SEBAB, SYARAT, JAMI’ , MANI’
CATATAN M.RAKIB JAMARI, PEKANBARU RIAU INDONESIA
I. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum
wadh’i terbagi kepada 5 bagian, berdasarakan penelitian di peroleh ketetapan,
bahwwasannya hukum wadh’i ada kalanya
menghendaki untuk menjadi suatu syarat bagi sebab sesuatu yang lain atau,
menjadi penghalang atau menjadi pemboleh adanya rukshah (keringanan hukum)
sebagai ganti ‘azimah, atau sah atau tidak sah.
II. Pengertian Sebab
Sebab
ialah sesuatu yang di jadikan oleh syari’ sebagai tanda atas musababnya dengan mengkaitkan
keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabab dengan
ketiadaannya. jadi, dari keberdaan sebab , maka di tetapakan adanya musabah dan
dari ketiadaan sebab itu di tetapkan ketiadaannya. dengan demikian, sebab
merupakan hal yang zhahir (nyata) dan pasti yang di jadikan oleh syar’i sebagai
alamat atas hukum syara’, yaitu musababnya. Dari keberadaan sebab itu, di
peroleh ketetapan keberadaan musabah, dan dari ketiadaannya, maka di peroleh
ketetapan mengenai ketiadaan musabab itu.
III. Macam-Macam Sebab
Sebab
terkadang menjadi hukum taklifi, seperti waktu yang di jadikan oleh syar’i
sebagai sebab untuk mewajibkan mendirikan shalat, karena firman Allah SWT :
Pemilikan
nisab suatu yang berkembang dari pemilik zakat bahkan sebagai sebab
bagivpewajiban pembayaran zakat penyucian di tetapakan menjadi sebab bagi
pemotongan tangan pencuri dan semisal hal-hal tersebut.
Kadangkala
sebab menjadi sebab bagi penenmpatan kepemilikan, atau halangan, atau
menghilangkan kedua-duanya: sebagai mana jual beli untuk menetapkan kepemilikan
dan menghilangkannya, pemerdekaan dan wakaf untuk menggugurkannya akad
perkawinan untuk menetapakan kehalalan, talaq untuk menghilangkan kehalalnya,
kekerabatannya hubungan semenda, dan wala’ untuk menentapkan hal pewarissan,
pengerusakan harta orang lain untuk menetapakan kewajiban mengganti rugi atas
orang yang merusakkan, dan persekutuan atau pemilik untuk penetapan hak syuf’ah
(menutp harga barang yang di jual). Terkadang sebab merupakan suatu perbuatan
mukallaf yang di kuasainya, seperti pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja
menjadi sebab adanya penganiayaan terhadapnya, kadang kala, sebab merupakan hal
yang di luar kekuasaan mukallaf dan tidsk termasuk perbuatannya, sebagai man
masuknya waktu adalah sebab bagi pewajiban shalat.
IV. Pengertian Syarat
syarat
ialah suatu yang keberadaan hukumnya tergantung pada keberadaan sesuatu itu,
dan dari ketiadaanya sesuatu itu di peroleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut.
yang di maksutkan adalah keberadaannya ecar syara’, yang menumbulkan efeknya.
Syarat
merupakan hal yang di luar hakekat sesuatu yang di syaratkan. ketidaan syarat
menetapakan ketiadaan yang di syaratkan, namun adanya syarat tersebut tidak
memastikan adanya yang di syaratkan.
V. Contoh Syarat
Wudhu
adalah syarat bagi keabsaan mendirikan shalat-shalat apabila tidak ada wudhu,
maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wudhu tidak memastikan
pendirian shalat.
Syarat-syarat
syar’iyyah adalah yang menympurnakan sebab dan menjadikan efek timbul padanya,
misalnya pembunuhan meruoakan sebab bagi pewajiban qishash, akan tetapi dengan
syarat, bahwa ia merupakan pembunuhan secara sengaja dan kezaliman.
Pebedaan
antara rukun dan syarat sesuatu, pada hal masing-masing dari keduanya menjadi
tempat tergantungnya keberadaan hukum : bahwasannya rukun merupakan bagian dari
hakikat sesuatu, adapun syarat merupakan hal yang berada di luar hakikatnya,
dan bukan termasuk bagian-bagiannya. misalanya ruku’ adalah rukun shalat,
karena ia dalah bagian dari hakikat shalat, sedangkan bersucu adalah syarat
shalat, karena ia adalah hal yang berada di luar hakeket shalat.
persyaratan
suatu syarat terkadang melalui hukum syari’, dan ia di sebut syar’i
persyaratan
suatu syarat terjadinya dengan tasharruf (tindakan hukum) mukallaf, dan ia
disebut dengan syarat Ja’il.
VI. Pengertian Mani’
Mani’
adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya
sebab ( Penghalang).
Mani’
dalam istilah para ahli ilmu
ushul fiqih
adalah sesuatu hal yang ditemukan bersama keberadaan sebab dan terpenuhinya
syarat- syaratnya, namun ia mncegah timbulnya musabab pada sebabnya. ketiadaan
syarat tidaklah disebut mani’ dalam peristilahan mereka, meskipun ia
menghalangi munculnya musabab pada sebabnya. suatu penghalaang terkadang
menjadi mani’ terhadap keberadaan sebab syar’i, bukan timbulnya
hukumnya,sebagai utang bagi orang yang memiliki senishab harta zakat.
sesungguhnya hutang itu menghalangi terhadap keberadaan sebab bagi pewajiban
zakat atas dirainya, karena harta kekayaan orang yang berhutang seakan-akan
bukanlah miliknya dengan suatu pemilikan yang sempurna.
1. Ijab (kemestian): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Nadb (anjuran): firman (teks ayat
atau hadits) yang menuntut mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
tidak pasti.
3. Tahrim (larangan): firman (teks
ayat atau hadits) yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan
yang pasti.
4. Karahah (kebencian): firman (teks
ayat atau hadits) yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan
yang tidak pasti.
5. Ibahah (kebolehan): firman (teks ayat atau hadits) yang mebolehkan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
5. Ibahah (kebolehan): firman (teks ayat atau hadits) yang mebolehkan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
• Hukum wadh’i ialah firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabbab); atau sebagai syarat yang lain (masyrut); atau sebagai penghalang adanya yang lain (mani’).
Mani’ adalah sesuatu hal yang karena adanya dapat menghalangi kewajiban melaksanakan sesuatu; atau menjadi penghalang terlaksananya suatu hukum.
Contoh:
a) Adanya najis pada tubuh atau pakaian, dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat.
b) Adanya kewajiban zakat karena sudah mencapai nishab (batas minimal kewajiban zakat), karena ada hutang maka menjadi penghalang kewajiban berzakat, karena membayar hutang hukumnya juga wajib. Jadi, hutang menjadi penghalang membayar zakat.
c) Adanya kewajiban menunaikan ibadah haji ke Baitullah, karena tidak ada keamanan di jalan, maka tidak wajib berhaji. Ketidakamanan di jalan merupakan penghalang kewajiban haji.
VII. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Wadh’i
1.
Hukum taklifi adalah menuntut
melaksanakan suatu perbuatan atau membolehkan memilih (takhyir) bagi seorang
mukallaf untuk melakukan suatu kewajiban atau tidak melakukan kewajiban itu.
Sedangkan hukum wadh’i tidak menuntut, melarang atau membolehkan memilih suatu
kewajiban, tetapi hanya menerangkan sebab, syarat, dan mani’ (penghalang)
terhadap suatu kewajiban.
2. Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan orang mukallaf
untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang
sanggup dilaksanakannya, dan kadang-kadang tidak mampu dikerjakan karena ada
faktor-faktor: sebab, syarat, dan mani’
No comments:
Post a Comment