M.Rakib
Jamari S.H.,LPMP Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Hak asasi tuhanlah, paling tinggi,
Hak asasi manusia, sekedar naluri
Hak asasi Setan, alat penguji
Hak asasi keagamaan, sangat fitri
Ada satu pernyataan di google berupa seruan begini: “Kawan-kawan
sekalian, kita harus mempertanyakan sosok pembela homo dan lesbi, Prof Musdah
yang kontroversial. Ia adalah orang Amerika. Ia adalah pendukung Amerika yang
liberal,” kritik Umi Kaltsum di seminar perempuan tingkat nasional bertema
“Adilkah Bangsa dan Agama Terhadapmu” di Gedung Mulo, Jl Sungai Saddang,
Makassar, Senin (30/5/2011).
“Hati-hati yah kalau adik berkata-kata, saya bisa tuntut anda
pasal pelecehan jika anda mengkritisi saya seperti itu. Anda ini kan mengambil
data dari Sabili dan Suara Islam. Kedua majalah ini bukan bacaan
kaum intelektual. Kedua majalah itu kerja cuma menghina orang,” kata Musdah
yang profesor itu kepada Kaltsum.
Di tempat lain, Munarman Kuasa Hukum Suara Islam menanggapi:
“Professor kok beraninya cuma gertak mahasiswi….”
“Aneh, betul-betul profesor preman.
Beraninya cuma dengan kaum lemah. Betul-betul mental antek”, kata Munarman.
Inilah berita-berita tentang kasus itu:
Pemikiran
Liberalnya Dikritisi, ‘Ratu SEPILIS’ Musdah
Mulia Ancam Mahasiswi
MAKASSAR
(voa-islam.com) – Dikritisi mahasiswi di forum Seminar
Nasional Perempuan, Guru besar pemikiran politik Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof DR Musdah Mulia naik pitam. Ia mengancam akan pidanakan mahasiswi
yang mengkritisi dirinya sebagai pemikir liberal yang mengharamkan poligami,
menghalalkan nikah beda agama, membolehkan kawin kontrak, dan mengutak-atik
hukum pernikahan.
Ancaman
itu dilayangkan Musdah yang juga Wakil LSM Indonesia Conference of Religions
and Peace itu karena Umi Kaltsu, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin (Unhas), karena dianggap melakukan kritikan yang tajam atas
pendapat-pendapatnya saat memberikan materi di seminar perempuan tingkat
nasional bertema “Adilkah Bangsa dan Agama Terhadapmu” di Gedung Mulo, Jl
Sungai Saddang, Makassar, Senin (30/5/2011).
Selain
Musdah, seminar nasional yang digelar Human Ilumination itu juga menghadirkan
empat narasumber lainnya, yaitu Guru Besar Sosiologi Gender Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas Maria E Pandu, Wakil LSM Indonesia
Conference of Religions and Peace Sukma Mulia, dan Sekretaris Pemberdayaan Perempuan
Pemerintah Provinsi Sulsel, Suciati.
Puluhan
peserta hadir dalam seminar nasional ini. Rata-rata peserta adalah mahasiswi
dari berbagai kampus di Kota Makassar. Juga terdapat anggota wanita dari Hizbut
Tahrir dan akhwat Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
….Musdah
Mulia yang dikenal sebagai profesor penerima nobel internasional tentang
legalnya homoseksual….
Seminar
berlangsung menegangkan karena diwarnai perdebatan saat Musdah Mulia yang dikenal sebagai profesor penerima nobel internasional
tentang legalnya homoseksual itu mendapat giliran untuk menyampaikan
materi seminar. Peserta dari kalangan mahasiswi rata-rata satu suara
mengkritisi pernyataan-pernyataan Musdah dianggap kontroversial. Suasana
seminar pun berubah layaknya unjuk rasa mahasiswi yang memprotes sepak terjang
Prof Musdah.
Umi
Kaltsum, salah satu peserta seminar, menuding Musdah sebagai sosok
kontroversial yang memojokkan Islam lantaran idealisme liberalnya yang pro
Amerika. Kaltsum juga mengungkit-ungkit sepak terjang Musdah setelah pernah
meraih nobel Internasional Women of Courage dari Menteri Luar Negeri AS
Condoleezza Rice di Washington pada 8 Maret 2007 lalu, dan ia mendapat hadiah
Rp 6 miliar.
….Musdah
mengutak-atik ajaran Islam melalui draft Kompilasi Hukum Islam tahun 2004 yang
isinya: pernikahan bukan ibadah, poligami haram, boleh menikah beda agama,
boleh kawin kontrak….
Kaltsum
juga menggugat Musdah ketika mengutak-atik ajaran Islam melalui draft Kompilasi
Hukum Islam pada tahun 2004 yang isinya menyebutkan, pernikahan bukan ibadah,
perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh menikah beda
agama, boleh kawin kontrak, ijab-kabul bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas
memilih agamanya sendiri.
“Kawan-kawan
sekalian, kita harus mempertanyakan sosok Prof Musdah yang kontroversial ini.
Ia adalah orang Amerika. Ia adalah pendukung Amerika yang liberal,” kritik Umi
Kaltsum.
Suasana
jadi kian tegang karena Musdah tak menjawab kritikan mahasiswi dengan argumen,
tapi membalas dengan ancaman.
“Hati-hati
yah kalau adik berkata-kata, saya bisa tuntut anda pasal pelecehan jika anda
mengkritisi saya seperti itu. Anda ini kan mengambil data dari Sabili
dan Suara Islam. Kedua majalah ini bukan bacaan kaum intelektual. Kedua
majalah itu kerja cuma menghina orang,” kata Musdah yang profesor itu kepada
Kaltsum.
“Makanya
baca dulu buku saya kalau mau berkomentar tentang saya. Jangan seenaknya aja
mengkritik seperti itu,” tambahnya.
Moderator
pun kaget dan kewalahan mengendalikan jalannya diskusi. [taz/trb]
Voaislam,
Selasa, 31 May 2011
***
Tanggapan
kuasa hokum Suara Islam sebagai berikut:
Munarman
Professor kok Beraninya Cuma Gertak Mahasiswi
Jakarta (SI ONLINE) – Kuasa Hukum Suara
Islam, Munarman, heran atas tindakan Professor Doktor Siti Musdah Mulia
yang mengancam pidana mahasiswi Universitas Hasanuddin Makassar, Umi Kaltsum.
Padahal Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2006 itu hanya mengeluarkan
kritik kepada guru besar UIN Syahid Jakarta itu di forum seminar.
“Professor kok beraninya cuma gertak
mahasiswi. Kalau dia tahu bahwa mahasiswi tersebut ngambil data dari
Suara Islam (SI), berarti si profesor preman ini baca SI, kenapa dia nggak
tuntut SI sekalian?. Kenapa cuma menggertak mahasiswi yang mendebatnya secara
ilmiah di forum seminar?”, kata Munarman kepada SI Online, Selasa (31/5/20110.
“Aneh, betul-betul profesor preman.
Beraninya cuma dengan kaum lemah. Betul-betul mental antek”, lanjutnya.
Munarman malah balik menuding bahwa Musdah
sejatinya bukan seorang intelektual. Pasalnya jika Musdah tidak membaca SI
tetapi berbicara bahwa data mahasiswi Unhas itu diambil dari SI, makin
menunjukkan bahwa Musdah bukan seorang intelektual. Artinya Musdah menuduh
tanpa membaca data secara langsung.
“Itu sama sekali bukan perbuatan seorang
inteletual. Itu ciri-ciri preman intelektual”, tegas Direktur An Nashr
Institute ini.
Rep: Shodiq Ramadhan
Suaraislam.com, Tuesday,
31 May 2011 15:16 | Written by Shodiq Ramadhan
***
Ancaman
Musdah Mulia untuk memidanakan mahasiswi yang mengkritiknya itu dibalas
tantangan terbuka lewat Facebook.
Inilah
beritanya:
Hebat, Facebooker Galang Dukungan Bagi Umi
Kaltsum Terkait Ancaman Pidana Musdah Mulia
Niat Musdah Mulia yang akan mempidanakan Umi Kaltsum yang
mengatakan dirinya liberal dan antek Amerika, membuat para facebooker bergerak
menggalang dukungan bagi Umi Kaltsum.
Seperti disuarakan Hanifah Ekarianti yang meminta agar Umi
Kaltsum tidak takut dengan ancaman pengusung pemikiran Feminisme tersebut.
“Jangan takut sama ancaman si musdah ngga mulia itu, toh dia
cuma manusia biasa aja, gak ada apa-apanya dbanding Allah. Caiyo.”
Bahkan pemilik facebook atas nama Mohammad Islamy menyerukan
kepada semua orang untuk melakukan penggalangan dukungan. Ia juga meminta Umi
Kaltsum untuk gigih mengganyang faham liberalisme, sekularisme, dan pluralism
yang lebih iblis dari pada iblis.
“Mari kita galang dukungan untuk ukhti Umi Kaltsum, yang diancam
dipidanakan oleh musdah semprul karena telah mengkritisi pemikiran liberal ala
si semprul ini… Allahu Akbar!!! “
Kalau memang pada akhirnya, konflik antara Musdah Mulia dengan
Umi Kaltsum berujung kepada meja hijau, salah seorang facebooker mengaku
bersedia mem-back-up Umi Kaltsum hingga persidangan.
“Kalau jadi diperkarakan, Aku ikut di tim pengacaranya ya? Biar
imbang, bisa bongkar-bongkar lebih terang benderang,”
Menanggapi ancaman dari Musdah Mulia, Umi Kaltsum ternyata
mengaku siap. Di halaman facebooknya, ia menyatakan akan meladeni tantangan pengusung
JIL yang selalu bermanis muka tapi saat bersamaan menancapkan racun ke kepala
Ummat. Bagi Umi, hal ini akan membuka mata masyarakat supaya tahu siapa Musdah
sebenarnya.
“Saya juga tahu bagaimana kehidupan pribadi anda (Musdah Mulia,
red.) Ayo aja,” tulis Umi Kaltsum yakin. (pz)
Ermasulim, Rabu, 01/06/2011 10:10 WIB
Ilustrasi
eramuslim
***
Tentang
menghalalkan homosex, inilah artikel yang menyoroti Musdah Muia:
Prof
UIN Jakarta Halalkan Homoseksual
Written
by Adian Husaini
Harian The Jakarta Post, edisi Jumat
(28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam
‘recognizes homosexuality’ (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip
pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran
berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah
alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam.
(Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible
within Islam).
Menurut Musdah, para sarjana Muslim
moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan
bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan
ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada
penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini:
“Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals
under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by
mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded
interpretations of Islamic teachings.”
Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah
menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik
laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan,
posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan
kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini,
“Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan,
manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference
between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based
on their piety).
Demikian pendapat guru besar UIN
Jakarta ini dalam diskusi yang diselenggarakan suatu organisasi bernama “Arus
Pelangi”, di Jakarta, Kamis (27/3/2008).
Menurut Musdah Mulia, intisari
ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Lebih
jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena
itu harus diakui sebagai hal yang alamiah.
The Jakarta Post juga mengutip
pendapat seorang pembicara bernama Nurofiah, yang menyatakan, bahwa
pandangan dominan dalam masyarakat Islam tentang heterogenitas adalah sebuah
“konstruksi sosial”, sehingga berakibat pada pelarangan homoseksualitas oleh
kaum mayoritas. Ini sama dengan kasus ”bias gender” akibat dominasi budaya
patriarki. Karena itu, katanya, akan berbeda jika yang berkuasa adalah
kaum homoseks. Lebih tepatnya, dikutip ucapan aktivis gender ini: “Like gender
bias or patriarchy, heterogeneity bias is socially constructed. It would be
totally different if the ruling group was homosexuals.”
Diskusi tentang homoseksual itu pun
menghadirkan pembicara dari Majlis Ulama Indonesia dan Hizbut Tahrir
Indonesia. Kedua organisasi ini, oleh The Jakarta Post, sudah dicap
sebagai “kelompok Muslim konservatif”. Ditulis oleh Koran ini:
Condemnation of homosexuality was voiced by two conservative Muslim groups, the
Indonesian Ulema Council (MUI) and Hizbut Thahir Indonesia (HTI).”
Amir Syarifuddin, pengurus MUI,
menyatakan bahwa praktik homoseksual adalah dosa. “Kami tidak akan
menganggap homoseksualitas sebagai musuh, tetapi kami akan membuat mereka sadar
bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah,” kata Amir Syarifudin.
Demikianlah berita tentang penghalalan
homoseksual oleh sejumlah aktivis liberal, sebagaimana dikutip oleh The Jakarta
Post. Jika kita rajin menyimak perkembangan pemikiran liberal, baik di
kalangan Yahudi, Kristen, maupun Islam, maka kita tidak akan heran dengan
berita yang dimuat di Harian The Jakarta Post ini. Kaum Yahudi Liberal, juga
Kristen Liberal, sudah lama menghalalkan perkawinan sesama jenis. Bahkan,
banyak cendekiawan dan tokoh agama mereka yang sudah secara terbuka
mendeklarasikan sebagai orang-orang homoseks dan lesbian. Banyak diantara
mereka yang bahkan sudah menyelenggarakan perkawinan sesama jenis di dalam
tempat ibadah mereka masing-masing.
Bagi kaum Yahudi dan Kristen
liberal, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Mereka juga menyatakan, bahwa
apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh
kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai ”ortodoks”, ”konservatif” dan sejenisnya,
karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual. Gereja Katolik,
misalnya, tetap mempertahankan doktrinnya yang menolak praktik homoseksual.
Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan keputusan bertajuk ”The Vatican Declaration on
Sexual Ethics.” Isinya, antara lain menegaskan: ”It (Scripture) does
attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in
no case be approved of.” Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus
Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuknya perilaku
homoseksual.
Dalam Islam, soal homoseksual ini
sudah jelas hukumnya. Meskipun sudah sejak dulu ada orang-orang yang orientasi
seksualnya homoseks, ajaran Islam tetap tidak berubah, dan tidak mengikuti hawa
nafsu kaum homo atau pendukungnya. Tidak ada ulama atau dosen agama yang berani
menghalalkan tindakan homoseksual, seperti yang dilakukan oleh Prof. Siti Musdah
Mulia dari UIN Jakarta tersebut.
Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa
saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.”
(HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki).
Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu
sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah
menikah.
Sejak terbitnya jurnal Justisia dari
Fakultas Syariah IAIN Semarang (edisi 25, Th XI, 2004), yang menghalalkan
homoseksual, kita sudah mengingatkan para pimpinan kampus Islam agar lebih
serius dalam menangani penyebaran paham liberal di kampus mereka. Sebab, virus
liberal ini semakin menampakkan daya rusaknya terhadap aqidah dan pemikiran
Islam. Ironisnya, fenomena ini justru digerakkan dari sejumlah akademisi di
kampus-kampus berlabel Islam.
Kita ingat kembali, bahwa dalam Jurnal Justisia tersebut, dilakukan kampanye besar-besaran untuk mengesahkan perkawinan homoseksual. Jurnal itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005).
Kita ingat kembali, bahwa dalam Jurnal Justisia tersebut, dilakukan kampanye besar-besaran untuk mengesahkan perkawinan homoseksual. Jurnal itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005).
Dalam buku tersebut dijelaskan
strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual
di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan
berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi
pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual
adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak
mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap
gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan
reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang
tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No
1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal.
15)
Sebagaimana Prof. Musdah Mulia, para
penulis dalam buku itu pun mengecam keras pihak-pihak yang masih mengharamkan
homoseksual. Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa
pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang
karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted,
tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis
kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam
mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran surat al-A’raf :80-84
dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan
Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang
kebetulan homoseks.
Ditulis dalam buku ini sebagai
berikut:
‘’Karena keinginan untuk
menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian
menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri
Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha
menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan
dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth
menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh
yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian
Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil
menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum
homo.” (hal. 39)
Padahal, tentang Kisah Nabi Luth
a.s. al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum
Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Karena itu, para mufassir al-Quran
selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti anak-anak syariah dari
IAIN Semarang itu atau seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan
homoseksual. Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum liberal di
Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini
merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (“unthought”). Bagaimana mungkin, dari
kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani
menghalalkan homoseksual, suatu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk
oleh agama. Gerakan legalisasi homoseksual dari lingkungan kampus Islam tidak
bisa dipandang sebelah mata. Tindakan ini merupakan kemungkaran yang jauh lebih
bahaya dari gerakan legalisasi homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan
kaum homoseksual sendiri.
Dalam catatan penutup buku karya
anak-anak Fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut, dimuat tulisan berjudul
“Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Penulisnya, mengaku
bernama Mumu, mencatat, “Ya, kita tentu menyambut gembira upaya yang dilakukan
oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo tersebut.”
Juga dikatakan dalam buku tersebut:
“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang
abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih
apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum,
bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Logika ini sejalan dengan jalan
pemikiran Musdah Mulia yang menyatakan bahwa pelarangan homoseksual hanyalah
didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Barangkali, seperti
dikatakan Nurofiah, jika suatu ketika nanti kaum homoseksual sudah menjadi
dominan, maka mereka akan memandang bahwa kaum heteroseksual adalah suatu
kelainan. Inilah pandangan yang ‘keblinger’, yang lahir dari kekeliruan
berpikir.
Sebagaimana kasus perkawinan antara
muslimah dan laki-laki non-Muslim yang didukung dan dipenghului oleh
sejumlah dosen UIN Jakarta, kita patut khawatir, bahwa para akademisi liberal
itu semakin menjadi-jadi tindakannya, dengan menjadi penghulu bagi perkawinan
sesama jenis. Kita berharap hal itu tidak terjadi, meskipun Prof. Dr.
Musdah Mulia sudah melontarkan pendapatnya tentang homoseksual secara terbuka
di media massa. Memang, jika orang sudah hilang rasa malunya, maka dia akan
berbuat semaunya sendiri. Mungkin dia merasa sudah hebat, sudah jadi guru besar
pemikiran Islam di suatu kampus Islam terkenal. Selama ini pun, orang-orang
terdekatnya pun tidak mampu menghentikan kegiatannya.
Namun, jika kita ikuti kisah
perjalanan intelektual Prof. Musdah Mulia, kita sebenarnya tidak terlalu heran.
Sejak awal, cara berpikirnya sudah kacau. Dia seenaknya sendiri mengubah-ubah
hukum Islam, untuk disesuaikan dengan cara pandang dan cara hidup Barat. Tidak
aneh, jika karena sepak terjangnya yang seperti itu, tahun lalu, pada Hari
Perempuan Dunia tanggal 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International
Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor
kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Ia dianggap sukses
menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara
melakukan ‘pembaruan hukum Islam’ – termasuk — undang-undang perkawinan.
Mungkin, setelah mendukung praktik
homoseksual ini, dia akan mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi lagi dari
kalangan tertentu. Kita tunggu saja! (***)
No comments:
Post a Comment