Saturday, September 19, 2015

Hak asasi tuhanlah, paling tinggi,





 
Untitled-2Untitled-2

M.Rakib Jamari S.H.,LPMP Pekanbaru Riau Indonesia. 2015


Hak asasi tuhanlah, paling tinggi,
Hak asasi manusia, sekedar naluri
Hak asasi Setan, alat penguji
Hak asasi keagamaan, sangat fitri

      Ada satu pernyataan di google berupa seruan begini: “Kawan-kawan sekalian, kita harus mempertanyakan sosok pembela homo dan lesbi, Prof Musdah yang kontroversial. Ia adalah orang Amerika. Ia adalah pendukung Amerika yang liberal,” kritik Umi Kaltsum di seminar perempuan tingkat nasional bertema “Adilkah Bangsa dan Agama Terhadapmu” di Gedung Mulo, Jl Sungai Saddang, Makassar, Senin (30/5/2011).
“Hati-hati yah kalau adik berkata-kata, saya bisa tuntut anda pasal pelecehan jika anda mengkritisi saya seperti itu. Anda ini kan mengambil data dari Sabili dan Suara Islam. Kedua majalah ini bukan bacaan kaum intelektual. Kedua majalah itu kerja cuma menghina orang,” kata Musdah yang profesor itu kepada Kaltsum.
        Di tempat lain, Munarman Kuasa Hukum Suara Islam menanggapi: “Professor kok beraninya cuma gertak mahasiswi….”
“Aneh, betul-betul profesor preman. Beraninya cuma dengan kaum lemah. Betul-betul mental antek”, kata Munarman.
Inilah berita-berita tentang kasus itu:
Pemikiran Liberalnya Dikritisi, ‘Ratu SEPILIS’ Musdah Mulia Ancam Mahasiswi
MAKASSAR (voa-islam.com) – Dikritisi mahasiswi di forum Seminar Nasional Perempuan, Guru besar pemikiran politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof DR Musdah Mulia naik pitam. Ia mengancam akan pidanakan mahasiswi yang mengkritisi dirinya sebagai pemikir liberal yang mengharamkan poligami, menghalalkan nikah beda agama, membolehkan kawin kontrak, dan mengutak-atik hukum pernikahan.
Ancaman itu dilayangkan Musdah yang juga Wakil LSM Indonesia Conference of Religions and Peace itu karena Umi Kaltsu, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas), karena dianggap melakukan kritikan yang tajam atas pendapat-pendapatnya saat memberikan materi di seminar perempuan tingkat nasional bertema “Adilkah Bangsa dan Agama Terhadapmu” di Gedung Mulo, Jl Sungai Saddang, Makassar, Senin (30/5/2011).
Selain Musdah, seminar nasional yang digelar Human Ilumination itu juga menghadirkan empat narasumber lainnya, yaitu Guru Besar Sosiologi Gender Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas Maria E Pandu, Wakil LSM Indonesia Conference of Religions and Peace Sukma Mulia, dan Sekretaris Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Sulsel, Suciati.
Puluhan peserta hadir dalam seminar nasional ini. Rata-rata peserta adalah mahasiswi dari berbagai kampus di Kota Makassar. Juga terdapat anggota wanita dari Hizbut Tahrir dan akhwat Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
….Musdah Mulia yang dikenal sebagai profesor penerima nobel internasional tentang legalnya homoseksual….
Seminar berlangsung menegangkan karena diwarnai perdebatan saat Musdah Mulia yang dikenal sebagai profesor penerima nobel internasional tentang legalnya homoseksual itu mendapat giliran untuk menyampaikan materi seminar. Peserta dari kalangan mahasiswi rata-rata satu suara mengkritisi pernyataan-pernyataan Musdah dianggap kontroversial. Suasana seminar pun berubah layaknya unjuk rasa mahasiswi yang memprotes sepak terjang Prof Musdah.
Umi Kaltsum, salah satu peserta seminar, menuding Musdah sebagai sosok kontroversial yang memojokkan Islam lantaran idealisme liberalnya yang pro Amerika. Kaltsum juga mengungkit-ungkit sepak terjang Musdah setelah pernah meraih nobel Internasional Women of Courage dari Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice di Washington pada 8 Maret 2007 lalu, dan ia mendapat hadiah Rp 6 miliar.
….Musdah mengutak-atik ajaran Islam melalui draft Kompilasi Hukum Islam tahun 2004 yang isinya: pernikahan bukan ibadah, poligami haram, boleh menikah beda agama, boleh kawin kontrak….
Kaltsum juga menggugat Musdah ketika mengutak-atik ajaran Islam melalui draft Kompilasi Hukum Islam pada tahun 2004 yang isinya menyebutkan, pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh menikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab-kabul bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri.
“Kawan-kawan sekalian, kita harus mempertanyakan sosok Prof Musdah yang kontroversial ini. Ia adalah orang Amerika. Ia adalah pendukung Amerika yang liberal,” kritik Umi Kaltsum.
Suasana jadi kian tegang karena Musdah tak menjawab kritikan mahasiswi dengan argumen, tapi membalas dengan ancaman.
“Hati-hati yah kalau adik berkata-kata, saya bisa tuntut anda pasal pelecehan jika anda mengkritisi saya seperti itu. Anda ini kan mengambil data dari Sabili dan Suara Islam. Kedua majalah ini bukan bacaan kaum intelektual. Kedua majalah itu kerja cuma menghina orang,” kata Musdah yang profesor itu kepada Kaltsum.
“Makanya baca dulu buku saya kalau mau berkomentar tentang saya. Jangan seenaknya aja mengkritik seperti itu,” tambahnya.
Moderator pun kaget dan kewalahan mengendalikan jalannya diskusi. [taz/trb]
Voaislam, Selasa, 31 May 2011
***
Tanggapan kuasa hokum Suara Islam sebagai berikut:
Munarman Professor kok Beraninya Cuma Gertak Mahasiswi
Jakarta (SI ONLINE) – Kuasa Hukum Suara Islam, Munarman, heran atas tindakan Professor Doktor Siti Musdah Mulia yang mengancam pidana mahasiswi Universitas Hasanuddin Makassar, Umi Kaltsum. Padahal Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2006 itu hanya mengeluarkan kritik kepada guru besar UIN Syahid Jakarta itu di forum seminar.
“Professor kok beraninya cuma gertak mahasiswi. Kalau dia tahu bahwa mahasiswi tersebut ngambil data dari Suara Islam (SI), berarti si profesor preman ini baca SI, kenapa dia nggak tuntut SI sekalian?. Kenapa cuma menggertak mahasiswi yang mendebatnya secara ilmiah di forum seminar?”, kata Munarman kepada SI Online, Selasa (31/5/20110.
“Aneh, betul-betul profesor preman. Beraninya cuma dengan kaum lemah. Betul-betul mental antek”, lanjutnya.
Munarman malah balik menuding bahwa Musdah sejatinya bukan seorang intelektual. Pasalnya jika Musdah tidak membaca SI tetapi berbicara bahwa data mahasiswi Unhas itu diambil dari SI, makin menunjukkan bahwa Musdah bukan seorang intelektual. Artinya Musdah menuduh tanpa membaca data secara langsung.
“Itu sama sekali bukan perbuatan seorang inteletual. Itu ciri-ciri preman intelektual”, tegas Direktur An Nashr Institute ini.
Rep: Shodiq Ramadhan
Suaraislam.com, Tuesday, 31 May 2011 15:16 | Written by Shodiq Ramadhan
***
Ancaman Musdah Mulia untuk memidanakan mahasiswi yang mengkritiknya itu dibalas tantangan terbuka lewat Facebook.
Inilah beritanya:
Hebat, Facebooker Galang Dukungan Bagi Umi Kaltsum Terkait Ancaman Pidana Musdah Mulia
Niat Musdah Mulia yang akan mempidanakan Umi Kaltsum yang mengatakan dirinya liberal dan antek Amerika, membuat para facebooker bergerak menggalang dukungan bagi Umi Kaltsum.
Seperti disuarakan Hanifah Ekarianti yang meminta agar Umi Kaltsum tidak takut dengan ancaman pengusung pemikiran Feminisme tersebut.
“Jangan takut sama ancaman si musdah ngga mulia itu, toh dia cuma manusia biasa aja, gak ada apa-apanya dbanding Allah. Caiyo.”
Bahkan pemilik facebook atas nama Mohammad Islamy menyerukan kepada semua orang untuk melakukan penggalangan dukungan. Ia juga meminta Umi Kaltsum untuk gigih mengganyang faham liberalisme, sekularisme, dan pluralism yang lebih iblis dari pada iblis.
“Mari kita galang dukungan untuk ukhti Umi Kaltsum, yang diancam dipidanakan oleh musdah semprul karena telah mengkritisi pemikiran liberal ala si semprul ini… Allahu Akbar!!! “
Kalau memang pada akhirnya, konflik antara Musdah Mulia dengan Umi Kaltsum berujung kepada meja hijau, salah seorang facebooker mengaku bersedia mem-back-up Umi Kaltsum hingga persidangan.
“Kalau jadi diperkarakan, Aku ikut di tim pengacaranya ya? Biar imbang, bisa bongkar-bongkar lebih terang benderang,”
Menanggapi ancaman dari Musdah Mulia, Umi Kaltsum ternyata mengaku siap. Di halaman facebooknya, ia menyatakan akan meladeni tantangan pengusung JIL yang selalu bermanis muka tapi saat bersamaan menancapkan racun ke kepala Ummat. Bagi Umi, hal ini akan membuka mata masyarakat supaya tahu siapa Musdah sebenarnya.
“Saya juga tahu bagaimana kehidupan pribadi anda (Musdah Mulia, red.) Ayo aja,” tulis Umi Kaltsum yakin. (pz)
Ermasulim, Rabu, 01/06/2011 10:10 WIB
Ilustrasi eramuslim
***
Tentang menghalalkan homosex, inilah artikel yang menyoroti Musdah Muia:
Prof UIN Jakarta Halalkan Homoseksual
Written by Adian Husaini
Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul  Islam ‘recognizes homosexuality’  (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam).
Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings.”
Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety).
Demikian pendapat guru besar UIN Jakarta ini dalam diskusi yang diselenggarakan suatu organisasi bernama “Arus Pelangi”, di Jakarta, Kamis (27/3/2008).
Menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah.
The Jakarta Post juga mengutip pendapat seorang pembicara bernama Nurofiah,  yang menyatakan, bahwa pandangan dominan dalam masyarakat Islam tentang heterogenitas adalah sebuah “konstruksi sosial”, sehingga berakibat pada pelarangan homoseksualitas oleh kaum mayoritas. Ini sama dengan kasus ”bias gender” akibat dominasi budaya patriarki. Karena itu, katanya, akan berbeda jika yang berkuasa  adalah kaum homoseks. Lebih tepatnya, dikutip ucapan aktivis gender ini: “Like gender bias or patriarchy, heterogeneity bias is socially constructed. It would be totally different if the ruling group was homosexuals.”
Diskusi tentang homoseksual itu pun menghadirkan pembicara dari Majlis Ulama Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia.  Kedua organisasi ini, oleh The Jakarta Post,  sudah dicap sebagai “kelompok Muslim konservatif”.  Ditulis oleh Koran ini:  Condemnation of homosexuality was voiced by two conservative Muslim groups, the Indonesian Ulema Council (MUI) and Hizbut Thahir Indonesia (HTI).”
Amir Syarifuddin, pengurus MUI, menyatakan bahwa praktik homoseksual adalah dosa.  “Kami tidak akan menganggap homoseksualitas sebagai musuh, tetapi kami akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah,” kata Amir Syarifudin.
Demikianlah berita tentang penghalalan homoseksual oleh sejumlah aktivis liberal, sebagaimana dikutip oleh The Jakarta Post.  Jika kita rajin menyimak perkembangan pemikiran liberal, baik di kalangan Yahudi, Kristen, maupun Islam, maka kita tidak akan heran dengan berita yang dimuat di Harian The Jakarta Post ini. Kaum Yahudi Liberal, juga Kristen Liberal, sudah lama menghalalkan perkawinan sesama jenis. Bahkan, banyak cendekiawan dan tokoh agama mereka yang sudah secara terbuka mendeklarasikan sebagai orang-orang homoseks dan lesbian. Banyak diantara mereka yang bahkan sudah menyelenggarakan perkawinan sesama jenis di dalam tempat ibadah mereka masing-masing.
Bagi kaum Yahudi dan Kristen liberal, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Mereka juga menyatakan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai ”ortodoks”, ”konservatif” dan sejenisnya, karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual. Gereja Katolik, misalnya, tetap mempertahankan doktrinnya yang menolak praktik homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan keputusan bertajuk ”The Vatican Declaration on Sexual Ethics.” Isinya, antara lain menegaskan: ”It  (Scripture) does attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in no case be approved of.” Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuknya perilaku homoseksual.
Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Meskipun sudah sejak dulu ada orang-orang yang orientasi seksualnya homoseks, ajaran Islam tetap tidak berubah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kaum homo atau pendukungnya. Tidak ada ulama atau dosen agama yang berani menghalalkan tindakan homoseksual, seperti yang dilakukan oleh Prof. Siti Musdah Mulia dari UIN Jakarta tersebut.
Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Sejak terbitnya jurnal Justisia dari Fakultas Syariah IAIN Semarang (edisi 25, Th XI, 2004),  yang menghalalkan homoseksual, kita sudah mengingatkan para pimpinan kampus Islam agar lebih serius dalam menangani penyebaran paham liberal di kampus mereka. Sebab, virus liberal ini semakin menampakkan daya rusaknya terhadap aqidah dan pemikiran Islam. Ironisnya, fenomena ini justru digerakkan dari sejumlah akademisi di kampus-kampus berlabel Islam.
Kita ingat kembali, bahwa dalam Jurnal Justisia tersebut, dilakukan kampanye besar-besaran untuk mengesahkan perkawinan homoseksual. Jurnal itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul  Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005).
Dalam buku tersebut dijelaskan strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15)
Sebagaimana Prof. Musdah Mulia, para penulis dalam buku itu pun mengecam keras pihak-pihak yang masih mengharamkan homoseksual. Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.

Ditulis dalam buku ini sebagai berikut:

‘’Karena  keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39)
Padahal, tentang Kisah Nabi Luth a.s.  al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Karena itu, para mufassir al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti anak-anak syariah dari IAIN Semarang itu atau seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual. Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum liberal di Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (“unthought”). Bagaimana mungkin, dari kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani menghalalkan homoseksual, suatu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama. Gerakan legalisasi homoseksual dari lingkungan kampus Islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Tindakan ini merupakan kemungkaran yang jauh lebih bahaya dari gerakan legalisasi homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan kaum homoseksual sendiri.
Dalam catatan penutup buku karya anak-anak Fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut, dimuat tulisan berjudul “Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Penulisnya, mengaku bernama Mumu, mencatat, “Ya, kita tentu menyambut gembira upaya yang dilakukan oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo tersebut.”
Juga dikatakan dalam buku tersebut: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun,  untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Logika ini sejalan dengan jalan pemikiran Musdah Mulia yang menyatakan bahwa pelarangan homoseksual hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Barangkali, seperti dikatakan Nurofiah, jika suatu ketika nanti kaum homoseksual sudah menjadi dominan, maka mereka akan memandang bahwa kaum heteroseksual adalah suatu kelainan. Inilah pandangan yang ‘keblinger’, yang lahir dari kekeliruan berpikir.
Sebagaimana kasus perkawinan antara muslimah dan laki-laki non-Muslim yang didukung dan dipenghului  oleh sejumlah dosen UIN Jakarta, kita patut khawatir, bahwa para akademisi liberal itu semakin menjadi-jadi tindakannya, dengan menjadi penghulu bagi perkawinan sesama jenis.  Kita berharap hal itu tidak terjadi, meskipun Prof. Dr. Musdah Mulia sudah melontarkan pendapatnya tentang homoseksual secara terbuka di media massa. Memang, jika orang sudah hilang rasa malunya, maka dia akan berbuat semaunya sendiri. Mungkin dia merasa sudah hebat, sudah jadi guru besar pemikiran Islam di suatu kampus Islam terkenal. Selama ini pun, orang-orang terdekatnya pun tidak mampu menghentikan kegiatannya.
Namun, jika kita ikuti kisah perjalanan intelektual Prof. Musdah Mulia, kita sebenarnya tidak terlalu heran. Sejak awal, cara berpikirnya sudah kacau. Dia seenaknya sendiri mengubah-ubah hukum Islam, untuk disesuaikan dengan cara pandang dan cara hidup Barat. Tidak aneh, jika karena sepak terjangnya yang seperti itu, tahun lalu, pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Ia dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan ‘pembaruan hukum Islam’ – termasuk — undang-undang perkawinan.
Mungkin, setelah mendukung praktik homoseksual ini, dia akan mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi lagi dari kalangan tertentu. Kita tunggu saja! (***)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook