekerasan pada anak, 18 % dilakukan oleh guru, sementara pada tahun
2008 terjadi 806 kekerasan anak yang dilaporkan, 39 % dilakukan oleh guru
(Kompas 6-3-2009)..
[4] Ibid, 78. Bandingkan dengan Van S. Lambroso dengan teori
Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat ditemukan
dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang.
Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana
baik secara langsung maupun tidak langsung.Untuk mencari faktor yang lebih
esensial dari bentuk tindak pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna
kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara
ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku tindak pidana
kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai faktor dapat dijadikan sebagai
sistem untuk merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan anak pada
khususnya. Berbeda dengan seseorang anak dalam melakukan kejahatan, tampak
bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak yang jelas semuanya
tidak terstruktur maupun disikapi terlebih dahulu. Masyarakat yang baik di masa
yang akan mendatang bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak sekarang sebagai
generasi penerus. Anak-anak yang baik dalam berperilaku sangat menunjang
terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku
jahat anak-anak perlu segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem
sosial masyarakat yang baik.
[5]
Merekai yang pro dengan hukuman fisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen
sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut
mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan
nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi
memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal
atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. Dalam kaitan ini, Russel
menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam
proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai
alternatif kedua."John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik
kadang-kadang diperlukan. Lihat juga TM.Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Islam Dan Hak Asasi Manusia, ,
(Semarang, Pustaka Rizki Putra : 1997), 12
[6] Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan), yang berbunyi, Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah: baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
Selanjutnya, Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
[7]
Tidak seorangpun menginginkan terjadinya tindak
kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua
sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak. Hukuman secara fisik dan
emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak
bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang
berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya
terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54
secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang
untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan
salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan
dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun
boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi
ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya
undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal
ini sebagaimana laporan penelitian Nur
Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah ditemukan
bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan
kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami
hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.
[9] Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan
rasa prihatin masih banyaknya kasus-kasus
kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN
Kepatihan, Banyuwangi. Kekerasan di sekolah
selama ini menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar
25% dari semua kasus kekerasan yg
dilaporkan ke KPAI selama tahun 2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena
beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak, juga
karena guru kurang profesional, miskin
metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk
mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang
diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal,
kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini
sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU
Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan
dalam UU PA. "Pendidikan tak hanya mensosialisasikan UU
Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak,
agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak,"
tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA
menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg
dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar,
bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau
denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau
denda 100 juta untuk kekerasan berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, (
Jakarta, , Sinar Grafika : 2008) ,28
[10]
Ada 10
kesalahan orang tua yang tidak disadari 1. Menyatakan
“Saya tidak salah, orang lain yang salah” .Setiap ia mengalami
suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah
adalah orang lain, benda lain & situasi tertentu, dan dirinya selalu
benar. Yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang
lain yang . Akibatnya ketika dewasa.Sulit
mengakui kesalahan diri sendiri ( sulit untuk intropeksi diri ) Selalu
menyalahkan pihak lain atau situasi tertentu. Susah diberi masukan 2. “Mengajari Anak untuk Membalas Ketika anak memukul atau dipukul, sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anaknya disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Akibatnya ketika dewasa.Sering
membalas, melawan balik atau membalikkan apa yang orang lain sampaikan
kepadanya. 3.
Televisi sebagai agen Pendidikan Anak..Banyak orang tua yang tidak mau pusing dan tidak mau repot untuk mendidik
karakter anak sejak dini dan suk-kontrakan tanggung jawab mendidik ini kepada
televisi, pembantu di rumah atau guru di sekolah. Anak dibiarkan berjam-jam
menonton TV supaya orang tua bisa melakukan aktivitas lain. Akibatnya ketika
dewasa: Banyak pola pikir salah yang menetapkan dalam pikirannya ,
Kekerasan , Materialisme, Balas dendam,Sifat kurang kreatif dan produktif .
Romantisme yang salah 4. Mudah terpancing emosi ketika keinginan anak tidak
terpenuhi, si anak sering kali rewel atau merengek, menangis, berguling dsb,
dengan tujuan memancing emosi orang tua yang pada akhirnya ortu marah atau
malah mengalah. Jika terpancing, anak akan merasa menang, dan merasa bisa mengendalikan
orang tuanya. Akibatnya ketika dewasa:
Mudah manipulasi orang lain dengan pura2 sakit, minta dikasihani Suka menuntut
keinginannya dipenuhi à bila tidak : malas – marah - balas dendam 5.
“Berbohong Kecil – Tidak tepati
janji Tanpa sadar kita
sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari
keinginannya. Apakah kita menjelaskannya
dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan
perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi?Akibatnya ketika dewasa: Mudah
janji pada orang lain, tetapi tidak menepati ( integritas ) Suka berbohong 6.
“Banyak Mengancam”“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh
dan nggak ada yang mau menolong!””Ini salah.....itu tidak benar...., nanti
dihukum Bu Guru loh” “….nanti Mama/Papa marah!”Akibatnya ketika dewasa: Tidak percaya diri – takut
salah Kurang kreatif 7. Memberi julukan yang buruk Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Akibatnya
ketika dewasa: Minder 8. Mengejek
/ Menggoda ( yang tidak disukai anak ) Orang tua yang biasa
menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi
kesal. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering
terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Akibatnya ketika dewasa: Kurang hargai orang tua Minder 9. Menghukum Anak Saat Kita Marah Jangan
pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita
sedang memuncak, karena seringkali yang keluar dari mulut kita, akan cenderung
menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Akibatnya ketika dewasa:
Kepahitan / terluka Tidak mudah mengampuni orang lain Emosional ( pemarah , mudah tersinggung )
Sulit bekerja sama dalam team 10.
Menekankan pada sesuat yang Salah Banyak orang tua yang sering bicara /
berkomentar ketika anaknya tidak akur, suka bertengkar, malas, nakal, ulangan
jelek, dsb. Namun pada saat mereka bermain dengan akur, nilai bagus, rajin
belajar, kita seringkali menganggapnya tidak perlu memberi komentar.
No comments:
Post a Comment