BAGIAN 10
NOVEL EMPAT
PROFESOR SATU CINTA
TRAGEDI PALACUR INTELEKTUAL...Karya M.Rakib Pekanbaru..Riau 2015
Karya M.Rakib Pekanbaru
Riau Indonesia. 2015
Profesor Yazid
: Kau jangan menginginkan pasangan hidupmu gadis yang tercantik di dusun
ini, itu namanya tidak tahu diri, tahu dirilah kau dan sadar diuntung nasibmu,
dirimu itu rendah, tidak ada orang yang simpatik pada dirimu.
Sang
Penyair : Aku tentu
menginginkan yang tercantik, tapi itupun kalau ada yang menunjukkan tanda-tanda
dia mau. Jika mereka keberatan, aku tidak akan memaksakannya.(Ini kisah 20
tahun yang lalu, tapi kini berbeda sang penyair tidak lagi di dusun, bahkan
sudah sukses di kota, dan baru saja mendapatkan gelar doktornya.)
Setelah
mendapatkan gelar doktor, sang penyair, teringat kembali pada seorang gadis
dusun, yang 20 tahun yang lalu pernah memberinya sesuap nasi, di saat sang penyair mengambil
upah menanam pohon singkong di lereng bukit Raanah Singkuang, ujung bukit dari
deretan bukit barisan yang membelah Pulau Sumatra, khusunya di daerah kabupaten
Kampar Riau daratan. Beberapa pantun lama masih disimpan sang penyair, yang
menggambarkan betapa indahnya deretan pohon ubi singkong, ketela pohon di
lereng bukit.
Ubi ditanam di lereng
bukit,
Bukit bernama, Ranah Singkuang.
Penderitaan tak akan, jadi penyakit,
Karena harapan, dalam berjuang.
Bukit terpencil, subur dan indah,
Ditempuh dalam, perjalanan sulit.
Penyakit tersingkir, datanglah berkah.
Siang dan malam, mengucapkan zikir.
Pemandangan sebaris pohon ubi kayu
dengan selingan bunga-bunga liar, bermekaran pasti mengundang perhatian.
Sewaktu diterpa sinar matahari yang lembut yang terpancar menembus awan-awan, bunga
dan daun-daun mahkotanya, tampak berkilau putih kemerah-merahan. Pemandangan
kebun ketela pohon memang memukau lagi.
Sang penyair, awalnya menganggap daerah ini sangat asing. Dia juga
belajar tentang cara menanam pohon ubi
yang dapat menghasilkan efek yang memesonakan. Misalnya, deretan-deretan
pohon ubi kayu yang ditanam sejajar sehingga dahan-dahannya saling bersentuhan
akan membentuk ’terowongan pohon tempat bernaung’. Bayangkanlah gugusan-gugusan
persilangan daun ubi kayu menaungi kepala orang yang berjalan di bawahnya, bagaikan
kanopi hijau yang begitu indah. Sementara kaki
melangkah di atas daun-daun
rumput mahkota yang bertebaran.
Akan tetapi,
bunga-bunga padi yang halus di lembah bukit itu tidak tahan lama—penampilan terindahnya
hanya dua sampai tiga hari. Bergantung cuaca, umurnya kadang-kadang lebih
singkat lagi.
Sampai sekarang, masyarakat Ranah Singkuang, Kampar, masih terus mengagumi keindahan susunan daun
ubi kayu dan kelezatannya. Kebun
singkong yang indah sering bermotifkan lingkungan dan ekonomi, mendampingi
beras sebagai makanan pokok. Gambaran pentingnya ubi kayu itu, terdapat pada makanan produksi rumah tangga, berupa kerupuk, tapai, godok dan
kripik yang berkualitas tinggi. Kerupuk
ubi begitu disukai sehingga para orang tua bahkan dengan bangga memberi nama kerupuk
harum, yangn ditangani perempuan mereka yang cantik.
Kerupuk ubi kayu yang ringkih, namun
cukup kuat untuk mempengaruhi kebudayaan suatu daerah, menjadi contoh yang
menonjol tentang kelezatan dan keindahan
yang sedap dipandang di antara berbagai karya menakjubkan dari Sang Mahapencipta.
No comments:
Post a Comment