BERGABUNG KE DALAM DAULAH
ISLAM YANG INDAH PENUH KELEMBUTAN JAUHI KEKERSAN
KARYA M.RAKIB JAMARI, RIAU INDONESIA.
Pemilihan
umum, jauhi kekerasan, dalam proses demokrasi,
Di zaman
para khalifah, mendapatkan Amirul Mukminin.
Bila
waktunya datang, kau pengaruhi semua orang
Dengan janji-janji manis penuh keyakinan
Hingga, kau buat kami melayang
Dalam demorasi ini, kau menganggap kaulah yang pantas
Pantas memimpin kami
Atau pantas memilki Kekuasaan?
Aku tak tau apa-apa.
Hey.... engkau yang berteriak disana sini
Dan meminta suara kami
Haruskah kami percaya?
Ah masa bodo...
Demi sebuah kekuasaan
Ambisi dan ketulusan hati tak dapat dibedakan
Dengan janji-janji manis penuh keyakinan
Hingga, kau buat kami melayang
Dalam demorasi ini, kau menganggap kaulah yang pantas
Pantas memimpin kami
Atau pantas memilki Kekuasaan?
Aku tak tau apa-apa.
Hey.... engkau yang berteriak disana sini
Dan meminta suara kami
Haruskah kami percaya?
Ah masa bodo...
Demi sebuah kekuasaan
Ambisi dan ketulusan hati tak dapat dibedakan
Bergabung
dalam daulah Islamiyah, jangan menebar teror
Tebarkanlah
keindahan dan kedamaian.
Bergabung ke dalam
Daulah Islam untuk untuk mendapatkan kesejukan, keindahan, lalu mendukung
kekuatannya, hidup di bawah lindungannya dan berjihad yang tidak keras, tidak
zalim, di bawah panjinya merupakan keharusan bagi sesiapa pun yang masuk Islam
saat ini. Imannya belum dianggap sempurna kecuali jika dia ikut hijrah ke dalam
Daulah Islam dan keluar dari wilayah orang-orang kafir dan orang-orang yang
memusuhi Islam. Imannya belum dianggap sempurna kecuali setelah dia ikut dalam
barisan jemaah orang-orang mukmin yang berjihad dan yang menjadi sasaran
serangan seluruh dunia saat itu. Allah berfirman (yang bermaksud):
“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi
belum berhijrah, maka tidak ada kewajipan sedikit pun atas kalian melindungi
mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-Anfal: 72)
Allah juga berfirman tentang keadaan orang-orang yang tidak
berhijrah ini (yang bermaksud):
“Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka
penolong-penolong (kalian), hingga mereka berhijrah kepada jalan Allah.”
(An-Nisa`: 89)[3]
Ayat-ayat Al-Qur`an juga diturunkan, memberikan ancaman yang keras
terhadap orang-orang yang lebih suka memilih hidup di wilayah orang-orang kafir
dan wilayah perang, tanpa mau mendukung penegakan agama dan melaksanakan
kewajipan serta syairnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat
bertanya: Dalam keadaan bagaimana kalian ini? Mereka menjawab: Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah / jahiliyah). Para malaikat bertanya: Bukankah bumi Allah itu
luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka
yang tertindas, baik lelaki atau wanita atau kanak-kanak yang tidak mampu
berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan, adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.” (An-Nisa`: 97-99)
Tatkala Rasulullah s.a.w wafat, pertama kali yang menyibukkan para
sahabat adalah pemilihan “Pemimpin” bagi mereka. Bahkan mereka lebih
mengutamakan urusan ini daripada penguburan jasad baginda. Maka mereka terus
berbaiat kepada Abu Bakar dan menyerahkan urusan mereka kepadanya. Begitu pula
yang terjadi pada setiap dekad setelah ini. Dengan adanya ijma` sejarah ini,
yang dimulai dari era sahabat dan tabi`in, para ulama Islam menggunakannya sebagai
dalil tentang kewajipan mengangkat pemimpin, yang menjadi simbol terpenting
dari kewujudan daulah Islam.
Sepanjang sejarahnya, orang-orang Muslim tidak pernah mengenal
adanya pemisahan antara agama dan daulah, kecuali setelah muncul era
sekularisme pada zaman sekarang, yang justru inilah Rasulullah s.a.w pernah
memperingatkannya dan memerintahkan untuk melawannya, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadis Mu`adz (yang bermaksud):
“Ketahuilah, sesungguhnya bulatan penggilingan Islam terus
berputar. Maka putarlah ia bersama Islam seperti apa pun ia berputar.
Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur`an dan pemimpin itu (agama dan daulah) akan
saling berpisah, maka janganlah kalian berpisah dengan Al-Kitab. Ketahuilah,
kalian akan dipimpin para penguasa yang menetapkan hukum untuk dirinya tidak
seperti ketetapan hukum untuk kalian. Jika kalian membangkang, nescaya mereka
akan menghabisi kalian, dan jika kalian patuh, nescaya, mereka akan menyesatkan
kalian. Mereka bertanya: Lalu apa yang akan terjadi pada diri kita wahai
Rasulullah? Baginda menjawab: Seperti yang terjadi pada rekan-rekan Isa bin
Maryam, mereka digergaji dan disalib di atas kayu. Mati dalam ketaatan kepada
Allah lebih baik daripada hidup dalam kederhakaan kepada Allah”[4]
Menurut Mohammad
Ismu syaikh Yusuf qardhawi salah satu ulama kontemporer yang sangat
peduli pada kondisi ummat saat ini, berbagai isu-isu kontemporer ia tanggapi
dengan sangat serius termasuk didalamnya isu politik. Sebagai ulama yang
menyeru pentingnya ijtihad dan pembaruan, secara tegas yusuf qardhawi
menyayangkan fiqih politik kurang mendapat tempat dalam lapangan ijtihad
seperti halnya fiqih ibadah, fiqih muamalah dan fiqih-fiqih lainya. Padahal
fiqih daulah bersifat amaliyah yang selalu di tuntut menyesuaikan diri pada
setiap kondisi, waktu dan tempat, terlebih saat dunia islam dalam keadaan
terpuruk. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian umat islam muncul pemahaman
Negara islam yang tak mendalam, yang pada titik-titik tertentu justru tak
sejalan dengan nilai-nilai luhur islam itu sendiri.
Di sisi yang lain, sebagian kaum muslimin tak
mengerti dengan agamanya sendiri, beranggapan bahwa tak ada konsep Negara dalam
islam. Akibatnya berbagai pemikiran-pemikiran asing yang di kampanyekan oleh
para orientalis pun ikut diramaikan oleh para sarjana muslim, ikut memburamkan
ajaran islam. Sekularisme misalnya, sebuah teori yang berteriak keras bahwa
agama adalah urusan pribadi antara manusia dan penciptanya, bahwa agama milik
tuhan dan Negara milik manusia (masyarakat), sebuah teori yang menegaskan
urgensi pemisahan antara agama dan Negara, teori inilah yang digalakkan oleh
barat untuk juga diterapkan oleh dunia islam. Yusuf qardhawi mengkritik keras
sekularisme. Menurutnya, sekularisme tak lebih adalah upaya memisahkan umat
dari ajarannya, sekularisme tak lebih muncul karena penggalan sejarah kelam
eropa-kristen atas otoritas gereja.
Menerapkan hal serupa dalam masyarakat islam
tentu tidak tepat, karena islam tak mengenal otoritas kaum agamawan, bahkan
dalam islam tak mengenal kaum agamawan. Memahami agama sebagai otoritas
agamawan adalah pemahaman agama terhadap Kristen (dalam konteks sejarah kelam
eropa tentunya), bukan pemahaman agama terhadap islam. Ia menegaskan bahwa
islam adalah agama yang sempurna, sebuah agama yang menyeluruh, yang
mengajarkan setiap sisi kehidupan. “dan kami turunkan kepadamu al kitab untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
orang-orang yang berserah diri” ( Al nahl. 89 ). Tak terkecuali dalam
bernegara; kontitusi, hukum, undang-undang, tujuan dan etikanya.
Hal itu ditegaskan
oleh: pertama, nash al qur’an dan sunnah. “sesunggguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkanya dengan adil” (an nisa’. 58).
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada allah dan rasulnya”(an nisa’. 59). Khitob ayat pertama
adalah pemimpin dan penguasa agar memegang amanat dengan baik dan meminpin
dengan adil, karena keduanya adalah peringatan hancurnya sebuah bangsa. Dalam
hadis di sebutkan, “izha dhui’at amanah fantazhiru sa’ah”. Khitob ayat kedua
adalah rakyat sebagai yang dipimpin agar menaati pemimpin ( ulul amri ) dengan
syarat dalam batas-batas syariah, dan perintah kembali kepada al qur’an dan sunnah
jika terjadi pertikaan (khilaf). Selain itu, puluhan hadis menjelaskan banyak
hal tentang kepemimpinan dan batas-batasnya. Kedua, fakta sejarah. Dalam
sejarah islam, syaikh yusuf qardhawi melihat nabi saw. berupaya keras dalam
mendirikan Negara islam, hijrah ke madinah pun disebutnya tak lain sebagai
upaya menciptakan masyarakat islam yang madani. Madinah adalah Negara islam (darul islam), sekaligus nabi saw. sebagai pemimpinnya,
sebagaimana ia sebagai nabi pembawa risalah. Bergabung kedalam negara ini,
hidup dibawah naungnya dan berjihad membawa benderanya adalah wajib bagi setiap
muslim kala itu, tak sempurna iman seseorang jika tak ikut berhijrah ke
madinah. (Al anfal, 72). Di ayat yang lain al qur’an mengecam kaum muslimin
yang lebih memilih menetap di mekkah (darul kufr wal harb) tidak ikut berhijrah bersama nabi ke madinah,
yang tidak memungkinkan untuk menjalankan syari’at islam secara kaffah. Pun,
setelah nabi wafat, para sahabat mendahulukan memilih pengganti nabi sebagai
pemimpin, baru kemudian mengubur jenazah nabi.
Dari sini, tampak
betapa bahwa Negara bukan sekedar urusan biasa yang dapat di tangguhkan, lebih
dari itu adalah kewajiban agama yang harus di tunaikan. Ketiga, tabi’at islam
itu sendiri. Islam adalah agama yang universal, mencakup semua aspek kehidupan,
dan tentu saja isu berpolitik dan bernegara tak terkecualikan. Karena islam
adalah agama yang sangat mendambakan sebuah tatanan yang terorganisir dan
bertanggung jawab. Keserampangan bukan wajah islam. Lihatlah bagaimana nabi
menyuruh meluruskan shaf dalam sholat berjama’ah, memilih satu sebagai imam
yang paling alim. Lihat pula, bagaimana nabi memerintahkan agar memilih satu
sebagai yang mengetuai jika tiga orang saja berpergian (ammiru ahadukum). Sebagai isyarat, jika dalam kelompok kecil
saja islam bicara ammiru ahadukum, apatah lagi dalam tatanan masyarakat yang besar.
Hal ini sejalan
dengan perintah dalam islam tentang amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan
penegakan keadilan, memerangi kezaliman dan tirani dan perintah-perintah lain yang
harus di dukung oleh kekuasaan (al quwwah). Juga, islam sebagai agama rahmatan lil alamin harus mengarahkan
kehidupan yang sejalan dengan syari’at, proyek seperti ini tentu tidak cukup
hanya disampaikan lewat kutbah-kutbah, peringatan dan nasehat atau
artikel-artikel di buku-buku dan majalah agar diresapi sampai ke hati dan
keyakinan, karena jika hati mati dan keyakinan itu terkubur, haruskah ajaran
islam juga ikut lenyap.
Nilai dan prinsip Negara dalam islam
Pertama, madani. Bentuk Negara dalam islam selalu disalahpahami sebagai
Negara agama (daulah diniyah)
dan theokrasi. Disinilah letak kesalahan yang paling mendasar dalam memahami
Negara islam. Banyak pihak menghawatirkan bahwa penerapan syari’at dalam
bernegara dianggap sebagai perpanjangan dan pengulangan kembali sejarah kelam
eropa Kristen. Dimana otoritas gereja dan kaum agamawan menjadi kebenaran yang
tak terbantahkan, memberi status pada dirinya sebagai perpanjangan tangan
tuhan, mengklaim bahwa mereka melakukannya atas nama tuhan (al haq ilahi ), apa yang keluar dari mulutnya demikianlah
tuhan berfirman. Seperti disinggung diatas, islam tak mengenal otoritas apapun,
terlebih otoritas penguasa dengan atas nama tuhan.
Abu bakar as sidiq
ra. dalam khutbah pembai’atannya berkata “aku di bai’at menjadi
pemimpin kalian bukan berarti aku yang paling baik dari kalian” (inni wulitu
alaikum walastu bikhairikum).
Usman ra. juga pernah berucap “amri liamrikum tubi’a“. atau umar ra. yang berkata “jika aku salah maka
gantikan aku“. Demikian juga ucapan
ali ra. “aku salah dan anda benar“. Otoritas dalam islam hanya milik Allah swt. sebagai penguasa
mutlak, otoritas inilah yang akan membatasi kesewenangan pemimpin. Namuin
demikian, hal ini tak menutup bagi terbukanya kreasi (hak) manusia (pemimpin
dan penguasa) dalam upaya menciptakan tatanan masyarakat madani dan
kemaslahatan bersama selama masih dalam koridor umum syari’at islam (maqashid al syariah al
kulliah).
Dari sini Dr. Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa
Negara islam adalah Negara madani yang terbentuk didasarkan pada syariat, agar
kebijakan manusia tidak melampui batas-batas wajar yang ditetapkan islam,
menghalalkan yang haram dan sebaliknya. Islam bukan Negara agama dan theokrasi
seperti yang dipahami barat.
“al hukmu ala syai’i
far’un ‘an tashawwurihi“.
Artinya, sebuah produk hukum sangat erat kaitannya pada sejauh mana mengetahui
hakekat objek yang di kaji. Jika pengetahuan itu tidak memadai maka hukum yang
disimpulkan dianggap salah, jikapun kebetulan benar hal itu dianggap
serampangan dan membabi buta, seperti memanah tanpa menggunakan panah.
Substansi demokrasi menurutnya jauh dari definisi-definisi akademis. Substansi
demokrasi sesungguhnya adalah hak rakyat memilih pemimpin yang akan membawa
kepentingan rakyat, mencegah terbentuknya penguasa yang tak diharapkan.
Substansi demokrasi
adalah hak rakyat mengoreksi penguasa, hak menurunkan dan menggantinya jika
menyimpang. Inilah substansi demokrasi sesungguhnya dibalik sistem-sistem
praktis dalam demokrasi seperti pemilu, dewan legislatif, penetapan pilihan
mayoritas, multi-partai, hak-hak minoritas dan oposisi, kebebasan pers,
independensi yudikatif dst. Substansi demokrasi beliau nilai sejalan dengan
islam. Jauh sebelum demokrasi muncul, islam sudah mengemukakan kerangka ini,
hanya saja secara umum dan global, agar di mungkinkan bagi terbukanya lapangan
ijtihad bagi umat islam untuk terus menyelaraskan kemaslahatan agama dan dunia
dalam kehidupan realitas yang terus bergerak sesuai tuntutan zaman. Untuk itu
umat islam tetap dituntut berfikir mencari model terbaik. Namun demikian,
adalah kebutuhan yang mendesak guna menciptakan keadilan, menerapkan al syura,
menjamin hak-hak manusia dan memerangi penguasa tirani, beliau menilai, dan
merujuk pada kaedah “ma la yutimmu illa bihi fahuwa wajib“, bahwa demokrasi adalah solusi terbaik. Karena
dalam islam pun tak ada larangan mengambil hikmah dari golongan lain selama
sejalan dengan islam itu sendiri. Wallahu a’lam bi shawab.
*Tulisan ini hanyalah pemahaman terbatas dari penulis.
No comments:
Post a Comment