Contoh-Contoh
yang Kurang Berkembang
membuat contoh, kaedah fiqih
Agar masyarakat, jadi peduli
Sambil belajar, sambil menikmati
Catatan M.Rakib Pekaanbaru Riau Indonesia
Qawaid Fiqhiyyah merupakan bukti kemajuan keilmuan Fiqih Islam,
dimana para ulama’ selain menuliskan cabang-cabang hukum fiqih, mereka telah
menyederhanakan kecenderungan hukum-hukum fiqih itu kepada beberapa kaedah
dengan bahasa yang simpel, mudah dihafal dan bisa diterapkan sepanjang masa.
Hal itu menunjukkan majunya logika berpikir dari para ulama’.
Benih Qawaid Fiqhiyyah memang
sudah ada dalam al-Quran maupun Sunnah. Hanya saja, belum tersusun dengan baik.
Setelah abad ke-4 hijriyyah baru mulai berkembang[1]. Sampai akhirnya banyak
ulama’ yang menuliskan cabang ilmu ini ke dalam sebuah kitab tersendiri pada
abad ke-7 sampai abad ke-10 hijriyyah.
Maka
dari itu, banyak manfaat yang bisa diambil dari belajar Qawaid Fiqhiyyah ini.
Diantaranya yang paling nyata adalah memudahkan thalib ilmi dalam memahami
hukum fiqih dan menghafalkannya. Sebagaimana ketika ujian sekolah, salah satu
cara mempermudah menghafal pelajaran adalah membuat ringkasannya.
Tiga
Bentuk Kaedah
Secara
umum, ada tiga macam kaedah yang telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam
keilmuan hukum Islam:
1.
Kaedah Istinbath Hukum dan Ijtihad
Kaedah
ini berisi metode-metode yang dipakai oleh seorang mujtahid dalam memahami
hukum-hukum syariat dari sumbernya, sebelum menetapkan hukumnya. Kaedah ini
sering disebut sebagai Qawaid Ushul Fiqih atau Kaedah-Kaedah Ushul Fiqih.
Sebagai contoh: Asal perintah adalah wajib, asal larangan adalah haram, dsb.
2.
Kaedah Takhrij
Kaedah
ini ditetapkan oleh ulama’ hadits dalam menetapkan derajat suatu riwayat
hadits, diterima dan tidaknya suatu hadits, al-jarh wa at-ta’dil seorang
penyampai hadits. Untuk nantinya diambil sebagai sumber hukum Islam. Kaedah ini
sering disebut dengan Ilmu Mushthalah Hadits atau Ushul al-Hadits
atau Qawaid at-Tahdits. Sebagai contoh: Hadits mutawatir berfaedah
yakin, hadits bisa diterima/ shahih jika memenuhi lima syarat, dsb.
3.
Kaedah Hukum-Hukum Fiqih
Kaedah
ini biasanya dibuat oleh ulama’ suatu madzhab fiqih, dalam rangka mengumpulkan
hukum-hukum fiqih yang serupa atau hampir sama. Selanjutnya ditetapkan sisi
keserupaannya untuk ditetapkan kaedah yang mengikat antara hukum-hukum yang
serupa tadi. Inilah yang nantinya dikenal dengan sebutan Qawaid Fiqhiyyah.
Tantangan
Qawaid Fiqhiyyah
Paling
tidak, ada beberapa tantangan yang dihadapi Qawaid Fiqhiyyah saat ini.
Diantaranya:
1.
Qawaid Fiqhiyyah Perbandingan Madzhab
Penetapan
Qawaid Fiqhiyyah biasanya menggunakan metode induktif, dimana beberapa contoh
cabang hukum fiqih dikumpulkan lalu ditetapkan kesamaannya untuk dibuat sebuah
kaedah.
Secara
umum, Qawaid Fiqhiyyah tiap madzhab memang sama. Tetapi ada beberapa cabang
kaedah yang berbeda antar madzhab, karena memang ada perbedaan dalam hukum
masing-masing madzhab. Sebagai contoh:
الأصل
في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Kaedah:
Asal dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Ini adalah kaedah Jumhur ulama’ dari Maliki, Syafi’i dan
Hanbali[2]. Sedangkan menurut sebagian Hanafiyyah, asal sesuatu adalah haram,
kecuali ada dalil yang menyatakan halal[3].
Contoh
lagi, kaedah:
الزُخص
لا تُنَاط بالمعاصي
Rukhsah
atau keringanan dalam syariat itu tidak bisa diperoleh karena suatu maksiat
Kaedah
ini banyak dipakai dalam Madzhab Syafi’i dan Hanbali, tetapi tidak dalam
Madzhab Hanafi[4]. Contoh nyatanya, qashar shalat boleh dilakukan oleh seorang
musafir asal bukan bepergian untuk maksiat. Sedangkan menurut Hanafiyyah, jenis
safar tidak mempengaruhi boleh tidaknya suatu rukhsah atau keringanan ibadah.
Tentu
ini menjadi tantangan tersendiri dalam menuliskan Kaedah-Kaedah Fiqih lintas
madzhab.
2.
Contoh-Contoh yang Kurang Berkembang
Salah
satu tantangan Qawaid Fiqhiyyah adalah contoh-contoh yang cenderung sama dari
dulu. Jika kita buka kitab-kitab Qawaid Fiqhiyyah, maka kebanyakan contohnya
memang hanya itu saja. Laiknya contoh dalam pelajaran Nahwu, contoh: qoma
zaidun atau dhoroba zaidun amran takkan ketinggalan dalam setiap
buku nahwu.
Kadang
contoh kaedah sangat jauh dari realita saat ini, khususnya terkait masalah
perbudakan. Cukup banyak contoh kaedah fiqhiyyah dalam kasus perbudakan.
Contohnya kaedah:
الرِّضَا
بِالشَّيْءِ رِضًا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Rela
terhadap sesuatu artinya rela terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu
tersebut[5]
Imam
as-Suyuthi (w. 911 H) memberikan contoh; ketika seseorang menyewakan budak
kepada seorang penyewa, ia merelakan budaknya untuk dipukul. Jika budak itu
dipukul lantas mati, maka si penyewa tidak akan mendapatkan tuntutan ganti
rugi. Karena memang pemilik budak sudah merelakan budaknya untuk dipukul.
Tentu
masih banyak contoh lain yang kadang berbeda contoh kasusnya, saat kitab Qawaid
Fiqhiyyah dibuat dahulu dengan zaman sekarang.
Seiring
berkembangnya zaman, maka seharusnya berkembang pula contoh kekinian yang bisa
terjawab oleh Qawaid Fiqhiyyah. Misalnya: Kebijakan menaikkan harga BBM; antara
ditunda atau APBN jebol, bahaya manakah yang harus didahulukan untuk dihindari.
Dalam
praktek kredit motor dengan sistem bai’ al-murabahah lil wa’id bis syira’.
Jika pihak bank langsung memberikan uang kepada nasabah, untuk selanjutnya
nasabah yang membeli motor sendiri. Apakah yang dianggap adalah niat dari akad
ataukah lafadz dari akad.
Masih
banyak lagi contoh kekinian yang sepertinya menarik untuk digali hukumnya
dengan Qawaid Fiqhiyyah ini.
3.
Otoritas Qawaid Fiqhiyyah
Kaedah
Fiqih ini memang hasil ijthad dari para ulama’. Euforia kembali langsung kepada
al-Quran dan Sunnah sedikit banyak memberikan dampak akan ketidakpercayaan
hasil ijtihad para ulama’, jika tidak disebutkan dalilnya dari al-Quran maupun
Sunnah.
Sebuah
hukum yang baru, jika dalilnya hanya Qawaid Fiqhiyyah tentu saja dianggap
kurang kuat. Sebagai contoh: Seorang yang duduk di masjid untuk i’tikaf, maka
harus niat di awal. Dalilnya adalah:
الْأُمُورُ
بِمَقَاصِدِهَا
Setiap
perkara itu tergantung niatnya[6]
Tentu
bagi sebagian orang akan bertanya, mana dalil al-Quran yang menyebutkan harus
ada niat dalam i’tikaf? Apakah Nabi dan Salaf Shalih dahulu juga mensyaratkan
niat sebelum i’tikaf? Mana hadits shahihnya?
Perlu
diketahui bahwa setiap kaedah fiqih biasanya mempunyai landasan dari al-Quran
maupun Hadits, baik secara lafadz atau makna.
Pengertian
Qawaid Fiqhiyyah
Sepertinya
setiap penulis yang membahas Qawaid Fiqhiyyah, sudah menuliskan secara lengkap
dan terperinci mengenai pengertian Qawaid Fiqhiyyah, baik secara bahasa
maupun istilah. Maka menuliskannya kembali bisa dikatakan tahshil al-hasil
atau mengulangi pekerjaan yang sudah selesai.
Tapi,
sebagai pengingat kembali ada baiknya dibahas secara sekilas sebagai pembuka
belajar.
Secara
mudah, Qawaid Fiqhiyyah dimaknai dengan kaedah-kaedah fiqih. Untuk lebih
lengkapnya, Qawaid Fiqhiyyah terdiri dari dua kata; Qawaid dan Fiqhiyyah.
Qawaid secara bahasa adalah bentuk prular dari Qa’idah, wazan isim fa’il
dari qa-‘a-da yang berarti duduk. Qa’idah artinya asas atau
pilar[7]. Sebagaiman termaktub dalam surat al-Baqarah: 127 yang berbunyi:
وَإِذْ
يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ ...
dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail…
Sebagai
tambahan, Meski qa-‘a-da dan ja-la-sa mempunyai makna sama yaitu
duduk, tapi kadang ahli Bahasa Arab membedakan keduanya. Qa-‘a-da
berarti duduk setelah berdiri. Sedangkan ja-la-sa adalah duduk setelah
tiduran[8].
Qa’idah secara istilah adalah hal yang bersifat menyeluruh, yang
mencakup banyak bagian dan cabang yang ada di bawahnya[9].
Sedangkan
arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah
yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan.
Maka,
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari
kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Kitab-Kitab
Qawaid Fiqhiyyah
A.
Madzhab Hanafi
- Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
- Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
- Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
- Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
B.
Madzhab Maliki
- Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
- Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
- Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
- Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
C.
Madzhab Syafi’i
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
- Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
- Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
- Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
- Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
D.
Madzhab Hanbali
- Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
- Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
- Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
- Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah,Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Selain
dari empat madzhab, ada juga kitab Qawaid Fiqhiyyah yang dikarang oleh ulama’
kontemporer; diantaranya:
- al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadawi.
- Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
- Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
- Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
- Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
- Kaidah Fikih oleh oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
Tentu
ini hanya sebagai muqaddimah saja sebelum membahas lebih jauh kaedah-kaedah
fiqih beserta contohnya.
[bersambung
inysaallah]
Footnote:
[1]
Muhammad Mushtafa az-Zuhaili, al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi
al-Madzahib al-Arba’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1427 H), juz 1, h. 5
[2]
Muhammad Mushtafa az-Zuhaili, al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi
al-Madzahib al-Arba’ah , juz 1, h. 190
[3]
Ibnu Nujaim Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad (w. 970 H), al-Asybah wa
an-Nadzair, (Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H), h. 57
[4]
Muhammad Mushtafa az-Zuahli, al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi
al-Madzahib al-Arba’ah , juz 1, h. 33
[5]
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H), al-Asybah wa
al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, h. 141
[6]
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H), al-Asybah wa
al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, h. 8
[7]
Ahmad bin Faris bin Zakariyya ar-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughat,
(Baerut: Dar al-Fikr, 1399 H), juz 5, h. 109
[8]
Abdurrahman bin Shalih Abdullatif, al-Qawaid wa ad-Dhawabith al-Fiqhiyyah
al-Mutadhamminah li at-Taisir, (Saudi Arabia: Imadat al-Bahts al-Ilmi, 1423
H), juz 1, h. 33
[9] Jalaluddin Abd al-Rahman
al-Suyuthi (w. 911 H), al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’
Fiqh al-Syafi’i, cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H), h.5
Hanif
Luthfi, S.Sy.
No comments:
Post a Comment