Tuesday, February 17, 2015

BAGIAN KE-6 TEGURAN KEPADA PROFESOR



NOVEL   EMPAT PROFESOR SATU CINTA
(Menebas tebing Pelacur intelektual)
BAGIAN KE-6
TEGURAN KEPADA PROFESOR AMAR MAKRUF
Karya M.Rakib  Muballigh IKMI Riau Indonesia

 
temanku, Hamzah,Absir, M.Rakib(aku)
Sang profesor, dapat teguran dari Direktur Pasca, karena beliau sudah melewati batas waktu yang sudah ditentukan oleh unniversitas. Sudah tiga tahun disertasi sang penyair ditahan oleh Profesor Amar, dengan alasan “Belum Layak Uji”. Setiap sang penyair datang, hanya diperiksa tiga sampai tujuh lembar, padahal disertasi itu 300 lembar, kapnlah akan selesainya. Dihitung d]sejak kuliah pertama, sudah memakan waktu 11 tahun. Memeriksa tulisan itu berlama-lama:
Proesor  Amar   Makruf     :   Semua mahasiswa jengkel padaku, padahal aku menginginkan kualitas.Mahasiswa sekarang dizalimi oleh pembimbing mereka, pelacur intelektual.
Sang Penyair                       :  Penulisan kata “Pasal” di dalam disrtasi itu, Bapak katakan harus ditulis dengan huruf kecil “pasal” padahal menurut buku petunjuknya memang, harus ditulis dengang huruf “P” besar. Kemudian penulisan catatan kaki” Ibid”, Bapak katakan, tidak boleh diikuiti dengan nomor halaman, padahal boleh, kalau nomor halamannya berbeda.(Akhirnya sang profesor mengambil penghapus pinsil, dan menghapus kalimat yang sebelumya terlanjur dicoretnya.)
Oh Profesor Amar Makruf, yang bertahta di hatinya sendiri.
Engkau  mengulur waktu melilit bisu, dan kaku.
Pada bola matamu,  terbentang ragu, sombong pelacur yang lugu
Ada pelangi memintas sepi, dalam fikiranmu
Dan nyatanya  engkau  enggan kembali, ketika kebenaran itu berada di tangan mahasiswamu
Mahasiswa kau anggap bodoh semua, hanya engkau yang cerdas


Berlari kini kita menyemak masa
Pada seribu purnama diam kita sama merasa

Ribuan gelaran senja menjadi saksi
Pada janji bukan sekedar mengada

Tapi kini kasih; kita menikam jantung bukan karena cinta
Semata hanya pada sebuah senja,
kita mau tertunduk pasrah pada kenangan
Ini cinta kubilang; tapi kita sama tak berdaya.

 Sang profesor lupa, bahwa“tak ada kusut yang tak terselesaikan tak ada keruh yang tak terjernihkan”(perilaku adat dalam menyelesaikan permasalahan)
“berat sama dipikul ringan sama dijinjing”
(menyelesaikan masalah tanpa masalah)
“sakit jenguk menjenguk, senang jelang menjelang”
(tercipta semangat gotong royong)
“senasib sepenanggungan, senasib semalu”
(mengokohkan persatuan dan kesatuan, rasa memiliki dan bertanggung jawab)
“kecil menjadi tuan rumah, besar menjadi tuah negeri”
“cerdik menjadi penyambung lidah, berani menjadi pelapis”
“pandai tempat bertanya, alim tempat bertuah”
“muda menjadi contoh, tua menjadi teladan”
“budaya menjadi ikutan, bahasanya menjadi pegangan”
Keberadaan adat yang sebenar adat atau adat yang asli dalam wujud syarak (hukum yang bersendi kepada agama Islam) jika dirusak oleh manusia, niscaya akan menerima akibat yang fatal, berupa kehancuran. Dalam bentuk hukum-hukum alam tidak dapat diubah oleh akal pikiran dan hawa nafsu manusia.
Pelaku bidah atau perubahan ajaran agama Islam, ajaran yang menyalahi ajaran yang benar diancam dengan azab. Sedangkan hukum alam itu sendiri telah memperlihatkan adat sebagai sifat-sifat akan yang semula, misalnya:
Adat buluh bermiang,
Adat tajam melukai,
Adat air mambasahi,
Adat api menghangus
Adat hukum alam yang berbunyi:
“adat muda menanggung rindu,
adat tua menanggung ragam”
Adat buah pikiran leluhur manusia yang piawai, yang berperan mengatur kehidupan manusia. Adat ini sewaktu-waktu bisa berubah oleh ruang dan waktu serta tergantung selera manusia pada zamannya. Perancang adat Melayu yang diadatkan ini satu diantaranya adalah Datuk Demang Daun Lebar yang telah merancang asas kehidupan kerajaan atau negara.
“Raja tidak menghina rakyat dan rakyat tidak durhaka kepada raja”
Adat ini telah memberikan kedudukan yang seimbang antara pihak pemerintah (raja) dengan pihak yang diperintah (rakyat). Dengan kata lain adat Melayu ini yang member dasar yang kokoh terhadap nilai demokrasi.
Contoh adat yang diadatkan dalam masyarakat Melayu dan sampai saat ini masih digunakan di Kabupaten Lingga. Adat ini bernama ”berawah”, misalnya, seorang peternak yang tidak mempunyai ternak (ayam, kambing). Dia menawarkan diri untuk memelihara ternak tersebut kepada peternak yang mempunyai ayam, kambing. Hasilnya dibagi (dua satu).
Artinya yang mempunyai ayam apabila beranak mendapat satu ekor. Sedangkan yang meminjam ternak mendapat dua ekor. Inilah yang dinamakan adat yang diadatkan dengan istilah ”berawah”.Adat yang diadatkan ini merupakan dasar-dasar hukum rancangan leluhur. Sebagaimana ditulis Tenas Effendy dalam Tunjuk Ajar Melayu tahun 1994.
kalau hidup hendak selamat
peliharalah laut dengan selat
peliharalah tanah berhutan lebat
di situlah terkandung rezki dan rahmat
di situlah terkandung tamsil ibarat
di situlah terkandung aneka nikmat
Bentuk adat yang diadatkan,  berupa konvensi masyarakat atau keputusan hasil musyawarah yang kemudian dikokohkan menjadi adat atau aturan. Salam kehidupan sehari-hari adat yang teradat ini merupakan aturan budi pekerti yang berbudi bahasa. Misalnya terdapat dalam hubungan kekeluargaan, panggilan ayah, ibu, bapak, emak, abang, kakak, puan, tuan, encik, engku, paduka, datuk, hamba, amengkul.
Adat yang teradatkan ini berhubungan dengan budi pekerti. Nilai-nilai budi pekerti diungkapkan Abdul Malik, mempunyai nilai-nilai luhur dan khazanah bahasa Melayu mencakup beberapa hal (Abdul Malik, Nilai-Nilai Budi Pekerti). Misalnya, nilai ketuhanan, nilai kejujuran, nilai toleransi, nilai disiplin, nilai kerja keras, nilai kreatif, nilai demokratis, nilai cinta tanah air, nilai menghargai prestasi, nilai peduli sosial.
Ada pula nilai-nilai murni yang universal yang diamalkan masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Prof Datuk Wira, Dr Abdul Latif Bin Abu Bakar, Budi Pekerti sebagai Teras jati diri Melayu, misalnya amanah, tanggung jawab, ikhlas, benar, sederhana, tekun bersih, berdisiplin, bekerja sama, berpribadi mulia, bersyukur, bermufakat, bertoleransi, bertimbang rasa, bersatu padu, beretika, tidak mementingkan diri sendiri, dan tiada perasaan curiga/syak wasangka.
tanda orang berbudi pekerti
merusak alam dia jauhi
Ada  bentuk adat yang merupakan ketentuan yang berlaku seharusnya dilakukan dalam masyarakat. Biasanya adat ini terjadi hubungan antara manusia dengan alam. Misalnya, kalau kita menebang pohon harus diganti dengan pohon. Kalau memelihara ternak harus dibuat kandang, jika membuat tiang sebuah rumah, pangkalnya yang harus ditanam. Apabila masuk ke dalam hutan berjumpa dengan harimau harus menyebut datuk. Berjumpa dengan ular, disebut akar, dll.
Dalam resam melayu, adat yang sebenar adat menjadi teraju dari adat yang diadatkan, adat yang teradat, dan adat istiadat. Akhirnya terbentuklah pandangan hidup dalam rangkaian kata “Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah.”
Adat istiadat ini adalah tradisi memelihara alam.
Sang profesor, punya perhatian pada keindahan lingkungan.
Ingatlah, apabila rusak alam lingkungan
di situlah punca segala kemalangan
musibah datang berganti-gantian
celaka melanda tak berkesudahan
hidup sengsara binasalah badan
cacat dan cela jadi langganan
hidup dan mati jadi sesalan
kalau terpelihara alam sekitar
manfaatnya banyak faedahnya besar
di situ dapat tempat bersandar
di situ dapat tempat berlegar
di situ dapat membuang lapar
di situ adat dapat didengar
di situ kecil menjadi besar
di situ sempit menjadi lebar
tanda orang memegang adat
alam dijaga petuah diingat.
Mengingatkan, jangan sampai tersalah
Orang tua-tua mengatakan: “salah faham, hari siang disangka malam" atau dikatakan: “bila salah jenguk, yang baik menjadi buruk".atau dikatakan: "kalau pantun disalah artikan, disitulah tempat masuknya setan".
 Di dalam ungkapan lain dikatakan:

Bila salah, memberikan makna,
petunjuk yang baik jadi celaka

BILA SELALU,  TERSALAH FAHAM,
YANG HALAL MENJADI HARAM
YANG TIMBUL JADI TENGGELAM
LAMBAT LAUN, HIDUP PUN KARAM

Kalau pantun tersalah arti,
tuah hilang binasa budi

Kalau pantun tersalah tafsir,
Tersalah bawa menjadi kafir
Kalau pantun tersalah curai,
alamat kusut takkan selesai

Kalau salah memahami pantun,
bagai kain tersalah tenun
kalaupun jadi,  tidak bertampun
kalau dipakai,  aib sedusun

         Untuk menjaga agar pantun tunjuk ajar dan se­jenisnya tidak ditafsirkan secara keliru oleh masyarakatnya, maka orang tua-tua memperingatkan mereka untuk selalu mendengarkan petuah dan amanah yang berkaitan dengan isi pantun dimaksud. Namun, dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak ada orang menaf­sirkan pantun itu secara keliru, karena mereka sejak kecil sudah bergelimang dengan pantun, dan sudah sangat terbiasa mendengarkan uraian penafsirannya.

Menanam kelapa di Pulau Bukum
   Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum          
   Hukum bersandar di Kitab Allah 
      
Laksamana berbaju besi
  Masuk ke hutan melanda-landa   
Hidup berdiri dengan saksi     
  Adat berdiri dengan tanda    

Berbuah lebat pohon mempelam                
  Rasanya manis dimakan sedap
Bersebarlah adat seluruh alam              
  Adat pusaka berpedoman kitab
  
Cempaka Sari, Seri Jambangan
Subur Tumbuhnya,  Penuh Merimbun
Adat Dikelek,  Dibuang Jangan
Teras Budaya,  Turun Temurun

 Kalau sudah dimabuk pinang,
Daripada ke mulut biarlah ke hati
Kalau sudah maju ke gelanggang
Berpantang surut biarlah mati

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook