M.RAKIB
PERSIAPAN UJIAN DISERTASI
SEPTEMBER 2015
di UIN Suska Riau Indonesia
ABSTRAK
Kebiasaan memberi hukuman fisik walaupun ringan, tetap saja dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.Karena itu, disertasi ini mengungkapkan permasalahan yang
ditimbulkannya, serta sebab-sebab masih bertahannya berbagai model hukuman inipadapendidikan formal. Penelitianini sifatnya mendesak untuk dilakukan,
karena korbannya terus berjatuhan.Masalah pokoknya adalah bagaimana konsep
hukuman fisik yang dilarang oleh undang-undang, walaupun sebelumnya sudah ada
tuntunannya yang lengkapdi dalam Hukum Islam.
Penelitian inimerupakan doctrinal researchdengan menggunakan metode analisis
konsep dan falsafah hukumnya yang
merupakan pengembangan dari metode
deskriptif. Fokus kajiannya mendeskripsikan,
membahas, mengkritisi dari sisi formal dan material terhadap Hukum Perlindungan
Anak Republik Indonesia yang dibandingkan dengan Hukum Islam, sehingga mendapatkan temuan baru berupa hukuman fisik yang tidak dikategorikan
kekerasan. Kemudian dianalisis pula dengan kaedah fiqhiyah, dan teori yang relevan.Kontribusi
penelitaniniialah ditemukannya beberapa teori yang
membolehanak diberi sanksi pukulan ringan yang sejalan dengan semangatanti kekerasandalam Hukum Islam,
karena terkait dengan teori maslahah mursalah, dan teori Al-siyasah al-Syar’iyah.
Penelitan
ini bermanfaat bagi guru-guru di Indonesia yang gelisah, selama ini, tidak
dapat menghukum muridnya yang nakal dengan sanksi hukuman fisik. Pelakunya
tidak akan mendapatkan pelindungan hukum. Anak-anak cenderung menjadi nakal, karena itu Hukum
Islam, membolehkan sanksi fisik ringan, jika anak melanggar disiplin, dengan
batasan yang jelas, sehingga semangat anti kekerasan di dalamnya tidak
bertentangan dengan Hukum Perlidungan Anak Republik Indonesia.
Kata kunci: Hukuman fisik
dan Hukum Islam
ABSTRACT
The
habit of physical punishment although light, still categorized as a violation
of the principle of human rights. Therefore, this dissertation reveals the
problems which is caused, and the causes are still survival of the various
models of this punishment in formal education. This research are urgent to be
done, because the victims continue to fall. The central issue is how the
concept of corporal punishment is prohibited by law, although there had
previously been a complete guidance in Islamic law.
This
study is a doctrinal research using the method of analysis of the concept and
philosophy of law which is the development of descriptive methods. The focus of
studies describe, discuss, criticize the formal and material terms of the Child
Protection Law of the Republic of Indonesia as compared to Islamic law, so
getting the new findings in the form of corporal punishment is not considered
violent. Then analyzed also the principle fiqhiyah, and relevant theory. The
contribution of this research is the discovery of several theories that allow
children were given mild blow of sanctions that are in line with the spirit of
non-violence in Islamic law, because it is associated with
maslahahmursalahtheory, and the theory ofAl-siyasah al-Syar'iyah.
Research
is useful for teachers who anxious, so far, that can not punish a naughty pupil
with sanctions corporal punishment. Perpetrators will not get legal protection.
Children tend to be naughty, because the Islamic law, allows mild physical
sanction, if a child violating discipline, with clear boundaries, so that the
spirit of non-violence in it does not conflict with the Child Protection Law of
the Republic of Indonesia.
Kata kunci: Hukuman fisik
dan Hukum Islam
ملخص
هذه العادة منالعقاب البدنيعلى الرغم منالبرد، لا تزال مصنفةباعتبارها
انتهاكا لحقوق البشرية. لذلك، هذاأطروحةيكشف عنالمشاكل التيتسبب، وأسبابهالا تزالبقاءمختلف
نماذجهذه العقوبةفي التعليم الرسمي. هذا البحثملحةينبغي القيام به،لأن الضحايالا تزال
تنمو. المسألة الرئيسيةهيكيف يمكن لمفهوممحظورالعقاب
البدنيبموجب القانون،على الرغم من أنهناككان قد سبقهدىكامل علىالشريعة الإسلامية.
هذا البحثهو البحثالفقهيباستخدام أسلوبتحليلمفهوم
وفلسفة القانون التيهو
تطويرالمنهج الوصفي. تركيزمن الدراساتتصفومناقشة وانتقادمنشكليةوجوهرية فيقانون
حمايةالطفل في جمهوريةإندونيسيابالمقارنة معالشريعة الإسلامية، وبالتالي الحصول علىنتائججديدة فيشكل من أشكال العقابالبدنيلا يعتبرعنفا.ثم تحليلهاأيضامع القواعدفقهية، والنظرياتذات الصلة.مساهمةمنهذا البحث هواكتشافالعديد من
النظرياتالتي تسمحالطفلالضربمعتدلمقرةبما يتماشى معروحاللاعنففي الشريعة
الإسلامية،من حيث صلتهالنظرية مسألة مرسالة ، ونظرية السياسة الشريعة.
هذا البحثمفيداللمعلمينفياندونيسياهملا يهدأ، حتى الآن، يمكن معاقبةتلميذشقيمعفرض
عقوبات علىالعقاب البدني. لاسوف
الحصول على الحمايةالقانونية. يميلالأطفالليكونمؤذ، وذلك لأن الشريعة الإسلامية،
ويسمح عقوبةبدنيةمعتدل، إذا كان
الطفلتنتهكالانضباط، معحدود واضحة، لذلك أن روحاللاعنف فيأنها لاتتعارضمعقانون حمايةالطفل في جمهوريةإندونيسيا.
الكلمات الرئيسية : العقاب البدني والقانون الإسلام
PERBANDINGAN
SANKSI HUKUM
TERHADAP
PELANGGARAN HAK ANAK-ANAK
1.Sanksi umum
Sanksi umum, bisa
berupa penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat
perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (Pasal 36
(2)Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan
beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya,
antara lain: 1. UU 1/1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya. 2. UU 8/1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. UU 1/1974
tentangPerkawinan. UU 7/1984 tentang 28 PengesahanKonvensimengenaiPenghapusanSegalaBentukDiskriminasiTerhadapWanita (Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women); dan
4. UU 39/1999 tentangHakAsasiManusia.
Undang-Undangini, selainmengaturihwalpencegahandanperlindungansertapemulihanterhadapkorbankekerasandalamrumahtangga,
jugamengatursecaraspesifikkeke-rasan yang
terjadidalamrumahtanggadenganunsur-unsurtindakpidana yang
berbedadengantindakpidanapenganiayaan yang diaturdalam KUHP.
Kepolisiandapatmenangkapuntukselan-jutnyamelakukanpenahanantanpasuratperintahterhadappelaku
yang diyakinitelahmelanggarperintahperlindungan,
walaupunpelanggarantersebuttidakdilakukan di tempatpolisiitubertugas (Pasal 35
(1). Untukmemberikanperlindungankepadakorban,
kepolisiandapatmenangkappelakudenganbuktipermulaan yang
cukupkarenatelahmelanggarperintah per -lindungan (Pasal 36 (1). Korban,
kepolisianataurelawanpendampingdapatmeng -ajukanlaporansecaratertulistentangadanyadugaanpelanggaranterhadapperintahperlindungan
(Pasal 37 (1).
Bilamanapengadilanmendapatkanlaporantertulistentangadanyadugaanpelanggaranterhadapperintahperlindunganini,
pelakudiperintahkanmenghadapdalamwaktu 3 x 24 jam gunadilakukanpemeriksaan, di
tempatpelakupernahtinggalbersamakorbanpadawaktupelanggarandidugaterjadi (Pasal 37 (2))
2. Sanksikhusus
Sanksikhusus, hanyamerupakansanksi moral.
Lebih-lebihlagimenurutHukum Islam, Syari’ hanya
mengizinkan para suami untuk menghukum istrinyayang nusyuz (membangkang),[1]
dengan tiga macam hukuman, yaitu menasihatinya, memisahkannya dari ranjang
(pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:
...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[2] Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.[3]
Asbab al-Nuzulnya menurut Ibnu
Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali bin Abi Thalib,
"laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw.,membawa istrinya. Kata istrinya,
'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.'Jawab
Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan
ayat,’'Kaum lelaki menjadi pelindung
wanita...sampai akhir ayat.' (QS. An-Nisa’ 34) Hadis ini menjadi saksi,
yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya." Berikut ini tentang kesamaan
Al-quran dan hadits, tentang tingkatan hukuman antara isteri dan anak.
TABEL 5
KEMIRIPAN REDAKSI AYAT DAN HADITS
TENTANG HUKUMAN PUKULAN
DARI SEGI URUTAN KATA.
No
|
QS An-Nisa’
(4) : 34
|
Hadits
|
1
|
Dinasehatiisterimu
|
Disuruhanakmu
|
2
|
Pisahkandaritempattidur
|
Pisahkantidurnya
|
3
|
Pukullahisterimu
|
Pukullahmereka
|
Dari tigatingkatan,
pernyataandariayat Al-Quran
danhaditstersebut, yang
penulissorotiadalah yang nomortiga, karenaada kata “ Pukullahmereka”. Kaitannya,
denganpenelitianiniialah , kata pukulanitu, termasukkekerasanmenurut HAM dan UU
RI Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapimenurutanalisispenulis,
sebenarnyaadahukumanpukulan yang tidakmasukkategorikekerasanfisik, yaitumemukul
yang tidakberdasarkanemosi, tidak gores, tidakberbekas, dantidakbolehmemukulwajah.
Ada
tiga jenishukuman, yang dapat
dilakukankepadaisteri,
secara bertahap, tidak menerapkan
hukuman berikutnya jika dengan hukuman pertama si istri bisa berubah. Nasihat
adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak ‘mempan’ maka dengan pisah ranjang,
jika tidak juga mempan maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak
diwajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda dengan hukuman macam ke dua di
atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib
(edukasi) bukan hukuman bersifat ta'dzib
(penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat
pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama:
Dari penelaahan penulis terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas. Apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar, baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat, untuk anak-anak ditinjau dari segi usianya.
Batasan usia yang diajukan dalam
menelaah mengenai pengertian anak / remaja,
berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi B. Hurlock dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan Anak) menyebutkan
bahwa pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentang usia
antara 13 (tiga belas) tahun, sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan pengertian anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalam batasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja
dalam rentang usiaantara 13 – 21 tahun. Di bawah ini tabel perbandinmgan
batas usia menurut undang-undang.
Secara yuridis formal, masalah
pertanggungjawaban mengenai kenakalan anak atau remaja yang dapat
menimbulkan kejahatan ini telah memperolehpedoman yang baku dalam hukum.
Pertama-tama adalah hukum pidana yangpengaturannya
tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifatembrional adalah
Pasal 45, 46 dan 47 KUHP.Bandingkanketentuanumur yang disebut di dalamhadits
yang menyuruh
anak-anak melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan memukulnya jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun,
serta pisahkan tempat tidur mereka.[5]
Hukuman untuk anak-anak, tentu saja, hal yang bisa
dilakukan adalah tindakan “yang bukan
berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis” yang sejalan dengan syari'at
Islam. Misalnya ketika ada seorang santri atau siswa melanggar disiplin administratif
berupa lalai atau berbohong saat meminta izin, tindakan yang bisa ditempuh
misalnya menasihati dengan nasihat yang baalighoh dengan
kata-kata yang menyentuh, tanpa amarah
atau membentak-bentak dengan mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari
sendiri kesalahannya dan menyesalinya.
Kemudian ciptakan suasana agar
murid, mau meminta maaf seraya bertaubat kepada Allah SWT., pendidik bisa
memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya
saat itu, atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya. Apabila
kesalahan sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat hal
itu berdampak buruk bagi anak-anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh
jalan untuk memulangkannya atau mengeluarkannya dari lembaga. Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya
yaitu Washil bin 'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada
harapan untuk kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan
hukuman apa pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu
yang beliau bina.
Terkait hukuman fisik, dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah SWT. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang menyakiti seorang muslim, sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah SWT .[6]
3.
Sanksi Hukum yang Sesuai dengan Syari’at
'Uqubah Syar'iyyah, (hukuman)
yang sesuai syari'at ini, penting untuk diketahui sebagai acuan dalam
memberlakukan hukuman selama proses pendidikan. Dengan harapan, hukuman yang
diterapkan, sesuai dengan fitrah
syari’at, bukan hukuman yang kontraproduktif. Hukuman juga membawa kemaslahatan bagi yang menghukum.
Perlu adanya ketaatan terhadap
penghukum sendiri, agar taat kepada al-Hakim al-Syari’ Allah ‘Azza wa Jalla.
Pertama, ada macam-macam hukuman dalam Islam. Secara garis besar digolongkan menjadi tiga macam: 1. Hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, Kedua, hukuman oleh orang tua terhadap anaknya. Ketiga, hukuman oleh suami terhadap isterinya. Hukuman oleh tuan terhadap hamba-sahayanya. Ada ta’zir, bagi anak santri dalam bentuk, dicukur rambut,[7] setelah itu tubuh mereka dibasahkan, dengan air bau tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Kemudian berdiri semalaman. “Ritual” itu mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka.
Ta’zir dijatuhkan kepada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir di sini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren. Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran, jika kemudian tradisi itu berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut penulis lebih mengarah pada tindakan yang anarkis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.
Selain hal di atas, kenapa masyarakat di lingkungan madrsah dan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir, hampir sama dengan budaya perpeloncoan,[8] saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif misalnya diskusi, olahraga dan permaian. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik. Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut opini masyarakat adalah budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan.
Menurut Siti
Rofi'ah dar UIN Semarang, dari hasil pengamatannya
terhadap beberapa (21) pesantren yang ada di Salatiga 17 di antaranya masih
menggunakan cara ta’zir untuk
menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat
“diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi
masalah pelanggaran yang dilakukan santri.
5.PenemuanMaknaSanksi Hukumdan Moral
Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di sini ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera,[9] bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.
Untuk mengubahnya, dimulai pada persoalan yang mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren, para pengurus juga santri, paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral pesantren, memahami esensi sebuah hukuman. Bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah ta’zir masih tepat dipertahankan, atau menjadi tradisi yang sia-sia ?
Pada awalnya, ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut. Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut , hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya. Cara ini akan lebih indah dan menyentuh dibandingkan cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.
Ta’zîr dalam
pondok pesantren, perlu direformasi, karena begitu banyaknya santri yang tidak
mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam pondok pesantren. Setiap santri yang
melakukan pelanggaran maka akan dita’zir sesuai dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan santri tersebut. Akan tetapi ada juga ta’zir yang diberikan santri tidak adil,[10]
semisal ada santri yang melanggar aturan podok pesantren tetapi karena santri
tersebut kenal atau teman dekat dengan si penta’zir maka ta’zir-an yang diberikan kepada santri tersebut lebih ringan dari
pada santri yang tidak dekat dengan si penta’zir. Kebanyakan santri saat ini ketika
dita’zir akan semakin parah bisa juga santri balik mengancam, misalnya melapor pada pihak berwajib. Tidak jarang
juga santri-santri yang tidak melanggar aturan terkena imbasnya juga.
Tidak patut pendidikan yang diberlakukan di negara ini, melanggar hukum
yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari hukum yang berlaku di negara ini,masih
ada yang melanggar HAM, karena terkadang
ta’zir yang diberikan kepada santri tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan oleh santri tersebut. Misalnya ketika libur pondok telah usai dan
saat kembali ke pondok santri yang terlambat akan dicukur gundul atau beli
semen satu bal. Dan ada juga aturan-aturan tertentu di pondok pesantren yang
bertolak belakang dengan negara RI, negara yang seperti apa HAM dan hukum dan
aturan-aturan yang diberlakukan di dalamnya.[11]
Penulis
berpendapat, hukuman fisik di madrasah dan sekolah, harus di-hapuskan. Kalau
ada hukuman yang bersifat mendidik kenapa harus menggunakan hukuman dengan
kekerasan, karena kebanyakan ta’zir
yang menggunakan kekerasan akan membuat
santri lebih parah, tingkat pelanggarannya dan bisa juga santri-santri yang
dita’zir menyimpan dendam. Karena apabila dilihat santri saat ini, terkadang
tidak sadar bahwa ta’zir yang
diberikan kepadanya itu bermaksud baik agar
kesalahan, tidak diulang kembali.
Dalam tahap ini perlu dikembangkan
aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang
aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban konflik bullying di setiap sekolah.[12]
Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang
dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying.
PANTUN INTI DISERTASI
CARA
MEMUKUL YANG TIDAK MELANGGAR
HAK
ASASI MANUSIA
Pantun
dan syair ini merupakan intisari dari disertasi penulis di program Doktor (S3) UIN Suska
pekanbaru tahun 2015. Mengapa dirumuskan dalam bentuk pantun? Karena syair dan
pantun tidak pernah membosankan untuk dibaca berulang-ulang.
Dara mencangkul tanah
hitam,
Dikaki
bukit, tiga belas
Cara
memukul, sesuai HAM
Jangan
sakit, jangan berbekas
Jatuh keparit,
sebatang lilin,
Jatuh terkulai, dari atas
Memukul murid,
tegakkan disiplin
Jangan sampai,
melampaui batas
Di
dalam kolam, dasarnya pasir,
Mandilah
nyonya, adik beradik
Didalam
Islam, ada hukum ta’zir
Tujuannya hanya, untuk
mendidik
Sebuah taman, indah
moderen,
Gelassajian, penampung
hujan.
Jenis hukuman, di
pesantren,
Atas perjanjian, dan persetujuan.
Buaya kadal, berenang perlahan,
Dari
permukaan, sampai
ke dasar.
Budaya feodal, yang
masih berjalan.
Memberi
hukuman, bengis dan kasar
Cobalah tanam, kayu manis,
Tampaklah dahan, cabang delapan.
Ubahlah hukuman, menjadi humanis,
Campakkan yang tidak, lagi relevan.
Dikampung Terusan, banyak
belokan,
Langkah
tertahan, terjerembeb.
Kekerasan adalah, budayaperpelancoan,
Sudah
ditinggalkan, dunia beradab.
Membuat
sambal, lada
muda,
Terasa
lezat,
makan pagi.
Seting
sosial, kini berbeda,
Hukuman
bersifat, lebih manusiawi.
Burung
belibis, penunggu
taman,
Mengkilat
bulunya, merah membara.
Landasan
filosofis, suatu hukuman,
Membuat
pelakunya, menjadi jera.
Kakaktua
menggigil, diatas pohon,
Warna
bulunya, putih polos.
Orangtua
dipanggil, diberi peringatan,
Jika
anaknya, selalu membolos.
Putih polos,
kakaktua dipekan,
Kepalanya
indah, bergaris-garis.
Muridnya
membolos, walinya
dipenjarakan,
Itulah aturan,
berlaku di Inggeris.
Ikan
temakul, ikan
belanak,
Dikeringkan
saja, diatas dahan.
Hindari
memukul,
wajah anak,
Karena
wajah, puncak keindahan.
Drs.Mhd.Rakib,S.H.,M.Ag M.Ag
31
Agustus 1959
Lahirlah aku,
sendirian,
Anakketiga, dalamurutan,
Ibundabermimpi, lihatrembulan.
Penulis lahir
56tahun yang lalu, di KualaKamparKabupaten
Kampar, sekarang menjadi Kabupaten
Pelalawan. Tamat
SD dan Ibtida'iyah, di Penyalai, Kuala Kampar 1973 .Kemudian hijrah ke
Airtiris Kampar yang jaraknya dari tempat lahir penulis, lebih kurang 500 Km,
untuk masuk Tsanawwiyah di Airtiris, Kampar, Propinsi Riau, 1977 Dan juga
Aliyah swasta di Airtiris, Kec. Kampar, 1980
Melanjutkan ke program Sarjana Lengkap “Drs” IAIN di Pekanbaru, 1988,
menambah ilmu lagi sampai dapat gelar
Sarjana Hukum, “S.H” UIR di Pekanbaru, 1997, dilanjutkan ke program Magister
Agama “M.Ag” S2 IAIN Pekanbaru, 2003
Pernah mengajar di SMA Negeri 4, SMA 02, SMA 12, SMU Plus
/ UnggulanProvinsi Riau, 1998-2000.Pekanbaru,
Riau, 1985-1995Dan Fakultas Ekonomi UIR, Marpoyan, 1995-1997 Juga di ASM
(Akademi Sekretaris, Manajemen) STIE,STIH,
MengajarIlmu HukumDan IlmuPerbandingan
Agama, pada Perguruan Tinggi Persada Bunda, Pekanbaru-Riau, semenjak tahun
1995, sampai sekarang.
Menjadi widyaiswara tetap padaLembaga Penjamin
Mutu Pendidikan (LPMP) Prop. Riau, sejak tahun 2000, sampai-sekarang Ada
sedikit prestasi, yaitu Juara Pidato Pemuda Nasional di Jakarta, 1983 Juara
I Juga juara umum pidato Idelogi Bung
karno, se Riau,tahun 2004 .
Karya Tulis Lingkungan, Depdikbud,1995Juara I
Karya Tulis Keberhasilan Guru, Jakarta, 1996
Tahun (2005) Penulis pernah kuliah di S3 Ilmu-ilmu Sosial Universitas Riau kerjasama
dengan UGM, tapi gagal. Kuliah lagi S3 UI Depok
Jakarta, tidak selesai. Kuliah lagi
S3di UniversityMalaya.Kuala Lumpur, Juga tidak selesai. Kuliah lagi S3
UNISEL, Selangor, tidak selesai. Akhirnya kuliah S3
lagi di UIN Suska Riau di Pekanbaru,
sejak 2008, masih berlangsung sampai saat ini. Alamat : Jl. Bintara 13 D Labuhbaru Pekanbaru 0823 9038 1888
[1]Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir
jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela
istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat
karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan
kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak
suami yang belum juga menyadari kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah Asy-Syari’ah Edisi 027
[2]Asbabunnuzul
ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya,
"Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah
memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun
menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir
ayat." (Q.S. An-Nisa(4) 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas.
Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada
sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga
istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di
antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran
sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah
ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..."
[3]HM.QuraishShihabmenyatakan,
walaupun
tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem jarimahtersebut,
atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih
mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih
banyak.KomentardaritafsiranQS. An-Nisa [4]: 34)
[6]HR. Ath-Thabrani.
[7]Kepala
anak-anak yang dicukur dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup
dengan bau yang tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai
disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka
jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat. Itulah sedikit menggambarkan bagaimana para santri
menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih
banyak terjadi di kalangan beberapa pondok pesantren. Tradisi itu adalah ta’zîr.
[8]Lihat Baharits,A.H.S.Tanggung Jawab Ayah
Terhadap Anak Laki-Laki.(Jakrta: Gema Insani Press.
1996), hlm 49 , bahwa walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren
yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti
bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data
yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak. Apa saja dampak
kekerasan pada siswa? Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat
mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu: 1.Kekerasan secara fisik
mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar,
luka-luka. 2.Trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya
semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta
daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress,
depresi..Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan
prestasi, perubahan perilaku yang menetap. 3.Siswa yang mengalami tindakan
kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan
pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara
teman-temannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru
maupun dengan sesama teman. Bisa
jadimerekajadisulitmempercayai orang lain, dan semakinmenutupdiri dari
pergaulan. 4.Hukumanfisikbiasanyadijalankanoleh guru di bawahkondisitekananemosional
yang dipicuolehperilakumurid.
Akibatlangsungpadapendidiksesudahmelaksanakanhukumanfisikyaitunaiknyatekanandarah,
disusuldenganturunnyaketeganganemosi. Inisebenarnyatimbul dari
kehendaknyasendiri, self reinforced. Si guru akan berkata “Sekarangakusudahmerasabaiklagi”.
Situasiinimenuntutkendali-diripendidik demi
kepentinganjangkapanjangpesertadidik. 5.Murid yang mengalamihukumanfisik akan
memakaikekerasan di keluarganya nanti, sehinggasikluskekerasanmakinkuat.
Gershoff, yang menelitikasusiniselama 60 tahunsejak 1938,
menemukansejumlahperilakunegatifakibat dari kekerasan,
sepertiperilakubermasalahdalamagresi, anti-sosial, dan gangguankesehatan
mental. Kekerasantidakmengajarmuriduntuk bisa membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, dan tidakmenghentikanperilakukelirujikamereka ada di
luarpantauanorangtua dan guru (Ad hoc Corporal PunishmentCommittee
(2003) 6.Murid itu, sebagaikorban, kehilanganhaknyaataspendidikan, dan
haknyauntukbebas dari segalabentukkekerasanfiisik dan mental yang tidakmanusiawi.
Martabatmerekadirendahkan. Pertumbuhan dan perkembangandirimerekadihambat.
[9]J.J. Hasibuan,Proses Belajar Mengajar. (Bandung:
Remaja Karya 1988), hlm 224.
[10]Di zaman yang sudah
berubah ini tentu ta’zîr bukan cara utama untuk mendidik santri saat
ini, berbeda dengan santri-santri yang dahulu, jika santri dahulu dita’zir maka
santri tersebut bisa menerima dengan ikhlas, karena sadar memang perbuatannya
itu salah dan si penta’zir dahulu memang benar-benar adil tanpa pilih kasih.
Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit,
hlm. 291.
[11]Beni Ahmad Saebani, FilsafatHukum Islam, Bandung,CV.PustakaSetia, 2008), 129.
[12]Anak sekolah membolos apa
hukumanya? Paling tidak, pemanggilan
orang tua murid ke sekolah dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah
adalah skors. Tapi di Inggris, murid membolos sekolah, orang tua dipenjarakan. Sudah lebih
dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak
mereka bolos sekolah. Hukum ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan
pemerintah setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis
lagi mereka akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang
dikutip dari vivanews.com.
Dilansir laman The Guardian, Selasa 8
November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran
anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun lalu di mana 11.188
orangtua dijatuhi sanksi serupa.Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum
penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah
dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau
sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial,
dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum
akibat anak yang membolos di
Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat
hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan,
sekitar 15 hingga 20-an.LihatjugaIslamPos, Jumat
28 Syawal 1436 / 14 Agustus
2015 03:00.
No comments:
Post a Comment