HAK ASASI BINATANG
Catatan
M.Rakib Jamari Pekanbaru Riau Indonesia 2015
Hak asasi, bagi
binatang,
Perlindungan, malam
dan siang
Mengazabnya, sangat
dilarang
Menyembelihnya,
jagalah pantang
Asah pisau, asahlah
parang
Sebelih kurban,
dengan senang
Jangan sampai,
mematahkan tulang
Sebutkan nama
Allah, dengan terang.
Hak asasi binatang dihargai umat Islam di
seluruh penjuru dunia merayakan Hari Raya Iedul Adha atau yang disebut dengan
Hari Raya Kurban. Pri kebinatangan,
yang Islami dimaksudkan untuk mengenang ketaatan, kepasrahan, dan kesabaran
Nabi Ibrahim dalam mengurbankan anaknya Ismail demi menjalankan perintah Sang
Khalik, penyembelihan hewan ternak seperti kambing dan sapi pula
dilaksanakan oleh umat Islam di tanah air. Mengandung ajaran mulia akan
kepatuhan dan ketakwaan terhadap perintah Tuhan sekaligus solidaritas sosial
(melalui pendistribusian daging pada mereka yang berhak), ibadah kurban
dalam kehidupan bernegara demokrasi konstitusional tidak lagi hanya berada
dalam wilayah keagamaan melainkan pula bagian dari penikmatan hak asasi manusia
(HAM) yakni hak untuk memanifestasikan keberagamaan. Tulisan ini merupakan
telaah sinkronitas aturan agama dan pembatasan hak dalam hukum HAM dalam
ibadah kurban .
Selain tatacara penyembelihan dan metode yang tak
mengakibatkan binatang menjadi tersiksa, hukum agama pula menentukan sejumlah
kriteria demi sahnya kurban yang dilaksanakan. Diantara kriteria tersebut
adalah bahwa hanya binatang ternak yang sehat dan telah memenuhi umur sajalah
yang boleh disembelih. Ternak sebisa mungkin harus gemuk, bagus bentuknya
fisiknya, dan tidak cacat. Berkurban dengan binatang ternak yang tak memenuhi
kriteria sebagaimana telah ditentukan diyakini dapat mengurangi atau bahkan
meniadakan nilai ibadah kurban itu sendiri. Sederet ketentuan tersebut
dimaksudkan tidak saja agar ibadah mereka yang berkurban diterima oleh Tuhan
Yang Maha Esa, namun pula berdimensi horizontal agar daging yang nantinya akan
dikonsumsi umat benar-benar bermanfaat dan bukannya sebaliknya: membahayakan
bagi mereka yang mengkonsumsinya. Pada gilirannya terpenuhinya kriteria
binatang kurban tersebut akan berimbas positif terhadap kekhusyukan ibadah
kurban itu sendiri.
Jika disandingkan, aturan yang ada pada hukum
agama terkait binatang kurban harmonik dengan peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Adanya kewajiban sertifikasi sehat atas binatang ternak yang
akan disembelih mengisyaratkan bahwa tidak semua binatang ternak boleh dipotong
sebagai binatang kurban. Sertifikasi menjadi semacam filter karena tak
semua binatang kurban berada dalam keadaan yang layak untuk disembelih. Ada
nilai perlindungan negara terhadap manusia warga negara karena kewajiban
sertifikasi meminimalisir dikonsumsinya daging berbahaya, agar daging hewan
yang nantinya dikonsumsi masyarakat benar-benar sehat dan tidak menimbulkan
penyakit yang dapat menular pada manusia.
Ditinjau dari sudut hukum hak asasi manusia,
sertifikasi sehat terkait hewan kurban sebenarnyalah merupakan contoh
pembatasan yang diterapkan terhadap manifestasi keberagamaan masyarakat. Dengan
adanya sertifikasi sehat, masyarakat tidak bisa sesukanya sendiri memotong
hewan ternak yang dimilikinya dengan klaim sebagai tengah menjalankan ibadah
dan mengabaikan aspek sosial terkait potensi kerugian yang dapat timbul karena
konsumsi daging kurban yang tak sehat. Pembatasan tersebut bukanlah dimaksudkan
untuk mengeliminasi secara keseluruhan hak, melainkan membatasi dengan dasar
pembenar terjaganya kesehatan umum (public health). Sepanjang
hewan ternak memang sehat dan tidak sedang terjangkiti penyakit misalnya, tentu
hewan tersebut diijinkan untuk dipotong. Tak boleh keliru dipahami, dalam
persoalan sertifikasi sehat binatang ternak untuk kurban maka kebebasan untuk
mewujudkan keberagamaan dan keyakinanlah (freedom to manifest religon
and belief) yang tengah dibatasi dan diatur, dan bukan pembatasan atas hak
beragama (freedom of religion) yang memang tak dapat dibatasi
dalam keadaan apapun jua itu. Pembatasan seperti ini, harus dicatat bukanlah
pelanggaran HAM.
Kaidah hukum hak asasi manusia mengenai
pembatasan manifestasi keberagamaan ini dikenal dalam Pasal 18 International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang pula telah menjadi
hukum nasional Indonesia dengan ratifikasi pada tahun 2005 melalui UU No. 12
Tahun 2005. Lebih jauh terkait dengan ketentuan ini, pelaksanaan takbir
keliling atau shalat Iedul Adha yang mendahului penyembelihan hewan
kurban dapat saja diatur (misalnya soal waktu, tempat, rute dll.) agar sejauh
mungkin tidak mengakibatkan terganggunya lalu lintas. Klaim-klaim jihad misalnya
boleh saja dilaksanakan dan tak akan dibatasi dan baru dibenarkan untuk
direpresi manakala manifestasinya mengakibatkan hilangnya ketentraman bahkan
terampasnya nyawa seperti ditunjukkan dalam peristiwa Bom Bali maupun aksi
kekerasan mengatasnamakan agama lainnya. Karena pembatasan manifestasi
keberagamaan pada prinsipnya adalah pengurangan hak asasi manusia, maka kaidah
hukum HAM juga menghendaki bahwa pembatasan yang dikenakan negara ditentukan
dengan bersaranakan aturan hukum, tidak diskriminatif terhadap satu manifestasi
keberagamaan saja melainkan berlaku umum demi terciptanya ketertiban umum,
terlindunginya kesehatan dan moralitas publik, dan terjaganya penikmatan hak
orang lain.
No comments:
Post a Comment