Sekolah TEMPE (Tehnik Mengatasi Pernjajahan Ekonomi)
Catatan singkat
Dr.Drs.Mhd.Rakib,S.H.,M.Ag. LPMP Pekanbaru Riau Indonesia
Penulis setuju dengan pendapat KH.
Dr. Masdar F. Mas’udi, Syuriah PBNU, yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah
puncak utamabenih teroris, ditambah dengan ketidaadilan global.
Bebeda
dengan koruptor, benihnya adalah kerakusan. Saya buat pantun begini:
Mengapa aku duduk di kursi,
Terlalu lama, duduk di bangku
Bagaimana aku, tidak korupsi,
Gaji sebulah habis, seminggu.
Nah faktor kemiskinan, semua orang tahu,
siapa Misno, Salik, Ikbal, Asmar Latin Sani dan para pelaku terror bom bunuh
diri lain. Pertama-tama mereka adalah anak-anak manusia yang karena
kemiskinannya, menjadi tidak cukup terdidik, pengangguran atau setengah
pengangguran dan terbuang. Pada akhirnya, karena kemiskinan, mereka gagal
menemukan makna pada “hidup“nya. Sementara mereka berfikir bahwa hidupnya hanya
merepotkan diri sendiri dan keluarganya, tiba-tiba ada seorang yang dengan
costum dan bahasa surgawinya menawarkan, bahkan menjanjikan, keber-arti-an diri
yang luar biasa. Dan keberatrtian diri itu, sekali lagi bukan pada hidupnya,
melainkan pada kematiannya, syahid! Janji itu diberikan, tentu
dengan memanipuliasi konsep “mati di jalan Allah” , seperti dalam ayat berikut:
” ولا تحسبن الذين قتلوا فى سبيل الله امواتا بل احياء عند
ربهم يرزقون “
“Jangan
sekali-kali mengira orang-orang yang syahid terbunuh di jalan Allah itu mati.
Tidak, mereka tetap hidup di sisi Tuhannya, kaya raya penuh dengan limpahan
rizki..” (Ali Imran [3]: 169).
Sementara
Nurdin M Top dan DR. Azahari sendiri tidak memilih jalan surganya dengan
bom bunuh diri utk membunuh orang lain, seperti yang mereka tawarkan
kepada Misno dkk. Minimal karena keterdidikannya, mereka tetap yakin
bahwa makna dirinya bukan pada kematiannya, melainkan pada hidupnya, pada
keahliannya (mengindoktrinasi orang dan merakit bom utk diledakkan orang lain).
Di Indoensia, dan di banyak Negara Islam lainnnya umat yang merasa
hidupnya tak bermakna karena kemiskinan yang dideranya, atau merasa tak berdaya
karena terampas hak-hak dan kebebasannya, begitu banyak jumlahnya. Dari tahun ketahun
jumlah mereka terus bertambah. Anak-anak manusia dengan kondisi seperti itulah
tanah yang sangat baik dan siap untuk menerima benih radikalisme melalui
indoktrinasi keagamaan yang sederhana dan penuh tawaran jalan pintas.
Memang,
kemiskinan dan perasaan terampas bukan monopoli umat Islam. Akan tetapi
kemiskinan yang menimpa masyarakat yang hidup di bumi Allah yang kaya, dengan
sumberdaya alam yang melimpah dan beraneka, adalah fakta sangat
menyakitkan yang hamper-hampir khas pada umat yang satu ini, umat
Islam. Siapa pun diantara mereka yang menyadari fakta ini akan gampang disulut
amarahnya. Dan, siapa pun tahu bagaimana perilaku orang yang marah. Kenapa
fakta ini meyakitkan? Karena kemelaratan yang menimpa umat Islam tidak
sepenuhnya akibat kesalahan umat sendiri. Kemiskinan yang menimpa umat Islam
secara menyeluruh, dari bagian Timur Nusantara sampai ke ujung barat Kordoba,
sebagian besar adalah akibat salah urus dan perilaku korup dari para
penguasa dan pemimpinnya. Jika di sana ada kemalasan dan kebodohan, itupun
akibat dari tiadanya daya dukung yang dikorup itu.
Para
penguasa di negeri-negeri Islam umumnya tidak punya visi; mereka berkuasa
semata-mata karena ingin berkuasa. Pertanyaan “mau apa dengan kekuasaannya
hendak dibawa kearah mana rakyat dan bangsanya, dan dengan strategi bagaimana”
sama sekali tidak menarik minat mereka. Obsesinya hanya satu, berkuasa dan
terus berkuasa. Dimana-mana, kekuasaan untuk kekuasaan adalah sesuatu yang
sangat mahal dan berdampang fatal bagi rakyatnya. Ia butuh modal uang yang
sangat banyak, untuk membeli suara dan merawat mesin kekuasaan yang diraihnya.
Maka korupsi pun menjadi strategi baku yang selalu dijalankan oleh para elit
penguasa di negeri-negeri Islam dengan segala cara. Bayangkan kalau hal itu terjadi
– dan di Indonesia semua orang bisa melihatnya – mulai dari jajaran
penguasa di pusat sampai ke tingkat desa yang paling rendah. Tidak
peduli, apakah mereka eksekutif, legislative dan judikatif.
Maka,
meskipun utang menumpuk luar bias banyak, dan kekayaan alam baik di dalam perut
bumi, di atas permukaan bumi dan di dalam laut, sudah dikura secara
semena-mena, kemiskinan tetap merajalela, kelaparan terjadi di mana-mana,
berbagai penyakit rakyat terus dan angka drop out sekolah dan
pengangguran tanaga kerja semakin merata. Sementara kemewahan hidup para
pejabat dengan uang rakyat semakin mencolok mata. Jadi, jika para
penguasa Negara-negara Islam serius menghadang radikalisme, bukan sekedar
berdiplomasi, maka jalan paling effektif adalah: berhentilah korupsi dan
gunakanlah uang Negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Kedua hal ini
memang saling mempersyaratkan. Tidak mungkin kesejehteraan rakyat terwujud,
tanpa menghentikan korupsi; juga tidak mungkin korupsi berhenti, tanpa komitmen
para pejabat untuk mensejahterkan rakyatnya.
Pertanyananya:
apakah para penguasa itu sudi meninggalkan kebiasaan korupsi demi kesejahteraan
rakyatnya? Sungguh, hanya pejabat pemerintah dan pemimpin Negara yang punya
nurani yang mau peduli dengan kesejahteran rakyatnya. SUdah tiba saatnya, kita
smeua berdoa kepada Tuhan, dengan cara kita masing-masing, kiranya hanya mereka
yang berhati nurani sajalah yang boleh memimpin negeri ini. Yang tidak, kiranya
segera disadarkan, atau singkirkan saja secepatnya. Amiin.
***
Tantang
ketidak adilan, tegasnya kedzaliman global, sebagai air yang menyirami
radikalisme di dunia Islam, rasanya semua orang di muka bumi mengatahuinya
dengan jelas dan gamblang. Bahwa secara politis banyak yang tidak berani
mengatakannya, atau bahkan mencoba mengingkarinya, adalah soal lain. Pertama,
yang paling mencolok, adalah ketidak adilan yang diperlihatkan melalui gabungan
kekuatan militer, ekonomi dan politik oleh kekuatan Barat dibawah komando
Amerika sang superpower tunggal di wilayah Negara-negara Islam, mulai dari
Turkey, Palestina, kemudian di wilayah Balkan, Afganistan, Irak dan tampaknya
sebentar lagi di Iran. Kalau mau bisa juga kita sebut korban lain:
Libiya, Kuwait, Sudan, Somalia, Libanon, Syria, dan tidak ketinggalan
Indonesia.
Dari
semua rentetan peristiwa kesewenang-wenangan tersebut nampak jelas bahwa yang
tengah menjadi acuan “kebenaran” atas nama HAM atau Kebebasan di abad modern
ini bukan logika dan apalagi nurani, melainkan kekuatan ( power / syaukah
). Kebenaran adalah kekuatan; sejahat apa pun asal kuat ia akan menjadi benar.
Siapa paling kuat, dialah yang paling benar. Maka barang siapa yang berhadapan
dengan yang paling kuat, mereka akan menjadi pihak yang salah, dan terus
dipersalahkan.
Kedua,
ketidak adilan, di bidang ekonomi. Semua orang tahu, bahwa Negara-negara Islam
pada umumnya kaya dengan sumberdaya alam. Namun karena kelemahan sumberdaya
manusianya, kekayaan alam Negara-negara Islam dikuasai oleh atau dikuasakan
pengelolaannya kepada Negara-negara Barat. Maka yang paling banyak mendapatkan
keuntungannya pun tentu adalah Barat. Bahwa keuntungan yang diperoleh
secara luar biasa di dan dari Negara-negara Islam itu kemudian dipakai oleh
mereka untuk menggagahi Negara-negara Islam kembali, itulah “nilai lebih” yang
telah membikin perasaan sakit dan terhina di lubuh hati umat Islam semakin
mendalam. Karena, dengan demikian, sebenarnya Negara-negara Islam telah
membiayai dan memperkuat pihak yang justru akan telah akan mendzalimi umat
Islam sendiri. Ini kedzaliman orang yang luar biasa, sekaligus kedunguan umat
Islam yang lebih luar biasa.
Ketiga,
lembut dan tidak terlalu terasa tapi tidak kalah serius, adalah penjajahan
budaya. Jika dimaksudkan di sini adalah ilmu oengetahuan, teknologi dan bahasa
sebagai medianya, tidak lah mengapa. Akan tetapi jika sudah sampai pada coal
citara rasa tentang mana yang baik mana yang buruk, mana yang pantas dan mana
yang tidak pantas, mana yang utama dan mana yang kurang utama, mana yang
dianggap maju dan yang terbelakang, maka sungguh itu sudah masuk pada wilayah
hati dan jati-diri yang sangat dalam. Di sini, kita umat Islam benar-benar
telah kalah telak oleh Barat dalam segala bidang. Dan dalam posisi kalah telak
ini, maka dunia Islam sekaligus adalah pihak yang salah telak. Sekali lagi,
karena di sana tidak ada kebenaran sebagai kebenaran; yang ada adalah kebenaran
sebagai identik dengan kekuatan dan kemenangan. Yang kuat dan menang, dialah
yang benar, bukan yang lain. Yang lemah dan kalah, dialah yang salah; bukan
yang lain.
***
Dari
paparan di atas, hanya ada satu amar: Umat Islam harus bangkit membenahi
diri secara mendasar dan memperkuat diri; di segala bidang: sumberdaya
manusianya, ekonomi, social, politik, budaya, ilmu opengetahuan teknologi, dan
tidak kalah penting juga “militer”. Tidak ada gunanya, kelemahan
ini ditutuptutupi dengan hanya menyalahkan orang lain, dan mengutuknya. Orang
lain (Barat) terlalu kuat untuk kita salahkan, dan terlalu digdadaya untuk kita
kutuk. Bahkan sekiranya diantara kita ada 100 imam samudera – nyatanya kini hamper
tidka ada lagi generasi pelanjutnya – yang bisa bikin bom rakitan, maka seribu
atau sejuta bom rakitan tangan, tidak akan sebanding dengan satu hulu nuklir
dari ribuan hulu nuklir yang mereka miliki.
Bahwa
mereka telah melakukan kedzaliman yang tidak pernah dapat dibenarkan oleh akal
sehat, itu urusan mereka. Tuhan akan membalasnya di akhirat kelak, atau (jika
tidak percaya pada balasan Tuhan), nurani segenap manusia dan sejarah
mencatatnya. Maka daripada energi umat yang terbatas ini dihabiskan untuk percuma,
maka sekali lagi kita kerahkan saja seluruh potensi itu untuk membenahi diri
kita, memperkuat dri kita. Bukan untuk melakukan balas dendam dengan
melancarkan kedzaliman kepada pihak yang selama ini telah bertindak dzalim
habis-habisan kepada kita. Kita bersumpah, “Sekali-kali TIDAK”. Melainkan untuk
memastikan bahwa kedzaliman terhadap siapa pun, negeri / bangsa mana pun, dan
oleh siapa pun bangsa / negeri mana pun, tidak boleh terjadi lagi, sekali dan
selamanya di jagat raya ini [].
Oleh:
No comments:
Post a Comment