ASAS KEPASTIAN
HUKUM
DALAM ISLAM
M.Rakib Mubaligh IKMI Pekanbaru Riau Indonesia
Asas kepastian atau prasangka yang kuat terhadap sesuatu hal yang dikerjakan, dan keraguan hanya semata-mata kebimbangan tentang apakah prasangkanya sama kuat atau ada yang lebih kuat.
Dalam kehidupan sehari-hari ada saja peristiwa yang dialami oleh umat mengenai keragu-raguan dalam menjalankan suatu perkara. Misalnya dikala kita menemukan bangkai dalam sumur yang biasa dipakai untuk bersuci dari hadas. Sejak peristiwa penemuan bangkai tersebut terkadang kita ragu apakah bersuci yang selama ini kita lakukan itu sah atau tidak. Oleh karena itu, dengan melihat kejadian tersebut penyusun merasa perlu untuk membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa keyakinan dan keragu-raguan dari setiap perbuatan yang dilakukan.
Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara
normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan
sosiologis, tapi kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam
arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian. Kepastian
hukum merupakan suatu keadaan dimana perilaku manusia baik individu, kelompok
maupun organisasi terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh
aturan hukum.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada
undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap
orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan
maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan
kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum,
termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan
hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum
itu sendiri dan kepastian karena hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa
setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di
dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa
perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma
hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga
timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum.
Sedangkan kepastian karena hukum dimaksudkan bahwa karena
hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya
lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau
kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan
sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah
satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum
diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh
perkembangan masyarakat. Demikian juga
kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila
kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan
hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang
berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil
yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai
rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik
tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum
harus memperhatikan budaya hukum (legal culture) untuk memahami sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam
sistim hukum yang berlaku.
Menurut hemat penulis, yang sesuai dengan peristiwa tersebut ialah kaidah yang berkenaan dengan keyakinan dan keraguan yaitu “al Yaqinu la yuzalu bi syakk”. Kaidah ini sangat penting untuk dipelajari, karena menurut Imam As-Suyuthi, kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam masalah fiqih dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya mencapai 3/4 dari subyek pembahasan fiqih.
Imam Al-Qorafi menambahkan, dalam kaidah ini seluruh umat sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya. Kemudian Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan pada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan para ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah ini, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini.
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan yang kadang kala menimpa kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Sebab telah kita ketahui bersama, keragu-raguan adalah beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk di dalamnya adalah aqidah dan ibadah.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah untuk mendeskripsikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keyakina dan keraguan, yakni:
Kaidah fiqh tentang keyakinan dan keraguan
Dasar-dasar Kaidah tentang keyakinan dan keraguan; serta,
Kaidah-kaidah lanjutannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Kaidah Fiqh Tentang Keyakinan dan Keraguan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Kaidah yang berkaitan dengan hal ini ialah:
اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ باِلشَّكِّ
“Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan.”
Dasar-dasar Kaidah
Kaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada beberapa buah hadits. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:
اِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِه شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئٌ أَمْ لاَ, لاَ يَخْرُجَّنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْيَجِدَ رِيْحًا
Artinya: “Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu timbul keraguan apakah sesuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka janganlah keluar dari mesjid, sehingga ia mendengar suaranya atau mencium baunya.”
Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sahalat atau menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Secara logika, orang tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudhu). Dan orang tersebut ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keraguanya baru timbul kemudian. Oleh karena itu, orang tersebut tidak perlu berwudhu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya.
Dan sabda Rasulullah di lain tempat berbunyi:
إِذَاشَكَّ أَحَدُ كُمْ فِىْ صَلاَ تِهِ فَلَمْ
يَدْرِكَمْ صَلَّى أَثَلاَ ثًا أَمْ أَرْبَعَةً فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ
عَلىَ مَا اسْتَيْقَنَ.
Artinya: “Apabila kamu meragukan shalatnya, lalu ia tidak mengetahui berapa raka’at yang telah dikerjakan, tiga atau empat, maka hendaklah dilempar yag meragukan itu dan dibinalah menurut apa yang pasti.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut memberi isyarat bahwa dua buah
hitungan yag diragukan mana yang benar, agar ditetapkan hitungan yang
terkecillah yang memberikan keyakinan. Sebab dalam menghitung sebelum sampai ke
hitungan yang besar pastilah melalui hitungan yang lebih kecil terlebih dahulu,
karena yang kecil (sedikit) itulah yang sudah meyakinkan.
Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.
Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu bi al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyatakan bahwa:
الاصل
عند ابي حنيفة انه متى عرف ثبوت الشيء من طريق الا حا طة وتيقن لا ي معنى كان فهو
على ذلك مالم يتيقن بخلافه.
“Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.”
Berikut ini merupakan kaidah lanjutan dari kaidah induk di atas:
Kaidah pertama:
اَلْأَصْلُ بَقَآءُ مَا كاَنَ عَلى مَا كَا نَ.
“Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang.”
Penjelasan:
Sesuatu yang hukumnya ditetapkan pada masa lalu – dibolehkan atau dilarang – tetap pada ketetapan tersebut dan tidak berubah sebelum ada dalil yang merubahnya.
Contohnya:
Orang yang yakin telah bersuci dan ragu tentag hadas yang menimpanya, maka dia masih dalam keadaan suci.
Orang yang yakin bahwa ia berhadas, dan ragu tentang keabsahan bersuci yang telah ia lakukan, maka ia masih berhadas.
Seseorang yang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-janga waktu fajar sudah tiba. Maka puasa orang tadi tetap sah, sebab menurut dasar yang asli diberlakukan keadaan waktunya masih malam, dan bukan waktu fajar.
Kaidah kedua:
اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُالذِّمَةِ.
“Pada dasarnya, orang bebas beban.”
Contohnya:اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُالذِّمَةِ.
“Pada dasarnya, orang bebas beban.”
Jika ada dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, maka dimenangkan oleh orang yang merasa dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak dibebani tanggungan tambahan.
Terdakwa yang menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat sumpah ialah si pendakwa.
Kiadah Ketiga:
اَلْأَصْلُ الْعَدَ مَ.
“Dasar sesuatu adalah ketidak adaan.”
Contohnya:
Seseorang mengaku telah berhutang kepada orang lain berdasarkan atas pengakuannya sendiri atau suatu bukti yang otentik. Tiba-tiba orang yang berhutang mengaku telah membayarnya hingga ia merasa bebas dari pembayaran. Sedang orang yang menghutangkan mengingkari atas pengakuan tersebut.
Dalam perselisihan ini sesuai dengan kaidah yang telah lalu dimenangkan oleh pengingkaran orang yang menghutangi. Sebab menurut asalnya belum adanya pembayaran hutang dan ini merupakan hal yang sudah meyakinkan, sedaang pengakuan telah membayar merupakan hal yang masih diragukan.
Seorang pemakan harta milik orang lain bertengkar dengan pemilik. Pemakan harta mengatakan bahwa orang yang memiliki sudah mengizinkannya. Sedang pemiliknya tidak merasa telah memberikan izin bahkan mengingkarinya.
Penyelesaian pertengkaran ini sudah barang tentu harus ddimenangkan oleh pemilik harta, karena menurut asalnya memakan harta milik orang lain itu tidak dibenarkan.
Kaidah Keempat:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَا حَةُ حَتَّى يَدُ لَّ الدَّ لِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ.
“Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah yang artinya sebagai berikut:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan at-Thabrani).
Kandungan hadits ini ini ialah bahwa segala sesuatu yang belum ditunjuk oleh dalil yang tegas tentang halal dan haramnya, maka hendaklah dikembalikan kepada ketentuan aslinya, yaitu mubah.
Contohnya:
Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak didapatkan sifat-sifatnya ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada haram, maka halal dimakan. Seperti binatang Jerapah merupakan binatang yang halal dimakan, karena tidak memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang mengharamkannya (bertaring lagi buas).
Kaidah Kelima:
اَلْأَصْلُ فِى كُلِّ حَا دِ ثٍ تَكْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِه.
“Asal dari suatu kejadian ditentukan lebih dekat dengan kejadiannya.”
Contohnya:
Seseorang mengambil air wudhu untuk shalat dari suatu sumur. Beberapa hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut terdapat bangkai tikus, sehingga menimbulkan keragu-raguannya perihal wudhu dan shalat yang telah dikerjakan beberapa hari yag lalu. Dalam masalah yang demikian itu ia tidak wajib mengqadha shalat yang sudah dikerjakannya.
Masa yang terdekat sejak dari peristiwa diketahuinya bangkai tikus itulah yang dijadikan titik tolak untuk menetapkan kenajisan air yang mengakibatkan tidak sahnya shalat dan keharusan mengqadhanya. Kecuali kalau ia yakin bahwa bangkai itu sudah lama berada di dalam sumur sebelum ia melakukan shalat atas adanya bukti-bukti yang meyakinkan. Jika demikian air yang dipergunakan wudhu itu adalah air mutanajis, hingga shalat yang telah ia kerjakan harus ia qadha.
Kaidah Keenam:
مَنْ شَكَّ أَفَعَلَ شَيْئًا أَمْ لا فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ.
“Orang yang ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau belum, maka pada dasarnya dia belum mengerjakannya.”
Contohnya:
Seseorang ragu-ragu sewaktu mengerjakan shalat apakah ia mengerjakan i’tidal atau tidak, maka ia harus mengulang mengerjakannya. Sebab ia dianggap seolah-olah tidak megerjakannya.
Kaidah Ketujuh:
Kaidah ini sejenis denga kaidah yang keenam.
مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ فِى الْقَلِيْلِ أَوِالْكَثِيْرَ حُمِّلَ عَلَى الْقَلِيْلِ.
“Barang siapa meyakinkan berbuat dan meragukan tentang banyak atau sedikitnya, maka dibawanya kepada yang sedikit.”
Contohnya:
Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah disepakati bersama kreditur merasa ragu apakah angsuran yang telah dikerjakan itu 4 kali atau 5 kali, maka dianggap baru mengangsur 4 kali. Karena yang sedikit itulah yang sudah diyakini.
Kaidah Kedelapan:
اَلْأَ صْلُ فِيْ الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ.
“Menurut dasar yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki.”
Kaidah ini menetapkan apabila terjadi sesuatu perselisihan dalam menafsirkan atau mengartikan suatu rangkaian kalimat yang memungkinkan untuk diartikan menurut arti hakikat dan majaz, maka yang dijadikan pedoman ialah penafsiran menurut arti hakikat lafazh itu sendiri.
Contohnya:
Seseorang bersumpah tidak akan menjual atau membeli sesuatu barang. Kemudian ia mewakilkan kepada orang lain untuk menjual atau membeli sesuatu. Perbuatan semacam itu tidak dapat dikatakan melanggar sumpah, karena tidak bertentangan dengan arti hakikat lafazh itu sendiri.
No comments:
Post a Comment