“al hukmu ala syai’i far’un ‘an tashawwurihi“.
Artinya, sebuah produk hukum sangat erat kaitannya
pada sejauh
mana mengetahui hakekat objek yang di kaji
KEKUASAAN ITU TIPUDAYA DUNIA
CATATAN M.RAKIB JAMARI, LPMP PEKANBARU
RIAU INDONESIA 2016
UU
Hamidy menyatakan: Kekuasaan dewasa ini
merupakan satu di antara bunga-bunga kehidupan dunia yang banyak didambakan oleh
umat manusia. Kekuasaan dipandang dapat melapangkan jalan untuk menikmati
berbagai kepuasan, kesenangan duniawi. Sebab, dengan kekuasaan orang dapat
bertindak sebagai panglima untuk menentukan segala-galanya.
Kesimpulan daru UU Hamidy ialah kekuasaan telah menjadi tujuan hidup,
mulai dari untuk kepentingan diri sendiri, terus untuk keluarga dan
berakhir sampai untuk golongan (partai). Kekuasaan bukan lagi sebagai siasat untuk mengatur
kehidupan umat dalam bingkai amanah Tuhan, yang barangkali dapat
menjadi penyesalan di akhirat. Dewasa ini dengan kekuasaan, orang hendak
menghirup nikmat dunia sepuas syahwatnya.
Kekuasaanlah yang menjadi kapal kehidupan
untuk memberi peluang mereguk segala kelezatan dan kenikmatan duniawi.
Imperialis
Barat yang rakus dengan
kelezatan duniawi, caranya ialah dengan menguasai masyarakat Muslim, kemudian menanamkan satu pemikiran yang aneh dan menjijikkan
di dalam akal dan jiwa mereka, bahwa Islam adalah agama dan bukan
daulah. Agama itu sendiri
menurut pengertian Eropah(Barat),
bagaimana mereka mengertikan agama. Urusan daulah tidak ada kaitannya dengan
agama. Hal ini merupakan produk akal atau hawa nafsu manusia semata, sesuai
dengan pengalaman dan keadaan di sekitarnya.
Apa yang terjadi terhadap agama Nasrani di Barat hendak mereka
terapkan terhadap Islam di Timur. Kebangkitan di sana tidak tercipta kecuali
setelah membebaskan diri dari kekuasaan agama, maka begitu pula yang harus
terjadi di negara kita di dunia timur, Arab dan Islam, kita harus menyingkirkan
agama.
Pengertian agama di sana adalah Gereja, kekuasaan Biskop, para
paderi dan pastor yang hanya berkaitan dengan urusan perasaan dan rohani. Agama
macam apa jika dibandingkan dengan agama di sini, yang di dalamnya tidak ada
para paderi, pastor dan keterbatasan pada urusan perasaan dan rohani semata?
Apa pun yang terjadi, imperialis Barat telah berhasil menciptakan
sekian banyak golongan yang percaya bahawa agama tidak mempunyai tempat untuk
mengarahkan dan mengatur daulah, bahawa agama berdiri sendiri dan pemerintahan
berdiri sendiri. Hal ini terjadi pada Islam, sebagaimana yang terjadi pada
Nasrani. Di antara slogan menyesatkan yang banyak beredar, “Agama adalah milik
Allah dan negara adalah milik semua orang.” Ini perkataan yang benar, namun
diertikan secara batil. Padahal slogan ini boleh dibolak-balik dari segala
sudut sehingga dapat kita katakan, “Agama adalah milik Allah, begitu pula
negara.” Dengan kata lain, agama adalah milik semua orang, begitu pula negara.
Atau, agama adalah milik semua orang dan negara adalah milik Allah.
Perkataan mereka, “Agama adalah milik Allah,” maksudnya agama ini
hanya sekadar hubungan manusia dengan Allah, sehingga agama ini tidak mempunyai
tempat untuk mentadbir kehidupan dan masyarakat.
Contoh praktikal yang paling nyata dari hal ini adalah Daulah
Ilmaniyah (pemerintahan sekular) yang didirikan Kamal Attaturk di Turki, yang
dipaksakan dengan menggunakan tangan besi, api dan darah terhadap semua rakyat
Turki yang beragama Islam, setelah menguburkan khilafah Uthmaniyah, yang pada
hakikatnya merupakan benteng politik terakhir bagi Islam, setelah sekian abad
bergelut melawan Salibisme dan Zionisme Antarabangsa.
Kemudian pemerintahan lain di dunia Islam meniru Turki yang baru,
dengan kadar yang berbeja-beja, sehingga Islam disingkirkan dari hukum dan
perundangannya mengenai masalah tindak pidana (jinayah) dan perdata
(pengadilan) serta lain-lainnya. Akhirnya Islam hanya dibatasi pada “keadaan
individual”. Islam juga disingkirkan agar tidak ikut campur dan mempengaruhi
pengajaran, pendidikan dan masalah-masalah sosial, kecuali dalam hal-hal yang
remeh. Tapi untuk tuntunan dari Barat, pendidikan dan tradisi ala Barat, pintu dibukakan
selebar-lebarnya.
Para pemimpin politik dunia Arab tidak berhenti terpesona terhadap
trend Attaturk. Sehingga ada seorang pemimpin partai yang cukup terkenal di
Mesir, dan sekaligus Perdana Menteri pada saat itu, menegaskan hal ini dengan
berkata, “Saya benar-benar memuji terhadap pemikiran dan pemahaman Attaturk
tentang daulah yang modern.” Kemudian Asy-Syahid Hasan Al-Banna membidas
ucapannya ini dan diterbitkan di harian Al-Ikhwanul-Muslimun.
Di antara fenomena kejayaan invasi intelektual yang dilancarkan
dunia Barat, bahwa pemikiran sekularisme yang menyusup dan yang menyerukan
pemisahan agama dan daulah, tidak hanya terhadap di kalangan orang-orang
“Moden”, tetapi juga menyusup ke sebahagian orang yang menekuni bidang-bidang
studi agama di universiti Islam yang sudah mengakar, seperti Al-Azhar, sebagai
contoh boleh dilihat dalam buku karangan Syaikh Ali Abdurrazaq, Al-Islam Wa
Ushulul-Hukmi (Islam dan Prinsip-prinsip Hukum).
Secara jujur dapat kami katakan, buku ini telah menggemparkan
masyarakat secara luas dan Al-Azhar secara khusus pada saat terbitnya. Bahkan
kemudian dibentuk satu jawatankuasa khusus yang ahlinya terdiri dari para ulama
Al-Azhar terkemuka, untuk mengadili pengarangnya. Akhirnya diputuskan
pencabutan gelar akademiknya dan dia dikeluarkan dari barisan para ulama.
Hampir semua ulama dan para pemikir juga menyampaikan bantahan terhadap
tulisannya itu, baik dari kalangan Al-Azhar mahupun diluar Al-Azhar[1].
Jadi harus ada sikap tegas dalam menghadapi sekularisme dan para
juru cakapnya, dengan cara menegaskan universaliti Islam serta mengupas secara
jelas sisi yang hidup ini dari segi hukum dan pengajarannya, yaitu sisi daulah,
penataan dan pengarahannya, dengan segala hukum dan adab-adabnya. Harus
ditegaskan pula bahwa masalah ini merupakan bahagian yang tidak boleh
dipisahkan dari tatanan (sistem) Islam, yang menonjol kerana pencakupannya
untuk semua zaman, tempat dan manusia, yang Kitabnya turun menjelaskan segala
sesuatu, sebagaimana firman Allah (yang bermaksud):
“Dan, Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl :89)[2]
Dalil dari Nas Islam
Ini bukan merupakan inovasi yang berasal dari harakah Islam, para
pendiri dan penyerunya, tetapi inilah yang memang dinyatakan nas Islam yang
nyata, yang terjadi dalam sejarah dan memang begitulah tabiat dakwahnya.
Tentang nas Islam, kita cukupkan pada dua ayat dari Surah
An-Nisa`(yang bermaksud):
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah, taatilah Rasul-(Nya) dan ulil-amri di antara kalian.”
(An-Nisa`: 58-59)
Seruan dalam ayat pertama (58) ditujukan kepada para ulil-amri dan
penguasa, agar mereka memperhatikan amanat dan menetapkan hukum secara adil.
Mengsia-siakan amanat dan keadilan merupakan ancaman yang ditandai dengan
kehancuran umat dan negara. Di dalam As-Sahih disebutkan (yang bermaksud):
“Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah
kehancurannya. Ada yang bertanya:
Bagaimana mengsia-siakannya? Baginda menjawab: Jika urusan diserahkan kepada
bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Sedangkan seruan dalam ayat kedua (59) ditujukan kepada rakyat
yang Mukmin, bahwa mereka harus taat kepada “Ulil-amri”. Tetapi dengan syarat,
ketaatan ini dilakukan setelah ada ketaatan (sebahagian di antara ulil-amri)
kepada Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, ada pula perintah untuk kembali
kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi silang pendapat, atau kepada Al-Qur`an
dan Sunnah. Hal ini mengharuskan orang-orang Muslim memiliki daulah yang
ditaati. Jika tidak, urusan ini pun menjadi sia-sia.
Dengan mengkaji dua ayat ini saja, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyh
mengarang bukunya yang terkenal, As-Siyasah Asy-Syar`iyah Fi Ishalhir-Ra`y
War-Ra`iyyah. Semua bahagian dalam buku ini merujuk kepada dua ayat yang mulia
tersebut.
Jika kita beralih ke Sunnah, maka kita melihat Rasulullah s.a.w
bersabda (yang bermaksud):
“Barangsiapa mati dan di lehernya tidak ada
baiat, maka dia mati dengan kematian Jahiliyah.” (Diriwayatkan Muslim).
Tidak dapat diragukan, orang Muslim diharamkan berbaiat kepada
penguasa mana pun yang tidak komited terhadap Islam. Baiat yang membebaskannya
dari dosa adalah baiat terhadap orang yang berhukum dengan apa yang diturunkan
Allah. Jika tidak ada, maka semua orang Muslim berdosa hingga ada penerapan
hukum Islam, sehingga ada pula baiat yang dituntut itu.
Di sana ada berpuluh-puluh hadist sahih yang membicarakan masalah
khilafah, imarah, pengadilan, para pemimpin, sifat-sifat pemimpin, hak-hak
mereka untuk membantu setiap kebajikan, nasihat bagi mereka, taat kepada mereka
dalam keadaan apa pun, sabar menghadapi kekurangan mereka, batasan-batasan
kesabaran ini, batasan kewajiban mereka menegakkan hukum Allah, memperhatikan
hak-hak rakyat, meminta pendapat para penasihat, melantik orang-orang yang kuat
dan dapat dipercayai, mengambil orang-orang yang salih sebagai bawahan,
keharusan menegakkan solat, mengeluarkan zakat, menyuruh kepada makruf,
mencegah dan yang mungkar dan lain-lainnya dari pelbagai masalah daulah, hukum
dan pemerintahan.
Oleh karena itu kita boleh melihat masalah khilafah dan kepimpinan
disebutkan dalam buku-buku akidah dan dasar-dasar agama, seperti yang juga kita
lihat dalam buku-buku fiqih. Di sana kita melihat ada buku-buku khusus tentang
masalah daulah, dalam kaitannya dengan perundangan, hukum, ekonomi, politik,
seperti buku Al-Ahkamus Sultaniyah, karangan Al-Mawardy. Buku lain yang serupa
dengan ini juga dikarang Abu Ya`la. Ada pula buku Al-Ghiyathy karangan
Imamul-Haramain, As-Siyasah Asy-Syar`iyah karangan Ibnu Taimiyah,
Tahrirul-Ahkam karangan Ibnu Jama`ah, Al-Kharraj karangan Abu Yusuf, buku yang
serupa juga dikarang Yahya bin Adam, karangan Abu Ubaid, dan buku serupa juga
karangan Ibnu Zanjawaih, dan lain-lain yang sengaja sebagai rujukan bagi pakar
hukum, seperti buku At-Turuqul-Hukmiyah, Mu`inul-Hukkam dan lain-lain.
Bukti Sejarah Islam
Sejarah Islam telah mengungkapkan kepada kita bahwa Rasulullah
s.a.w telah berusaha sedaya upaya dengan mengerahkan kekuatan dan fikiran, yang
dibantu hidayah wahyu, untuk mendirikan daulah Islam dan negara bagi dakwah
baginda serta penyelamatan para pengikut baginda. Tidak ada bentuk kekuasaan
yang diterapkan atas mereka kecuali kekuasaan syariat.
Oleh karena itu
baginda sendiri yang mendatangi pelbagai kabilah, agar mereka beriman kepada
baginda, mendukung dan ikut menjaga dakwah baginda, hingga akhirnya Allah
menganugerahkan “Ansar” dari kalangan Aus dan Khazraj, yang beriman kepada
risalah baginda. Tatkala Islam mulai menyebar di kalangan mereka, maka pada
musim haji datang utusan dari mereka, yang terdiri dari tujuh puluh tiga orang
lelaki dan dua wanita, lalu mereka berbaiat kepada baginda, menyatakan
kesediaan untuk melindungi baginda sepertimana mereka melindungi diri sendiri,
isteri dan anak-anak mereka, siap untuk tunduk dan taat, memerintahkan kepada
yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar dan seterusnya. Mereka menyatakan baiat
atas semua itu, hingga hijrah ke Madinah hanya sekadar sebagai upaya untuk
membina masyarakat Islam yang berdaulat, dengan daulah Islam yang juga berdiri
sendiri.
Madinah menjadi “Darul-Islam” (Negeri Islam) dan tapak daulah
Islam yang baru, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah s.a.w. Baginda menjadi
pemimpin tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka, sepertimana baginda
menjadi nabi dan rasul Allah yang diutus kepada mereka.
No comments:
Post a Comment