KEJAHATAN ANAK-ANAK DI BARAT
M.RAKIB MUBALLIGH
IKMI RIAU INDONESIA 2015
Kejahatan anak-anak telah menjadi salah
satu masalah di Inggris. Sistem sosial yang rusak ditambah sistem pendidikan
rusak seperti menyelipkan pendidikan seks di sekolah telah menggiring semakin
menjamurnya kejahatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak-anak.
Apa yang telah kita saksikan berupa
kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak-anak di Barat menunjukkan kerusakkan
akibat tantanan sistem sosial dan sistem pendidikan seks yang telah diterapkan
di masayakat Barat. Semua itu menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme Barat
untuk membangun peradaban yang benar.
Sungguh sangat aneh, bila di negeri
Muslim terbesar di dunia ini, mala para pemegang kebijakan mencoba memaksakan
penerapan pendidikan seks melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Padahal, kita telah menyaksikan kesehatan seks bukan menjadi solusi atas
meningkatnya kehamilan yang tidak diinginkan. Justru sebaliknya, dari beberapa
data, pergaulan bebas yang dilakukan oleh anak-anak remaja semakin meningkat.
Program
KRR telah disisipkan di dalam mata pelajaran IPA – Biologi di tingkat SMP.
Beberapa buku pelajaran IPA untuk kelas 3 SMP, dalam pembahasan Reproduksi,
telah disisipkan pengetahuan tentang cara-cara Kontrasepsi. Bila mau jujur,
kita bertanya-tanya untuk kepentingan apa sebenarnya pengetahuan kontrasepsi
dan reproduksi vulgar tersebut diberikan kepada anak-anak seusia SMP? Bukankah
usia mereka tidak diperkenankan untuk menikah, karena sistem yang ada telah
memperlambat pernikahan pada usia dini?
Bukan
hanya itu saja, disadari atau tidak, upaya perusakkan generasi muda juga telah
disisipkan di dalam pembelajaran internet. Melalui mata pelajaran Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK), lagi-lagi usia SMP telah diajarkan bahasan
internet. Hal tersebut menggiring anak-anak belia tersebut berselancar di dunia
maya. Apa yang mereka lakukan, apakah untuk mencari informasi dan pendidikan.
Hanya sedikit yang demikian. Fakta menunjukkan Indonesia termasuk negeri yang
paling banyak mengakses situs-situs porno. Beberapa komputer yang disediakan di
warnet pun dipenuhi dengan file-file yang merusak tersebut.
Upaya
perusakkan generasi muda melalui tatanan sosial semakin nyata lagi. Tidak
adanya kontrol dalam acara-acara televisi yang dipenuhi dengan adegan-adegan
syahwat gentayangan di setiap rumah. Hal ini telah menggiring para remaja untuk
berperilaku ala barat. Kini, diskotik telah masuk ke rumah-rumah kaum Muslim.
Para remaja dan generasi Muda Muslim telah digiring untuk bergaul bebas tanpa
aturan Islam. Beberapa perusahaan kapitalis telah memberikan sponsor untuk
acara perusakkan generasi Muda Muslim tersebut.
Bila
demikian yang terjadi, sungguh betapa besarnya tanggung jawab penguasa dan para
pemegang kebijakan di negeri ini. Yakin, di akhirat kelak mereka semua akan
dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan dan kebijakannya yang telah
membiarkan rakyatnya bermaksiyat. Bukan hanya para pemegang kekuasaan yang
telah membiarkan perusakkan generasi muda ini, tetapi semua pihak yang
mendukung perusakkan generasi muda tersebut. Termasuk di dalamnya, para
penyedia program televisi yang tak mendidik, para pembuat kurikulum pendidikan
yang sekular, dan juga para sponsor yang telah memberikan biaya.
Bagi kaum
Muslim, sudah saatnya kita menyadari bahwa semua terjadi akibat pemaksaan
sistem kapitalisme sekularisme ke tengah-tengah kaum Muslim. Sementara Islam
sebagai tatanan paripurna dari Maha Pencipta malah diinjak-injak oleh para
penganutnya. Sudah saatnya, kaum Muslim bangkit termasuk generasi mudanya. Tinggalkan
ide-ide rusak seperti kapitalisme, sekularisme, demokrasi dan liberalisme.
Semua ide tersebut hanya layak disimpan di tong sampah. Saatnya kini, kita
mengambil Islam sebagai satu-satunya aturan yang mampu membangung peradaban
manusia dengan benar. Hal itu dapat terwujud di bawah naungan Khilafah
Rasyidah. Insya Allah, tidak akan lama lagi segera berdiri.
[m/h/mail/l6/syabab.com]
PERLINDUNGAN ANAK MODEL KAPITALIS LIBERAL BARAT
JIKA DITERAPKAN DI INDONESIA (M.RAKIB MUBALLIGH IKMI RIAU
INDONESIA.2015) HP 0823 9038 1888
A.Perlindungan anak Indonesia
Hukuman fisik bagi anak-anak, yang
menjadi dilema bagi guru, orang tua dan anak-anak [1] itu
sendiri, karena melanggar HAM dan UU RI No.23 tahun 2002. Sedangkan hukum Islam
membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad yang lalu. Kemudian Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun 2002 Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa,
“guru dan siapapun lainnya di sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik,
kepada anak-anak.” [2]
Hal yang lebih menguatkan lagi, Indonesia merupakan salah satu negara anggota penandatanganan dari konvensi PBB
untuk hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara
menjamin bahwa: ”Tidak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman
lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau
hukuman, karena itu diajukan tuntutan
sebagai berikut:
1.
Tuntutan
penghapusan hukuman fisik
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak
begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya,[3] dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru
efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu
biasanya tidak bisa membuat jera.
2.
Hukuman fisik
bermasalah
Hukuman fisik itu membuat si anak merasa
terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri."Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya
melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya
tidak disenangi orang lain, karena ingin
diterima oleh orang lain, ia berusaha
menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan
bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan
demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan
kadar dan waktu yang tepat.
Hukuman
fisik dilakukan dengan tujuan menanamkan
rasa takut kepada anak, tapi tidak pula membuat anak seperti robot, harus mengikuti suatu
perintah. Proses pendidikan yang kaku, sangat membahayakan perkembangan
jiwa anak, karena akan melahirkan
anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah.
Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.[4]
3.Batasan perlindungan terhadap hukuman fisik
Ruang lingkup dan batasan, kewenangan negara
dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha
melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
2.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk
melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu
pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[5]
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[5]
2. Jaminan
pelaksanaan perlindungan, hendaknya dituangkan dalam suatu peraturan yang
tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau perda, yang perumusannya
sederhana teapi dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan secara merata
dalam masyarakat. Kemudian pengaturannya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di
Indonesia. Hak dan kewajiban orang tua,[6]
menurut UU No. 1 Tahun 1974:
1. Memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
2.Anak wajib menghormati orang tua dan
menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu
orang tuanya manakala sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah
kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan.
5.Orang tua
mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan
hukum.
6.Orang tua tidak boleh memindahkan hak
/menggadaikan benda yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu
juga diperhatikah hak perdata bagi anak.
4. Kepidanaan
dan keperdataan anak-anak:
4.1. Hak
dan kewajiban anak, orang tua, dan pemerintah
terhadap anak-anak.
4.2.
Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
4.3.
Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.[7]
4.4. Pengasuhan dan
pengangkatan anak serta perwalian.
4.5. Perlindungan
Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[8] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[8] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1.
Adopsi adalah suatu perbuatan pegambilan
anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang
yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan
yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2
. Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak
angkat adalah anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan .
5. Anak-anak
menjadi korban yang kekerasan
Korban kekerasan dalam rumah tangga,
berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, maka orang
lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau
mengetahui terjadinya kekerasan di sekolah atau dalam rumah tangga, wajib
melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam rumah tangga
yang diberikan kepada anak yang menjadi korban
di sekolah, [9]
dan dalam rumah tangga, antara
lain:
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan
yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b. Pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c. Penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Didampingi
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
e. Pelayanan
bimbingan rohani
B.
Urgensi Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002
1.
Menjamin, terpenuhinya hak-hak anak
UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat
dengan jelas dilihat dalam pasal 3 bahwa
perlindungan anak, bertujuan untuk menjamin, terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut,
selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU ini mengatur
hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini
juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi dalam pasal 13. Khusus
dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan.
2.Setiap anak
harus didengar pendapatnya.
Undang-Undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan
pendapatnya. Termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”[10]
Dan pada pasal 24 yang menyataakan:
“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Pentingnya pemberian perlindungan
hukum bagi anak, baru disadari pemerintah pada
tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No:
81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan
persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan
sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian
dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi
dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.
[1] Djauhari,
Seminar Nasional, Dilema Guru Dalam Proses Pendidikan, 6 Oktober , 2011. Di antara saran yang paling mengemuka
ialah mengoptimalkan Lembaga Bantuan Hukum guna pendampingan kepengacaraan
apabila ada anggota guru yang terkena jerat hukum. 4. Segera diadakan amandemen/perubahan UU
Nomor 23 Tahun 2002 khususnya terkait sanksi bagi guru yang dianggap melakukan
kekerasan terhadap anak didik. Terkait perlindungan anak dengan berlakunya UU Nomor
23 Tahun 2002 membuat para guru gelisah, tidak nyaman, dan tidak berdaya dalam
melakukan pembelaan terkait suatu tindakan guru terhadap anak didik yang dapat
dikategorikan sebagai tindakan kekerasan.sebagaimana yang diatur dalam Pasal 80
– 82, memberi ancaman pidana paling rendah selama 3 (tiga) tahun dan paling
tinggi 15 (lima belas) tahun dan denda paling rendah Rp.60.000.000,– (enam
puluh juta rupiah) dan paling tinggi Rp.300.000.000,– (tiga ratus juta rupiah).
[2]
Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari
hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari
orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar
penderitaan umat manusia ini bisa sirna." Tetapi argumentasi
beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum
tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima
pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari
hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah
terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim itulah
yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. Lihat juga Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit.,121
[3] Joan Durant yang merupakan kepala peneliti dan
rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of Eastern Ontario di Ottawa,
mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi agresif dan anti
sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan pertumbuhan.
Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman fisik akan mengurangi
materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen atau IQ.
"Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan mengakibatkan sikap agresif pada
anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami banyak kesulitan, misalnya saja
depresi dan penggunaan narkoba," ujar Durant. "Tidak ada penelitian
yang menunjukkan hasil positif jangka panjang dari hukuman fisik,"
tambahnya. Hukuman fisik sudah tidak boleh diterapkan di 32 negara, tetapi
masih banyak orang tua yang mempertahankan hukuman ini. Harapan Joan Durant
dari penelitian ini, para orang tua tidak hanya melihat hukuman fisik sebagai
hal mereka, tetapi melihat efek buruk dari perspektif medis yang akan diderita
anak dalam waktu yang sangat lama. Terkait
dengan tindak kekerasan guru terhadap siswa, data KPAI melalui hot line service
dan pengaduan ke KPAI memperlihatkan angka kenaikan, pada tahun 2007 dilaporkan
555 kasus kekerasan pada anak, 18 % dilakukan oleh guru, sementara pada tahun
2008 terjadi 806 kekerasan anak yang dilaporkan, 39 % dilakukan oleh guru
(Kompas 6-3-2009)..
[4] Ibid, 78. Bandingkan dengan Van S. Lambroso dengan teori
Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat ditemukan
dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang.
Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana
baik secara langsung maupun tidak langsung.Untuk mencari faktor yang lebih
esensial dari bentuk tindak pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna
kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara
ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku tindak pidana
kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai faktor dapat dijadikan sebagai
sistem untuk merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan anak pada
khususnya. Berbeda dengan seseorang anak dalam melakukan kejahatan, tampak
bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak yang jelas semuanya
tidak terstruktur maupun disikapi terlebih dahulu. Masyarakat yang baik di masa
yang akan mendatang bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak sekarang sebagai
generasi penerus. Anak-anak yang baik dalam berperilaku sangat menunjang
terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku
jahat anak-anak perlu segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem
sosial masyarakat yang baik.
[5]
Merekai yang pro dengan hukuman fisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen
sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut
mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan
nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi
memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal
atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. Dalam kaitan ini, Russel
menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam
proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai
alternatif kedua."John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik
kadang-kadang diperlukan. Lihat juga TM.Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Islam Dan Hak Asasi Manusia, ,
(Semarang, Pustaka Rizki Putra : 1997), 12
[6] Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan), yang berbunyi, Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah: baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
Selanjutnya, Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
[7]
Tidak seorangpun menginginkan terjadinya tindak
kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua
sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak. Hukuman secara fisik dan
emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak
bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang
berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya
terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54
secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang
untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan
salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan
dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun
boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi
ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya
undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal
ini sebagaimana laporan penelitian Nur
Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah ditemukan
bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan
kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami
hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.
[9] Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan
rasa prihatin masih banyaknya kasus-kasus
kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN
Kepatihan, Banyuwangi. Kekerasan di sekolah
selama ini menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar
25% dari semua kasus kekerasan yg
dilaporkan ke KPAI selama tahun 2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena
beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak, juga
karena guru kurang profesional, miskin
metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk
mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang
diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal,
kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini
sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU
Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan
dalam UU PA. "Pendidikan tak hanya mensosialisasikan UU
Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak,
agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak,"
tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA
menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg
dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar,
bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau
denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau
denda 100 juta untuk kekerasan berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, (
Jakarta, , Sinar Grafika : 2008) ,28
[10]
Ada 10
kesalahan orang tua yang tidak disadari 1. Menyatakan
“Saya tidak salah, orang lain yang salah” .Setiap ia mengalami
suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah
adalah orang lain, benda lain & situasi tertentu, dan dirinya selalu
benar. Yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang
lain yang . Akibatnya ketika dewasa.Sulit
mengakui kesalahan diri sendiri ( sulit untuk intropeksi diri ) Selalu
menyalahkan pihak lain atau situasi tertentu. Susah diberi masukan 2. “Mengajari Anak untuk Membalas Ketika anak memukul atau dipukul, sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anaknya disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Akibatnya ketika dewasa.Sering
membalas, melawan balik atau membalikkan apa yang orang lain sampaikan
kepadanya. 3.
Televisi sebagai agen Pendidikan Anak..Banyak orang tua yang tidak mau pusing dan tidak mau repot untuk mendidik
karakter anak sejak dini dan suk-kontrakan tanggung jawab mendidik ini kepada
televisi, pembantu di rumah atau guru di sekolah. Anak dibiarkan berjam-jam
menonton TV supaya orang tua bisa melakukan aktivitas lain. Akibatnya ketika
dewasa: Banyak pola pikir salah yang menetapkan dalam pikirannya ,
Kekerasan , Materialisme, Balas dendam,Sifat kurang kreatif dan produktif .
Romantisme yang salah 4. Mudah terpancing emosi ketika keinginan anak tidak
terpenuhi, si anak sering kali rewel atau merengek, menangis, berguling dsb,
dengan tujuan memancing emosi orang tua yang pada akhirnya ortu marah atau
malah mengalah. Jika terpancing, anak akan merasa menang, dan merasa bisa mengendalikan
orang tuanya. Akibatnya ketika dewasa:
Mudah manipulasi orang lain dengan pura2 sakit, minta dikasihani Suka menuntut
keinginannya dipenuhi à bila tidak : malas – marah - balas dendam 5.
“Berbohong Kecil – Tidak tepati
janji Tanpa sadar kita
sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari
keinginannya. Apakah kita menjelaskannya
dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan
perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi?Akibatnya ketika dewasa: Mudah
janji pada orang lain, tetapi tidak menepati ( integritas ) Suka berbohong 6.
“Banyak Mengancam”“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh
dan nggak ada yang mau menolong!””Ini salah.....itu tidak benar...., nanti
dihukum Bu Guru loh” “….nanti Mama/Papa marah!”Akibatnya ketika dewasa: Tidak percaya diri – takut
salah Kurang kreatif 7. Memberi julukan yang buruk Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Akibatnya
ketika dewasa: Minder 8. Mengejek
/ Menggoda ( yang tidak disukai anak ) Orang tua yang biasa
menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi
kesal. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering
terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Akibatnya ketika dewasa: Kurang hargai orang tua Minder 9. Menghukum Anak Saat Kita Marah Jangan
pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita
sedang memuncak, karena seringkali yang keluar dari mulut kita, akan cenderung
menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Akibatnya ketika dewasa:
Kepahitan / terluka Tidak mudah mengampuni orang lain Emosional ( pemarah , mudah tersinggung )
Sulit bekerja sama dalam team 10.
Menekankan pada sesuat yang Salah Banyak orang tua yang sering bicara /
berkomentar ketika anaknya tidak akur, suka bertengkar, malas, nakal, ulangan
jelek, dsb. Namun pada saat mereka bermain dengan akur, nilai bagus, rajin
belajar, kita seringkali menganggapnya tidak perlu memberi komentar.
No comments:
Post a Comment