RACUN
SOKRATES
Catatan
M.Rakib Jamari, S.H.
Kejadian
Wayan minum kopi beracun, mengingatkan penulis pada racun Socrates.
Banyak “tanaman jahat” itu memiliki
keindahan yang menyenangkan dan mempesona. Manusia agar tidak terperdaya.
Tanaman ini dapat berupa pohon yang membutakan, rumput yang melepuhkan, semak
yang menyengat, dan umbi yang melumpuhkan. Berbagai dampak dan kejahatan
tanaman yang beracun, tanaman yang sangat mematikan, juga menyakitkan. Termasuk
juga tanaman yang dapat membakar, tanaman dengan aroma yang mengerikan, dan
beragam tanaman yang termasuk kategori liar atau jahat dalam beberapa hal.
Tanaman beracun itu seringkali tumbuh di taman umum dan bahkan
di luar jendela rumah, sementara yang lainnya jarang dan sulit ditemukan. Dia
mengatakan di setiap benua kecuali Antartika memiliki paling tidak satu tanaman
beracun: mandrake di Eropa, death camas di Amerika Utara, coca di Amerika
Selatan, pinang di Asia, iboga di Afrika, dan finger cherry di Australia. Sifat
beracun dari tanaman ini sebenarnya berhubungan dengan bagaimana mereka
mempertahankan diri dan bertahan hidup. Banyak tanaman mempunyai mekanisme
pertahanan, yang pastinya untuk melindungi mereka dari pemangsa. Dan,
sesungguhnya, semua racun yang mereka miliki dimaksudkan untuk tujuan
tertentu ketimbang untuk melukai manusia.
Menarik apa yang ditulis oleh: Wa Ode Zainab Zilullah
Toresano, bahwa Dunia filsafat memiliki
seorang bidan yang mengusahakan lahirnya pemikir-pemikir baru, dia adalah
Socrates (470-399 SM). Filsuf bijaksana dari ranah Yunani ini merupakan manusia
pencari kebenaran sejati yang tak gentar dengan terpaan badai dari kaum Sofis.
Hal itu karena pola pikir Socrates bersebrangan dengan kaum Sofis yang
menganggap bahwa kebenaran itu relatif.
Terlebih lagi, Socrates memiliki tekad untuk
menaklukkan keangkuhan kaum Sofis yang menganggap diri mereka paling benar.
Bahkan, hampir bisa dikatakan bahwa Socrates adalah manusia yang membawa
pesan-pesan nubuwah dan profetis pada zamannya. Socrates berpendapat bahwa
ajaran kehidupan adalah satu. Dengan kata lain, kebenaran itu absolut (mutlak). Dalam hal ini, Socrates tidak pernah memaksakan
pikirannya secara dogmatis pada orang lain. Menurutnya, kebenaran bukanlah
sesuatu yang disajikan, apalagi dipaksakan pada orang lain. Kebenaran itu sudah
terkandung pada diri setiap orang.
Benih ini hanya perlu dibantu dalam proses
persalinannya agar aktual. Maka, sangat tepat kalau dia mengibaratkan dirinya
sebagai bidan yang berusaha membantu kelahiran kebenaran dalam kandungan itu. Menurut
pendapat Socrates terdapat kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada apa
pun. Dalam membuktikan adanya kebenaran obyektif, Socrates menggunakan metode
tertentu. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan dan
menganalisis pendapat. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia
(kebingungan). Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi
yang dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut
dialektika yang berarti bercakap-cakap atau berdialog.
Metode Socrates dinamakan “dialektika” karena
dialog mempunyai peranan penting didalamnya. Bagi Socrates, penemuan definisi
bukanlah hal yang kecil maknanya, penemuan inilah yang akan dihantamkannya
kepada relativisme kaum sofis. Jadi, memang ada pengetahuan yang umum, itulah
definisi. Dengan mengajukan definisi, Socrates telah dapat membendung laju
dominasi relativisme kaum sofis.
Selain keyakinannya yang begitu besar terhadap kebenaran, ia juga rela mati demi kesetiaan dan kehormatan pada Undang-undang negara. Baginya, hidup sebagai warga negara yang baik adalah salah satu kebajikan manusia. Keyakinannya ini ditunjukkan dengan keputusan untuk minum racun dalam sebuah pengadilan di Athena. Tragedi memilukan ini terjadi pada saat Socrates berumur 37 tahun, atau tepatnya tahun 399 SM. Dia diadili dengan tuduhan telah meracuni pikiran-pikiran kaum muda oleh para penuntutnya, yaitu Meletos, Anytos, dan Lycon.
Selain keyakinannya yang begitu besar terhadap kebenaran, ia juga rela mati demi kesetiaan dan kehormatan pada Undang-undang negara. Baginya, hidup sebagai warga negara yang baik adalah salah satu kebajikan manusia. Keyakinannya ini ditunjukkan dengan keputusan untuk minum racun dalam sebuah pengadilan di Athena. Tragedi memilukan ini terjadi pada saat Socrates berumur 37 tahun, atau tepatnya tahun 399 SM. Dia diadili dengan tuduhan telah meracuni pikiran-pikiran kaum muda oleh para penuntutnya, yaitu Meletos, Anytos, dan Lycon.
Ketiganya
mewakili tiga kelompok sosial yang paling berpengaruh di Athena pada saat itu.
Meletos mewakili para penyair, Anythos mewakili para seniman dan negarawan dan
Lycon mewakili musuh besar Socrates: kaum sofis. Pada hari pengadilan yang
dihadiri 2/3 warga Athena, Socrates menyampaikan tiga buah pidato. Pada pagi
hari, Socrates membacakan pledoi. Siang harinya, usai pemungutan suara yang
memutuskan hukuman mati, Socrates maju kembali menyampaikan pidato dan diijinkan
meminta pengampunan atau alternatif hukuman. Pada sore harinya, setelah
pemungutan suara yang kedua menolak alternatif hukuman yang diajukan Socrates,
Socrates kembali maju menyampaikan pidato perpisahan.
Filosof sederhana ini menerima piala berisi racun yang harus diminumnya. Piala itu diberikan oleh seorang petugas penjara, ia menangis saat memberikannya pada Socrates. Plato dan teman-temannya meratapi peristiwa sedih itu. Dalam kata terakhirnya, ia memohon pada sahabatnya agar melunasi hutang-hutangnya dan tidak meratapi kepergiannya, “Tibalah kini saat kita berpisah, aku menjelang mati dan kalian menempuh hidup, mana yang lebih baik hanya Tuhan mengetahui.”
Tiga buah pidato Socrates ditulis ulang oleh Plato dan diabadikan dalam sebuah buku yang berjudul Apologia.
Buku ini
merupakan saduran dari 3 naskah pidato Socrates sewaktu diadili di Athena. Satu
naskah pembelaan atas tuntutan (duplik), satu naskah pidato tanggapan penuntut
yang menanggapi dupliknya (replik), dan terakhir naskah pidato perpisahan Socrates
sebelum dieksekusi mati. Naskah Apologia itu disadur dengan bahasa yang indah
oleh Prof. Fuad Hasan. Naskah itu bisa menunjukkan pada kita salah satu teknik
menghancurkan fondasi arguman orang lain sewaktu sedang berdebat.
Apologia
merupakan salah satu rujukan intelektual paling tua dan sempurna atas konsepsi
the art of principle. Hal itu karena tiga buah pidato tersebut sebagai contoh
teoritis sekaligus praksis dari laku memertahankan prinsip-prinsip secara
lugas, benderang, tanpa kompromi. Socrates menyampaikan semua pembelaan dirinya
dengan kalimat yang terus terang, menyebut nama lawannya tanpa inisial,
menghantam lawannya (terutama Meletos) dengan lugas, dengan tanpa rasa takut
sekaligus tanpa kehilangan sedikitpun kerendah-hatian dirinya yang sudah
dikenal di penjuru Athena.
Socrates menolak tawaran alternatif hukuman berimigrasi ke luar kota. Socrates memang mengajukan alternatif hukuman berupa denda sebesar 1 Mina. Namun, denda 1 Mina yang diajukan Socrates sangat ringan, maka alternatif hukuman ini gugur. Socrates sendiri menolak tawaran bantuan 30 Mina yang ditawarkan para muridnya, antara lain Plato, Crito, Critobolus dan Apollodoros.
Socrates menolak tawaran alternatif hukuman berimigrasi ke luar kota. Socrates memang mengajukan alternatif hukuman berupa denda sebesar 1 Mina. Namun, denda 1 Mina yang diajukan Socrates sangat ringan, maka alternatif hukuman ini gugur. Socrates sendiri menolak tawaran bantuan 30 Mina yang ditawarkan para muridnya, antara lain Plato, Crito, Critobolus dan Apollodoros.
Apologia sebagai epilog kehidupan Socrates
adalah versi lain dari semangat dramaturgi kebudayaan Athena dalam kehidupan
nyata dan bukan semata di panggung Parthenon yang agung. Inilah yang membedakan
Socrates dengan Aristoteles, yang setelah kematian muridnya, Alexander the
Great, juga diadili secara tak adil oleh musuh-musuh politik Alexander. Jika
Socrates memilih tetap dihukum mati dan dengan demikian menyempurnakan Apologia
sebagai rujukan intelektual sekaligus praksis dari the art of principle,
Aristoteles lebih memilih untuk menyingkir ke luar kota.
Etik Socratik, sekali lagi, adalah anti-tesis dari rumusan Bismarck ihwal politik sebagai “seni mencapai tujuan” (baca: kemenangan). Dalam rumusan itu, politik dimengerti tidak hanya sebagai eufemisme (penghalusan) dari peperangan, tetapi sebagai laku di mana tujuan akan menihilkan segala macam debat ihwal etika. Semua boleh asal tujuan terpenuhi. Segalanya halal sepanjang ada jaminan tujuan bisa direngkuh. Apakah itu dengan lobi-lobi di bawah meja, pertemuan tertutup di hotel-hotel, hingga transfer uang ke rekening lawan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Guthrie, W.K.C. Socrates. Cambridge: Cambridge University
Press. 1990.
Lavine, TZ. Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre. Yogyakarta: Penerbit Jendela. 2002.
Phillips, Christopher. Socrates Café: Citarasa Baru Filsafat. Jakarta:Gramedia.2002.
Benson, Hugh H. Essays on the Philosophy of Socrates. Oxford: Oxford University Press. 1992.
Lavine, TZ. Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre. Yogyakarta: Penerbit Jendela. 2002.
Phillips, Christopher. Socrates Café: Citarasa Baru Filsafat. Jakarta:Gramedia.2002.
Benson, Hugh H. Essays on the Philosophy of Socrates. Oxford: Oxford University Press. 1992.
No comments:
Post a Comment