HUKUM ISLAM ITU
SIFATNYA SAKRAL SUCI
By
M.Rakib Jamari S.H.,Pekanabaru Riau Indonesia 2015
Konsep Diri Mempengaruhi Pemahaman Sakral
pada hukum Islam “ SIAPA YANG TIDAK BERHUKUM KEPADA AL-QURAN, MAKA DIA KAFIR”
menurut QS Al-Maidah: 44. Lawan sakral
suci adalah Profan
misalnya
dalam pemikiran filsafati Plato, manusia itu terdiri dari tubuh (soma) dan jiwa (psyche). Jiwa bersifat kekal sedangkan tubuh bersifat sementara. Jiwa dianggap sebagai realitas sejati, sedangkan tubuh dipandang sebagai bayangan jiwa, bahkan penjara jiwa. Oleh karenanya, kematian merupakan pembebasan jiwa dari penjara badani. Dikotomi struktur manusia inilah yang menjadi cikal bakal dari dualisme tubuh dan jiwa mempengaruhi teologi yang dikembangkan Agustinus (abad IV) dan filsafat modern yang dideklarasikan oleh Descartes (abad XVI). Pandangan teologis Agustinus dan filsafat Descartes ini mempengaruhi pandangan hidup manusia secara keseluruhan, termasuk konsep tubuh dan jiwa serta dunia profan dan sakral dalam liturgi.
Di samping konsep Plato, terdapat konsep trikotomi struktur manusia yang terdiri dari tiga bagian yaitu tubuh (soma), jiwa (psyche), dan roh (pneuma). Pandangan ini dapat ditemui dalam teologi Paulus dengan konsep manusia yang lebih utuh. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa, dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Tes 5: 23).
dalam pemikiran filsafati Plato, manusia itu terdiri dari tubuh (soma) dan jiwa (psyche). Jiwa bersifat kekal sedangkan tubuh bersifat sementara. Jiwa dianggap sebagai realitas sejati, sedangkan tubuh dipandang sebagai bayangan jiwa, bahkan penjara jiwa. Oleh karenanya, kematian merupakan pembebasan jiwa dari penjara badani. Dikotomi struktur manusia inilah yang menjadi cikal bakal dari dualisme tubuh dan jiwa mempengaruhi teologi yang dikembangkan Agustinus (abad IV) dan filsafat modern yang dideklarasikan oleh Descartes (abad XVI). Pandangan teologis Agustinus dan filsafat Descartes ini mempengaruhi pandangan hidup manusia secara keseluruhan, termasuk konsep tubuh dan jiwa serta dunia profan dan sakral dalam liturgi.
Di samping konsep Plato, terdapat konsep trikotomi struktur manusia yang terdiri dari tiga bagian yaitu tubuh (soma), jiwa (psyche), dan roh (pneuma). Pandangan ini dapat ditemui dalam teologi Paulus dengan konsep manusia yang lebih utuh. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa, dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Tes 5: 23).
Penulis tertarik pada sebuah artikel
yang berjudul ‘Tiga (dari Tujuh) Teori Agama‘. Masih merupakan
review dari salah satu buku favorit saya, yaitu Seven Theories of Religion
(2011) karya Pals.
Akhirnya saya selesai membaca dua
teori agama lainnya selain dari ketiga teori yang pernah di-review disini. Kali
ini, saya ingin me-review teori agama-agama aliran Perancis dimana dikotomi
Sakral dan Profan dianggap penting dalam tinjauan mengenai agama. Dua
teoretikus agama yang membahas dikotomi itu dalam keseluruhan teori mereka
adalah Emile Durkheim, seorang sosiolog yang identik dengan studi-studi
kemasyarakatan, dan Mircea Eliade, filsuf dan sejarawan agama yang menolak
segala bentuk reduksi keilmuan dalam studi agama.
Apa itu yang disebut dikotomi Sakral
dan Profan? Durkheim menyebutkan bahwa the Sacred merupakan pengalaman
kemasyarakatan yang menjadi lambang kebersatuan transenden yang
dimanifestasikan dalam simbol-simbol masyarakat, sementara the Profane
merupakan pengalaman individual yang dianggap lebih rendah dari pengalaman
sakral. Lebih jauh lagi akan dibahas dalam teori masing-masing tokoh.
Meskipun keduanya sama-sama membahas
dikotomi Sakral dan Profan dalam agama, pendekatan yang dilakukan keduanya
terhadap dikotomi itu cukup berbeda.
Emile Durkheim : Masyarakat yang
Sakral
Bagi Durkheim, adalah sia-sia
mencoba memahami individu hanya dengan memahami insting biologis, psikologi
individu atau kepentingan pribadi. Untuk memahami agama, ia berpaling dari
studi mengenai individu, dan menyatakan bahwa: “ide tentang masyarakat adalah
roh agama”.
Jika Freud menggunakan dimensi
dorongan bawah sadar kepribadian dan aspek dorongan biologis dalam menjelaskan
perilaku manusia, maka Durkheim menggunakan dimensi interaksi sosial dan
kemasyarakatan. Baginya, individu tidak akan pernah bisa lepas dari masyarakat.
Sejak lahir, ia telah melakukan kontak dengan masyarakat, yaitu orangtua dan
pengasuhnya. Dapat dipastikan bahwa seorang individu tidak akan pernah bisa
bertahan tanpa adanya masyarakat. Bahkan, tanpa masyarakat, maka tak ada satu
hal pun yang akan muncul dalam kehidupan manusia.
Durkheim menyatakan bahwa dasar dari
kepercayaan terhadap agama bukanlah terletak pada kepercayaan terhadap hal-hal yang
supernatural seperti Tuhan, karena pada banyak agama tidak ditemukan
kepercayaan terhadap Tuhan. Ini berarti, asumsi Tylor & Frazer yang
menyatakan pemahaman akan fenomena alam yang didasari oleh kekuatan
supernatural adalah hakikat dari agama tidaklah tepat. Dasar dari agama
bukanlah kepercayaan terhadap kekuatan supernatural (pembedaan atas apa yang
natural dan supernatural), melainkan konsep The Sacred (Yang Sakral). Pada
masyarakat beragama, terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu Yang Sakral dan Yang
Profan.
Yang sakral adalah: sesuatu yang
tinggi, agung, berkuasa, dihormati, dalam kondisi profan ia tidak tersentuh dan
terjamah. Sementara,
Yang profan adalah: kehidupan
sehari-hari yang bersifat biasa saja.
Yang sakral berada dalam masyarakat,
sementara yang profan ada dalam konteks individu. Untuk menjelaskan
konsep-konsep ini, Durkheim meneliti mengenai masyarakat dengan agama
totemisme; agama yang dianggap sebagai agama paling tua yang pernah ada dalam
sejarah manusia. Untuk membuktikan asal-usul agama, Durkheim berpendapat bahwa
tidak tepat mengatakan bahwa konsep agama adalah kekuatan personal yang disebut
Tuhan, melainkan sebuah konsep yang tidak personal (impersonal), yang dihormati
dan dipuja sekaligus mengatur masyarakat, tetapi tidak memiliki sosok. Darimana
lagi bisa didapatkan fakta-fakta mengenai asal-usul kepercayaan terhadap
kekuatan impersonal jika bukan dari agama paling tua yang pernah ada di muka
bumi ini? Melalui agama totemisme yang saat ini masih bertahan di daerah
Australia, Durkheim mampu menjelaskan apa fungsi agama.
Pada agama totemisme, simbol-simbol
hewan dan tumbuhan dipuja sebagai sesuatu yang dihormati. Simbol hewan-hewan
dan tumbuhan-tumbuhan tertentu merupakan lambang dari klan-klan tertentu pada
suku-suku. Hewan-hewan dan tubuhan-tumbuhan itu suci dan tidak boleh
dbunuh, tidak boleh dilukai atau bahkan didekati kecuali dalam
perayaan-perayaan tertentu. Kesucian totem adalah mutlak dalam masyarakat itu.
Kesuciannya dapat dirasakan oleh tiap-tiap individu, terutama dalam perayaan
dan ritual-ritual keagamaan. Pada ritual-ritual dan perayaan-perayaan itu,
totem-totem menyusup dan mengatur kesadaran diri manusia. Saat pemujaan
berlangsung dimana tarian-tarian, lagu-lagu, mantera-mantera dan perasaan
tenteram dan tenang merasuk ke dalam tiap individu, maka detik itu juga
individu kehilangan pribadinya dan masuk ke dalam kerumunan massa Yang Sakral.
Sebuah perasaan melayang-layang yang tidak biasa, yang tidak bisa diungkapkan,
tetapi nyata dan bersifat transendental.
Implikasi dari keyakinan terhadap
totem itu selanjutnya mampu menjelaskan bagaimana masyarakat membangun
sistem-sistem kepercayaan tertentu melalui metode asosiasi hubungan-hubungan
antar konsep yang berpusat pada Yang Sakral. Termasuk didalamnya adalah sistem
kepercayaan terhadap roh atau jiwa (yang menjadi dasar dari banyak agama). Roh
yang ada dalam diri seseorang merupakan representasi ketergantungan mereka
terhadap masyarakat. Roh bertugas untuk memberitahukan kepada individu untuk
mematuhi kewajiban-kewajiban moral terhadap masyarakat. Roh yang menjadi
representasi masyarakat dalam diri individu merupakan Yang Sakral sementara
badan yang bertugas memenuhi kebutuhan individu saja adalah Yang Profan.
Selanjutnya hubungan asosiatif dikembangkan lebih lanjut mengenai konsep roh
yang bersifat abadi. Dari sinilah penyembahan terhadap Dewa-Dewi dan Tuhan
berasal. Roh-roh yang mampu mengatur alam pada akhirnya dituntut oleh
masyarakat sebagai representasi kepribadian tertentu, yang superior, yang
disebut Dewa dan Tuhan.
Kepercayaan terhadap totem-totem
yang pada akhirnya menjadi Dewa dan Tuhan itu bukanlah hal yang paling penting
dalam agama menurut Durkheim. Yang paling penting, adalah perasaan Sakral yang
dihasilkan dari ritual-ritual keagamaan. Pemujaan-pemujaan yang ada dalam
ritual-ritual atau perayaan-perayaan dalam setiap agama bertujuan bukan untuk
totem atau Dewa, melainkan untuk mejaga individu-individu agar tidak melupakan
arti penting klan dan memberikan perasan bahwa Yang Sakral adalah sesuatu yang
berbeda dan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Yang Profan.
Dari sini, terjawab sudah arti
penting ritual-ritual keagamaan dari agama-agama yang pada saat ini masih ada.
Mereka dapat memberikan arti penting suatu masyarakat dalam diri kita sekaligus
memberikan kepada kita perasaan yang transenden, yang tidak terjamah, yang
tidak tercapai dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat individual. Ini juga
menjelaskan mengapa pemuka-pemuka agama dan kalangan-kalangan beragama yang
taat sangatlah dijunjung tinggi oleh masyarakat. Karena mereka sudah
mengorbankan diri mereka untuk kepentingan masyarakat. Ia menjadi contoh bagi
masyarakat untuk meninggalkan Yang Profan karena Yang Sakral berada di
kepentingan masyarakat. Ini juga menjelaskan mengapa masyarakat membenci pemuka-pemuka
agama yang nampaknya lebih mementingkan kebutuhan Profan dibandingkan Sakral.
Kritik terhadap Durkheim berasal
dari kalangan antropolog yang menyatakan bahwa interpretasi dan analisa
bukti-bukti data yang dikumpulkan olehnya dipenuhi oleh fakta-fakta yang tidak
memuaskan. Selain itu, dalam beberapa masyarakat yang ada diluar tinjauan
Durkheim lebih mengkhususkan pada natural dan supernatural, bukan sakral dan
profan.
Mircea Eliade: Hakikat dari yang
Sakral
Oleh karena sifatnya yang fungsional
dan dependen terhadap psikologi, sosiologi, dan ekonomi, maka teori-teori agama
yang dikemukakan Freud, Durkheim, dan Marx akan menghasilkan kesimpulan yang
bersifat reduksionistik. Penjelasan menganai satu aspek saja tidak akan mampu
memahami agama secara keseluruhan. Untuk itu, Mircea Eliade melakukan analisis
terhadap agama diluar konteks fungsionalis yang menggunakan pendekatan ilmu
tertentu. Agama harus dianggap sebagai sebuah variabel yang independen, dimana
faktor-faktor lainnya menjadi bergantung pada agama dan bukan sebaliknya.
Dalam studinya mengenai agama,
Eliade mengkhususkan pada studi dengan masyarakat arkhais, yaitu masyarakat
pra-sejarah dengan peradaban paling kuno. Mereka berburu, bercocok tanam, dan
melakukan pekerjaan-pekerjaan alami lainnya. Dalam masyarakat ini, akan selalu
ditemui apa yang disebut sebagai pemisahan antara Yang Sakral dan Yang Profan.
Yang sakral adalah: Sesuatu yang
supernatural, luar biasa, amat penting, dan tidak mudah dilupakan. Sementara,
yang profan adalah: Sesuatu yang
biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari secara teratur
dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting.
Yang sakral bersifat abadi,
mengandung substansi, dan nyata. Di dalam yang sakral mengandung kesempurnaan
dan keteraturan, dimana di dalamnya bersemayam roh, nenek moyang, tempat
tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara yang profan bersifat mudah hilang,
terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat salah, manusia
selalu berubah, dan mengalami kekacauan. Dari sini terlihat sebenarnya
perbedaan konsep Yang Sakral antara Durkheim dan Eliade. Sementara Durkheim
selalu mengunakan pendekatan sosial kemasyarakatan yang non-supernatural dalam
menentukan apa yang sakral itu, Eliade berpendapat sebaliknya. Baginya,
kekuatan supernatural adalah inti dari yang sakral itu. Dengan demikian,
pemikiran Eliade ini bukanlah bersumber sepenuhnya dari pemikiran Durkheim
meski menggunakan istilah-istilah yang sama, melainkan bersumber dari seorang
teolog yang pernah menjadi pembimbingnya, yaitu Rudolf Otto.
Otto mengartikan perjumpaan dengan
yang sakral (The Holy) sebagai mysterium (hal yang misterius).
Baik itu mysterium fascinosum (misterius yang mengagumkan) atau mysterium
tremendum (misterius yang menakutkan), keduanya merupakan perjumpaan dengan
yang sakral. Perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan yang nyata, agung,
tinggi, dan menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan perasaan-perasaan
lainnya yang bersifat duniawi. Perasaan inilah yang menjadi titik kunci apa
yang disebut dengan agama. Eliade sepenuhnya sepakat dengan hal ini. Ia
menyatakan bahwa perjumpaan dengan yang sakral dapat dialami oleh semua orang.
Perasaan ini begitu kuatnya sehingga kekuatan dari yang sakral itu dianggap
sebagai sebuah realitas, sesuatu yang nyata. Kesakralan adalah keseluruhan
realitas yang dahsyat dan abadi. Manusia ingin berada dekat dengan kekuatan
itu. Meskipun benar inilah apa yang dianggap Tuhan oleh agama-agama seperti
Yahudi, Nasrani, dan Islam, namun Eliade meminta untuk tidak
menginterpretasikan yang sakral sebagai Tuhan, karena konsepnya mengenai yang
sakral tidak hanya berpusat pada Tuhan. Segala konsep-konsep yang berada
dalam ruang lingkup perjumpaan dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai
Yang Sakral, dan ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat
personal.
Dengan kepercayaan terhadap kekuatan
yang agung dan nir-duniawi yang nyata itu, adalah mudah menjelaskan bagaimana
kepercayaan yang begtu kuatnya pada akhirnya membentuk sistem-sistem tertentu.
Manusia menyerahkan hal-hal yang profan juga kepada yang sakral.
Dongeng-dongeng dan mitologi-mitologi mengenai masyarakat arkhais akan selalu
mengandung konsep penyerahan diri terhadap yang sakral. Yang sakral mampu
mengatur segala aspek kehidupan manusia. Tidak jarang kita dengar kisah-kisah
mengenai doa-doa yang perlu dipanjatkan sebelum memulai suatu pekerjaan, atau aturan-aturan
yang diberlakukan dalam membangun rumah, misalnya. Semuanya tidak terlepas dari
yang sakral. Setiap konsep yang sakral memiliki titik pusatnya yang nyata.
Dalam hal ini, merupakan pusat dunia. Dalam Islam dikenal Ka’bah yang agung,
yang menjadi pusat ibadah dari semua umat muslim, sementara dalam agama Kristen
dikenal tangga Yakub, seorang penginjil yang melihat tangga menuju surga tepat
dihadapannya, lalu ia mebentuk batu yang menyerupai tangga itu. Dalam agama
kuno seperti kepercayaan bangsa Norse, terdapat pohon Yggdrasil yang disebut
sebagai pohon kehidupan. Begitu pula dalam kepercayaan-kepercayaan lainnya
sehingga pusat dunia (axis mundi) ini merupakan sesuatu yang universal
dan ada di setiap agama, yang memiliki fungsi sebagai lambang penciptaan dunia.
Hal ini jugalah yang dilakukan oleh simbol-simbol lainnya yang diciptakan
manusia. Simbol-simbol itu ada karena pemaknaan tertentu mengenai yang sakral.
Seluruh pemikiran masyarakat arkhais
mengenai yang sakral adalah dorongan akan satu hal: yaitu dorongan untuk
melepaskan diri dari sejarah dan ingin kembali pada waktu ketika seisi dunia
diciptakan. Keinginan ini oleh Eliade dinamakan dengan nostalgia surga firdaus.
Jauh di lubuk hati masyarakat arkhais, mereka ingin meninggalkan pekerjaan-pekerjaan
mereka dan segala sesuatu yang sifatnya profan. Yang profan ini merupakan
sejarah mereka, sejarah hidup dan nenek moyang mereka diluar penciptaan bumi
dan seisinya. Mereka ingin kembali ke Surga. Dengan demikian, kehidupan itu
sama sekali tidak ada artinya bagi mereka. Mereka ingin meraih kekekalan,
keindahan, kesempurnaan, dan sejarah hanya membawa mereka pada yang sulit, yang
tidak sempurna, dan yang pahit. Dengan kata lain, kehidupan sebenarnya tidak
akan bisa dicapai melalui sejarah.
Berbeda dengan masyarakat arkhais,
filsuf-filsuf modern dn masyarakat ilmiah berkeinginan sebaliknya. Dengan
perkembangan dan kemajuan pemikiran yang ada, mereka merasa bahwa sejarah tidak
perlu dihapuskan. Manusia tidak perlu kembali pada yang sakral karena yang sakral
itu sebenarnya tidak ada. Kita saat ini sudah bisa hidup tanpa adanya yang
sakral.
Eliade berpihak pada agama, bukan
pada filsuf modern.
Banyak kritik-kritik terhadap Eliade
ditujukan kepada perbandingan-perbandingan antar agama yang ia lakukan tidaklah
cukup global. Kritik pedas juga mengatakan bahwa teori ini memiliki bias-nya
sendiri karena Eliade dianggap berpihak pada agamanya sendiri, yaitu Katolik
Roma.
Dengan demikian, berakhirlah pembahasan
atau review singkat mengenai agama-agama yang mengkhuuskan pada dikotomi sakral
dan profan ini. Jika ditinjau lagi, maka dapat kita lihat bahwa Durkheim dan
Eliade memiliki posisi yang sangat berbeda dalam memandang agama. Keseluruhan
review ini tentu saja tidaklah cukup untuk membahas keseluruhan isi teori
tokoh-tokoh diatas. Jika ingin lebih jauh memahaminya, maka bisa membaca buku
Pals yang akan saya sebutkan di daftar pustaka berikut ini.
No comments:
Post a Comment